Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Pergi

Yippie challenge yang kemarin terpenuhi! Sekarang challengenya 350 comment ya!! Cemungudh wkwk

Selamat membaca^^

***

Desahan napas terdengar oleh Latisha. Dia mengalihkan tatapannya dari keramaian kafe sore ini. Tampak seorang gadis berambut hitam bergelombang yang sengaja dikucir. Wajahnya yang ayu memancarkan kepenatan yang mengusik dirinya. Bibir yang dipoleskan lipstick berwarna serupa dengan bibirnya tidak ada hentinya mendesah berat.

"Lo kenapa?" Latisha angkat suara saat Rere, sahabatnya, mendesah kembali.

"Capek. Dari tadi nggak ada hentinya pelanggan dateng." Gerutuan gadis bertubuh ramping itu berhasil membuat Latisha terkekeh geli. Dia menepuk-nepuk iba punggung Rere dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya.

"Sabar, sabar. Mau gue aja yang gantiin?"

"Beneran?" Rere berkata dengan semangat. Iris mata hitam pekatnya berbinar saat mendengar tawaran Latisha yang bak malaikat penyelamat dirinya.

"Iya, Re." Rere memeluk erat Latisha. Dia berloncat-loncat bahagia karena dapat beristirahat. Gadis yang kini sedang tertawa lepas itu seakan mengerti perasaannya.

"Makasih banget, Tish! Lo emang pengertian." Rere berkali-kali berterima kasih kepada Latisha. Gadis itu seakan mendapatkan es krim di tengah panasnya gurun pasir.

Tawa Latisha berhenti ketika mendengar suara lonceng yang berdenting. Senyum yang sebelumnya terbit seketika terbenam kembali. Keraguan menghantui dirinya ketika melihat pelanggan yang kini telah duduk di tengah-tengah ruangan.

Latisha enggan untuk menghampiri. Namun, ketika mengingat wajah Rere yang bersorak senang, gadis setinggi 165 sentimeter itu melangkah bersama kaki jenjangnya.

"Selamat datang di La' Postuir, ada yang bisa saya bantu?"

Pelanggan yang sedang berbincang itu menoleh ke sumber suara. Tersirat ekspresi terkejut dari wajah pelanggannya. Namun, dengan cepat dia menyembunyikannya seolah mereka tak saling kenal.

Latisha melayani dengan ramah seperti halnya dia melayani pelanggannya yang lain. Setelah menulis pesanan di catatan kecil, dia menunduk sopan untuk kembali bekerja.

Gadis itu menahan supaya tangisnya tidak tumpah saat berjalan menjauh. Hatinya tergores ketika hanya bisa melihat sosok itu dari kejauhan. Dia memang tersenyum, tetapi hatinya menangis tersedu-sedu.

***

Latisha berdiri di depan pintu rumahnya. Gadis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 20.30. Latisha mendesah berat. Dia meraih kenop pintu dan membukanya.

Suara gelak tawa terdengar oleh Latisha yang baru menginjakkan kakinya di ruang tamu. Rasa sesak mengisi kekosongan rongga dadanya. Latisha sekuat tenaga tampak biasa saja mendengar tawa yang berasal dari ruang keluarga.

Pandangan menyakitkan terlihat oleh Latisha ketika dia berdiri di ruang keluarga. Vero, abangnya, menggelitiki Nadine, adiknya. Latisha tersenyum miris. Ada kerinduan di dirinya melihat Vero dan Nadine yang tampak akrab. Gadis bertubuh ramping itu hendak menyapa keluarganya yang masih belum mengetahui kehadirannya. Namun, otaknya menolak keras. Dia memutuskan untuk beristirahat karena rasa pegal telah menggerogoti dirinya. Ketika hendak melangkah, suara bass menginterupsi langkahnya. 

"Ngapain kamu pulang?" Suara bernada dingin itu membuat Latisha menunduk. Bryan melepaskan tangannya yang merangkul erat istrinya. Tawa yang sebelumnya mewarnai seketika hening menyelimuti. Bryan berjalan mendekat ke Latisha yang berdiri di dekat anak tangga.

Plakk.

Satu tamparan mendarat sempurna ke pipi tirus Latisha. Rona merah akibat tamparan itu menyebabkan pipinya memanas. Latisha tidak melawan. Gadis itu menunduk sambil memegang bekas tamparan Bryan.

"Untuk apa kamu pulang?" Suara Bryan naik satu oktaf. Napasnya memburu akibat emosi yang meledak kepada Latisha. "Kamu itu udah buat malu keluarga!"

Lagi, Bryan menampar keras pipi Latisha. Air mata yang tak diinginkan mengalir ke pipi Latisha. Gadis itu terisak merasakan perih di pipinya.

"Jangan nangis!" bentak Bryan. "Kamu tau apa yang kamu lakukan? Kamu udah ngerusak nama baik keluarga!"

"Untuk apa kamu jadi pelayan di restoran itu? Apa uang dari saya tidak cukup untuk kebutuhan kamu?" Latisha tidak menjawab. Dia takut Bryan akan semakin marah jika sepatah kata keluar dari bibirnya.

"Jawab saya!" Bryan menampar kembali pipi Latisha sehingga menciptakan luka di tepi bibir gadis itu.

"Cu-cukup, Pa," lirih Latisha tanpa menatap mata Bryan. Bahunya bergetar karena menangis.

"Berapa kali saya bilang jangan panggil saya dengan sebutan itu!" Latisha jatuh tersungkur akibat hantaman keras dari Bryan. Dia tidak sedikit pun berontak. Gadis pemilik iris mata cokelat gelap itu menerima segala perlakuan dari keluarganya dengan lapang dada. Darah segar mengalir dari luka di tepi bibirnya.

Bryan membalikkan tubuhnya, enggan melihat gadis yang kini meringkuk seperti janin di atas lantai. Dadanya bergemuruh karena rasa benci telah menyelimuti dirinya.

"Mulai saat ini saya tidak akan lagi memberikan uang sama kamu. Urus sendiri diri kamu. Saya minta kamu pergi dari rumah ini." Latisha mendongak. Dia menatap punggung Bryan dari bawah.

"Ta-tapi--"

"Pergi sebelum saya mengusir kamu secara paksa." Bryan berlalu meninggalkan Latisha. Dia bergabung dengan istri dan dua anaknya yang menjadikan kejadian itu sebagai tontonan. Tidak ada rasa iba di hati mereka untuk membantu Latisha, seolah gadis cantik yang kini hendak bangkit tidak pantas mendapatkan iba dari mereka.

Latisha menatap sedih keluarganya yang mulai berbagi canda dan tawa. Dia melangkah ke kamarnya, hendak merapikan barang-barangnya. Ditatapnya kamarnya yang tidak terlalu besar ini. Sudah terlalu banyak kenangan yang terlukis di kamarnya. Bahkan, kamar ini juga telah menjadi saksi bisu kejadian dua belas tahun yang lalu.

Dengan langkah yang berat, Latisha meraih koper hitam yang berada di bawah tempat tidur. Tidak lupa sebelumnya dia memesan taksi online di aplikasi yang berada di ponselnya.
Latisha memasukkan beberapa potong pakaiannya. Tidak lupa ia membawa buku pelajaran serta seragam. Buku diary yang menjadi tempatnya berbagi keluh kesah dia simpan di tas ranselnya. Latisha menatap untuk terakhir kalinya tempatnya untuk beristirahat selama tujuh belas tahun ini.Dengan berat hati, dia melangkah keluar meninggalkan tempat terbaiknya.

Latisha tiba di lantai dasar. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihan. Tatapannya terpaku kepada empat orang yang tidak mengacuhkan dirinya. Latisha tersenyum miris. Di saat-saat terakhir dia ingin pergi, tidak ada satu pun keluarganya yang menahan atau sekadar mengucapkan “hati-hati”. Mereka tampak biasa saja seolah Latisha tidak berharga.

"Ma ... Pa ... maafin Ica, ya, kalau selama ini nyusahin kalian." Dengan air mata yang berlinang, Latisha menangis di hadapan keluarganya. "Maaf kalau selama ini Papa sama Mama terganggu dengan kehadiran Ica. Untuk Bang Vero dan Nadine. Maafin Ica juga, ya."

"Mungkin ini terakhir kalinya Ica nyusahin kalian semua. Tapi, satu hal yang perlu kalian tahu. Sampai kapan pun, Ica akan tetap sayang sama kalian. Ica pamit. Assalamualaikum." Latisha menjauh dari ruang keluarga itu. Biarlah mereka menganggap perkataannya angin lalu yang penting gadis itu telah mengutarakan isi hatinya.

Latisha berdiri depan pagar rumahnya. Rasanya sulit meninggalkan rumah di mana terlukis kenangan-kenangan masa lalunya.

"Non!" Mbok Yati berlari ke luar rumah. Dia memeluk erat Latisha yang terdiam. Tangisnya pecah hingga membasahi bahu Latisha. Didekapnya tubuh gadis di hadapannya, seolah tidak ingin kehilangan putrinya.

"Non jangan tinggalin, Mbok," pinta Mbok Yati. Latisha tersenyum sedih. Dia menghapus jejak air matanya kemudian mengurai pelukan wanita paruh baya yang telah dia anggap menjadi ibu kandungnya.

"Latisha harus pergi, Mbok."

"Tapi mbok ngga mau sendirian di rumah." Latisha tersenyum kecil. Dia mengecup singkat kening Mbok Yati.

"Latisha sayang banget sama Mbok Yati. Kalau ngga ada Mbok Yati yang selama ini nemenin Latisha mungkin Latisha nggak tahu nasib Latisha. Makasih banget, Mbok. Ini bukan pertemuan terakhir kita, Mbok. Mbok bisa kapan pun dateng ke tempat Latisha." Mbok Yati tak lagi bersuara. Dia menatap sedih majikannya itu.

"Jaga diri baik-baik ya, Non. Kalau ada apa-apa langsung hubungin Mbok." Latisha tersenyum tipis. Dia mengangguk kecil kemudian berjalan ke pintu taksi yang terbuka. Gadis berparas ayu itu melihat Mbok Yati yang masih setia berdiri di depan pagar. Latisha tersenyum lalu memutuskan untuk masuk ke taksi.

Tangis Latisha meluap kembali ketika taksi berjalan. Hatinya hancur berkeping-keping meninggalkan rumahnya--hal yang tak pernah sedikit pun terbayangkan olehnya.

***

Gimana pendapat kalian tentang chapter ini? Beda banget kan sama yang sebelumnya? Wkwkwk.

Lanjut atau engga?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro