1 4 - Unknown
ya ampun, liat sg rintiksedu soal wattpad ternyata bener banget. kalo awal niat nulis bts ini tuh nuangin ide aja, eh lama - lama insecure liat viewer cerita lain. harusnya kan ga gitu :"(
tapi....
AKU JADI SEMANGAT NULIS LAGI GARA - GARA COVER BUATAN KAK ExactIm (maap ngetag ngetag lho kak esa hehe)
huhuu, dan aku udah janji sama diriku sendiri buat nyelesain cerita ini dan pasrah soal viewer dll itu.
cuma berharap kisah mereka ga gantung lagi :") AQ CUMA INGIN MEREKA BAHAGIA ASEQ :)
sekian dan terimakasih :)) bisa skip author note ini jika berbau alay ^^
🎼
[Diana Zarama]
"Apa gapapa kita tinggal Vyta, Sat?" tanyaku perlahan. Satria pun hanya mengangguk.
Aku kali ini pasrah. Entah kenapa, firasatku ada yang salah. Aku dan Satria sibuk menelusuri jalanan semak - semak, katanya kalo lewat jalan sini ga akan ketahuan.
HAH?
Bukannya tadi udah ketahuan? Terus panglima - panglima tadi pada ke mana? Kan ga mungkin Vyta bisa melawan semua panglima itu.
Aku diam saja, memendam kegelisahanku sendiri. Demi keluargaku! Bagaimana keadaan Papa dan Mama disana? Apakah mereka akan baik - baik saja?
Dan bagaimana dengan Zania? Apa dia masih bersikap jahat? Apakah tidak ada sedikit saja keibaan dia?
Tanpa sadar, langkahku dengan Satria berhenti di sebuah pohon besar dengan daun berwarna hitam. Hng? Kenapa harus hitam sih? Apa sudah memasuki dunia hitam itu?
"Nah, kita udah sampai di pohon besar," ujar Satria sumringah.
Aku menoleh, "Pohon ini? Yakin? Daunnya item gini?" Aku semakin tak yakin jika begini caranya. Tapi bukankah semuanya memang ilusi dari awal?
Mesin ketik hologram.
Buku Zarama.
17 Lorong dengan satu lorong berwarna hitam.
Dunia bawah tanah.
Satria.
Terowongan bawah irigasi.
Jembatan maut.
Panglima Kev.
Dan sekarang? Pohon besar dengan daun hitam.
Kenapa harus serumit ini? Aku bahkan tak tahu sudah berapa lama aku disini. Mungkin setahun?
(ya iyalah gw hiatus)
Satria mengangguki pertanyaanku. Ia menatap daun - daun hitam, menyentuhnya, dan mencabut satu helai daun.
"Buat apa dicabut?" tanyaku polos padanya.
Satria mengangkat tangannya yang memegang daun hitam itu kemudian ia menunjukkannya tepat di depan mataku, "Kalau buat baik daun ini warnanya bakalan jadi emas dan kamu bisa balikin keadaan."
"Bukannya keadaan ga bisa dibalikin semudah itu? Jangan aneh deh, Sat," aku menolak pendapatnya dengan mudah. Ya, ini wujud asli Diana. Perempuan jutek dengan ucapannya yang menyindir.
"Ini dunia fantasi, Na. Semua yang ga bisa bakalan jadi bisa. Tapi sebenarnya ini bisa jadi obat jika masih berwarna emas. Ya karena aku ga yakin, keluargamu bakalan baik - baik aja. Eh? Maksudku keadaan ortumu kita kan gatau," ujar Satria panjang lebar. Aku mengangguki perkataannya.
Aku memetik satu daun warna hitam dan ya, benar, daunnya berubah menjadi warna emas. Aku menoleh ke arah Satria lagi, "Terus kita lanjut ke mana ini?"
Satria menunjuk ke tangga yang menempel di batang pohon lalu ke arah jembatan panjang yang ada di pohon. Ia mulai memanjat pohon dengan tinggi sepuluh meter itu.
Aku masih terdiam di bawah pohon. Kemudian berpikir sejenak. Jika di tanganku daun ini berwarna emas, kenapa di tangan Satria tetap berwarna hitam?
"Diana. Ayo!" ujar Satria.
"A-ah? Ya," aku mulai menyusul Satria yang sudah berjarak dua meter di atasku.
Setelah tangga itu, bagian pohon terdapat alas. Aku melirik ke sekitar terdapat satu teropong dengan ular yang lewat di jendela.
"Sat? Ini ular?" tanyaku pelan dan menarik ujung bajunya.
"Iya. Jangan gerak, Na."
Aku sudah tak bergerak dari tadi memang. Tiba - tiba tanganku bercahaya dan pedang muncul seakan menyuruhku menebas ular itu.
Blass!
Ular itu mati dalam satu kali tebas. Aku mengelap keringat yang menetes di dahiku.
"Diana? That's you?" tanya Satria heran.
Aku memutar bola mata, "Ya, aku! Kenapa? Jangan tanya kenapa aku bisa ada kekuatan itu. Inget sendiri perkataanmu, yang ga masuk akal di dunia nyata bakalan nyata disini."
"Oke. Oke. Next kita nglewatin jembatan dengan pos pemberhentian pohon oke? Jangan liat bawah. Bawah itu jurang," ungkap Satria.
"Sama kayak sebelum gerbang hitam itu? Terus habis ini gerbang asli kan?" tanyaku beruntun. Satria mengangguki percakapanku.
"Ayo!" Satria melewati jembatan dengan hati - hati. Untungnya, jembatan kali ini kuat. Tidak seperti sebelumnya yang gampang goyang.
Aku pun mengikuti langkah Satria. Bagaimana ga boleh liat bawah kalau pijakannya saja di bawah? Aku malah nyengir.
🎼
[Zania Zarama]
Aku melangkah ke arah balkon atas. Entah kenapa tempat itu jadi favoritku beberapa waktu ini.
Kenapa aku diberi waktu untuk cerita dari sudut pandangku sih?
Tadi aku sempat bertemu Papa dan Mama. Ya setidaknya tidak membiarkan mereka mati tanpa sebab.
Aku pernah datang ke tempat ini. Iya. Bahkan aku tahu nama petualang yang menemani Diana.
Dia Vyta Tiwida. Dia petualang? Bullshit. Dia memiliki misi yang sama denganku.
Balas dendam.
Mari kita coba sampai kapan sandiwara ini akan bertahan?
🎼
author note : hayo hekyak haii <3
kalimat terakhir udah clue btw. hehe. aku ga mau lama - lama sama cerita ini. sumpah, mikirnya berat banget. wkwkwk. padahal cuma cerita fiksi iya kan?
ps lagi : itu author note yang atas sendiri dibuat beberapa hari yang lalu, jadi ya begitu.
kota kenangan, 22 Mei 2020
timutii, calon pacar abun 😣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro