1 : city of unknown
Pemukiman yang padat, satu kalimat singkat yang dapat mendeskripsikan tempat ini. Kios-kios dagang yang saling berhimpit, tempat tinggal bertingkat yang tampak usang, dan bagaimana hiruk-pikuk kegiatan orang-orangnya. Sejauh mata memandang, baik itu pria, wanita, anak-anak, bahkan sampai yang sulit diidentifikasi jenisnya, semuanya sibuk melakukan aktivitas masing-masing.
Ada yang sedang menjajakan dagangannya, sekedar berjalan tanpa tujuan atau yang memiliki urusan, bahkan yang bertengger di atas tiang tinggi, kegiatan mereka berbeda-beda. Namun, ada satu hal yang menciptakan suatu kesamaan.
Mereka semua memakai topeng.
Modelnya berbeda memang, tetapi secara keseluruhan terlihat senada, gradasi dalam satu rona yang sama.
Tak terkecuali bocah laki-laki itu. Dia di sana, berjalan biasa di antara kerumunan sosok aneh lainnya. Kerap kali topeng putih miliknya tersenggol tak sengaja. Maka dari itu, salah satu tangannya memegang benda pipih itu agar tetap pada tempatnya, lengan baju putihnya menyingsing.
"Haah, kenapa kau tidak mati saja, Keparat?"
Di tengah kerumunan, seperti suara itu ditujukan khusus untuk telinga si bocah, membuatnya menoleh ke arah sumbernya. Sebuah gang kecil menjadi fokus pandangan, rasa penasarannya timbul, dan bocah itu berjalan ke sana.
Bersusah payah lolos dari kerumunan utama, untung saja gang ini tidak terlalu ramai, lagi pula, ujung jalannya buntu. Irisnya menatap dari balik topeng, sosok tak jelas lainnya, ada dua, yang satu terlihat besar dan mengintimidasi, lalu yang terduduk di hadapannya itu seperti anak kecil yang ... ketakutan, tidak bebas. Kehadiran si bocah sempat tak terasa beberapa saat sampai kedua sosok itu menoleh ke arahnya.
Ah, apa yang kulakukan di sini?!
Ia baru menyadari tindakan konyolnya. Sebelum waktu berjalan terlalu jauh, si bocah sempat memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua. Tetapi niatnya seketika goyah, matanya menangkap iris ungu yang terlihat dari balik topeng anak kecil yang terduduk. Hanya perasaannya saja atau lirikan itu memang menyiratkan sesuatu seperti, "Jangan pergi!".
"Apa yang kau lakukan di sini, huh?" yang terlihat mengintimidasi akhirnya membuka suara. Seluruh wajahnya tertutup karung, hanya menyisakan bagian mulutnya.
"Err, tinggalkan anak kecil itu," ucap si bocah. Sesaat setelahnya dia menyumpahi dirinya sendiri atas keberanian---entahlah, lebih seperti kecerobohan yang tak sengaja keluar dari mulutnya.
"Anak kecil? Oi, kutu ini bahkan terlihat setara denganmu."
Seperti fokus si kepala karung berpindah, anak kecil tadi mendapatkan kesempatan untuk kabur. Ia dengan cepat berlari melewati mereka, melengos pergi keluar gang tanpa sepatah kata apapun.
"H-HEI! Ah, sial! Lihat apa yang kau lakukan. Ugh, enyahlah, lain kali urusi urusanmu sendiri." Lalu pertikaian diberhentikan satu pihak. Sebenarnya si bocah juga tidak mau melanjutkannya, memulainya tadi pun menyesal setengah mati.
Si kepala karung juga melengos pergi, bocah itu menatap punggungnya sampai siluet kecil berubah buram, dan menghilang di tengah kerumunan jalan utama. Dia sedikit lega.
...
Jalur yang dilalui sekarang sedikit lebih baik. Tetap padat, tetapi setidaknya tidak sampai harus memegangi topeng sepanjang jalan. Matahari akan tenggelam, rona yang dihasilkannya lumayan indah.
Sepatu hitam menendang kerikil-kerikil batu, tatapan matanya terlihat datar kepada daerah pinggiran kota, tempat sebuah sungai memisahkan wilayah ini dengan yang di seberangnya. Sedang dalam pikirannya menikmati senja, di satu-satunya pohon pinggiran sungai, irisnya menangkap sebuah siluet. Hanya dari baju panjang kumuh dan topeng polos putih, si bocah dapat memastikan kalau itu adalah orang yang ditolongnya tadi.
Jadi, dia menghampirinya.
"Hei—"
Belum sempat mendaratkan permukaan tangannya di pundak, seperti mempunyai insting cepat, orang ini berbalik, menghadap si bocah. Iris ungu kembali dilihatnya.
"Kau seharusnya berterima kasih tentang tadi." Setelahnya, alis si bocah mengerut saat orang—yang ternyata sebaya jika melihat tingginya—mundur beberapa langkah. Yang ia harapkan adalah sebuah apresiasi terucap, kenapa malah menjauh?
Ia menutup dan membuka matanya, menghela napas sekali, berusaha berinteraksi dengan orang yang ada di depannya.
"Begini, setidaknya—o-oi! Kembali ke sini!" Orang tadi sekali lagi pergi kabur, kali ini menghindari si bocah. Awalnya ia memutuskan untuk mengejar, tetapi, apa manfaatnya? Lagi pula langit malam akan segera muncul, harus segera kembali ke rumah, jangan sampai membuat ibu cemas. Jadi dia membiarkan kepergian orang itu, dan berjalan pulang.
...
"Selamat datang, Yev."
Sambutan ramah dilontarkan setelah si bocah baru saja melewati pintu masuk. Gedung yang mereka tinggali tidak bagus, tetapi selama ada ibunya, maka semua perasaan bosan atau benci dengan lingkungan ini akan sirna.
Bocah tadi, Yev, hanya berdeham pelan.
Dia langsung menghampiri ruangan tempat ibunya berada, wanita dengan topeng horizontal yang menutup satu matanya itu dipeluknya di pinggang, sementara ia sendiri akan mengelus pucuk kepala Yev. Entah kenapa, itu membuat perasaannya lebih baik. Setelah itu, Yev pergi ke ruangan lain, yang diyakininya sebagai milik pribadi, kamar.
Hanya terdapat matras kecil, meja, dan sebuah kamar mandi di sana. Semuanya tampak kumuh dan sempit, tetapi masih bisa diisi untuk satu orang lagi. Yev sempat merebahkan badannya di atas matras, masih dengan topeng yang terpasang, menatap langit-langit dalam diam. Setelah waktu keheningan itu dirasa cukup, ia beranjak menuju kamar mandi, melepas topengnya.
Byur, byur.
"Haaahhhh ...."
Air terasa segar saat mengalir di wajahnya. Topengnya tadi sudah diletakkan dalam lemari, Yev sekarang di wastafel, bercermin di lemari kaca. Surai putih yang ikut basah terlihat menjuntai menutupi kening. Seperti kesenangan tersendiri melihat pantulannya setelah ditutupi selama seharian oleh topengnya.
Dari jendela kamar, matahari sudah tenggelam, langit terlihat bersih tanpa bintang.
"Yev, turunlah, makan malam sudah siap," ibunya memanggil. Saatnya mengonsumsi sesuatu setelah berjalan-jalan cukup lama. Yev kembali memakai topengnya dan pergi ke luar dari kamar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro