Dua [Kembalinya Melani]
Hayooo... Yg belum follow, harap follow Thorjid dulu 🙈🙈
Moodbooster lho buat author.
Selamat membaca
Aku pulang ke apartemen dalam keadaan mengantuk luar biasa. Tumben-tumbenan. Ini masih jam delapan malam dan berdasarkan kebiasaan satu bulan belakangan ini, mustahil aku mengantuk semudah ini.
David baru saja mengirim pesan. Ia memintaku datang pagi-pagi ke gedung pagelaran seni tempat akan diadakannya pesta Penghargaan Film Indonesia untuk gladi bersih. Ivanka menjadi salah satu penyanyi yang mengisi acara. Akan ada drummer baru katanya. Aku tak peduli mereka siapa yang penting mereka mahir dan bisa mengikuti alur musikku. Di benakku, terlintas begitu saja lagu berjudul Luka Berat untuk dijadikan lagu pembuka.
Mulutku menguap lebar ketika masuk. Pertemuanku-(kupikir itu tidak pantas disebut pertemuan), lebih baik kusebut kebetulan saja-ketika melihat Rama duduk di meja nomor 15 masih terngiang-ngiang di kepala. Dia orang yang baik. Merupakan sosok remaja yang termasuk paling beriman yang pernah kukenal dulu. Tentu saja ia tampan, aku pernah terkagum-kagum mengingat dulu Rama adalah seseorang yang bersinar di antara pramusaji lain.
Bibirku menyungging senyum kecil mengingat betapa kekanak - kanakannya ia dulu setiap kali berhadapan denganku. Ah, aku menarik kembali senyumku. Ini tidak sesuai dengan apa yang kuhadapi dua jam yang lalu saat aku bersusah payah menahan gemetar, kabur dari tatapan matanya. Dia berbeda-berdasarkan sudut pandangku tadi-dari yang pernah kulihat terakhir kali. Ia terlihat seperti pria dewasa yang siap menyakiti hati para wanita. Klise. Akhir-akhir ini, sifat paranoidku pada orang-orang semakin sulit dikendalikan dan kurasa itu menjadi salah satunya. Rama tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti yang kutunjukan tadi seharusnya. Jadi, kuputuskan untuk mengabaikannya saja bagai orang yang tak penting sama sekali.
Tanganku meraba dinding samping pintu demi menemukan sakelar, menyalakan lampu sambil berdeham. Apartemen ini tidak terlalu besar dan sudah patut untuk kusyukuri bahwa ini adalah hasil jerih payahku meniti karir sebagai penyanyi. Di dalam kamar, aku membuka scarf yang membelit leher kemudian melemparkannya asal ke atas sofa. Aku mengerjap, merasa tak percaya dengan apa yang kutemukan setelah memusatkan perhatian ke sekeliling kamar.
Ini ajaib, ada sihir yang tampaknya baru saja merubah kamarku jadi serapih ini. Seharusnya banyak tumpukan scarf berbagai warna di atas sofa itu. Aku ingat pakaian kotorku yang sudah tiga hari tidak ku-laundry mestinya berperan bagai ancaman di dalam keranjang binatu. Kini, mereka raib dari singgasananya di sebelah almari pakaian. Aku beralih ke ruang penyimpanan sepatuku yang berada di balik sekat kamar. Keajaiban belum berakhir, seharusnya sepatu-sepatu itu tidak berbaris disiplin di dalam rak. Sekarang lihatlah, rak itu tampak seperti etalase toko sepatu bermerek.
Cemerlang. Ini keterlaluan.
Sebegitu parahnyakah penyakit amnesia yang kuidap sampai-sampai aku tak ingat kapan aku melakukan ini? Tak ada orang lain yang tinggal di dalam apartemen selain Vanny dan gumpalan-gumpalan kain yang setia. Yah, ini pesona yang indah, dan aku tak tahu harus memberi apresiasi pada siapa.
"Kamu pikir ada penyihir yang masuk ke dalam apartemen kamu?"
Aku menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara seseorang menyembul. Terkejut bukan main. Ibu tiba-tiba sudah berdiri dan berjalan ke arahku sambil tersenyum. Ya, aku memang pernah menyerahkan kunci cadangan pada ibu saat pertama kali ia datang berkunjung.
"Ibu?" sapaku. Aku menghambur pelukan padanya sampai wanita berhijab dan berpostur sedang itu terhuyung ke belakang. "Kenapa tidak kabarin Vanny kalau mau datang? Kan bisa dijemput."
"Udah ... Kamu lupa? Yang waktu kamu telepon ibu semalam?"
Dahiku mengerut, mencoba mengingat. "Ah, iya ... kupikir Ibu tidak serius." Aku berbalik, membuka jaket dan menaruhnya asal lagi ke atas tempat tidur. Ibu berdecak, ingin komplain tapi berhasil kubungkam lebih dulu. "Kenapa Riska tidak diajak?"
Ibu memungut jaket yang baru kuperlakukan tak adil tadi sambil menggumam. Riska adalah anak perempuan ibu yang masih duduk di kelas tiga SMA. Dengan aksen melayu dan kesenanghatiannya bercerita, suara ibu lebih terdengar seperti gema keseharian yang kurindukan. Riska sedang menghadapi ujian semester dan tak bisa pergi ke mana pun dalam tiga hari ke depan. Mustahil baginya mengikuti ibu dari Pekanbaru sana hanya untuk mengunjungiku. Bapak juga tampaknya tak berniat ikut sebab tak bisa meninggalkan toko perabot dan juga kebun sawitnya.
Ibuku bernama Lana Hafni, ia menggunakan nama belakangnya untuk dijadikan nama panggilan. Katanya, Lana kedengaran seperti nama ABG yang tak lulus sekolah. Padahal menurutku tidak seburuk itu. Kurasa ia tak sepenuhnya salah. Ibu merupakan sosok yang paling disegani di desa tempat tinggalnya karena peran pentingnya sebagai ketua organisasi islam. Ia lebih cocok disebut sebagai Penjelajah daratan Sumatera saking seringnya ia berpergian dalam urusan dakwah. Tentu saja ibu tak setuju awalnya ketika aku memutuskan menerima pinangan David, tetapi melihat minat dan bakatku yang berpengaruh besar dalam perbaikan kepribadianku, ibu pun merestui.
Jadi, melihat reaksiku beberapa hari lalu yang mengeluh soal munculnya lebam-lebam di tubuhku, aku baru sadar kalau aku sudah bertindak ceroboh.
Aku tidak bertanya berapa lama ibu akan tinggal di sini, wanita lima puluh tahunan itu sudah mengungkapkannya lebih dulu seakan-akan aku tahu bahwa kehadirannya tidak terlalu kuharapkan. Satu minggu seharusnya menjadi waktu singkat bagi seorang anak yang mendapat kunjungan orang tua, tetapi dalam kasusku, ini bisa berdampak buruk.
Faktanya lagi, perempuan itu bukan ibuku secara biologis. Dia juga bukan ibu tiri pengawas yang tidak kuharapkan kehadirannya. Aku juga tidak pantas menganggapnya sebagai pengasuh meski nyatanya ia berperan banyak sebagai pengasuh sejak delapan tahun yang lalu. Ah, ceritanya cukup panjang. Cukup sulit dan menyakitkan. Bu Hafni resmi menjadi orang tua pengganti sejak ayahku tidak ada. Bukan sejak bunda tidak ada. Mengingat bagaimana sulitnya diriku menjadi Vanny selama lima tahun, ia bahkan hampir pilih kasih dengan anak kandungnya sendiri. Kuharap, Riska tak sepenuhnya membenciku karena ibu membelaku-lagi-kali ini.
Dari raut wajah penuh pertanyaannya itu, aku bisa menerka, akan ada hari-hari di mana ibu menyuruhku untuk tidur cepat, dan aku tak tahu reaksi apa yang bakal ditimbulkan jika tahu aku mengandalkan pil. Ia pasti akan memaksaku untuk sarapan pagi padahal ritual seperti itu sudah tak lagi membudaya dalam keseharianku.
"Kamu semakin kurus saja," katanya.
Aku sedang membuka anting ketika menanggapinya kemudian menaruhnya di dalam kotak aksesoris berbentuk diagonal. "Perasaan Ibu aja ... Ibu kan udah tiga bulan tidak jenguk Vanny." Aku berjengit. Menoleh ke belakang saat jemari ibu meraba punggungku.
"Ya ampun, Va?" Ibu menurunkan bagian atas dress-ku hingga melorot. Ia terkejut menemukan pulau-pulau hematom itu tergambar seperti tato. Tubuhku diputar, ibu memeriksa bagian leher dan mengangkat lenganku. Dan semua luka itu tersingkap. "Masya Allah ... apa yang terjadi sama kamu?"
"Bu ...," rengekku tak suka. Kekhawatiran ibu terkadang bisa berlebihan dan aku tak pernah suka ia bersikap berlebihan begitu. Ya, aku tahu ia menunjukkan sikap itu semata-mata memang karena ia peduli, tetapi-kumohon, jangan hujani aku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri tak bisa menjawabnya.
"Kamu benar-benar tidak ingat kejadiannya?" Aku menggeleng, mencebikkan bibir. Lebih kepada ekspresi kecewa pada diri sendiri. "Jadi berita yang heboh di media-media itu bohong?" Tidak mengangguk apalagi menggeleng. Aku melengos membuang muka. Ibu memutar tubuhku lagi dan memaksaku untuk menatap matanya. Suaranya meninggi. "Jawab Ibu, Vanny!"
"Vanny tidak tahu, Bu. Dan, yah ... semua itu cuma setting-an, Zack tidak bersalah dan ini semua murni ide David untuk mendongkrak populatiras Ivanka." Aku tak percaya. Aku mengatakan semuanya seperti kembang api tahun baru yang meledak-ledak.
Bibir ibu setengah menganga. Wajahnya mematung begitu mendengar pengakuanku. "Astaghfirulloh aladzim ...." Ia menggeleng tak percaya. Helaan napasnya menunjukkan kekecewaan yang tak dapat ditunjukkan sepenuhnya padaku.
Kasur sedikit melesak saat kududuki. Wajahku tertunduk dengan tangan yang menyugar rambut. Bibirku tergigit. Ibu masih berdiri memperhatikanku dengan jaket yang masih tersampir di lengannya.
Keheningan sesaat merangkul. Ibu turut duduk di sampingku. Aku tahu ia berusaha menenangkan diri meski dari gelagatnya yang mengusap wajah dan memandangiku, ia sedang merasakan hal yang sama denganku.
"Jadi ... Melani kembali?" Aku melihat ibu. Bibirku bergetar saat tahu bahwa tangisanku mulai menyambangi. "Vanny, bilang ke Ibu yang sebenarnya. Kamu menyimpan sesuatu."
"Tidak ... Melani sudah tidak ada, Bu ...."
Melani memang sudah lama pergi, sejak dua tahun yang lalu. Dulu juga ia pernah semisterius ini jika mengambil alih tubuhku. Seingatku. Melani adalah sosok lain dalam diriku yang muncul sewaktu umurku dua belas tahun. Ayah bilang, mungkin aku berkepribadian ganda. Kupikir hal itu adalah sesuatu yang bagus. Menarik. Seorang remaja kesepian memiliki kepribadian lain yang bisa saja dijadikan teman dan saling bertukar pikiran. Namun kenyataannya, itu sebuah bencana.
Sekarang, aku harus bagaimana? Entah dia Melani, entah seseorang yang baru, aku tidak bisa memberitahukannya pada ibu sebab dapat berdampak serius pada karirku. Ibu pasti akan memboyongku lagi ke psikiatri, mencecarku dengan berbagai pertanyaan pusing dan terapi membosankan. Apa kata media dan penggemarku di luar sana jika tahu bahwa seorang Ivanka punya penyakit kejiwaan?
"Kita harus temui dr. Jihan. Segera!"
"Jangan!!" selaku. Aku bangkit menegak, ibu mendongak padaku dan membalas.
"Vanny?! Kamu lebih mementingkan karir daripada kesehatan kamu?"
"Kesehatan mental?" Aku berdecak dan menjauh dari hadapan ibu. "Dan orang-orang bakal ngatain Ivanka artis gila?"
"Tidak akan ada orang yang ngomong begitu, Va ...."
"Bakal begitu, Bu ...." Kedua tanganku membentang lalu terjatuh di kedua sisi paha. Nada kekecewaan itu lebih tertuju pada diri sendiri. Sejujunya, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. "Ibu ngga ingat? Waktu Vanny SMA? Temen-temen Vanny semua menjauh dan Vanny dikatain gila waktu Melani teriak-teriak di kantor guru. Mungkin juga sekarang mereka masih mengingat itu."
"Tapi kamu sudah sembuh ...."
"Iya, seharusnya." Jika saja terapiku dulu tidak dihentikan dan dilupakan sama sekali, lanjutku dalam hati.
"Ibu mohon, Vanny ... Kamu tidak boleh membiarkan ini. Kamu harus cari tahu siapa dia." Ibu mengambil ponsel dari dalam saku gamisnya. "Ibu akan hubungi dr. Jihan."
"Vanny bilang, tidak!" Ibu tersentak dan terdiam. Aku menyeka hidung, gugup. "Vanny tidak akan pernah kembali ke dr. Jihan. Semua bakal baik-baik aja dan Ibu jangan pernah memaksa Vanny."
"Ya Allah, Va-"
Suara kasar terdengar saat pintu kamar mandi kubanting. Berpikir lama. Shower kunyalakan dan kucuran air menyirami tubuhku. Aku tahu ini salah. Dosa sekali rasanya bersikap kasar pada Ibu. Aku marah bukan karena anjuran ibu yang terkesan memaksa, tapi karena aku benci pada diri sendiri.
Mengapa Vanny yang dulu muncul di saat cita-citaku mulai tercapai dan menanjak? Esoknya-entah kapan dan apa lagi-aku tak tahu semengerikan apa tubuhku ini diperlakukan tidak manusiawi.
Copyright by I. Majid
Medan 03 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro