6
Kejadian di sekolah yang menggemparkan, ucapan Diaz yang menggantung dan membingungkan, semua itu memenuhi otak Rianti hingga rasanya sesak sekali. Dia bahkan tidak tahu yang mana yang punya porsi lebih besar sekarang, apalagi ditambah masalah tugas-tugas menyusahkan. Mengingat itu membuatnya sangat pusing. Tidak ada satu pun yang berjalan lancar. Masalah film pendek belum didiskusikan lagi, kini dia harus memikirkan tugas debat.
Oh ya, debat. Tugas itu sepertinya akan jauh lebih menyusahkan. Kalau tugas film pendek, setidaknya dia bisa memegang kendali. Tapi untuk tugas debat ini, anggota lainnya benar-benar tidak bisa diandalkan.
Rianti sendiri, walau pintar, tapi debat sama sekali bukan bagiannya. Apalagi lawannya Kristi. Semua yang pernah sekelas dengannya tahu kalau cewek itu sangat suka pelajaran Kewarganegaraan. Dan urusan debat, dia memang ahlinya.
Omong-omong, sekolah mereka sudah aman sekarang. Setelah insiden pelemparan batu, polisi yang ditelpon Bu Kun akhirnya datang dan mengamankan anak-anak itu. Entah bagaimana nasib mereka, tapi sepertinya tidak akan mendapat hukuman berat, mengingat mereka tidak membawa benda tajam. Batu yang mereka gunakan tadi pun didapat dari sekitar.
Mengingat itu lagi membuat Rianti bergidik. Untungnya tidak ada masalah serius yang terjadi tadi, hanya Diaz yang menjadi korban dan lukanya pun kecil. Lagi-lagi nama cowok itu melintas di kepalanya. Dia pasti berada di deretan terdepan makanya bisa terkena sambitan batu seperti tadi. Rianti benar-benar bingung, apa bagus dan enaknya menjadi anak badung seperti mereka, yang ada malah mencelakakan diri sendiri.
“Kaki lo masih sakit, Yaz?”
Sontak Rianti menoleh saat mendengar nama panggilan itu. Dia yang baru mengambil tasnya dan hendak keluar dari sekolah tanpa sengaja mendengar pertanyaan tadi. Cowok yang bertanya itu teman satu gengnya Diaz. Mereka berdua terkenal cukup akrab, dan pasti mereka berdua ada di deretan terdepan tadi.
“Udah mendingan, kok.” Rianti melihat Diaz menjawab sambil tersenyum singkat.
“Thanks, ya. Kalau nggak lo halangin tadi, batu itu pasti udah kena kepala gue. Lo anggap itu bola ya tadi? Emang lo ya, penyerang sejati tim bola sekolah kita. Keren lo, Yaz. Pantas banyak cewek yang nempel.”
Cowok itu menepuk-nepuk pundak Diaz, sedangkan Diaz hanya tersenyum lebar. Rianti tertegun. Matanya mengerjap-ngerjap bingung. Jadi maksudnya… Diaz mendapat luka di bawah mata kaki itu karena menolong temannya? Kalau benar, berarti Rianti sudah salah kira terhadap cowok itu. Awalnya saja, dia cukup enggan mengobati Diaz karena ingat luka itu adalah salahnya sendiri. Tapi kalau begini kenyataannya, dia benar-benar salah.
“Eh, Ri.” Rianti menoleh karena Diaz memanggil namanya. Tanpa bisa dicegah, jantungnya berdegup kencang. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan dan berusaha menampilkan wajah biasa. “Kita jadi ke rumah Hans buat ngerjain tugas debat?”
Mata Rianti melebar seketika, lalu kembali mengerjap-ngerjap. Mungkin sambitan di dekat mata kakinya itu berpengaruh ke otak kali ya, sampai dia bisa menanyakan tugas seperti sekarang ini. Rianti baru ingin menjawab, tapi cowok yang mengobrol dengan Diaz tadi langsung memotong.
“Lo kesambet, Yaz? Tumben nanyain tugas, kaki lagi sakit gitu pula.”
Rianti mengiakan. Bagaimana pun, tingkah Diaz terasa aneh, jadi rasanya wajar menganggap cowok itu kesambet. “Kalau kaki lo masih sakit ya nggak usah. Biar gue aja sama Hans yang diskusi, nanti kita kasih bahannya ke lo.”
“Sejak kapan lo ngebolehin anggota kelompok nggak ikut kerja kelompok? Lagian kaki gue udah nggak terlalu sakit, tapi tetap butuh teman jalan, sih. Ayo, ke sana bareng.”
“Eh… Hans gimana?”
“Gue lihat sih tadi dia udah pulang duluan. Udah sampai kali dia di rumah. Ayo!”
Kali ini, sepertinya Rianti yang kesambet. Dengan mudahnya dia meraih tangan Diaz yang terulur, dan membiarkan cowok itu menggandengnya beberapa langkah. Sampai terdengar sorakan dari orang-orang sekitar, terutama teman geng Diaz, baru dia tersadar dan cepat-cepat menarik tangannya.
Selanjutnya, perjalanan mereka hanya diisi dengan keheningan. Masih malu dengan kejadian tadi, juga tidak tahu harus mengangkat topik pembicaraan apa, menjadi perpaduan sempurna bagi Rianti untuk melancarkan aksi diam seribu bahasa. Diaz juga memilih diam, entah apa alasannya. Tapi menyebalkannya, Rianti sempat melihat senyum di wajahnya tadi, membuat Rianti bertambah malu akan kekonyolannya.
Tidak tahu harus melakukan apa, Rianti memilih mengamati keadaan sekitar yang sebenarnya sudah seringkali dilihatnya. Trotoar cukup bersih, rumah-rumah bertingkat, diselingi beberapa pohon yang ditanam pemilik rumah. Semua terlihat tidak menarik, sampai matanya menangkap sosok Kemal sedang berbicara -atau lebih cocok disebut berdebat karena wajahnya sangat tidak bersahabat- dengan seseorang yang wajahnya terasa asing.
Tapi tunggu, cowok itu sepertinya yang ada di baris terdepan dari gerombolan penyerang sekolahnya tadi.
“Tunggu bentar ya, Di,” ujar Rianti pada Diaz, lalu berusaha berjalan ke arah Kemal tanpa menimbulkan kecurigaan.
Rianti menghentikan langkahnya beberapa meter di belakang Kemal. Dari jarak segini, setidaknya dia sudah bisa mendengar percakapan mereka, juga bisa melihat wajah lawan bicara Kemal dengan jelas.
“Lo ngapain lagi sih, Ki? Belum mau berubah juga?”
Cowok yang dipanggil Ki itu tersenyum miring. “Nggak usah ceramahin gue, Kem. Kita udah punya hidup masing-masing. Lagian, gue ke sana tanpa tahu ada lo, kok. Tapi ternyata, sekarang kita ada di kubu berlawanan, ya.”
“Terserah lo! Asal jangan ganggu ketenangan sekolah gue lagi.”
“Emang kalau gue lakuin lagi, lo bakal ngapain, Kem? Gue penasaran.” Nada bicara cowok itu tenang, tapi penuh tantangan. Dia masih tersenyum miring, sambil terus memainkan gelang hitam di pergelangan tangannya. “Masih ingat ini?”
Kemal mundur perlahan. Tangannya kembali mengepal keras seperti saat melihat kerusuhan tadi. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan menemukan Rianti di tempatnya mengamati. Mata mereka bertemu, tapi tatapan Kemal terasa sangat dingin, sama seperti yang pernah dilihatnya saat bertemu dengan preman di dekat rumah.
Lalu Kemal berlalu pergi. Meninggalkan Rianti dengan segala rasa ingin tahu dan kengerian saat melihat cowok yang dipanggil Ki itu masih tersenyum miring. Mata kecil dengan ujung kelopak runcingnya memberi tatapan seolah ingin menerkam sambil membisikkan sesuatu.
“I’ll get you back, Kem.”
***
Tidak pernah ada dalam bayangan Rianti kalau dua cowok yang duduk di hadapannya saat ini cukup bisa diajak bekerja sama. Sejak nama mereka berdua berjajar di bawah namanya, Rianti sudah yakin betul kalau itu adalah kesialan, dan kerja kelompok tidak akan terlaksana, apalagi berjalan lancar.
Tapi ternyata semua pikirannya salah. Sejak Rianti dan Diaz tiba di rumah Hans, cowok itu tidak terlalu banyak berceloteh panjang-lebar seperti biasanya. Dia bahkan sudah menyiapkan beberapa buku yang bisa digunakan sebagai bahan tambahan. Saat diminta mencari informasi lain di internet pun dia tidak menolak, malah melakukan dengan sigap.
Diaz juga, sikapnya hari ini jauh berbeda dari yang biasa. Menanyakan masalah tugas dan mengajak Rianti ke sini untuk mengerjakan saja sudah cukup membuat kaget. Apalagi tadi dia tidak cuma berpangku tangan, atau bersikap seolah batu seperti yang sudah-sudah. Dia bahkan memberi pendapat saat ditanya oleh Rianti tadi. Benar-benar membingungkan.
Mungkin efek kerusuhan di sekolahnya tadi cukup mengguncang dan membuat mereka ingin jadi lebih baik, atau itu hanya halusinasi Rianti. Yang jelas mereka benar-benar berbeda kali ini.
“Akhirnya selesai juga, ya. Eh tugas film gimana, Ri?”
Lagi-lagi Rianti dibuat kaget. Kali ini dia yakin, tema hari ini pasti kesambet. Semua orang mengalami hal sama. Hans yang waktu kerja kelompok sebelumnya hanya sibuk pamer foto dan tidak ikut diskusi sekarang menanyakan perkembangan tugas itu.
Teringat sesuatu, Rianti langsung berdoa. Jangan sampai ini pertanda kalau kiamat sudah dekat. Katanya kalau orang berubah jadi baik itu malah akan jadi pertanda buruk, biasanya orang itu sudah mau meninggal. Nah, kalau semua orang tiba-tiba jadi baik, mencurigakan, kan? Jangan-jangan benar akan kiamat sebentar lagi.
Rianti langsung mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir pikiran-pikiran kacau itu pergi dari otaknya. Bisa-bisanya pikirannya meracau seperti barusan. “Belum gue tanya sih ke Kristi naskahnya udah selesai apa belum,” jawabnya setelah berhasil menetralkan pikiran.
“Oh, kalau gitu kita ke tempat Kristi aja. Tanya masalah naskah itu, sekalian makan. Lapar juga habis ngerjain tugas.”
Tanpa perdebatan, mereka bertiga langsung berdiri. Kali ini Rianti tidak menolak dan juga tidak berniat mendebat. Selain karena ada embel-embel tugas, ini juga dilakukannya sebagai imbalan karena dua cowok itu sudah bekerja sama dengan baik. Lagipula tugas mereka sudah selesai, jadi tidak ada salahnya jeda sejenak.
Maka mereka bertiga berjalan menuju rumah Kristi yang juga ada tempat makan di depannya. Tempat itu tidak jauh, tapi karena kakinya, Diaz berjalan lebih lambat. Rianti yang berada di tengah terkadang memperlambat langkah dan sekarang memilih berbaik hati menyamai tempo berjalan Diaz. Sedangkan Hans sudah melesat cukup jauh di depan.
Saat sudah dekat, Hans melihat bapak penjual gulali. Tanpa pikir panjang dia berbelok dan langsung sibuk meminta bapak penjual membuatkan beberapa bentuk yang diinginkannya. Rianti menoleh sejenak, tapi memilih terus berjalan. Bisa saja nanti Hans kembali mendahului. Lagipula rumah Kristi juga sudah sangat dekat.
“Kalian itu nggak bisa dengar bahasa Indonesia atau gimana, sih? Saya udah bilang berkali-kali rumah ini nggak dijual!”
Seruan seperti itu menyambut Rianti dan Diaz begitu tiba di depan rumah Kristi. Mereka berdua refleks berhenti, bahkan mundur beberapa langkah. Wajah kotak Kristi terlihat jauh lebih sangar dari biasanya. Merah padam dengan rahang dan tangan mengepal keras. Matanya pun terbuka lebar, seolah dengan begitu, orang-orang berpakaian jas di depannya akan segera menghilang dari pandangan.
“Nenek kamu kemarin sudah setuju.”
Kristi bungkam. Wajahnya terlihat sangat kaget sekarang. Lalu dia menoleh pelan ke arah neneknya yang berada di belakang kirinya. Matanya memejam sejenak lalu membuka perlahan.
“Surat rumah ini dibuat atas nama saya, jadi…” Kata-katanya menggantung. Terlihat dia menelan ludah dengan susah payah. Terasa sekali betapa berat dia mengucapkan kata-kata selanjutnya. “Nenek saya tidak punya hak untuk menjual pada kalian.”
Entah itu taktik atau bukan, yang jelas Kristi benar-benar terlihat berat mengucapkan kata-kata barusan. Neneknya pun tidak terlihat begitu baik. Wajahnya cukup terkejut, tangan kanannya mencengkeram erat baju bagian dada kiri, sedangkan yang kiri berusaha menopang badan di meja samping, yang terlihat sama rapuh dengan dirinya.
Selain neneknya, ucapan Kristi tadi juga berhasil memukul mundur orang-orang berjas itu. Sedikit kelegaan muncul di wajahnya begitu mereka meninggalkan tempat. Dengan wajah yang tidak dapat didefinisikan, Kristi berbalik. Kali ini dia menatap neneknya cukup lama. Raut wajahnya tiba-tiba menjadi sendu.
“Kristi, tadi gue lihat… Eh, ada apa di sini?” Hans yang baru tiba kembali memulai kebiasannya. Berceloteh tanpa pikir panjang dan melihat keadaan. Rianti dan Diaz langsung menoleh ke arahnya, tapi tidak dengan Kristi. Cewek itu masih menatap neneknya dalam-dalam.
“Kenapa Nenek ngelakuin itu?”
Nenek Kristi tidak langsung menjawab. Wajahnya kini sama sendunya dengan wajah Kristi. “Kita tidak punya pilihan lain, Nak. Kita butuh biaya besar, apalagi kamu sudah mau kuliah.”
“Aku bisa kuliah tanpa jual rumah ini, Nek. Ada banyak cara. Aku akan buktiin.” Lalu Kristi berbalik menghadap tiga teman sekelasnya, tapi matanya tertuju pada Hans. “Ngapain lo datang ke sini? Punya tujuan yang sama kayak orang-orang yang baru pergi itu? Kalian orang kaya memang nggak ada yang beda, semena-mena.”
Nenek Kristi langsung menarik cucunya ke arahnya. “Kamu kenapa masih terus tidak suka sama orang kaya, Nak? Tidak semuanya sama."
“Buat apa baik sama orang kaya gitu, Nek? Nenek udah lupa apa yang mereka lakuin sama kita?” Kristi terlihat menahan emosinya.
“Yang sudah berlalu biarlah, Nak. Orang yang sudah meninggal tidak bisa hidup lagi.”
“Nek!” Kali ini Kristi hilang kontrol. Suaranya meninggi, matanya tertutup selaput bening yang menggenang. Suaranya bergetar saat berkata, “Kita bisa pertahanin tempat ini. Aku bisa, Nek. Aku bisa.”
Lalu dia masuk dengan langkah besar-besar. Meninggalkan Rianti, Diaz, dan Hans yang saling memandang dalam bingung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro