Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Suka

Kali ini ngga ada chalellenge ya, tapi tetep pada spam oke? wkwkwk.

btw selamat membaca semoga kalian suka^^

***

Jingga mewarnai langit sore. Walaupun hari semakin gelap, hal itu tidak membuat murid-murid Oliver International Highschool lekas pulang. Mereka menetap layaknya sekolah bertaraf internasional ini tempat mereka untuk berteduh. Beberapa murid baru saja selesai mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Adapula sekelompok gadis yang memilih menetap untuk menyaksikan proses latihan tim basket sekolah. Kapan lagi mereka dapat melihat pangeran-pangeran sekolah telanjang dada untuk berganti pakaian.

Begitupula dengan Latisha dan Ara yang baru saja selesai mengerjakan tugas kelompok dari Bu Endang di perpustakaan. Mereka berjalan beriringan ke gerbang sekolah. Latisha melirik lapangan sekolah yang sudah tidak ada kehadiran Asyra. Hanya terlihat bayangan Farrel yang sedang meminum air mineral dingin sambil ... menatapnya?

"Gue duluan, ya, Tish! Dahh, hati-hati!" Latisha melambaikan tangannya ke Ara yang sudah naik mobil hitam. Dia berjalan di bawah langit jingga. Sesekali dia bersenandung kecil untuk mengisi kesunyian. Jalan yang biasa gadis itu lalui untuk mencari angkutan umum ditutup karena ada hajatan warga setempat.

Latisha terpaksa memilih jalan tikus yang jarang dilalui orang. Dia menelan kembali ludahnya ketika melihat jalan sempit serta gelap itu, padahal matahari masih menerangi. Latisha berjalan kecil. Dia seolah berada di film-film horror ketika melewati gang yang diisi dengan bau sampah. Tubuh Latisha menegang saat melihat ada tiga orang preman yang berjalan menghampirinya.

Gadis itu hendak berbalik, tetapi dua pria bertubuh besar terlihat di ujung lorong yang lain. Kaki Latisha bergetar hebat. Degup jantungnya menjadi cepat.

Seseorang membekap mulutnya dari belakang. Empat orang lainnya mulai menggerayangi lekuk tubuhnya. Latisha menangis karena tidak dapat melakukan apa-apa. Berontak pun hanya akan membuat mereka mempererat cengkeramannya.

Ya, Allah. Tolong, batinnya meminta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa. Tangan-tangan nakal hendak membuka kancing seragamnya. Latisha menangis ketakutan. Dia tidak dapat membayangkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bugh.

Pukulan keras dilayangkan kepada pria bertubuh kekar yang sedang membuka kancing seragamnya. Pria itu jatuh tersungkur ke tanah. Dari ujung bibirnya, darah mengalir.

Latisha terbelalak kaget. Dalam hatinya, dia bersyukur ada yang menolongnya.

Tak terima temannya dihajar, tiga orang lainnya menghajar sosok yang membantunya secara bertubi-tubi. Namun, pukulan demi pukulan dapat dihindar dengan mudah seolah sosok itu memiliki kekuatan membaca pikiran. Pria yang masih membekap Latisha melepaskan gadis itu ketika keempat temannnya tergeletak tak berdaya.

Spontan, Latisha berlari ke sebelah tumpukan kardus untuk bersembunyi. Dia berjongkok di sampingnya. Air mata tidak ada hentinya keluar dari pelupuk mata. Latisha memejamkan matanya seolah tidak ingin melihat perkelahian yang terjadi di hadapannya.

Derap langkah kaki mendekat, berharap sosok itulah yang menghampirinya. Sepatu kets hitam terlihat oleh Latisha. Gadis itu mendongak dengan air mata yang setia menghiasi wajahnya. Dia meloncat ke pelukan sosok yang telah menyelamatkannya, tidak peduli dengan rasa malu yang akan hadir setelah ia tersadar.

"Gue takut, Rel."

Tubuh Farrel menegang seraya Latisha memeluk dirinya. Dia dapat merasakan ketakutan yang dialami Latisha. Tubuh gadis itu bergetar karena rasa takut mendominasi dirinya. Tangisan yang keluar dari bibir gadis di pelukannya terasa memilukan.

"Kita pergi dulu," ajak Farrel sambil menatap Latisha. Latisha melepaskan pelukannya. Dia menghapus jejak air mata di wajahnya kemudian mengikuti langkah Farrel yang berjalan ke motornya.

Langit kian menjadi gelap. Awan Stratocumulus membentang menutupi langit sore. Satu per satu tetes air jatuh dari langit. Kedua remaja itu berteduh di bawah halte tua dengan penerangan yang minim.

Bersama dengan pengendara motor lainnya, mereka menanti hujan yang datang reda. Desiran angin menerpa tubuh Latisha yang hanya berbalut seragam tipis. Gadis itu mengigil kedinginan, bibirnya pun ikut bergetar.

Farrel melirik Latisha melalui ekor matanya. Seakan ada sesuatu yang menggerakkan hatinya, dia melepas jaket kulit hitam miliknya. Tanpa mengalihkan tatapannya dari air mata langit, Farrel memberikan jaketnya kepada gadis yang saat ini memandang bingung dirinya.

"Ah, nggak usah, makasih," tolak Latisha secara halus. Mau tidak mau dia menatap datar manik mata Latisha.

Latisha tak mengacuhkan Farrel yang menatapnya. Gadis itu menggosok-gosok bahunya dengan kedua telapak tangannya.
Kesal. Farrel memakaikan jaketnya ke tubuh Latisha.

Latisha terkejut ketika tersadar dengan tindakan Farrel. Gadis itu spontan menatap Farrel yang menatap lurus jalan.

Keheningan yang menyelimuti terinterupsi dengan tawa riang dari dua gadis yang baru berteduh. Latisha mengamati kedua gadis itu. Pakaian mereka kumuh tak layak digunakan, rambut yang digerai basah terkena air hujan, wajah letih tertutup dengan tawa di bibir mereka.

Kedua gadis itu duduk di bangku besi yang menjalar dinginnya hujan. Gadis yang lebih tinggi mengeluarkan lembaran kertas yang bernilai. Lembar demi lembar dia hitung. Sang adik yang duduk di sampingnya memeluk erat tumpukan tisu wajah untuk dijual.

Gadis itu mendesah berat. Dia menatap wajah adiknya. Sambil tersenyum pasrah, dia berkata, "Kurang."

Latisha yang sejak tadi mengamati terdiam cukup lama. Hatinya bergetar ketika gadis itu berkata dengan nada sarat atas keputusasaan.

"Nanti Mama marah," lirih sang adik. Sang kakak tak dapat berkata-kata. Dia menunduk sedih karena merasa gagal membawa uang untuk Mamanya.

Latisha melangkah ke dua saudara yang saat ini bersedih. Farrel menatap bingung gadis yang menjauh darinya.

"Kakak boleh beli tisunya?"

"Boleh, Kak." Senyum Latisha merekah ketika melihat binaran di mata gadis yang tidak seharusnya bekerja di usia dini.

"Satunya berapa?"

"2000, Kak."

"Kalau gitu kakak beli semuanya, ya." Farrel terlonjak kaget saat mendengar Latisha membeli seluruh dagangan gadis berbaju kumuh itu.

"Serius, Kak?" Sang kakak menatap Latisha tak percaya. Kebahagiaan tampak jelas di wajah letihnya. Latisha mengangguk.

Dengan semangat, dia bersama adiknya memasukkan semua sisa dagangannya ke dalam plastik hitam. Gadis itu menyerahkannya kepada Latisha yang setia menunggu.

"Semuanya ... tiga puluh ribu kak," ucapnya setelah menghitung total belanjaan Latisha dengan jari-jari mungilnya.

Latisha merogoh tasnya untuk mengambil dompet putih kesayangannya. Dia mengeluarkan secarik kertas bernilai seratus ribu. Kemudian, menyerahkannya kepada gadis mungil di hadapannya.

"Kembaliannya buat kamu aja. Bisa buat beli susu sama makan." Sang kakak menatap kosong Latisha. Dia mengangguk penuh semangat. Berkali-kali kedua gadis mungil itu berterima kasih kepada Latisha.

Latisha tersenyum kecil. Dia menjauh dari kedua saudara itu dan kembali kepada Farrel yang tak sedikit pun mengalihkan matanya dari gadis itu.

"Sekarang Mama nggak akan marahin kita!" Samar-samar Latisha dapat mendengar kelegaan dari kakak beradik itu. Dia tidak dapat menyembunyikan senyumnya karena rasa haru yang membuncah di dadanya.

"Nih, mau nggak?" Latisha menyerahkan satu tisu kepada Farrel. Namun, cowok itu hanya menatap sekilas tisu yang tidak sedikit pun menarik perhatiannya.

"Kenapa?" tanyanya singkat yang membuat Latisha mengerutkan keningnya.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa lo beli itu semua?" tanya Farrel mengulangi. Latisha tersenyum simpul. Dia menatap satu kantung plastik besar yang berisi tisu-tisu wajah.

"Buat bantu mereka." Jawaban Latisha menohok hati Farrel. Ada getaran di hatinya yang berhasil disentuh Latisha dengan rentetan kata tak terduga.

"Lo bisa ngasih uang tanpa bawa dagangannya," ucap Farrel yang hendak mengetahui lebih dalam jalan pikiran gadis cantik di hadapannya.

"Mereka jualan, bukan ngemis. Nggh, kalau gue sih lebih suka beli dagangan mereka walaupun gue nggak butuh, tapi itu jauh lebih berharga dibanding orang yang ngemis. Setidaknya anak seusia mereka udah usaha tanpa meminta belas kasihan orang yang lewat." Latisha terkejut sedetik kemudian ketika dia telah banyak berbicara. "Ah, maaf." Latisha memalingkan wajahnya dari Farrel. Dia mengutuk bibirnya karena telah berbicara terlalu jauh.

Argh, sial! Mengapa hujan tak kunjung juga reda? Apakah alam ingin menghukumnya dengan bersama cowok dingin di sampingnya yang tak ada niatan mengalihkan pandangan dari dirinya?

"Gue suka." Spontan Latisha menoleh ke arah sumber suara. Suara dingin bagaikan es di kutub utara itu membuat pikirannya berlayar.

"Suka apa?" Hanya bahu yang terangkat yang dijawab Farrel. Lagi-lagi cowok di sampingnya membuat Latisha kelimpungan mengetahui isi hatinya.

***

Kali ini syfrat panjangin partnya soalnya syfrat mau izin ngga update dulu sampai... entah wkwk. ngga lama lah pokoknya, syfrat mau nyelesaiin buku syfrat (buku pelajaran:( bukan nopel) wakakakak

oh iya btw syfrat habis bermasalah sama oa-_- ada oa yg ngatain syfrat goblok sama tolol, dan ternyata oa itu penipu!! kalau kalian mau tau oa apa, klian bisa add oa syfrat linknya ada di bio, terus ada deh di timeline.

argh yg jelas syfrat kezal. tapi tak apa wkwk.

btw lebih suka farrel apa asyra? syfrat sih suka 22nya wkakakak.

lanjut? sabar ya muehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro