Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Dua [Step by Step]

"Tiga hari lagi menuju konser tunggal Ivanka, menurut Mas David, apa acara ini bisa sukses? Bukankah ini konser tunggal pertama Ivanka?"

David dikerumuni reporter begitu keluar dari dalam mobil. Sedikit kewalahan."Ya ... semua tiket sudah terjual habis. Persiapan juga sudah rampung, tinggal gladi bersih dua hari, dan selanjutnya ...mohon doa dari temen-temen juga supaya acaranya sukses."

"Terkait dengan penyakit DID yang diderita Vanny, apa benar kalau Ivanka yang selama ini kita kenal sebagai penyanyi merupakan kepribadian Vanny yang lain?"

"Maaf, saya tidak bisa menjawab itu."

"Kami dengar info terakhir, kabarnya Vanny dirawat di rumah sakit jiwa ya, Mas? Makanya belakangan ini Vanny tidak pernah kelihatan."

"Itu tidak benar, kalian termakan hoaks."

"Tapi, Mas—"

"Yang jelas sekarang Ivanka sedang istirahat untuk mempersiapkan staminanya, dia harus banyak latihan dengan temen-temen band juga. Pokoknya semua sedang kami persiapkan supaya acaranya sukses dan penonton yang udah beli tiketnya nanti tidak kecewa. Itu saja."

Aku menyesap kopi, duduk di sofa tunggal, menyilakan kaki di depan tivi. Kulihat, David berupaya pergi setelah berdesak-desakan dengan para reporter itu. Aku menyunggingkan bibir kecil melihat kerumunan orang-orang yang taunya hanya termakan berita hoaks.

Di dalam kamar, aku menonton tivi yang menayangkan program infotainment—lebih dari satu channel tivi—yang membahas berita-berita miring soal Ivanka sejak empat hari lalu, sejak kabar bahwa Ivanka adalah artis yang mengidap kelainan mental tersebar ke mana-mana.

Lagi, aku menyesap kopi latte hangat buatanku sendiri. Memikirkan, merenungkan semua yang telah kami rundingkan bersama. Ada rencana-rencana matang yang telah disusun. Kami punya seorang ahli pengamat politik, yang meskipun bukan ahli dalam ilmu perang, paling tidak ia tahu cara bijak menjatuhkan seseorang. Namanya Jerome, lelaki berusia tiga puluhan yang selalu malas berolahraga.

Ada banyak fakta-fakta menarik. Aku sudah terlalu banyak menyembunyikannya di balik telinga, menenggelamkan setengah tubuhku untuk tidak terlalu kentara. Kini, saatnya pertunjukan itu dimulai. Ini akan lebih matang, lebih sempurna, lalu segala hal yang berkaitan dengan kejatuhan reputasi Ivanka akan menjadi sebuah titik balik.

Jerome bilang, untuk menyingkap sebuah tabir, berpura-puralah menjadi tabir itu sendiri. Aku mencoba memahami kalimat si politikus, tidak dengan Melani yang hanya mengandalkan emosi dan otak terbatas, aku tak perlu mengartikannya dengan proses rumit. Ah ya, sejauh ini, kami sudah berbagi tugas. Sejauh ini juga, aku bangga menjadi seorang leader setelah melalui perdebatan rumit.

Dalam dua puluh empat jam, aku mendapat lima belas waktu untuk menjadi diriku sendiri. Aku—seperti yang sejak dulu diimpikan oleh host—mendapat kehormatan untuk menjadikan sosok Ivanka lebih nyata. Tentu segala konsekuensi sudah kutanggung, sebagai karakter yang berpotensi besar membangun hubungan sosial lebih baik dari yang lain, aku bertanggung jawab memperbaiki nama baik kami.

Vanny— tidak sedang menunggu.

Aku berjalan ke dapur, membuka lemari es dan mengambil sekotak susu. Seseorang ternyata sudah lebih dulu berada di sana. Seorang pria, bertubuh tinggi dan berambut cepak, berdiri memainkan van penggorengan kemudian menoleh padaku.

"Halo, Sayang? Hampir saja ayah ingin membangunkanmu." Ia memainkan spatulanya untuk membolak balikkan sosis goreng, melirikku lagi. "Sarapan? Kamu mau ayah masakkan sesuatu?"

Aku menanggapinya dengan tersenyum. Semacam senyum sapaan good morning.

Apa cara ini sudah benar? Katakan sesuatu!

"Terlalu ramah!" jawab Melani. "Cobalah sedikit lebih dingin, senyum kecil, sekecil remahan roti. Vanny tidak pernah tersenyum selepas itu pada ayahnya!"

Baiklah, aku mengusap wajah. Melenyapkan senyum dan berbalik untuk kembali ke kamar.

"Vanny!" Pria itu membuat langkahku terhenti. Aku menunduk sebentar, mengatur raut muka, lalu menoleh padanya. "Cepatlah bersiap, hari ini jadwalmu bertemu dengan dokter 'kan?" Ia menaruh sepiring sosis goreng di atas meja, mengelap tangannya menggunakan serbet sambil bicara. "Biar ayah yang antar. Jam sepuluh kita berangkat, oke?"

Aku berpikir sejenak. Seseorang mengingatkanku. Fatimah dan Jerome, memintaku untuk tidak termakan rayuan ayah.

"Hari ini harus sesuai rencana, Ivanka. Jangan melenceng!" Jerome menegaskan.

Ah, tapi dokter itu terlalu tampan, sulit untukku mengabaikan jadwal. Sekali ini saja, bisa kalian perbolehkan aku? Suaraku terdengar di dalam kepalaku sendiri.

"TIDAK!" Fatimah dan Jerome bicara serentak.

"Tidak ...." Disusul oleh Kinara yang menggumamkan Namaste di penghujung kata 'tidak'.

"Dasar payah!" umpatku pelan.

"Apa, Vanny?"

"Huh? E – enggak."

"Kamu mengucapkan sesuatu?"

"Ya, hari ini, aku harus ke stadion untuk gladi bersih bareng temen-temen band. Dan mengingat konser tinggal tiga hari lagi, aku harus fokus untuk latihan, Yah ...."

Pria itu mengerutkan kening.

"Sebut nama Vanny sendiri jika sedang bicara dengan yang lebih tua, dasar cewek formal! Vanny tidak pernah menyebut 'aku' jika bicara dengan orang yang lebih tua." Komentar Melani membuatku tergeragap, pantas saja ayah merasa heran.

"Terapi lebih penting, Nak," usulnya.

Aku membenamkan bibir, mengangkat bahu, merevisi kata-kata. "Vanny akan reschedule dan membicarakannya nanti. Vanny balik ke kamar dulu."

Ayah mungkin memandangiku ketika aku berlalu. Jelas masih tercetak wajah penuh penyesalan itu. Sejak ia melepaskan status narapidana dan kembali ke kehidupan Vanny, pria lima puluh tahunan yang masih sekekar dulu itu belum punya banyak kesempatan menghabiskan waktu kebersamaan dengan putrinya.

Kami memang berada di satu apartemen yang sama, tapi kehidupan normal tidak bisa berubah semudah itu. Kalaupun Vanny kembali, kalaupun Vanny tidak menghilang tepat ketika ayah kembali, mungkin hidupnya juga tidak sebaik seperti sekarang.

Melani pernah bercerita dengan gaya dinginnya, mengenai peristiwa yang menjadi pembunuhan perdananya, Darius memberanikan diri membuat pengakuan pada polisi bahwa dialah yang telah membantai Mirza dan Della. Kenyataan yang dipalsukan. Seorang ayah, tak mungkin membiarkan putrinya tumbuh besar di penjara. Kami, dan semua orang yang tahu tentang peristiwa itu menutup rapat-rapat rahasia tersebut selama bertahun-tahun. Mengubur memori Vanny dan itulah sebabnya kami bermunculan untuk membentuk mekanisme pertahanan yang kognitif.

Ibu dan Riska memutuskan untuk kembali ke Pekanbaru setelah ayah berhasil meyakinkan mereka kalau Vanny akan baik-baik saja di bawah penanganannya. Yah, aku rasa memang begitu. Toh Vanny yang bukan Vanny hanya berupa tubuh yang berjalan bagai wayang.

Kamilah pengendalinya sekarang, kamilah yang menempati tubuhnya sekarang. Hari ini, esok dan seterusnya akan ada pergiliran karakter sesuai porsi dan kebutuhan kami masing-masing.

Tidak ada kesempatan—belum ada—untuk Vanny kembali. Gadis itu sudah jelas tak menginginkan dirinya lagi di dunia ini sejak terungkapnya fakta-fakta menyakitkan itu. Kegagalan membuat Vanny merasa sebagai seonggok mahkhluk hidup bodoh yang tak punya arti apa-apa lagi. Kemudian kami menukar perannya, menidurkannya, menaruhnya di tempat yang paling damai yang tak akan pernah bisa ia sadari keberadaannya.

***

Aku keluar dari dalam mobil yang dikendarai ayah begitu tiba di parkiran stadion. Itu mobil baru. Baru kubeli dua hari yang lalu karena aku menginginkannya. Stadion ini besar, biasa dipakai untuk menggelar festival musik dari musisi dalam maupun luar negeri. Ini adalah tempat impian para pelakon seni di bidang musik menunjukkan kemampuannya.

Langit di atas kepala menggumpalkan awan kapas, teduh. Aku menenggerkan sunglasses di batang hidungku bersama senyum yang angkuh, membenahi rambut lurus dan juga pakaian sebelum memutuskan masuk ke dalam gedung. Mungkin ini sedikit berbeda. Terus terang aku kurang tertarik dengan personal style Ivanka yang dulu dibangun Vanny, sedikit kuno. Jadi, aku membuat eksperimen baru yang lebih menyegarkan.

Scarf yang dulu menjadi ikonik Ivanka kuhapus dari daftar fashion. Jelas lebih elegan jika aku menggunakan gaun dengan leher yang sedikit terbuka. Bodyfit dress akan membuat lekuk tubuhku lebih molek dan menarik. Hanya di waktu-waktu tertentu, terkadang aku pusing mendengar ceramahan Fatimah yang sangat tidak setuju jika aku memakai pakaian yang terbuka dan menepak. Akan sangat menyulitkan Fatimah jika suatu saat ia perlu keluar.

Aku menghargai, aku mengerti. Kami adalah tim yang solid sekarang, persaudaraan yang valid, jadi menghargai satu sama lain adalah prioritas utama.

Kesibukan para pekerja mempersiapkan panggung terlihat bagai situasi memukau penuh kebanggaan. Di depan panggung, David yang terlihat semakin tampan itu menyapaku. Sejak dulu, aku selalu suka dengan cara David meluapkan senyum-senyum tau beres itu pada Ivanka. Sudah lama sekali rasanya aku tidak memeluknya seperti ini.

"Halo, Sayang ...." Cipika – cipiki sebentar, David memuji kualitas parfumku sesaat kemudian bertanya, "Sudah siap menjelang konser?" Aku mengangguk. "Dengar, aku sangat antusias setelah mendengar konsep yang kamu ajukan untuk konser nanti. Ini di luar bayanganku, benar-benar tidak pernah ada dalam pikiranku. Tapi aku tanya sekali lagi sama kamu, serius kamu mau membuat gebrakan semacam ini?"

"It's okey, David. Apa Ivanka pernah mengecewakan kamu?"

"Tentu tidak, aku cuma tidak menyangka kalau ternyata kamu juga bisa main biola, piano dan—"

"Ada banyak hal yang belum kamu ketahui tentang Ivanka, Dav ... seperti rencana awal, ini kesempatan kita untuk membersihkan nama baikku. Gossip di luar sana benar-benar keterlaluan, aku tidak bisa membiarkan mereka terus berkembang biak."

David menganggut, ekspresinya segar. Ada sesuatu yang membuat ia hendak mengatakan sesuatu tetapi tertahan. Jadi, biar aku yang melepaskannya.

"Lagipula, bukankah kamu suka dengan gebrakan–gebrakan konyol? Akan aku buatkan untukmu. Persiapkan saja dirimu, Dav." Aku menyentuh dadanya, menyeringai. "Bersiaplah menampung hujatan, pujian dan penghargaan. Persiapkan jantungmu!" Telunjukku menekan dada kirinya. David terpelongo. Terdiam. Bahkan sampai aku menghilang di hadapannya dan bergabung dengan para personil band di atas panggung.

"Langkah pertama! Buat dia cemas. Lakukan seolah – olah tidak pernah terjadi apa – apa padamu. Tunjukkan padanya bahwa peristiwa itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Tidak penting, just it."Jerome mengingatkanku lagi bagai getar senar gitar di belakang punggungku.

Aku menyapa para personil band yang sedang sibuk mempersiapkan persenjataan mereka. Penataan panggung sudah rapi, aku bertanya dan memastikan apakah penyanyi rock yang nantinya akan duet denganku—Antonio Kent—juga sudah datang?

"Lima menit lagi Antonio sampai," jawab David yang ternyata sudah menyusulku ke atas panggung.

Mereka menyambutku, Arga dengan tingkah sedikit gemulainya menarik tanganku, membawaku menari, aku menanggapinya dengan membuat gerakan salsa.

"Ah, Ivanka ... kamu masih semenyenangkan dulu! Aku rindu banget sama kamu ...," puji Arga. Aku tersenyum, menunjukkan seringaian-seringaian tawa khas yang berkarismatik. "Gossip itu memang kejam ya! Hoaks semua isinya, Penyanyi multitalent pintar, cantik dan aesome-awsome kesemsem begini kok dikata gila."

"Aku memang gila, Ga ... gila banget bisa bikin netizen se-Indonesia berguncang-guncang."

Lalu kami tertawa bersama. Marthin mendekat, ia menunjukkan senyum manis yang sudah lama sepertinya tak diperlihatkan.

"Aku senang kamu kembali ceria begini," ujarnya. "Terapi kamu sepertinya berhasil."

"Ya, seperti yang kamu lihat."

Ia mengangguk paham. "Aku sangat mencemaskanmu beberapa hari ini. Bagaimana hubunganmu dengan ayah?"

Aku memundurkan wajah, mengerutkan kening. "Kamu bertanya soal hubunganku dengan ayah?"

"Aku cuma—yah, kamu tahu aku sangat tekejut soal fakta itu, aku cuma khawatir, mungkin kamu merasa tidak nyaman ... atau, ayahmu tidak memperhatikanmu dengan baik."

"Terima kasih sudah mencemaskanku, Marthin ... terima kasih juga untuk cinta yang luar biasa ini." Aku tersenyum, memandangi wajahnya. "Ayah, dia adalah ayah yang luar biasa. Terus terang aku sangat senang ayah bisa kembali lagi bersamaku. Kami bernyanyi bersama, bercanda bersama, menonton film tengah malam sama-sama. Ini menyenangkan!"

Aku berjalan mundur sambil meneruskan omongan dan memandanginya.

"Belum pernah kurasakan sebahagia ini dalam hidup." Aku mengedipkan sebelahmata, Marthin tersenyum sambil menggeleng. "Ah, satu lagi. Kita pulang bareng ya?!"

Marthin membuat isyarat Oke dengan jari tangannya kemudian duduk di balik drumnya.

Tanganku meraih biola yang semula bersandar di bangku. Lalu dalam tempo yang singkat, aku memainkannya, membuka lagu, membuka kebahagiaan luar biasa ini.

Rasanya dada ini meledak-ledak. Aku tahu, aku tidak pandai bernyanyi sebagus Vanny. Jelas ia lebih bertalenta soal olah vokal. Namun aku menutupi kekurangan itu dengan aransemen musik yang belum pernah disaksikan bahkan oleh personil band Ivanka sendiri. Aku tak peduli: David, Marthin, promotor dan semua yang ada bersamaku terpukau-pukau, mempertanyakan keahlianku bermain biola dan piano. Mereka juga mempertanyakan eksistensi Vanny di dalam diriku, sedikit curiga. Akan tetapi aku mampu menjanjikan sesuatu yang lebih menguntungkan.

Hari – hari menuju hari H yang paling menentukan itu tergradasi bagai angin musim semi yang menyejukkan. Segalanya menjadi lebih indah. Aku mulai menunjukkan hubungan baikku dengan ayah, membawanya ke mana-mana, bahkan memperkenalkannya kepada publik. Siapa yang tak senang melihat ayahnya kembali? Kataku pada para pemburu berita. Melani menjadi sasaran untuk kujadikan alasan bahwa omongan saat di Aldero Talk Show merupakan wujud kekecewaan semata. Toh seluruh orang di negeri ini sudah tau siapa Ivanka dan apa yang diderita Vanny selama ini.

Percaya atau tidak, hal tersebut justru menjadikan pamor Ivanka malah naik secara signifikan. Ini menjadi sesuatu yang luar biasa, menakjubkan. Bahkan fakta tentang penyanyi Indonesia yang menderita DID sudah tersebar luas hingga ke mancanegara. Setelah konser ini, mungkin aku dan David mulai menyibukkan diri dengan undangan-undangan acara tivi yang kontraknya sudah dikantongi.

***

"Langkah kedua; amati gerak geriknya. Buat dia gelisah dan tidak tenang."

Aku merasakan, riuh suara penonton melerak di dalam stadion. Di dalam ruang ganti tempat aku mempersiapkan penampilan, aku tidak bisa mengenyahkan gemuruh di dalam dadaku meredam. Ayah baru saja masuk untuk memberi dukungan penuh. Ia melihat rupaku bagai melihat gadis kecil yang menjadi obat penenang.

"Ayah sangat bangga padamu," pujiannya menggelitik telingaku.

Mungkin ayah tak pernah menyangka aku bisa sesukses ini. Lihalah Vanny yang dulu; lemah, pemalu, si gadis yang selalu di-bully di mana-mana, sampai menjadi korban pelecehan seksual yang berdampak buruk bagi kejiwaannya. Meski ayah belum menyadari bahwa Vanny yang sesungguhnya tertidur di bawah alam sadarnya, tapi ia tahu, ia merasa berhasil membuktikan pada orang-orang bahwa, 'inilah putriku, inilah Vanny yang luar biasa itu. Dan aku adalah ayahnya.' Keklisean itu kubiarkan merangkulnya. Untuk waktu yang lama—mungkin akan sangat lama.

Lalu aku mengundang Rama. Seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan Vanny tetapi juga turut menghancurkan. Meski aku tidak melihat ia begitu, Rama tetap berjasa banyak di masa lalu Vanny, bukankah begitu? Ada apresiasi khusus yang harus kutunjukkan untuknya.

Di sini, di belakang panggung, tempat di mana ayah, Marthin dan teman-teman yang selama ini mendampingiku membuat upacara doa dan dukungan, aku berdiri berhadapan dengan Rama. Berusaha memerankan diriku sebagai Vanny; senyum malu – malu, canggung, dengan keberanian diupayakan, aku menatap kedua mata rama.

"Terima kasih sudah mengundangku," ucapnya.

Aku menunduk, enggan (dengan gelagat yang kupaksa-paksa) lantas membalas senyumnya dan berkata, "Vanny senang Kak Rama ada di sini." Aku melirik ayah sebentar. "Ayah juga, Vanny benar – benar merasa jadi orang yang lebih berarti dari sebelumnya. Terima kasih untuk kasih sayang dan cinta yang selama ini kalian berikan untuk Vanny." Mata kuedarkan ke sekeliling, pada mereka yang berdiri di antaraku. Aku tersenyum, mencoba untuk mengilhami makna kebersamaan ini lebih mendalam.

"Kamu pantas menerima semua kasih sayang ini, Van ... Kakak sangat mengenalmu, tapi kamu sulit didekati, udah kaya kucing liar." Kami meringis tawa bersamaan. "Sekarang, kamu udah dewasa, mimpi-mimpi kamu sudah terwujud. Lupakan masa lalu kamu, ya ... nikmati kesukesesan kamu. Kakak dan semua yang ada di sini selalu mendukung kamu."

"Ini luar biasa," balasku. "Sebentar, ada sesuatu yang mau Vanny tunjukkan pada Kak Rama."

Aku mengambil pouch yang semula terletak di atas meja rias, dari dalam situ, aku mengambil kalung berbandul jangkar yang sudah lama kusimpan-simpan. Ini saat yang tepat, aku akan tunjukkan pada semua orang, siapa Rama sebenarnya dan mengapa dia ada di sini.

Aku mengambil tangannya yang terbuka, menaruh kalung itu di atas telapak tangannya. Rama melirikku sejenak. Aku menyeringai.

"Kalung ini? Kamu dapat dari mana?"

"Ini, kalung yang dipakai sama orang yang hampir membunuhku malam itu." Jeda sejenak. Rama mengerutkan kening, Marthin dan David terkejut, juga semua orang yang menyaksikan pengungkapan ini.

"A – apa maksud kamu, Van?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro