Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9

Akhir pekan seperti hari Sabtu sekarang harusnya menjadi saat yang menyenangkan bagi anak sekolah atau orang kantoran yang sudah menjalani jadwal penuh sepanjang minggu. Tapi nyatanya tidak bagi Hans. Pagi ini dia bangun setelah sekian lama bermalas-malasan, beberapa kali menekan tombol snooze di alarmnya. Kebalikan dari kebanyakan anak sekolah lainnya yang malah akan melakukan itu saat hari sekolah.

Bagi Hans, berada di sekolah jauh lebih menyenangkan daripada di rumah, walau itu berarti akan disibukkan dengan pelajaran, mengerjakan tugas, dan kemungkinan bertemu guru killer. Tapi itu semua membuatnya lebih hidup, tidak harus merasakan sepi dalam arti sebenarnya. Di sekolah memang tidak ada yang terlalu dekat dengannya, tapi setidaknya keramaian di sekitar bisa menemaninya.

Biasanya di akhir pekan seperti ini Hans akan keluar rumah. Tidak jelas pergi ke mana, yang penting tidak menetap di rumahnya. Tapi hari ini suasana hatinya menginginkan hal lain. Dia sendiri belum terlalu jelas apa itu, hingga dia menemukan sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Isinya dari grup yang dibuat khusus untuk penanggung jawab tugas film pendek.

Nanti kita kumpul buat diskusi lanjutan, ya. Di rumah Hans kayak biasa.

Begitu isi dari chat di grup yang diberi nama terlalu serius, kelompok tugas film pendek. Pengirimnya selalu orang yang sama, Rianti. Setelah sekian lama terbentuk, isi chat yang ada di grup itu masih juga tidak berkembang. Hanya pesan-pesan singkat semacam itu, atau peringatan supaya Kristi mengerjakan naskahnya lebih cepat. Tidak ada basa-basi, apalagi gurauan. Intinya, grup itu hanya dibuat untuk formalitas, dan memudahkan Rianti mengirimkan pesan-pesannya.

Walau hanya pesan singkat seperti itu, tapi cukup berhasil membuat Hans senang. Setidaknya, dia tahu apa yang akan dilakukannya hari ini. Juga akan berada di mana dia sepanjang hari nanti. Hal itu dengan mudah membuatnya lupa, kalau hari ini berbeda dari hari biasa di sepanjang minggu. Orangtuanya juga akan berada di rumah, sama seperti dirinya.

Membiarkan teman-temannya bertemu dengan orangtuanya tidak pernah melintas di pikiran Hans. Seceria apa pun dirinya, sebanyak apa pun hal yang bisa diceritakannya pada orang lain, tetap saja dia ingin menyimpan ini sendirian. Bukankah setiap orang pasti memiliki rahasia? Begitu pula dengan Hans, tidak ada bedanya dengan orang lain. Ada area dalam kehidupannya yang tidak bisa dimasuki siapa pun.

Hans tersenyum mengingat hal itu. Senyum singkat seperti itu tentu tidak akan pernah terlihat dari seorang Hans yang terlalu ceria dan berceloteh pada siapa pun di sekolah. Kalau orang lain lihat, pasti akan heran dan merasa ada yang aneh dengan dirinya. Atau ini hanya harapan Hans yang terlalu tinggi, dan aslinya tidak akan ada yang bereaksi karena memang tidak ada yang memperhatikannya sejak dulu. Entahlah. Rasanya itu mungkin saja, tapi memikirkan itu membawa rasa sakit tersendiri.

Menolak berlama-lama dengan rasa sakitnya, Hans memilih mandi dan bersiap-siap. Setelah selesai dan keluar dari kamar mandi, langkahnya terhenti begitu saja ketika melihat sebuah buku dengan sampul tebal berwarna emas yang tergeletak di atas meja kecil. Buku yang waktu itu dia tunjukkan pada teman-teman sekelompok, yang ternyata belum ditaruh kembali ke tempatnya.

Kalau waktu itu dia membuka album itu dengan wajah penuh senyuman dan dengan bangga memamerkan isinya kepada teman-temannya, kali ini tatapannya nanar dan wajahnya terlihat sendu. Dari seluruh isi album itu, ada bagian yang tidak diperlihatkan pada anak-anak itu. Foto-foto jepretannya sendiri yang terletak di lembar-lembar akhir, yang akan membawa luka setiap kali membukanya.

Pada akhirnya Hans membawa album itu menuju rak buku di samping lemari baju. Album itu diletakkan di bagian belakang bawah, sedangkan buku-buku pelajaran dibiarkan mengisi bagian depan. Sengaja, supaya ada alasan baginya untuk tidak terus mengambil dan melihat isi album itu. Tepat setelah album itu menempati posisinya, terdengar suara ribut-ribut dari lantai bawah.

"Masih pagi, di hari libur pula, udah cari gara-gara aja kamu!"

Teriakan seperti itu yang menyambut Hans begitu dirinya tiba di bawah. Asalnya dari ayahnya, dan sudah pasti ditujukan pada ibunya. Yang terlihat di depannya sama sekali bukan pemandangan yang aneh dan bisa memicu pertengkaran. Ibunya berdiri sambil memegang botol berisi jus jeruk, sedangkan ayahnya duduk di kursi depan meja makan sambil membaca koran.

Entah apa yang salah dengan orang dewasa. Tapi yang Hans tahu, mereka bisa bertengkar hanya karena masalah sepele. Bahkan kadang terlalu sepele sampai mengundang kebingungan yang tak berkesudahan. Berapa kali pun menghadapi hal seperti ini, Hans tidak pernah mengerti, apalagi siap mendengar teriakan demi teriakan.

"Jangan maling teriak maling! Siapa juga yang cari gara-gara. Seharusnya kamu introspeksi diri, jangan cuma bisa salahin orang lain!" Ibunya terdengar tidak kalah gahar kali ini.

Dari posisinya, Hans hanya bisa berdiri diam, masih bingung harus melakukan apa. Biasanya dalam keadaan seperti ini, dia akan kembali ke kamar, bersikap seolah tidak mendengar apa pun, juga tidak ada yang terjadi di rumahnya. Tapi lagi-lagi kali ini dia memilih hal yang berbeda dari biasanya. Dengan langkah besar, dia menghampiri kedua orangtuanya yang sedang perang dengan tatapan sengit.

"Pagi, Ma. Pagi, Pa. Kita sarapan, yuk!" Hans memasang senyum lebar dan segera duduk di samping ayahnya, tapi laki-laki paruh baya itu tidak menoleh sama sekali.

Ibunya langsung tersenyum dan menjawab Hans. "Pagi, Sayang. Kamu mau sarapan apa?"

Tidak peduli itu palsu atau tidak, yang jelas Hans lebih suka melihat senyum di wajah ibunya ketimbang kemarahan seperti tadi. "Apa aja yang Mama buat."

"Oh ya, sebentar lagi kamu ulang tahun, kan? Kamu mau hadiah apa, Hans?" tanya ibunya sambil mengoleskan mentega pada roti tawar di tangannya.

"Kamera baru, Ma! Ada yang lebih canggih daripada yang waktu itu kita beli."

"Kamu itu minta kamera terus, buang-buang uang aja bisanya! Jadi anak jangan menyusahkan terus, nggak bisa?" jawab ayahnya memotong semangat Hans. Senyum di wajahnya pudar seketika. Kakinya berlari keluar rumah tanpa disuruh, meninggalkan ayahnya yang memberi tatapan tanpa kasih.

***

Rianti menunggu. Walau tidak suka kegiatan itu, dia tetap melakukannya. Sudah hampir setengah jam dia tiba di rumah Hans, tapi anak-anak yang lain belum juga datang. Yang bisa dilakukannya hanya berdiri di depan pagar besar rumah mewah bercat putih itu. Masuk sendirian bukanlah pilihan yang baik baginya. Dia yakin, bukan hanya Hans yang ada di dalam sana.

Tangannya baru mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan hendak menanyakan keberadaan mereka saat melihat bayangan Diaz berjalan ke arahnya. Lalu seolah janjian atau memang berjodoh, dari arah lain datang Kemal dan Kristi. Tidak sejajar memang, tapi tetap berasal dari arah yang sama.

"Ayo masuk!"

Rianti langsung memimpin langkah dan bersiap membuka pagar rumah Hans. Tapi tanpa diduga, dari dalam rumah terdengar suara ribut-ribut, kemudian disusul langkah grasah-grusuh ibu Hans yang terlihat kesal sekaligus panik. Mereka semua langsung menghentikan langkah, lalu saling menatap dengan wajah tidak mengerti.

"Dia itu anak kamu juga, kenapa sih nggak ada perhatiannya sama sekali? Kamu nggak takut dia hilang atau dijahati orang di luar sana?"

Ayah Hans membalas tatapan ibu Hans yang seperti sedang menahan tangis dengan dingin. "Salah dia sendiri, kan? Pakai kabur segala. Anak itu terlalu kamu manjakan, tahu nggak!"

Ibu Hans menggeleng-geleng. Tangannya meremas ujung jaket tipisnya dengan kencang. Lalu tanpa menoleh lagi, dia segera berbalik dan berlari hingga akhirnya menemukan anak-anak itu di depan pagar. Wajah paniknya berganti dengan ekspresi kaget. Saking kagetnya, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, atau sekadar membukakan pagar.

"Hans ... kabur tante?" Rianti memberanikan diri untuk bertanya. Tanpa bersuara, ibu Hans hanya bisa mengangguk pelan. "Kalau gitu biar kita yang bantu cari. Tante tunggu kabar dari kita aja di rumah."

Setelah berhasil diyakinkan, ibu Hans masuk ke rumahnya dengan perlahan. Saat berbalik, Rianti tidak menemukan ekspresi yang diduganya. Dia kira, mereka semua akan sama kaget dengan dirinya, hingga tanpa sadar dia menjanjikan hal seperti itu pada ibu Hans. Tapi kenyataannya, mereka semua hanya menatap bingung. Hanya satu yang berbeda. Kristi. Cewek itu mendengus keras-keras. Wajahnya jelas kesal.

"Orang itu memang bisanya cuma bikin susah, ya. Buang-buang waktu gue buat ke sini dan selesaiin naskah itu cepat-cepat! Silakan cari sendiri, Ketua Kelas Pahlawan. Nggak usah libatin gue dalam hal nyusahin kayak gini."

Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Kristi melangkah pergi. Bahkan dari langkahnya saja dia terlihat sangat kesal. Rianti menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Hati cewek itu mungkin terbuat dari batu. Temannya kabur dan mungkin diliputi bahaya saja dia masih bisa emosi seperti itu. Dengan wajah polos, Rianti menatap dua cowok yang ada di depannya. Tatapannya penuh tanya, tapi akhirnya bisa merasa lega setelah dua orang itu mengangguk.

Mereka memulai pencarian di daerah perumahan Hans. Walau tidak kenal betul daerah itu, tapi mereka tetap berusaha mencari ke segala titik. Dari yang terlihat dengan jelas, sampai yang sepertinya jarang terjamah manusia. Gara-gara itu, Rianti baru tahu kalau di perumahan elit pun ada tempat yang cukup menyeramkan.

"Coba kita telepon teman-teman dekatnya. Siapa tahu dia ke rumah salah satu di antara mereka," usul Diaz.

Rianti menghentikan langkah, lalu menatap cowok itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebagian dari dirinya kesal karena Diaz tidak memedulikan temannya. Di sisi lain, hatinya terasa berat untuk memberi jawaban atas usul Diaz barusan.

"Dia kan nggak punya teman dekat."

"Sama sekali?" Suara Diaz terdengar meninggi, tidak percaya dengan yang baru didengarnya. Selama ini dia pikir tidak ada di sekolahnya yang tidak memiliki teman. Jujur, dia memang tidak pernah mengamati orang-orang di sekitarnya, dan hal seperti ini baru membuatnya sadar akan kenyataan itu.

Rianti mengangkat bahu lalu mengembuskan napas berat. "Begitulah."

Setelah hampir satu jam berputar-putar di kompleks rumah Hans dan tidak mendapat hasil, mereka menuju kawasan selanjutnya. Daerah sekitar sekolah. Tempat kali ini jauh lebih sulit daripada yang tadi. Lebih luas, dan jauh lebih banyak kemungkinan yang harus mereka cari. Karena itu, Rianti mengusulkan untuk berpencar supaya hasilnya lebih maksimal, dan waktu yang diperlukan juga lebih singkat.

"Jangan macam-macam deh, Ri. Baru lolos dari bahaya juga kemarin. Gue nggak mau ketua geng sialan itu tiba-tiba main ke sekitar sini dan bikin lo celaka lagi."

"Nggak usah berlebihan, Di. Nggak akan sekebetulan itu, lah," jawab Rianti diplomatis. Ucapan Diaz memang terasa cukup mustahil, walau dalam hatinya ada ketakutan yang sama.

"Kita cari aman aja, nggak usah nantang bahaya."

Akhirnya Diaz memilih berjalan di samping kanan Rianti. Awalnya dia ada di tengah, tidak bersedia membiarkan Rianti jalan berdampingan dengan cowok lain, apalagi Kemal, yang menjadi pahlawan kemarin. Tapi kalau mengingat kejadian itu, lebih baik dia mengalah sedikit, yang penting Rianti tetap aman.

Rianti akhirnya mengalah dan mereka kembali mencari dengan formasi seperti itu. Tapi baru beberapa langkah, bunyi ponsel Rianti menghentikan mereka. Telepon dari ibu Hans. Dengan kening berkerut, Rianti mengangkat panggilan itu dan terus mendengar penjelasan dari sang penelepon. Tapi sampai panggilan itu berakhir, Rianti masih belum juga bisa mengendalikan akal sehatnya karena satu kalimat dari ibu Hans.

"Hans udah kembali karena tante menelepon dan berjanji mau membelikan apa yang dia minta untuk ulang tahunnya."

Apa iya seseorang bisa dengan seenaknya menyusahkan orang lain hanya karena sifat kekanak-kanakannya?

***

Tiba2 pengin update hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro