Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua belas [Natasya]

Rupanya David menghubungiku berkali-kali ketika aku sedang mandi. Aku sedang berusaha mengingat akan ada jadwal apa hari ini. Setahuku tidak ada. Itu sebabnya aku menyengajakan diri bangun jam delapan pagi dalam keadaan pintu kamar sudah terbuka. Aku mengenakan pakaian kasual saat menghampiri ibu dan Riska di ruang tengah.

Di sana, aku terkejut melihat David sudah duduk bersama ibu, mendengar cerita ibu, dengan wajah penuh keseriusan, nanap dan sesekali menyangkal. Aku pun menyembunyikan diri di balik sekat dinding untuk mendengarkan.

"Terus terang saya tidak tahu harus menanggapinya dengan cara apa. Ini sangat mengejutkan, sulit memercayainya," ujar David dengan suara ditahan-tahan. Seolah ada emosi yang diatur sudut kemiringannya. "Kenapa Vanny tidak menceritakannya pada saya mengenai penyakitnya?"

Dadaku dilumuri kepekatan udara. David bertanya pada ibu perihal penyakitku, dengan keterkejutan yang tak mungkin dibuat-buat. Jelas pria itu shock bukan main jika benar ibu menceritakan semuanya perihal DID yang kuidap. Darahku berdesir-desir dan kecemasanku bertambah. Mengapa ibu menceritakannya pada David? Untuk apa? David adalah manajerku, orang yang menjadi panduan untukku melangsungkan karir, tetapi ketika ibu menceritakan semuanya, aku merasakan lantai di bawah kakiku melunak bagai lumpur, menghisapku sewaktu-waktu.

"Menjadi seorang penyanyi adalah cita-citanya. Meski awalnya Vanny tidak pernah membayangkan bakal sesukses ini. Kami mengizinkannya memulai karir dan ikut denganmu karena kami melihat psikisnya sudah cukup membaik. Vanny tidak pernah lagi kambuh dan kami percaya hanya dengan kesibukan yang menyenangkan itu, kesembuhannya berangsur lebih baik.

"Tapi ternyata saya salah." Ibu menunduk, berwajah murung. "Sekarang, Vanny bahkan sering kehilangan kesadaran atas dirinya sendiri ketika alternya yang lain menguasai. Mungkin ini terdengar tidak masuk akal, tapi itulah yang terjadi."

"Berarti, Ivanka yang sedang mencium Zack di Aldero Talk Show itu bukanlah Ivanka yang sesungguhnya?" tanya David lagi.

"Tentu saja itu bukan Ivanka, bukan Vanny. Tetapi ... Melani."

Kening David mengerut dalam. "Melani?"

"Ya, Melani ... nama kepribadiannya yang lain."

Kemudian ibu menceritakan seperti apa karakter Melani pada David tanpa sedikitpun terlewatkan. Bagaimana Melani berani berbuat nekat, kasar dan juga kejam pada siapa saja yang tidak disukainya. David bertambah-tambah terkejutnya. Berpikir sejenak, lantas ia mengatakan hal yang aku sama sekali tidak kusangka.

"Apa mungkin kejadian berdarah yang dialami Marthin di belakang studio adalah akibat ulah Melani?"

"Marthin? Memangnya Marthin kenapa?" Kepanikan atas pertanyaan ibu mewakili rasa ingin tahuku. Aku memasang telinga sebaik-baiknya.

"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Lengan kiri Marthin tertusuk paku yang mencuat di dinding. Walaupun Marthin beralasan kalau itu hanya kecelakaan, tapi saya meragukannya. Itu sangat, mengerikan."

"Ya Allah, Marthin? Kenapa Marthin tidak memberitahu ibu?"

"Apa?!" David terheran lagi. "Maksud ibu, Marthin sudah tahu kalau Vanny mempunyai kepribadian ganda?"

"Hanya Marthin yang tahu. Itu sebabnya ibu meminta bantuannya untuk mengawasi Vanny jika sedang di luar. Tapi sepertinya itu malah berdampak buruk bagi dirinya juga."

David duduk membungkuk dengan jemari menyangga pelipis seperti orang yang mengalami stres ringan. "Jadi? Apa yang bisa saya lakukan untuk kesembuhan Vanny?"

"Saya sudah menghubungi dokter psikiater yang paling tahu mengenai kasus yang dialami Vanny. Rencananya, beliau akan tiba di Jakarta pekan depan karena saat ini beliau berada di Singapura. Jadi ibu minta bantuan kamu untuk mengosongkan beberapa jadwal Ivanka. Vanny harus melakukan konsul dan terapi psikis rutin mulai sekarang."

"Apa Vanny sudah menyetujui pengobatan ini?"

Ibu tersenyum kecil, sangat kecil sebelum menjawab pertanyaan David. "Butuh waktu lama dan usaha yang sangat keras untuk membuat Vanny menurut. Kamu tahu Vanny itu orang yang sangat berprinsip, ia selalu berpikir bagaimana caranya supaya manajemen dan juga para fansnya tidak kecewa. Akan banyak jadwal yang mundur atau mungkin dibatalkan, semua itu tergantung kamu, David. Vanny butuh istirahat untuk mengurangi tekanan."

Dari sudut pandang mana pun, aku tahu ibu memohon pada David demi kebaikanku. Akan tetapi, aku melihat keterkejutan di wajah David leih condong kepada rasa kecewa. Barangkali ia sedang memutar otak, jadwal mana yang harus diubah. Sehari yang lalu ia memberitahuku dengan semangat berapi-api bahwa konser yang akan diadakan dua minggu lagi bakal menjadi konser yang besar dan sangat menguntungkan. David akan membuat promosi besar-besaran untuk albumku.

Lantas ketika ia mendapat kabar dari apa yang baru saja ia dengar, aku bisa melihat harapannya ambyar.

Satu tanganku bersedekap sementara jemari kananku menumpu dagu. Aku memikirkan kesulitan yang dialami David. Kuku ibu jari kugigit-gigit sampai potongan kecilnya terasa di ujung lidah.

"Vanny?!"

Tiba-tiba, Riska muncul di sampingku mengagetkan, membuatku terkesiap kecil.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya. Ia mendongak ke arah ibu dan David yang masih mengobrol, kemudian bicara dengan suara berbisik. "Tenanglah, ibu memang harus melakukan itu demi kebaikan kamu. Bagaimanapun David itu adalah manajer kamu, dia harus tahu apa yang dialami oleh artisnya, bukan?"

"Tapi aku malu," kataku.

"Kenapa harus malu? Kamu tidak gila kok, dan aku lihat David bisa memahaminya. Dia pasti bisa membantumu."

"Tetap saja aku malu. Pertama Marthin, kemudian David, nantinya Zack juga tahu, lalu teman-temanku yang lain, dan akhirnya semua orang di seluruh Indonesia tahu kalau Ivanka adalah artis dengan gangguan jiwa."

"Hei, kenapa kamu berpikir sejauh itu?"

"Suatu saat bakal begitu, Ka. Cukup masa remajaku saja yang terenggut, aku capek jadi bahan bullyan orang-orang."

"Itu dulu, Va ... waktu kamu SMA, sekarang lihatlah, semua orang mencintai kamu."

"Karena aku tahu semua orang mencintaiku, lalu ketika mereka semua tahu penyakitku, apa ada yang bisa menjamin mereka masih mencintaiku? Enggak, Ka ...."

Suaraku meninggi, lupa bagaimana cara berbisik. Ibu dan David yang mendengar perdebatanku dengan Riska datang melerai. Semakin aku menaikkan atensi emosi, Riska melakukan perlawanan yang sama meski Delapan puluh persen kata-katanya mengandung unsur kebaikan, hanya saja aku tidak bisa terima. Ibu memanggil-manggil namaku, mencoba mengelus lenganku sebagai cara yang ia tahu aku sukai. Namun tampaknya itu tak berarti, aku berteriak menyalahkan ibu karena tidak lebih dulu berdiskusi denganku perihal pemberitahuannya terhadap David.

Ruangan yang tadinya senggang kini dipenuhi dengan suara meninggi saling bersahutan. Riska tidak lagi bicara, ia mengembuskan napas berkali-kali bahkan memakiku dengan kata kasar.

"Dasar anak nggak tahu diuntung! Kamu pikir keluarga mana yang sudi menampungmu selain kami?! Seharusnya kamu bisa menghargai ibu!" sergah Riska.

"Aku nggak butuh perhatian kamu!"

"Riska, Vanny ... sudah ... sudah berhenti. Jangan bertengkar terus."

"Riska udah bilang ke ibu, anak ini nggak bisa dikasih hati. Hanya karena dia sudah sukses dan terkenal, jadi dia bisa seenak-enaknya menyalahkan ibu? Riska nggak terima ibu disalah-salahkan."

"Sudah ... sssstt... Riska tolong, kamu harus mengerti."

Riska mengerutkan kening, napasnya naik turun menahan amarah, dan tatapan tajam yang semula dihujamkan kepadaku, kini menghunus ibu. "Terus saja bela dia. Bela terus! Buat apa kasih pengertian ke anak gila kaya dia?! RISKA CAPEK!"

Riska menghentakkan tangan lalu dengan gerakan spontan, ia berbalik dan berlari ke luar apartemen. Meninggalkan suara pintu dibanting.

Ibu menangis di depanku, tangannya menyentuh dada dan beristighfar berkali-kali. Di belakang ibu, David mencoba menabahkan wanita itu. Aku memperhatikan gelagat David yang tampak tidak seperti biasanya, tidak tampak kehangatan juga keakraban seperti yang biasa ia berikan padaku. Airmuka juga tatapannya itu, lebih kepada keengganan untuk bicara. Seakan-akan ia malu dan menyesal pernah menjadi manajer artis aneh seperti diriku.

Aku memegangi kepala, menarik rambutku dengan isakan tangis yang terlihat seperti orang frustrasi.

Apa yang salah denganku? Bahkan David sudah tak ingin mendekatiku, ia tahu aku sedang kacau tetapi ia lebih memilih menenangkan ibu dibanding menenangkanku. Biasanya, David selalu tersenyum padaku, mengatakan semua akan baik-baik saja, jangan khawatir, semua akan beres, setiap kali aku dirundung masalah. Namun lihatlah apa yang kutemukan, barangkali ia jijik melihatku.

Rasa sakit di kepalaku menghentak-hentak. Aku membungkuk lalu terjongkok dengan tangan yang masih berada di kedua sisi kepala. Teriakanku mengundang kepanikan baru. Ibu memanggil-manggil namaku sebagai cara jitu agar aku tetap sadar.

"Vanny ... Vanny, jangan pergi ... tetaplah bersama ibu."

Sakit di kepalaku, bertanda awal seseorang akan datang. Aku menutup kedua telingaku hingga suara ibu terdengar samar. Ringis kesakitanku tak bisa kubendung dengan cara apapun, rasanya slide-slide film itu berputar lagi. Lantai di bawahku terombang-ambing. Aku melihat wajah David, ia berdiri terpaku, terdiam melihat keadaanku yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Jika benar semua orang mencintaiku, lalu mengapa Tuhan menaruh penyakit ini untukku? Kenapa aku harus merasakan kondisi seperti ini? Kemudian secara cepat dan instan, pemandangan di sekitarku pun berubah drastis.

***

Di sepanjang waktu yang tak dapat kukendalikan, aku semakin sering lupa berapa hari yang kulewati, aku semakin kehilangan arah dan merasa risi dengan orang-orang di sekitarku. Manajemen mengalami kerugian banyak karena David harus mengubah jadwal-jadwal yang sudah dijanjikan dengan klien sebelumnya.

Syuting video klip untuk laguku diundur empat hari. Aku melewatkan hari-hari di mana kegiatan keartisanku seharusnya menjadi hal yang menyenangkan. David tak lagi banyak berinteraksi denganku. Ia hanya mengunjungiku sesekali jika benar ada hal yang ingin dibahas. Terkadang malah tak ada yang bisa dibahas sama sekali karena kepribadian lain muncul di saat yang tidak tepat.

Ibu tidak bisa berada di apartemenku 24 jam karena Riska melarangnya keras. Aku ingat ibu pernah bercerita, tentang apa yang kualami setelah insiden pertengkaranku dengan Riska, aku terdiam sebentar lalu tersadar dengan perilaku yang jelas tidak mencerminkan seorang Vanny, bukan juga Melani. Tetapi seseorang yang lebih kekanak-kanakan.

Ibu dan David terheran, tak sanggup berkomentar saat melihat tingkahku yang bagai anak kecil bicara dengan nada manja dan kelucu-lucuan. Ibu melihatku berlari kecil dan sesekali memutar tubuh mirip gerakan menari di film Disney Snow White, membongkar isi lemariku demi mencari gaun bahan katun bergambar Snow White. Aku melupakan soal David, tak peduli dengan masalah sekitar kecuali sibuk dengan baju Snow White, rambut kuncir dua dan boneka kelinci yang kupeluk ke mana-mana.

Aku menarik-narik kain gamis ibu ke dapur, memintanya untuk memasakkan sosis goreng sementara aku asik bermain game Talking Tom di smartphone.

"Namanya Natasya, umurnya delapan tahunan, katanya ... dia suka main Barbie," ungkap ibu. "Dia bahkan merengek pada David minta dibelikan Barbie elastis keluaran terbaru."

"Bagaimana tanggapan David melihatku seperti itu?" tanyaku penasaran.

Ibu meringis tawa dengan tangan yang masih memegang sendok makan. "David takjub. Katanya Natasya lucu dan menggemaskan. Dia memanggilnya, 'Om David'."

Aku menjengitkan bibir. "Itu tidak mungkin." Lalu ibu tertawa ringan.

Lusa nanti, ibu bilang dr. Jihan akan tiba di Jakarta. Begitu pesawatnya landing, dokter yang usianya hampir sebaya dengan ibu akan menyempatkan diri untuk menemuiku. Membayangkan dr. Jihan datang sebelum tiba waktunya saja aku sudah deg-degan. Aku tahu dr. Jihan adalah psikiater yang paling tahu mengenai riwayatku, lagipula ia sudah menjadi dokter spesialis yang sering diutus negara untuk menghadiri beberapa konferensi soal kesehatan mental oleh WHO.

"Dr. Jihan sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu." Ibu memberitahuku di sela-sela obrolan waktu lain.

Ya, tentu saja dr. Jihan sudah tidak sabar, ia bisa saja menjadikanku eksperimen untuk bahan risetnya. Asalkan ia bisa mengungkap identitasku satu persatu, meminimalisir kehadiran mereka, aku tidak mempermasalahkan hal itu.

Di empat hari yang terlewati, aku jarang bertemu dengan Zack. Ia hanya menghubungiku lewat telepon atau obrolan Whatsapp untuk bertanya tentang kabarku. Ia mendengar penuturan David kalau aku sedang flu berat dan butuh istirahat banyak sebelum konser tunggal diselenggarakan. Ia sempat bertanya tentang perasaanku padanya sebab terakhir ia bertemu denganku di Aldero Talk Show, Zack kecewa karena aku memberi perhatian berlebih-lebih kepada Marthin.

Pada intinya, Zack cemburu. Lalu aku memakluminya seperti orang bodoh yang memaklumi hal bodoh. Beberapa jam kemudian, pada malam-malam yang sunyi dan tak ada seorang pun yang mengawasiku, aku mengalami amnesia lagi. Gawatnya, aku terbangun paginya dalam keadaan bertelanjangdada. Celana jeansku tidak terlepas dari tungkai, masih menempel. Siangnya, kau bertemu dengan eyang Suma dan dia mengajakku mengobrol sebentar. Dari situ, aku tahu kalau ternyata Zack lah yang mengantarku pulang. Aku pulang tengah malam dalam keadaan mabuk,Pemuda itu juga mabuk. Aku—maksudku, Melani—memberi harapan lagi pada Zack. Menyesatkanku, menidurkanku. Jadi itukah sebabnya aku terbangun bertelanjang dada? Beruntung aku sedang datang bulan sehingga tak terjadi hal-hal yang diinginkan, meski aku sendiri tak tahu sudah sejauh mana Zack menggerayangiku.

Apa yang kualami malam itu tak mungkin kuceritakan pada ibu. Selain malu, aku juga tak ingin Zack tahu banyak tentangku. Bisa saja ibu memberitahunya seperti ia memberitahu David demi membuatku menjauh. Bisa-bisa Melani marah, lalu ibu menjadi korban pelampiasannya lagi. Aku tidak akan bisa membayangkan hal buruk semacam itu.

Siang ini, aku meminta Rani datang untuk membereskan segala perlengkapanku. David bilang, untuk sebentar saja, aku harus datang untuk syuting iklan cokelat wafer brand ternama. Ia sudah menandatangani kontrak itu sebulan yang lalu, mau tak mau aku harus datang atau konsekuensinya kami akan dikenakan denda berlipat-lipat. David berjanji untuk mengawasiku di lokasi. Aku percaya, tetapi aku terkejut bahwa yang datang menjemputku ternyata Marthin.

Pemuda itu sudah lama sekali rasanya aku tidak bertemu dengannya. Ia masuk ke dalam apartemen dan menyapaku seperti biasa, dengan kebaikan dibalik keramahan dan senyum manis. Aku memperhatikan lengan kirinya yang kata David terluka akibat ulah Melani, sebuah plaster cepet menutupi lukanya. Namun ia tahu aku merasa bersalah atas itu.

"Ibumu sudah tahu mengenai ini. Beliau meneleponku untuk meminta maaf," ujarnya memberitahu. Ia berdiri di dekat jendela, cahaya matahari pukul sebelas membuat wajahnya tersorot cerah dan—aku bersyukur ia terlihat baik-baik saja, tidak seperti yang kuperkirakan kalau ia bakal marah atau membenciku.

"Kenapa kamu tidak memberitahuku?" tanyaku.

"Aku dan Fatimah sudah berjanji untuk merahasiakannya."

Dahiku mengernyit. "Fatimah? Siapa Fatimah?"

"Kepribadianmu yang lain. Fatimah, gadis berhijab berusia tujuh belas tahun yang sangat pemalu dan senang mendengar ceramah Aa Gym."

"A ... apa?" Aku tidak tahu, belum tahu. ibu tidak pernah menceritakannya padaku atau mungkin identitas yang bernama Fatimah ini tidak pernah menunjukkan diri di depan ibu. Itukah salah satu alasan aku sering tersadar dalam keadaan kerudung yang menutupi kepalaku? "Fatimah? Bagaimana bisa kamu bertemu dengannya?"

"Awalnya aku tidak percaya. Tapi malam itu, ketika Melani melukaiku dan hampir membuatku pingsan karena kehabisan darah, tiba-tiba saja sikapnya berubah jadi sangat baik, ia memanggil orang-orang untuk menolongku. Fatimah bahkan menangis melihatku kesakitan." Seperti yang sudah menjadi kebiasaan, aku mengigiti kuku ibu jariku dengan satu tangan yang terlipat di depan dada. Mendengarkan cerita Marthin. "Kamu tidak usah takut, aku tahu Fatimah orang baik, aku bilang padanya kalau Vanny beruntung memiliki Fatimah. Dia sangat baik dan sangat jauh berbeda dengan sifat Melani yang kejam. Ah, aku jadi ingin berterima kasih padanya."

"Jangan katakan itu, jangan sekali-sekali memanggil salah satu dari mereka."

"Apa mereka bisa datang hanya dengan menyebut namanya?"

"Mungkin saja. Tapi aku akan mengkonsultasikannya jika sudah bertemu dengan dr. Jihan. Dia berjanji untuk menemuiku besok."

"Ah ...." Marthin menganggut. "Akhirnya kamu menuruti saran ibumu."

Berkat Marthin aku tahu satu lagi identitas yang lain. Dari depan panel jendela yang menyuguhkan bentangan tatanan bangunan megah, aku dan Marthin berdiri berseberangan dengan penglihatan yang saling menerawang. Bisa dikatakan aku ngeri pada diriku sendiri, sebegitu cepat para identitas itu berkembang bagai amoeba yang membelah diri. Menempati titik-titik kesadaran pada masing-masing karakter.

Untuk pertama kalinya dalam kasusku, aku membutuhkan dr. Jihan lebih cepat.

"Semua perlengkapan sudah beres di mobil, Mbak." Rani tiba-tiba memberitahu dengan suara medok Jawanya yang khas.

"Oke, kita berangkat sekarang," ajak Marthin.

Copyright by I. Majid
Medan, 18 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro