Enam Belas [Percobaan Pembunuhan]
Empat belas hari menjelang konser tunggal, David memberiku jadwal manggung di sebuah event untuk mengisi acara grand opening sebuah tempat wisata di Bandung. Hanya dua atau tiga lagu, kupikir tidak terlalu masalah mengingat intensitas kemunculan pribadiku yang lain tidak sesering sebelumnya. Pil-pil itu membantuku banyak setiap kali sakit kepala dan kecemasanku datang. Tanda-tanda kehadiran mereka bisa kukendalikan meski terkadang tak sepenuhnya berhasil. Mungkin karena aku menghindar dari Zack, Melani jadi tidak terlalu nekat. Fatimah datang di dua malam, mungkin ia rindu membaca kitab Al-qur'an kesayangannya.
Aku sedikit cemas ketika David memberitahuku dua jam sebelumnya bahwa ia tidak bisa mendampingiku. Ia meminta maaf karena harus flight ke Solo untuk menjenguk kakak kandungnya yang sedang sakit parah. Sebagai gantinya, ia mengutus Kamal—asisten David— dan Rani untuk membantuku mempersiapkan segalanya. Ia juga sudah menyiapkan cottage yang ia peroleh dari selebaran brosur yang tergeletak di atas meja kerjanya untuk tempat kami menginap satu malam. Tempat yang bagus untuk me-refresh pikiranku katanya. Marthin mendapat jatah untuk mengawasiku juga, dan entah mengapa mendengar nama pria itu, aku selalu merasakan aman di sekujur tubuh.
Selain Ivanka, ada dua band lain yang mengisi acara hiburan. Di balik panggung, saat di mana aku menunggu giliran, aku merasakan kecemasan soal bagaimana performa Ivanka nantinya. Aku takut Melani mengambil alih seperti yang pernah ia lakukan di berbagai acara.
Aku menyandarkan punggungku pada dinding ketika Marthin menghampiriku, mungkin ingin memastikan bahwa Vanny masih menyatu dengan Ivanka. "Apa ada masalah?" tanyanya.
"Tidak. Aku cuma ... khawatir soal—yah, kamu tahu yang kumaksud?"
"Melani?"
Aku memutar bola mata. Sudah kuusahakan agar aku tidak menyebut namanya, Marthin malah menyebutnya secara terang-terangan. "Astaga, Marthin ... aku sudah bilang jangan sebut namanya."
"Oh, maaf, aku refleks saja," ujarnya. "Apa kamu sudah meminum obatnya? Mungkin itu akan membantu mengurangi kecemasanmu."
Terkadang Marthin selalu benar dan aku suka ia menunjukkan saran itu. Aku mengambil tas dari tangan Rani, menyuruh gadis itu pergi sebentar lalu mencari tube berisi obatku di dalam. Di detik yang lumayan panjang, aku bertanya-tanya tentang tube-tube itu. Pasalnya, tak ada satu tube pun yang kutemukan di sana kecuali barang-barang formalitas pribadiku.
Marthin membaca ekspresi ketidakmengertianku lalu berkata, "Jangan bilang kamu lupa membawanya."
Aku mendongakan wajah ke padanya, mengerutkan kening dengan tangan yang masih berkelana di dalam tas. "Kurasa aku benar-benar melupakannya. Aku tidak ingat di mana aku menaruhnya, tapi ... sepertinya aku yakin tidak memindahkannya ke mana pun."
"Cukup ceroboh untuk gadis sepertimu," celetuknya.
"Diamlah! Aku ... astaga!"
"Kenapa? Kamu ingat sesuatu?"
"Mungkin tertinggal di apartemen."
Marthin melengkungkan bibirnya ke bawah, bahunya naik. "Lima menit lagi, dan kalaupun benar obatmu tertinggal di apartemen, kita tidak punya waktu."
Wajahku tertunduk, meneliti lantai marmer di bawah kakiku seolah berharap secercah ilham muncul dari sana. Lima menit lagi. Aku memang tak memiliki kesempatan sebesar itu, tapi aku tidak melupakan siapa yang ada di dalam apartemenku.
"Ibu ada di apartemenku. Aku akan meminta bantuannya untuk memeriksa kamarku."
"Apa kamu lupa kita akan menginap di cottage malam ini?" Marthin memberitahu.
Sialan! Jarak dari apartemenku ke cottage hampir tiga jam. Aku mengeluhkan kebodohanku sendiri pada Marthin, ia hanya mengingatkanku untuk resepnya, mungkin Marthin bisa membelikannya di apotek terdekat. Solusi yang cukup membantu.
***
Tersenyumlah, cobalah untuk tetap tersenyum dan rasakan lagu yang kamu nyanyikan merasukimu, membahagiakanmu.
Saran Marthin ternyata membuatku jauh lebih baik. Kecemasan itu hilang. Aku bisa merasakan Ivanka seutuhnya hingga dua lagu berakhir. Para penonton menikmatinya, mereka bersorai penuh penghiburan ketika lagu menyenangkan yang kubawa turut memeriahkan.
Karena ini merupakan acara grand opening yang cukup besar dan dihadiri oleh beberapa artis, tak heran jika wartawan dan reporter infotainment juga ada di lokasi. Seperti yang sudah kuduga, para wartawan mengerumuniku, berebut mengambil fotoku. Kilau-kilau cahaya blitz menimbulkan titik-titik memilukan mata. Di belakang panggung, Marthin tersenyum padaku. Aku merasakan kemenangan itu menerpa hatiku, membaluri kerumitan isi kepalaku dengan kelegaan luar biasa. Wartawan-wartawan itu kusambut dengan sangat baik. Menjawab beberapa pertanyaan mereka dengan lugas. Namun sayangnya, tidak pada poin di mana mereka mempertanyakan soal hubunganku dengan Zack. Aku terdiam, lalu mereka memberondongku lagi. Mengarahkanku pada jawaban pasti soal kedekatanku dengan si drummer.
"Tidak ... kami hanya sahabat, percayalah," ungkapku jujur.
Seorang pria, yang kurasakan pernah melihatnya di suatu tempat, bertanya padaku. "Bagaimana dengan Zack? Serius Anda memutuskannya begitu saja demi seorang drummer seperti Marthin?"
"Apa maksudmu?"
Pria berambut klimis itu menyungging senyum seolah menertawakanku. "Kita semua sudah tahu, Zack terlihat begitu mencintai Anda. Bahkan ketika Zack menyakiti Anda, begitu mudah mendapatkan maaf dari Anda. Lalu sekarang, di saat tak terdengar pertengkaran apa pun, Anda memutuskannya begitu saja. Apa benar begitu?"
Aku menarik napas, merasakan kelinglungan yang tak terelakan. Pertanyaan itu saling menyahut sebelum aku sempat menjawabnya.
"Berarti benar soal isu yang beredar kemarin-kemarin kalau hubungan kalian itu Cuma gimmick?"
"Tentang insiden penganiayaan itu, benar adalah rekayasa manajemen Ivanka dan Vergian Zack?"
"Ivanka, ceritakan pada kami soal hubungan Anda dengan salah satu personil band Ivanka."
Iris mataku beralih ke sana kemari, berusaha mengabaikan pertanyaan-pertanyaan itu. Aku mulai merasakan panas di telinga dan perutku mual. Kakiku mundur satu langkah, mencoba kabur dari serangan tak bermoral itu. Tak ada jawaban yang harus kuutarakan, tak ada. Tidak akan pernah ada. Dadaku serasa digempur habis-habisan. Wajah mereka tak ubahnya seperti serigala yang menggeram dan hendak menerkam. Aku merasakan darah mengalir tak normal di sekujur tubuh.
Tiba - tiba, lenganku dicengkeram, ditarik. Seseorang menyelamatkanku dari kerubungan para wartawan itu. Membawaku pergi. Aku merasakan telapak tangan itu dingin dan berkeringat saat aku mengikutinya dari belakang. Pria itu, mengenakan jaket boomber berwarna merah, wajahnya tertutup hoodie. Ketika ia menoleh padaku, aku tersentak.
"Zack?!"
Langkah kaki kami begitu cepat, menghilang bagai buronan yang bersembunyi tanpa arah. Tepat di sebuah taman yang sunyi dan tak bercahaya baik, Zack berhenti. Napas kami tersendat-sendat hampir serentak. Zack memastikan keadaan sepi dan tak ada siapa pun yang mengikuti. Kemudian, kedua telapak tangannya menyentuh pipiku. Dingin. Tatapan matanya mencerminkan sebuah hasrat yang aku tidak dapat mengerti. Ia menggeleng kecil, seolah ingin mengatakan sesuatu.
"Zack? Kamu—"
Bibirku masih setengah menganga ketika Zack tiba-tiba menangkupnya dengan bibirnya. Aku terkekang, tak bisa bergerak. Satu jemarinya memaksa wajahku untuk menerima perlakuannya, satu tangannya lagi menekan tengkorak kepalaku. Napasku belum sepenuhnya normal. Zack seakan menindas nuraniku tanpa persetujuan. Lantas dengan kekuatan yang kupunya, aku mendorong dadanya menjauh.
"Hentikan, Zack!"
"Maaf ... maafkan aku." Bahkan napasnya masih terengah-engah ketika mengucapkan itu.
"Apa yang kamu lakukan?!"
Aku bisa melihat jakunnya naik turun saat ia menelan salivanya. Rambutnya tersugar oleh tangannya dan ia tampak seperti orang kebingungan yang kehilangan arah. Di saat itu, aku menyadari sesuatu yang salah. Zack tidak seperti yang kulihat. Ia berbeda, terlihat seperti orang yang putus asa, dan aku harus bertanya apa yang terjadi dengannya.
"Apa yang terjadi denganmu, Zack? Aku tidak pernah melihat kamu seperti ini."
"Maafkan aku," ucapnya lagi. Aku terkontaminasi kegelisahannya. "Vanny? Vanny, kumohon tetaplah bersamaku."
Vanny? Zack memanggil nama kecilku? Sumpah demi apa pun, gelagat yang ditunjukan pemuda ini semakin aneh. Ia tak pernah memanggilku dengan sebutan itu, tidak pernah sekali pun. Namun aku memilih untuk tidak bertanya. Mendengarkannya, adalah hal terpenting saat ini.
"Kenapa kamu tida bilang padaku tentang gangguan itu? Seharusnya aku adalah satu-satunya orang yang tahu semua tentang kamu. Di mana aku ketika kamu sakit dan menderita? Aku tidak ada di sana, Va."
"Zack tenanglah!"
"Selama ini, orang yang mencintaiku ternyata bukan kamu, tetapi orang lain. Apa kamu tahu betapa frustrasinya aku memikirkan ini?"
"Zack, please. Tenanglah ... aku baik-baik saja."
"Tidak! Kamu tidak baik-baik saja, Va ... kamu sakit. Kamu sedang sakit dan seharusnya aku tahu semua ini dari awal. Kenapa harus Marthin dan David yang lebih tahu?"
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
Wajah Zack masih terlihat panik tak terarah. Ia menyentuh pundakku lebih pelan, lebih lembut dari sebelumnya. "Aku melihat dr. Jihan keluar dari apartemenmu. Aku bertanya padanya tapi dr. Jihan tidak ingin memberi tahu. Jadi, aku memaksa David untuk bicara, karena kupikir tidak mungkin David tidak tahu tentang apa yang terjadi sama kamu."
"Dr. Jihan? Kamu mengenalnya?"
Zack mengangguk. Pelan, penuh dengan kekuyuan. "Dr. Jihan adalah ... psikiaterku."
Telapak tanganku refleks menutup bibirku yang terbuka. Keterkejutan itu kembali menyerangku, menerpa wajahku. "Apa yang terjadi denganmu, Zack?"
"Tak apa, aku cuma pasien lamanya. Aku pernah mengalami depresi berat dua tahun lalu. Dr. Jihan yang menyembuhkanku. Apa yang kualami tidak seberat apa yang kamu alami, Va. Tapi aku mengerti, aku tahu apa yang kamu rasakan."
"A-apa kamu tahu kalau dr. Jihan sudah—"
"Ya ..." Zack menganggut, lalu berkata, "aku tahu. Dan itu sebabnya aku semakin khawatir sama kamu."
"Aku tidak bisa, Zack. Aku tidak bisa."
"Kenapa, Va? Aku orang yang paling mengerti kondisi kamu. Kita pernah merasakan hal yang sama, aku bisa mencarikanmu dokter yang terbaik. Aku akan mendampingimu, kapan pun kamu membutuhkannya."
"Apa pun alasannya, aku minta maaf. Melani tidak baik buatku, juga tidak baik buat kamu. Tidak ada yang bisa mengendalikannya, Zack. Bahkan sekarang, aku ketakutan setengah mati." Aku mulai merasakan gemetar di seluruh wajah, seluruh tubuhku. "Tolong, kamu tidak tahu seberapa mengerikannya dia. Kemarin mungkin dia memang mencintaimu, tapi itu berdampak buruk bagi orang lain. Aku takut dia melakukan hal seperti yang pernah dialami ibu."
"Ibu? Ibumu?"
Aku menghapus air mataku, menarik napas getir. "Melani pernah hampir membunuh ibuku. Aku tidak bisa membiarkannya seperti ini, Zack. Sekarang, dr. Jihan sudah tidak ada. Paling tidak, aku harus menjauhi orang-orang yang berpotensi mendatangkannya."
"Aku bisa bicara dengannya. Kamu harus percaya padaku."
"Zack ..." Aku menelisik wajahnya. Memainkan pandanganku di setiap mili rupa pria di depanku. "Aku tahu siapa yang kamu cintai. Ivanka. Sedangkan aku adalah Vanny. Gadis penderita DID yang tidak bisa mengatasi dirinya sendiri. Kalau Melani tahu kamu mengkhianatinya, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi."
"Tidak, Va ... aku sangat mencintai kamu."
"Aku tahu. Tapi kita tidak punya jalan keluar untuk mengatasi ini."
"Pasti ada, aku yakin kamu pasti bakal sembuh. Biarkan aku selalu ada di samping kamu untuk membuatmu lebih baik."
Samar – samar, aku kehilangan suara Zack yang masih belum berhenti bicara. Kepalaku mulai terasa pusing, sakit dan gejala ini adalah tanda-tanda bahwa seseorang akan hadir. Celakanya, aku tidak memiliki obat apa pun.
"Zack, pergi sekarang." Aku memotong omongannya yang belum mau berhenti. "Zack!" seruku lagi. "Aku bilang pergi sekarang, jauhi aku."
"Kamu kenapa, Va?"
Jangan banyak tanya. Kumohon Zack jangan banyak bertanya.
Langit – langit di atas kepalaku seolah meruntuhkan serpihan abstrak. Aku merasakan diriku limbung sesaat. Sesaat yang singkat dan masih sempat kudengar, Zack memanggilku lalu aku pun menghilang.
***
Aku menemukan ruangan di cottage-ku gelap dan berwarna oranye kehitaman saat tersadar. Asalnya dari satu lampu hias dinding Nordic dekat pintu masuk. Sunyi, seolah tak ada kehidupan. Aku baru ingat bahwa aku sendirilah yang meminta pada David untuk disediakan satu cottage khusus untukku sendiri. Tentu aku tak ingin ada satu orang pun tahu tentang kelainan yang bisa kambuh kapan saja.
Masih dalam posisi terduduk di atas sofa depan tivi bersama gawai yang tergeletak di bawah lantai, aku memungut benda itu. Layar pertama yang kulihat adalah angka yang menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 22.30. Aku tak ingat jam berapa terakhir kali berada dalam kesadaranku saat bicara dengan Zack, kurasa dua jam yang lalu. Namun aku mengabaikannya seumpama peristiwa yang memang sering kulupakan.
Jadi, aku memilih untuk memeriksa pesan whatsapp yang ditinggalkan ibu.
"Ibu tidak tahu di mana kamu menyimpan tube obatmu, Va ... ibu dan Riska sudah mencarinya ke seluruh rumah, obat itu tetap tidak ada."
"Vanny beli aja lagi besok pakai resep dr. Jihan ya, Bu," balasku.
Masalah lagi. Kekesalan menyengat di dalam pikiran. Aku tak tahu harus berapa kecerobohan lagi yang kualami, sampai kapan, bagaimana? Percayalah bahwa pertanyaan-pertanyaan itu seolah menjadi kebosanan yang berangsur terbiasa dengan pola pikirku. Akhirnya dengan langkah lunglai, aku masuk ke dalam kamar. Aku hendak mengetik pesan lagi, tetapi jendela pop-up memberitahu bahwa daya bateraiku tinggal dua persen. Aku mengambil charger dari dalam tas, meletakkan gawaiku di atas nakas samping tempat tidur dan membiarkan baterainya terisi di sana.
Sedangkan aku—akhirnya, aku justru menemukan frustrasi dalam diriku lagi. Ini kegilaan baru. Setelah dr. Jihan meninggal secara mendadak, kini tube-tube obatku raib secara misterius. Aku berpikir mungkin aku bisa menebusnya lagi besok pagi di apotek, tetapi kertas resep itu pun menghilang. Tak ada di dalam tas, di dalam dompet apa lagi di tong sampah.
Persetan dengan ini semua!
Lantas aku menghempaskan bokong di atas lantai, bersandar pada tepi kasur yang belum pernah kutiduri. Dalam keheningan menekuri kebodohanku sendiri, aku menangkap suara aneh di luar. Seperti ... langkah kaki seseorang. Pelan, mengendap. Aku mempertajam pendengaranku, merasakan napasku berembus pelan dan tanpa suara.
Rani? Mungkinkah itu Rani? Atau Marthin? Untuk memastikannya, aku bangkit berdiri dengan rasa waswas menerjang dada. Tanganku meraih kenop pintu, membukanya perlahan. Ruangan di luar kamarku masih gelap seperti pertama aku pulang.
"Rani?" panggilanku menggema ke seluruh ruangan. Aku keluar, mencoba mencari sakelar lampu yang aku tidak tahu letaknya di mana.
Tanganku meraba dinding, coba merasakan tonjolan yang lazimnya ada di sepanjang jalur dinding. Cottage ini berukuran sedang, aku bahkan belum pernah melihat bentuk ruangannya dalam keadaan terang.
Mendadak, langkahku terhenti lagi ketika suara tapak sepatu menyambangi pendengaranku. Tiga kali ketukan sepatu, lebih dekat, lebih jelas. Aku merasakan atmosfir di sekitarku berubah mencekam. Mengancam.
"Marthin? Rani?!" Panggilanku tak bersambut. Nihil dan hampa. Sesaat aku menyesal karena menolak usulan Rani untuk sekamar denganku.
Kesunyian mengelilingi sekitar, rasa takut melumuri seluruh tubuhku. Cepat-cepat, aku mulai mempercepat langkah untuk meraih tombol sakelar. Aku mengenyahkan rasa takut, menganggap ini hanyalah halusinasi. Suara – suara langkah kaki menyeramkan itu tidak berhak menggangguku.
Namun, tampaknya itu hanya cara agar pikiranku tidak terintimidasi. Sebelum ujung jari telunjukku hendak menyentuh tombol, seseorang tiba-tiba menangkapnya. Aku terperanjat. Cengkeraman itu kuat dan nyata. Aku berteriak, tetapi pemilik tangan yang mencengkeramku itu sudah berada di belakangku, menutup mulutku. Bau sarung tangan latex membuatku pusing. Teriakanku teredam, ia menyeretku mundur, melepaskan pertahanan kakiku.
Aku berusaha melihat meski dalam samar, dari tangannya yang kekar, aku tahu dia adalah seorang pria. Tidak bersuara, tidak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan aku hampir tidak bisa merasakan napasnya karena ia mengenakan kain penutup mulut.
Tenaganya begitu besar saat kedua tangan itu benar-benar tak bisa kulawan. Aku berusaha mencakar tangan kirinya yang menyekap mulutku. Tangan satunya yang masih mencengkeram tangan kananku menekan perutku, napasku sesak. Lalu tiba-tiba, aku merasakan tubuhku dihentakkan ke bawah. Kepala belakangku menumbuk lantai marmer, rasanya darah di sekujur tubuhku berhenti mengalir di sana. Melenguh kesakitan, aku mengerang lirih, mengupayakan diriku tetap sadar bagaimanapun caranya.
Aku membuka mata, memperjelas pandangan. Pria itu berdiri di sampingku, sebentar saja sebelum ia kembali menarik kedua kakiku.
"Siapa kau?!"
Teriakanku tak mungkin digubris olehnya. Perlakuan itu begitu singkat dan tak terhitung waktunya jika saja aku tidak menahan diriku berpegangan pada kaki tempat tidur. Cara itu berhasil, ia melepaskan tangannya dari kedua kakiku tetapi hal yang lebih mengerikan rupanya baru saja di mulai.
Tanpa jeda, ia menarik rambutku ke atas, aku hampir berteriak sekuat tenaga, tapi lagi-lagi ia meredam mulutku, tak membiarkanku bersuara. Ia membawaku berdiri, sekilas aku melihat pria itu mengenakan jaket boomber berhodie warna merah sebelum ia menyembuyikan diri di balik punggungku. Segala upaya kukerahkan, alih-alih mengambil lampu hias di atas nakas, aku malah menjatuhkan semua yang ada di sana.
Gawaiku jatuh, layarnya menyala. Seseorang meneleponku.
Itu Marthin!
Aku merasa sedikit tertolong, jika saja aku bisa menggeser layarnya ke mode jawab, Marthin pasti tahu apa yang sedang terjadi.
"ARHHH!!"
Aku meringis saat pria itu menghempaskanku lagi ke lantai.
Gawaiku masih berdering, Marthin belum menyudahi usaha panggilannya. Aku mengulurkan tanganku, sedikit lagi jariku hampir mencapai, tapi lagi-lagi aku gagal saat kakinya menginjak lenganku. Ia memukul wajahku sampai kurasakan bibirku mengeluarkan darah. Aku tidak sempat mengeluh saat tangannya membuka paksa bibirku, sesuatu dijejalkan, tangannya memenuhi mulutku. Rasanya pahit, seperti pil atau kapsul, aku dipaksa menelannya dalam jumlah banyak sampai tersedak - sedak dan hampir muntah. Sesaat saja. Aku mencoba untuk bernapas dengan normal meski tenggorokanku sakit karena pil yang dipaksanya masuk belum sepenuhnya tertelan.
Pria berjaket merah itu, refleks ingatanku mengarah pada Zack. Jaket yang dikenakan pria itu sangat mirip dengan yang dikenakan Zack saat ia membawaku ke sudut taman. Mata kubuka, melihatnya lebih jelas. Lampu Nordic mini membantuku melihat sosoknya meski samar, meski sekilas.
Tidak salah. Pria itu adalah Zack!
Aku pun meneriakinya saat ia menarik rambutku ke atas, kembali membawaku berdiri. "Zack! Arrhh ... apa yang kamu lakukan?! Zack—ARRHH!"
Teriakanku spontan berhenti saat kurasakan keningku membentur tepi nakas. Satu kali. Benturan itu keras tapi masih membuatku tersadar. Jeritan yang seharusnya kulaungkan sebagai ungkapan rasa sakit teredam lagi karena bekapan. Apa yang sebenarnya diinginkan Zack? Kenapa ia tega membunuhku. Tanpa bicara, tanpa suara, bahkan aku gagal merasakan embusan napasnya yang seharusnya kelelahan. Ada rasa sakit mengiris relung hatiku, kesedihan yang mendalam.
Kemudian aku dilepaskan, dibiarkan menyatu dengan lantai. Tubuhku lemas, kepalaku sakit. Apa yang kulihat tampak serupa bayang-bayang saat ia menatapku dari balik hoodie dan masker hitam. Aku merasakan keningku berdarah, begitupun dengan bibirku. Kemudian tanpa ampunan, ia meraih bagian leher blousku, merobek-robeknya seperti anjing yang mencabik daging.
Kedua tanganku mencoba menghalangi, melawannya, tapi yang kudapatkan hanya benda serupa rantai yang kutarik dari lehernya. Detik berikutnya, tak hanya blousku saja yang sudah terobek, ia menyayat lenganku menggunakan sesuatu yang tajam. Aku tersentak, berhenti melawan karena tenagaku sudah habis. Tubuhku serasa melayang, pandanganku mengawang-awang. Rasanya begitu damai, begitu menenangkan. Bahkan aku hampir tidak bisa merasakan lenganku tersayat – sayat menggunakan tanganku sendiri. Pil yang tadi dijejalkan, aku yakin itu berupa obat penenang.
Untuk saat yang tak dapat kuketahui, aku merasakan pandanganku mengabur, tubuhku melemah, napasku menyempit. Tanganku tak mampu lagi bergerak. Aku laiknya seonggok binatang tak berdosa yang dipukuli secara serampangan. Bahkan aku tak sempat membuat pertanyaan di dalam kepalaku tentang apa yang membuat Zack menyikasku seperti ini.
Tanpa perlawanan, pisau itu mengiris-ngiris lenganku. Luka itu pasti meretih, jaringan kulitku serasa mati. Sakit. Aku bisa merasakan darah membanjir di bawah tubuh tak berdaya. Langit-langit di atasku terlihat damai, pikiranku menenangkan.
Aku merasakan itu semua sebelum seluruhnya menggelap. Hal yang terakhir kuingat, pria itu—Zack—menangis di atas kepalaku.
Copyrihht by I. Majid
Medan, 23 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro