7
Akhir-akhir ini, kejadian di sekitar Rianti terasa membingungkan. Semua seperti bersekongkol membuat alisnya yang sudah hampir menyatu semakin menempel. Mulai dari orangtua Hans, ucapan sepotong Diaz, tatapan dan pembicaraan Kemal dengan pemimpin gerombolan yang menyerang sekolah mereka, juga kejadian di rumah Kristi kemarin.
Di satu sisi, Rianti merasa senang. Setidaknya ini menunjukkan jalan menuju pembuktian dugaannya terhadap anak-anak itu. Sampai sini, Rianti jadi yakin dan semakin berani untuk percaya kalau mereka punya cerita di balik sifat mereka masing-masing. Tapi dia juga tidak bisa memungkiri kalau ternyata misinya ini sangat memusingkan.
Jam istirahat pertama kali ini Rianti manfaatkan untuk pergi ke perpustakaan. Mencari buku psikologi yang biasa dia baca menjadi tujuan utamanya. Siapa tahu dia bisa menemukan kata kunci lain terhadap teka-teki ini. Kalaupun tidak bisa menemukan apa-apa di buku itu nanti, setidaknya perpustakaan bisa menjadi tempat yang aman dan tenang untuk memikirkan masalah memusingkan ini.
Langkah Rianti melambat ketika berpapasan dengan Debby. Cewek itu ikut-ikutan seperti yang lain, terlihat tidak seperti biasanya. Kalau selama ini dia hanya akan berjalan di pinggir tembok sambil menunduk seolah sedang menghitung langkah, kali ini wajah penuh senyumnya diangkat tinggi. Yang lebih aneh lagi, dia tidak melihat Rianti, hanya membiarkan ekor matanya mengintip dan terus berlalu.
Kening Rianti kembali berkerut. Benar-benar terlalu banyak hal aneh dan memusingkan di sekitarnya akhir-akhir ini. Tapi dia tidak bisa memikirkan semuanya, kan? Dia harus punya prioritas, dan Debby tidak masuk ke dalam daftar itu. Setidaknya kali ini. Masih ada anggota kelompok penuh misteri yang menunggunya. Rianti tersenyum sendiri membayangkan kata-kata itu. Merasa ada yang menunggu dan membutuhkan kita selalu terasa menyenangkan.
Pintu perpustakaan terbuka pelan ke arah dalam. Ibu penjaga yang sudah mengenalnya menyambut Rianti dengan senyum lebar. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada satu pun orang di sekolah ini yang tidak mengenal dirinya. Anak pintar yang selalu mendapat juara umum, juga terkenal ramah pada pegawai bahkan hingga pesuruh.
Rianti langsung melarikan langkahnya ke rak kedua dari pintu. Kakinya berjinjit, tangannya diulur penuh untuk mengambil buku andalannya di deretan atas. Saking seringnya ke tempat ini, Rianti sampai hapal dengan letaknya. Dia tidak perlu lagi melihat angka berderet yang menjadi penanda buku, apalagi bertanya kepada petugas. Dia bahkan sudah bisa mengambil alih pekerjaan petugas perpustakaan di sini.
Setelah mendapatkan buku yang diinginkan, kaki Rianti melangkah menuju kursi di bagian pojok kanan tanpa perlu komando. Semua dilakukannya seperti robot yang sudah disetel jadwal dan jalurnya. Tidak ada yang berbeda sedikit pun setiap kali dirinya mampir ke perpustakaan. Kalau ada yang mengamati, sudah pasti bisa menghapal kebiasaan ini dengan cepat. Rianti memang orang pada umumnya yang mudah ditebak.
Dalam keheningan, jarinya bergerak membuka lembar demi lembar buku yang baru diambilnya, lalu beralih dengan cepat ke buku catatan yang sejak tadi dibawanya. Mulutnya berkomat-kamit melafalkan isi buku yang dibacanya tanpa suara, sedangkan tangannya dengan lincah menulis kesimpulannya di buku kecil.
Kegiatannya terhenti sejenak. Matanya diarahkan lurus ke deretan nama anggota kelompok yang sudah ada di buku catatan itu sejak berbulan-bulan lalu. Sifat mereka yang sudah berulang kali diamati melekat erat di otaknya, sampai-sampai rasanya dia sudah dekat dengan mereka. Padahal berbicara dengan orang-orang itu saja jarang. Sebenarnya, itulah yang selalu membuat Rianti jarang berteman. Dia sudah merasa dekat hanya dengan mengamati.
"Ri, lo dipanggil Bu Yasmin."
Suara itu memecah lamunan Rianti, sumbernya dari salah satu anak XII IPA 1 yang tidak terlalu dikenalnya. Rianti mengangguk pelan, lalu tersenyum singkat dan bangkit dari tempat duduknya. Dalam hati dia merasa aneh. Kalau dia jadi anak itu, dia mungkin tidak akan mau melakukannya. Memanggil orang yang tidak terlalu dikenal terasa aneh. Tapi dia maklum, perintah guru siapa yang berani menolak. Kalau di rumah ada orangtua, di sekolah ada guru, orang-orang yang punya otoritas sama untuk memberi perintah.
Tepat saat Rianti keluar dari perpustakaan, sepasang mata dari pojok yang berseberangan menampakkan diri. Asalnya dari Kristi. Cewek itu sudah ada di sana sejak tadi. Hanya saja Rianti yang terlalu asyik dengan kegiatannya tidak menyadari hal itu sama sekali. Kristi menatap buku Rianti yang belum sempat atau mungkin lupa ditutupnya.
Dengan langkah lambat, Kristi menghampiri tempat Rianti duduk tadi. Berulang kali dia bertanya dalam hati, apa hal ini benar untuk dilakukan. Apa tidak akan menyalahi privasi Rianti bila dirinya menengok apa yang dituliskan dalam buku catatan yang selalu dibawa ke mana-mana. Tapi rasa penasaran yang timbul dalam hatinya saat ini jauh lebih kuat dari segala logika dan kesopanan.
Setelah segala perdebatan dalam hati dan pikirannya, akhirnya Kristi memantapkan keputusan untuk melihat isi buku Rianti, yang selama ini selalu membuatnya penasaran dengan isinya. Mata Kristi langsung melebar begitu melihat namanya beserta anggota kelompok lain tertulis di sana. Benar kata Debby, semua lengkap dengan sifat mereka. Di sebagian bawah kertas, ada bekas tinta yang belum mengering. Artinya Rianti baru menambahkan itu, kejadian di rumah Kristi kemarin.
***
"Kerja kalian bagus. Ibu senang dengan debat hari ini. Tidak ada yang menang dan kalah dalam debat, jadi tidak perlu kecewa atau malu. Kalian sudah melakukannya dengan baik."
Kata-kata Bu Yasmin barusan menutup pelajaran Kewarganegaraan hari ini. Semua murid bernapas lega. Akhirnya bagian paling menegangkan bagi murid XII IPA 2 dari sekolah hari ini selesai juga. Bagaimana pun, selama dua jam tadi suasana terasa jauh dari kata santai, seolah sedang ada debat besar atau bahkan persidangan di kelas ini.
Rianti sendiri merasakan hal yang sama. Melakukan bagian yang tidak disukainya tidak pernah terasa mudah. Apalagi masih harus memikirkan anggota kelompoknya yang lain. Untunglah dua cowok itu tidak berulah dan melakukan semuanya dengan baik hari ini. Tapi tetap saja, seperti perkiraan, kelompok Rianti tidak bisa menang dari kelompok Kristi. Walau kata Bu Yasmin tidak ada yang menang dan kalah, tapi Rianti tetap menganggap ini sebagai pertandingan yang mempunyai hasil akhir.
Setelah bel berbunyi, semua murid berangsur keluar kelas. Tidak pernah ada kata tenang ketika jam istirahat apalagi pulang tiba. Walau begitu, pasti tetap ada anak-anak yang memilih membereskan buku serta tas dengan santai, dan baru keluar kelas ketika sudah sepi, seperti Rianti.
Tapi ada yang aneh kali ini. Kristi yang biasanya tidak menunggu lama dan langsung pulang begitu bel berbunyi malah tinggal di kelas dan belum beranjak sampai Rianti selesai membereskan buku. Rianti menoleh. Bayangan hitam yang tadi menutupi cahaya dari lampu di atas kini menjelma jadi sosok yang jelas. Kristi, yang menatapnya dengan raut wajah yang tidak bisa didefinisikan. Sebagian yang bisa ditebak Rianti berupa kemarahan dan kebingungan. Entah apa lagi yang membuat cewek itu bersikap seperti sekarang.
"Kenapa, Kris?" Rianti memutuskan untuk bertanya. Menebak memang kebiasannya, tapi dia tahu, itu tidak selalu lebih baik daripada mengetahui dengan pasti.
"Lo..."
Rianti memiringkan kepalanya saat ucapan itu tidak juga diselesaikan dalam beberapa detik kemudian. Wajah Kristi memerah. Jelas bukan karena malu. Lalu dia marah? Rianti benar-benar tidak mengerti alasannya, tapi nada bicaranya tadi memang terdengar seperti sedang menahan amarah yang dalam.
Setelah berlalu satu menit, akhirnya Kristi kembali membuka mulutnya. Wajahnya tidak terlihat melunak walau dia sudah megambil waktu sekian detik. Begitu suaranya terdengar, belum membentuk kata-kata, Debby sudah menarik lengannya. Membuat Kristi dan Rianti mau tidak mau menoleh dan menyadari ada orang lain selain mereka di sana.
Debby tidak berkata apa-apa, hanya menggeleng. Rianti benar-benar tidak mengerti dengan tindakan mereka berdua. Tapi setidaknya dia pikir dengan hal itu Kristi akan membaik, walau kenyataannya ekspresi cewek itu masih sama saja seperti tadi. Satu-satunya efek yang ditimbulkan Debby hanya membuat Kristi mundur beberapa langkah, sehingga jalan Rianti menuju pintu tidak lagi tertutup.
Masih merasa bingung, Rianti belum juga beranjak dari tempatnya. Tapi melihat tidak ada satu pun dari mereka yang berniat menjelaskan, maka Rianti memilih mengalah. Waktunya terlalu berharga untuk dibuang dengan ketidak jelasan seperti ini. Dan akhirnya dia pergi, meninggalkan dua orang aneh itu di dalam kelas.
"Lo pasti udah baca isi bukunya, kan?" cecar Debby setelah memastikan Rianti sudah benar-benar jauh dari kelas. Melihat tidak ada tanggapan apa pun dari Kristi, dia melanjutkan, "Gue benar, kan? Seenggaknya gue bisa dipercaya, nggak kayak dia."
"Sejak kapan lo tahu?"
Debby berpikir sejenak. "Sejak dia nggak peduliin gue gitu aja, gue udah mulai curiga. Apalagi gue duduk sebangku sama dia, sesekali bisa kelihatan catatan itu. Lalu dia milih kalian buat jadi satu kelompok. Orang kayak dia yang nggak mau cari risiko tapi masukin orang-orang yang bertentangan di kelompoknya. Aneh, kan? Lo yang pintar dan penuh kecurigaan kayak orang hukum harusnya bisa menelaah itu."
Kali ini Kristi tidak langsung merespons. Rasanya ucapan Debby tidak ada satu pun yang bolong logika. Semuanya masuk akal. Dia memang merasa curiga, tapi tetap saja ini terasa aneh. Bagaimana pun, Rianti masih berstatus anak SMA dan belum masuk jurusan psikologi, untuk apa dia bersusah payah mengamati sifat orang. Bahkan harus berurusan dengan Diaz yang selama ini dia jauhi gengnya.
"Cita-citanya itu terlalu besar, jadi dia nggak segan-segan bikin dirinya sendiri repot. Bagi dia, ini jauh lebih berharga daripada gengsi, makanya dia bisa dengan gampang deketin Diaz. Lo juga nggak nyangka kan awalnya Diaz bisa sampai ikut kerja kelompok? Rianti kasih dia tawaran, kalau dia ikut kerja kelompok, Rianti bakal pertimbangin perasaannya."
"Kenapa lo bisa tahu semuanya, sih?"
Senyum sekilas mampir di wajah Debby. "Selain Rianti yang suka mengamati orang lain, gue juga. Gue bisa jadi detektif akan hal apa pun yang gue mau."
Kristi tidak bisa lagi menjawab. Mendengar pemaparan Debby sejauh ini memang masuk akal, tapi bagian terakhir terasa mengerikan. Kedengarannya seperti dia sengaja menguntit Rianti, mencari titik lemahnya dan bersiap menggunakan apa yang ditemukannya untuk menyerang kapan saja. Tapi tidak lewat tangannya sendiri, dia akan memanfaatkan orang lain setelah berhasil mengadu domba, dan sepertinya orang itu Kristi. Dia tidak bisa percaya begitu saja dengan Debby sekarang. Maka dia memilih untuk tidak lagi mendengar ucapan cewek itu dan pergi saja.
"Lo mau privasi lo dibongkar Rianti gitu aja?"
Debby kembali berusaha menahan Kristi. Kali ini cukup berhasil. Kristi kembali menghentikan langkah dan memikirkan ucapan Debby barusan. Benar, dia tidak bisa membiarkan rahasia yang menjadi privasinya terungkap begitu saja. Tapi dia juga tidak bisa begitu bodoh membiarkan Debby memanfaatkan dirinya untuk dijadikan alat menyerang Rianti.
"Lo bisa bilang itu langsung ke dia. Kenapa lo harus certain ke gue dulu?" Debby tertegun. "Kalau lo memang dendam sama Rianti karena ngebongkar privasi lo dan ninggalin begitu aja, harusnya lo hadapin sendiri dia. Jangan jadiin gue alat buat balas dendam, Deb."
Sebelum benar-benar keluar dari kelas, Kristi kembali menambahkan satu hal yang membuat Debby tidak bisa berkutik dan merasa benar-benar kalah. Tidak ada jalan baginya untuk melawan, apalagi menjatuhkan Rianti. "Lo salah pilih alat buat dimanfaatin. Gue memang galak, tapi nggak bodoh buat ngebiarin lo gitu aja masukin gue ke perangkap. Good luck, Deb. Semoga nanti lo nggak nyesal dengan apa yang udah lo lakukan."
***
Update untuk orang2 yang udah mau baca dan nungguin huhuhu makasih banyak ❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro