Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Kalau seseorang punya prioritas, dia akan tahu mana yang lebih penting dan harus dikerjakan lebih dulu. Waktunya tidak akan terbuang sia-sia untuk bergelut dalam hal yang tidak penting. Begitulah yang dikerjakan Rianti. Dengan yakin dia memilih meninggalkan Kristi dan Debby yang bertingkah aneh dan tidak jelas demi rencana yang sudah disusunnya.

Saat ini Rianti sudah memasuki sebuah jalan dengan plang besar bertuliskan nama sekolah yang menyerang sekolahnya. Demi memuaskan rasa penasaran dan mencari tahu lebih jelas lagi tentang Kemal, Rianti nekat datang sendiri ke sekolah rusuh ini. Tujuan utamanya tentu menemui ketua geng yang mengobrol dengan Kemal beberapa hari lalu.

Jalan yang dilalui Rianti cukup besar, tapi tidak terlihat keramaian yang berarti. Kalau sekitar sekolahnya dikelilingi perumahan dan deretan pohon, kawasan ini dipenuhi gerobak jajanan. Maklum saja kalau mengingat sekolah ini bentuknya yayasan, yang menampung murid dari SD sampai SMA.

Rianti tidak membuang-buang waktu untuk mengamati sekolah ini. Kakinya langsung menuju ke gerombolan cowok yang duduk di bawah pohon dekat tiang bendera. Di sana, orang yang kemarin mengobrol dengan Kemal sedang tertawa mendengar lelucon temannya. Mereka tampak begitu bahagia, dan sepertinya sudah lupa dengan kekacauan yang ditimbulkan beberapa hari yang lalu.

"Gue mau ngomong sama lo," ujar Rianti sambil menatap manik mata cowok itu dengan lantang. Sikap cewek satu ini kadang mengherankan, dia bisa terlihat begitu berani walau tangannya menahan getar dengan susah payah.

Eki, cowok yang barusan "ditantang" Rianti tersenyum miring sambil menyender dan meletakkan kedua tangannya ke pinggiran semen yang membentuk bangku panjang. Kakinya bersila, matanya melihat Rianti dari atas sampai bawah. Lalu tiba-tiba dia berdiri dalam sekali hentak. Tidak berkata-kata, hanya menggerakkan telunjuk dan berjalan pergi. Dengan sedikit rasa takut, Rianti mengikuti cowok itu, yang entah berniat pergi ke mana.

"Lho, Ri, lo mau ke mana?" Begitu keluar dari sekolah itu, Rianti bertemu dengan salah satu anggota geng badung di sekolahnya. Mungkin dia sedang mengamati situasi, pikir Rianti.

"Ada urusan," jawab Rianti sambil lalu. Langkahnya dipacu semakin cepat. Hanya beberapa detik saja cowok itu sudah meninggalkannya jauh di depan.

Begitu Eki menghentikan langkahnya, Rianti melakukan hal yang sama. Dia melihat sekeliling dan perasaan tidak enak langsung menyerbunya. Bukan gang kecil yang gelap, hanya toko kelontong sepi pembeli, juga tidak terlihat orang yang menjaga di depannya. Hal itulah yang membuat Rianti agak takut. Dia bisa saja berteriak kalau cowok ini melakukan hal macam-macam, tapi belum tentu ada yang mendengar.

"Gue akuin, lo cukup berani. Berani banget malah. Datang ke sekolah lawan sendirian ..." Eki kembali mengamati Rianti dari atas sampai bawah, lalu menyambung ucapannya, "tanpa bawa apa-apa pula. Oke, bonus buat keberanian lo. Lo mau tahu apa dari gue?"

Seketika itu juga, Rianti mengembuskan napas lega. Cowok ini sepertinya tidak semenyeramkan penampilannya, juga tidak begitu sulit dihadapi, pikirnya. "Gue mau tanya tentang Kemal. Kayaknya kalian lebih dari sekadar kenal, dan itu aneh. Gimana pun Kemal anak baik, beda sama lo."

Eki kembali tersenyum miring, lalu mengangguk-angguk. "Kemal ... Anak baik, ya ... Well, bahasan lo menarik, tentang orang yang pengin gue bawa lagi ke dunia yang seharusnya. Tapi ... sekarang gue ketemu sesuatu yang lebih menyenangkan. Orang yang kelewat berani dan penasaran. Nggak boleh dibiarin lepas gitu aja, kan?"

Deg ...

Ucapan Eki barusan memukul Rianti mundur. Segala keyakinan yang sudah dibangunnya untuk bisa tiba di tempat ini runtuh seketika. Getar di tangannya bertambah hebat, bahkan merambat ke seluruh tubuh, sampai rasanya mempertahankan diri saja sulit sekali. Napasnya tercekat melihat ekspresi cowok di hadapannya yang tidak sedang bercanda. Jelas sekali dia bisa melakukan semuanya, yang kejam atau keji sekalipun.

"Kalau dilihat juga lo cukup manis. Iya, kan?"

Tangan Eki terangkat, hendak membelai rambut dan kepala Rianti, tapi dirinya menghindar. Walau sulit karena masih dikendalikan rasa takut, tapi dia tidak sudi disentuh cowok yang jauh lebih berandal daripada anak-anak geng di sekolahnya. Tangan Rianti mengepal, lalu berusaha meninju Eki, tapi dengan mudah ditangkapnya. Keadaan sekarang malah makin menyulitkan, dirinya terkunci di depan tembok dengan tangan yang tidak bisa bergerak.

Eki berdecak, lalu kembali mengangkat ujung bibirnya. "Lo tahu? Gue paling suka cewek pemberani."

Mata Rianti menutup rapat-rapat begitu Eki memajukan kepalanya. Embusan napas cowok itu terasa begitu mengerikan sekarang, membuat bulu kuduknya meremang. Dalam ketakutannya, Rianti mencoba membendung suara supaya terdengar sekencang mungkin dan bisa mendatangkan bantuan.

"To ..." Suara Rianti terpotong karena Eki langsung membekap mulutnya.

"Gue kira lo seberani itu, tapi masih minta tolong juga. Buka mata, Manis." Rianti masih bersikeras menutup matanya rapat-rapat. "BUKA!" Teriakan itu akhirnya memaksa Rianti untuk membuka mata. "Lihat, di sini nggak ada siapa-siapa. Lo pikir kenapa gue ajak lo ke sini? Katanya sih murid sekolah itu pintar, tapi kayaknya nggak juga, ya?"

Benar, di sekitar sini sangat sepi. Bahkan sejak tadi tidak ada satu orang pun yang melintas. Rianti merutuki diri sendiri karena bisa sebegitu bodoh terjebak dalam situasi seperti ini. Bisa-bisanya rasa penasaran membunuh rasionalitasnya sampai mau ikut dengan ketua geng berandalan yang menyeramkan ini.

Sekali lagi Eki memajukan kepalanya, lalu melepas dekapan tangannya dari mulut Rianti dengan perlahan. Rianti mengumpulkan keberaniannya sekali lagi dan mencoba mendorong tubuh Eki. Tapi anehnya, cowok itu sudah terlebih dulu terhuyung ke samping, dibarengi suara "bug" menggema di udara.

Mata Rianti langsung melebar ketika melihat asal suara barusan. Diaz berdiri dengan napas terengah-engah, juga rahang yang mengeras. Cowok itu menoleh ke arah Rianti, hendak bertanya apa dia baik-baik saja, tapi suaranya langsung diredam oleh suara "bug" lainnya. Eki yang baru bangkit langsung membalas tonjokan Diaz barusan. Tak mendapat perlawanan, Eki membawa Diaz keluar dan terus melancarkan serangan.

Dari dalam Rianti hanya bisa membekap mulut. Otaknya masih belum bisa berfungsi karena terlalu kaget. Juga melihat bercak darah Diaz berceceran di aspal terasa terlalu mengerikan. Eki masih saja melancarkan pukulan dan tendangannya, lengkap dengan senyum miring, seolah itu hal yang benar-benar menyenangkan. Sampai akhirnya tubuhnya kembali terhuyung.

Rianti menoleh dan mendapati Kemal berdiri di hadapan Eki dengan tangan mengepal keras. Kali ini wajahnya jauh dari kata baik, juga tidak lagi dingin seperti yang akhir-akhir ini Rianti lihat, tapi memancarkan amarah besar. Tatapannya seperti ingin mengenyahkan cowok di hadapannya.

"Udah gue bilang jangan macam-macam, Ki." Suara Kemal terdengar berat dan penuh tekanan. Sepertinya amarah yang sedang ditahannya benar-benar besar.

Eki yang sedang terkapar malah tertawa, lalu bangkit perlahan dan menahan tubuhnya dengan sebelah tangan. "Kalau macam-macamnya gue bawa hasil begini, gue akan terus bertingkah. Cewek itu boleh juga lho, Kem."

"Sialan lo, Ki!"

Kemal tidak lagi menahan diri. Dia langsung maju dan menonjok muka Eki berkali-kali. Cowok itu sepertinya hilang kendali kali ini. Tingkah beringasnya tidak bisa dihentikan walau darah yang mengalir dari sudut bibir Eki sudah melebihi punya Diaz tadi. Dari tempatnya berdiri, Rianti melihat Eki berkomat-kamit. Entah apa, tapi cukup untuk membuat Kemal menghentikan tindakannya. Lalu mengangkat kepala dan mundur perlahan.

"Welcome back, Kem." Eki kembali berkata-kata sambil tertawa. Tapi jelas bukan itu yang menjadi pusat perhatian Kemal. Nyatanya, cowok itu tidak melihat ke arah Eki sama sekali. Pandangannya malah terus menuju ke depan, lengkap dengan selaput bening yang menggenang. Lalu perlahan dia berbisik.

"Ibu ..."

Rianti mengikuti arah pandang Kemal dan menemukan wanita paruh baya di seberang sedang menatap nanar sambil menggeleng-geleng, lalu pergi meninggalkan tempat itu.

***

Wajah di hadapan Rianti terlihat babak belur. Bekas darah mengering di sudut bibir, juga lebam di dekat tulang pipi. Pemiliknya, Diaz, hanya bisa terduduk lemas sambil bersandar di tembok hijau sekolah. Setelah dihajar Eki tadi, teman-teman satu geng Diaz langsung datang dan membawanya ke warung kecil di sebelah sekolah yang menjadi markas mereka. Tanpa diminta, Rianti mengikuti. Bagaimana pun, Diaz jadi seperti ini karena dirinya.

Mengalami hal seperti ini lagi rasanya seperti deja vu bagi Rianti. Sebelumnya dia juga pernah mengobati Diaz, saat kaki cowok itu terkena sambitan batu. Kali ini wajahnya yang harus dijadikan sasaran alkohol, obat merah serta kapas. Entah kenapa cowok ini selalu terluka. Atau memang sudah tuntutan sebagai anak badung.

Tangan Rianti masih bergerak gesit, karena luka yang harus diobatinya juga banyak. Herannya, cowok ini masih saja keras kepala. Terus menolak untuk dibawa ke puskemas atau klinik terdekat dan bersikeras ingin diobati Rianti. Mengingat apa yang sudah dilakukannya tadi, Rianti tidak punya pilihan lain menurutinya.

"Lo nggak bisa berantem?" tanya Rianti sembari menempelkan plester terakhir di sudut mata Diaz. Cowok itu tidak mengaduh, hanya mengerutkan dahi sejak tadi. Teman-temannya juga diminta menjauh, entah apa lagi maksudnya.

"Kalau bisa gue nggak akan babak belur, kan?"

"Anak badung kayak lo nggak bisa berantem?" Rianti tidak percaya dengan jawaban Diaz. Bagaimana pun, geng mereka cukup sering berkelahi dengan sekolah lain, jadi rasanya cukup tidak mungkin salah satu dari mereka ada yang tidak bisa berkelahi.

"Gue itu masuk golongan elit, pengatur strategi kalau mereka berantem sama sekolah lain."

Rianti mencibir. Di tengah kesakitan seperti ini bisa-bisanya dia masih begitu narsis. Mana ada golongan elit dari anak-anak badung. Perkelahian antar sekolah saja sudah terasa cukup memalukan, masih bisa dia bangga dengan jabatan yang dimilikinya itu. Lagipula, itu terasa konyol. Memangnya mereka sedang perang kerajaan sampai punya bagian seperti itu.

"Kalau memang nggak bisa berantem, ngapain lo ke sana sendiri, pakai sok-sokan nonjok Eki segala?"

Diaz memicingkan matanya. "Lo nggak sadar? Lo juga ke sana sendirian. Kalau nggak ada gue, lo pasti udah diapa-apain sama siapa tuh namanya? Ah siapa pun anak berandal itu."

Rianti tersenyum tipis. Benar, kalau bukan karena Diaz, entah bagaimana nasibnya sekarang. Semua hal buruk bisa saja terjadi mengingat sifat cowok yang dihadapinya. Tapi kalau tidak bisa berkelahi, itu sama saja membahayakan dirinya sendiri.

"Jadi lo ke sana benar-benar cuma buat bantu gue?"

"Buat apa lagi coba," jawab Diaz slengean.

"Makasih." Bisikan singkat itu membuat Diaz juga ikut tersenyum. Untuk pertama kalinya cewek itu mengucapkan hal manis padanya. Walau sebenarnya itu hanya kata-kata umum, tapi kalau diucapkan Rianti, tetap saja terasa manis baginya.

"Tapi gue bingung sama Kemal. Kenapa dia kayak gitu, ya?" Tanpa sadar Rianti menyuarakan pikirannya.

Kening Diaz mengerut, serupa dengan yang Rianti lakukan. Mendengar hal seperti itu tidak terasa menyenangkan baginya sekarang. Walau sebenarnya dia sudah cukup lama ingin mengetahui masalah-masalah kecil yang mengganggu pikiran cewek itu. Bagi orang yang sedang jatuh cinta, hal kecil seperti itu yang berkesan, kan?

"Jangan terlalu dipikirin, sampai ngebahayain diri sendiri kayak tadi."

Rianti tertegun, apalagi saat Diaz mengurut alisnya. Entah apa alasannya, tapi kali ini jantungnya berdebar sangat kencang. Seharusnya itu membuatnya tidak nyaman, tapi nyatanya tidak. Dalam keadaan berdebar seperti ini, dengan anehnya dia malah merasa damai. Maka senyumnya terkembang dengan begitu tulus. Membalas senyum cowok itu yang juga sama tulusnya, atau mungkin lebih.

***

Makasih yang udah mau bacaaaaa terharu aku :"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro