Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Empat [Jebakan Halus]

"Selama ini, semua orang menganggap aku menyakiti diri sendiri dan mencoba bunuh diri karena gangguan mental. Tidak ada satu pun yang percaya dengan kronologi yang kuceritakan. Tapi kalung ini, adalah bukti kalau malam itu si pembunuh telah meninggalkan jejaknya. Kalung ini tanpa sengaja kutarik dari lehernya saat aku melawan."

"Vanny? I – ini tidak mungkin." Rama tergugup.

"Tuhan selalu adil, ya? Bisa kakak jawab? Kenapa kalung milik Kak Rama ada padaku?" Aku memergokinya, tapi dengan senyum, tidak dengan raut wajah kekecewaan atau amarah. Dengan senyum, dengan keriangan tersendiri.

"Kamu ... menuduh Kakak yang melakukan itu?"

"Aku tidak bisa menjelaskannya secara teknis bagaimana kalung kakak bisa dipakai si pembunuh, tapi bukti ini sudah sangat jelas, Kak."

"Rama? Apa benar yang dikatakan Vanny?"

Ayah mendekat, Marthin dan David juga mendekat, seakan siap mengepung Rama bila ia mencoba kabur.

"Bu – bukan aku, Om ... Aku bahkan tidak tahu di mana Vanny berada malam itu."

"Sampaikan saja alibimu!" Marthin memaksa.

Rama tergugup, ia memandangi kami satu persatu dengan raut wajah penuh kecemasan. Ia terkekang, tak bisa ke mana-mana. Sedangkan aku, berdiri di hadapannya dengan gelagat yang mulai bosan.

"Aku ada di rumah, sedang istirahat. Dan kalung ini, beberapa minggu sebelumnya aku kehilangan kalung ini. Seseorang pasti sedang menjebakku."

"Itu alasan kuno!" Marthin menarik kerah baju Rama, sebelah tangannya mengepal. Bagus sekali. "Kamu pakai cara apa sampai CCTV tidak bisa merekam pergerakanmu?! Kamu sudah merencanakan pembunuhan itu 'kan? Huh?! Keparat kamu!!"

"Marthin tenanglah!" David melerai. "Sebaiknya kita serahkan ini pada pihak yang berwajib. Konser lima menit lagi akan segera dimulai, sebaiknya kalian mempersiapkan diri."

Aku mengekang tangan Marthin, memintanya untuk melepaskan Rama.

"Dia sudah mencoba untuk membunuh kamu, Van ... apa kamu pikir aku akan diam saja?"

"Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan cara kekerasan, Marthin. Aku bilang lepaskan!"

Cengkeramannya pun terlepas. Rama menarik napasnya, membenahi setelan jasnya yang berantakan. Marthin mendengkus.

"Sejak aku menemukan kalung ini, aku tahu apa sebenarnya yang diinginkan si pemilik kalung. Kak Rama hanya ingin lebih dekat denganku." Aku memandangi wajah Rama, masih dengan senyum kecil yang sesekali menonjol. "Selama ini aku sering menjauhinya, mengabaikan pesannya. Mungkin ini cuma cara supaya aku memberi perhatian padanya."

"Vanny, apa maksud kamu? Dia sudah—" Protesan Marthin kupotong.

"Jangan ada satu orang pun yang menyerahkan Rama ke polisi." Mereka tercengang, wajahku menegas. "Ini akan menjadi urusanku dengan Rama. Lagipula ... aku sudah melupakan peristiwa itu. Kenyataanya tidak terlalu penting untuk mengingat – ingat."

"Vanny, percayalah, bukan Kakak yang melakukan itu."

"Tak apa, Vanny ngerti, kok. Segalanya sudah membaik, Kak ... kupikir tidak ada lagi yang harus diungkit-ungkit. Vanny tidak akan menuntut Kak Rama."

"Apa yang kamu pikirkan, Van? Jelas – jelas Rama sudah menyakiti kamu. Kita harus melaporkannya pada polisi," desak Marthin. David juga mengatakan hal yang sama, hanya saja ia lebih mementingkan menit-menit yang berjalan.

"Ini urusanku! Tidak ada yang berhak memaksaku." Aku memandangi mereka satu per satu. "Kita ke panggung sekarang!"

Ayah memandang kecewa Rama saat aku meninggalkan mereka. Aku sudah mengungkapkannya, memberitahu pada semua orang bahwa aku tidak sedang sakit jiwa malam itu. Kini, dengan gaun dan dandanan terindah membalut tubuhku, aku menerpa cahaya panggung dengan penuh kemenangan.

Spot light kemerahan menyorotku. Aku tersenyum, menyapa tiga ribu penonton yang bersorak di depan sana. Kemegahan panggung menjadi hal yang sangat menakjubkan. Aku—kami—tahu ini adalah hasil dari kerja keras Vanny. Gadis itu yang selama ini berjuang keras mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang penyanyi hingga tercapainya konser tunggal.

Terus terang aku tidak bisa menganggap perjuangan kerasnya sebagai sesuatu yang sia-sia. Namun, ia ada di dalam sini, di dalam jiwa kami, tertidur dengan damai dan tak akan pernah kami biarkan tersakiti lagi.

Aku merasakannya, tepuk tangan penonton, teriakan antusias mereka, irama musik dan vokal yang menghipnotis mereka untuk menari. Piano kumainkan sebagai nada lagu pembuka 'Luka Berat' versi yang berbeda. Aku memberi kejutan, mereka bersorak lebih kencang karena tak pernah menyangka Ivanka bisa memainkan piano dengan sangat indah. Kepuasan itu meledak - ledak. Aku bercengkerama dengan mereka, mengajak mereka bernyanyi bersama.

Ini sebuah kemenangan untukku. Spot light merah sepekat darah menjadi media kemisteriusan diriku terpancar. Aku tahu, tak sedikit dari mereka yang ingin melihat seperti apa seorang penyanyi pengidap kepribadian ganda yang sempat viral di mana-mana menghidupkan suasana. Mereka mungkin berpikir kalau Ivanka yang sedang bernyanyi di atas panggung bukanlah Ivanka yang sesungguhnya.

Seakan aku berkata, 'Hei, lihatlah! Aku Ivanka, akulah Ivanka yang sesungguhnya. Ivanka yang selama ini kalian puja-puja.' Kusampaikan segala kemenangan itu lewat lagu.

***

Hampir dua jam berlalu, konser berjalan dengan sangat lancar begitupun kolaborasiku dengan Antonio Kent. Aku membawakan lagu penutup, lantas memberikan salam sampai jumpa pada mereka semua. Berterima kasih.

Rasanya sangat melegakan.

David datang dan langsung memelukku saat di belakang panggung. Promotor memberi pujian. Utusan label juga memberi apresiasi yang tak ada habis-habisnya. Mereka yakin, kalau seperti ini caranya, albumku pasti laku keras.

Aku menyambut para personil band, membuat perayaan kecil. Ayah juga ada di sana, memberiku ucapan selamat yang menyenangkan, tapi tidak dengan Marthin. Aku melihat kemurungan menyalimuti wajahnya, tidak seceria sebagaimana biasanya.

Tawaku belum berhenti mengingat lelucon Arga yang hampir membuatku sakit perut. Bukankah ini momen terbaik? Aku mengambil handycam berwara merah dari dalam tas milik Fatimah, hasil dari usahaku mencurinya diam-diam dari dalam mobil seseorang. Ini perayaan yang tak boleh dilupakan. Aku merekam tingkah-tingkah lucu mereka, membiarkan tawa berkelana di antara pilar-pilar panggung yang megah.

"Marthin? Senyum dong ... murung terus dari tadi?" rayuku sambal menyoroti wajahnya. Aku memainkan ponsel sebentar, menyetel sesuatu, kemudian kembali merekam.

Marthin yang sedang duduk melirikku sekilas, lalu terperanjat saat menyadari aku sedang memegang handycam.

"Vanny?! Mau apa, sih?"

"Merekam kamu," jawabku santai.

Dia berdiri, merebut handycam dari tanganku dengan cara kasar sampai aku sendiri tersentak. "Dari mana kamu mendapatkan handycam ini?"

"Kamu kok kasar, sih?"

"Jawab aku, Vanny!"

"Itu punya Fatimah, aku ambil dari dalam tasnya. Kembalikan, nanti Fatimah bisa marah."

"Sialan!" Sesaat setelah Marthin mengumpat, dia menarik tanganku. "Ikut aku!" katanya sambil membawaku ke samping panggung. Tempat di mana para pekerja membereskan alat musik dan juga properti sudah hampir selesai.

"Marthin, mau ke mana sih? Kamu tidak bisa pelan?" Aku menarik paksa tanganku. Berhenti di sebelah panggung.

"Soal Rama. Kenapa kamu tidak mau melaporkannya ke polisi?"

"Oh, kamu masih kesal?"

"Jelas aku kesal. Kalau kamu yakin memang Rama yang melakukan hal itu, kenapa kamu terkesan mengabaikannya begitu saja? Rama hampir membunuh kamu, Van ... kamu sadar nggak, sih? Dia itu berbahaya."

Aku membuang napas, memasang wajah tak berdosa. "Aku bingung. Kenapa di saat aku mengungkapkan siapa pelakunya dan kalian semua tahu, kamu bersikap seolah-olah tidak bisa terima aku disakiti. Waktu itu kamu ke mana? Waktu aku mati – matian mencari pembelaan supaya mereka percaya sama aku? Kamu juga menganggap aku gila 'kan?"

Marthin meletakkan handycam yang sudah nonaktif di tepi panggung. Aku bersedekap melawan matanya.

"Siapa bilang aku tidak membela kamu? Aku peduli sama kamu. Kamu pikir siapa yang menyelamatkan kamu waktu kamu sekarat, Vanny?"

Tanganku bersedekap di atas dada, menunduk sebentar dan mencoba berkomunikasi. "Oke, Jerome ... giliranmu."

"Thanks, Ivanka."

"Aku sayang sama kamu, Vanny ... kalau kamu tidak mau menyerahkan Rama ke polisi, biar—" Kalimat Marthin terpotong karena gawainya berdering dan bergetar di saku celananya. Ia melihat layar, matanya membola, lalu melemparkan tatapan heran padaku. "Ka – kamu? Bagaimana bisa menghubungiku?"

"Bingo!"

Aku menyeringai melihat Marthin tergugup seketika. Tanganku masih bersedekap di depan dada tapi panggilan masuk dari nomorku ke gawainya masih berdering. Pasalnya, ia tahu aku tidak sedang memegang ponsel di waktu yang sama.

"Langkah ketiga : jebak dia sampai tak bisa berkutik."

"Apa maksud kamu, Vanny?" Ia mematikan panggilanku. Satu menit berikutnya, panggilan masuk dari nomorku berdering lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro