5
Hari-hari di tahun terakhir mengenakan seragam abu-abu sepertinya memang tidak pernah menyenangkan. Tugas dan ujian datang silih berganti tanpa memberi jeda bagi para murid kelas XII bernapas. Seperti saat ini, mereka baru saja menyerahkan lembar jawaban yang membuat kening mengernyit sepanjang mengerjakan tadi, dan sudah diberikan tugas untuk pertemuan selanjutnya.
“Kita akan lakukan debat.” Begitu kata Bu Yasmin, guru pelajaran Kewarganegaraan yang wajahnya jelas menunjukkan keturunan Arab. Setelah mengumpulkan lembar ujian, beliau langsung memandu murid XII IPA 2 untuk mengambil kocokan kelompok, topik debat, juga kubu pro atau kontra.
Tanpa semangat, satu per satu murid di kelas itu mengambil kertas undian, lalu menuliskan nama mereka di bawah nomor kelompok yang sudah ditulis Bu Yasmin. Setelah beberapa gelombang pengambilan undian berlalu, mulai terlihat banyak ekspresi. Ada yang kegirangan setelah membaca isi kertas undiannya dan melihat ke papan tulis, tapi banyak juga yang mengeluh. Membuat kelas jadi ribut seperti pasar.
Sebagai orang pertama yang mengambil undian, Rianti hanya mengamati nomor kelompoknya dalam diam. Sudah dua per tiga isi kelas selesai mengambil undi, tapi dia masih belum bisa bernapas lega karena daftar di bawah namanya masih kosong. Bahkan sekarang, setelah semuanya selesai, napasnya memberat begitu melihat nomor dua diisi oleh Hans dan nomor tiga menjadi milik Diaz.
Rianti kira itu kesialan terbesarnya hari ini, tapi ternyata salah. Setelah mengambil undian topik debat, dia tahu tugas ini akan sama menyusahkannya dengan tugas membuat film pendek dari Bu Bertha. Lawannya dari kelompok tiga berisi Kristi, Kemal, dan Debby. Entah bagaimana kelompok acak itu bisa tersusun sedemikian menyebalkannya.
“Guys… jangan keluar dulu. Kita omongin masalah buku tahunan dulu, ya.” Panitia buku tahunan di kelas langsung mengambil alih begitu Bu Yasmin keluar kelas. Mereka memang harus beradu cepat dengan anak-anak yang mau memanfaatkan istirahat terakhir sebelum nanti kembali terdengar bel tanda kegiatan kerohanian dimulai.
Di sekolah ini, setiap hari Jumat memang selalu ada bunyi bel tambahan yang menandakan sholat Jumat akan dimulai bagi cowok-cowok Muslim. Sedangkan para cewek akan membaca Alquran, dan akan ada rohani Kristen bagi yang beragama Nasrani. Murid-murid di sekolah ini selalu menganggap hal ini sebagai suatu keuntungan. Ada satu istirahat tambahan, walau waktunya singkat.
Seisi kelas ricuh, bersorak meminta perbincangan masalah buku tahunan ditunda saja. Bisa pakai jam pelajaran kosong, kan, begitu pembelaan anak-anak badung yang sudah bersiap keluar pintu. Tapi dengan alasan batas waktu penyerahan tema sudah dekat, panitia buku tahunan berhasil menahan mereka semua.
“Buku tahunan kita rencananya akan dibuat kayak album. Tema besarnya Indonesia. Jadi, tiap kelas akan pilih tema kecil yang mendukung. Misalnya dari segi fashion, makanan, permainan tradisional, gitu. Nah, kita mau ambil tema apa, nih?”
Cewek yang jadi salah satu panitia mulai angkat bicara. Selanjutnya terdengar anak-anak kelas mulai bersahutan satu per satu. Ada yang mengeluh tentang tema yang dianggap kurang kreatif dan kekinian, ada yang setuju dan langsung mengusulkan tema untuk kelas. Voting kali ini berlangsung alot, yang awalnya ingin cepat-cepat selesai malah jadi semakin lama karena ada saja yang protes, bahkan pada hal yang tidak bisa lagi diubah.
“Kayaknya kita jodoh.” Rianti yang memang tidak terlalu memperhatikan perdebatan yang sedang berlangsung di kelasnya langsung menghela napas dalam-dalam. Pasalnya, suara itu sudah sangat dihapalnya. Dia benar-benar bingung bagaimana lagi harus menghadapi cowok satu ini. Kemarin dengan seenaknya pergi, sekarang seenaknya datang dan mengatakan kalau mereka jodoh. Dikira perkara jodoh semudah dia berkata-kata.
Jujur, Rianti bingung harus menanggapi seperti apa. Kalau mengikuti kata hatinya saat ini, dia akan mengucapkan kata-kata yang bisa menyakiti hati cowok itu. Tapi dia tidak boleh seperti itu, kan? Diaz masih dibutuhkan dalam kelompok ini, hal itulah yang selalu ditekankan pada dirinya sendiri. Untunglah bel tanda istirahat tambahan berbunyi.
“Ayo, teman-teman, diskusinya udahan dulu. Kita ke acara kerohanian masing-masing.” Rianti berdiri lalu melemparkan senyum kemenangan pada Diaz sebelum keluar kelas.
Saat semua murid sudah meninggalkan kelas, Debby tidak melakukan hal yang sama. Dia diam sejenak, mengamati anak-anak yang berlalu satu per satu, lalu menghampiri Kristi. Cewek itu sudah hampir keluar kelas juga, tapi Debby berhasil menghadangnya.
“Rianti punya tujuan lain milih kalian buat jadi satu kelompok bikin film pendek,” ujarnya tanpa basa-basi, membuat Kristi yang awalnya tidak berniat menghiraukan jadi menghentikan langkah dan menaruh perhatian.
“Maksudnya? Lo ngomong berdasarkan apa? Punya bukti?”
“Gue pernah lihat dia nulis nama dan sifat kalian di bukunya, dan di atasnya ada teori psikologi. Kita tahu kan kalau Rianti memang selalu pengin jadi psikolog? Nggak ada alasan buat nggak percaya kalau dia punya tujuan lain. Sama kayak yang dia lakuin ke gue dulu.”
Kening Kristi berkerut. Memang terasa cukup aneh saat Rianti memilih mereka, walau diberi embel-embel keahlian dalam alasannya, tapi tetap saja dia tidak harus mengambil risiko dengan memasukkan anak badung dan orang yang tidak pernah akur seperti dirinya dan Hans. Tapi dia juga tidak bisa percaya begitu saja. Segala sesuatu yang masih berbentuk dugaan selalu butuh pembuktian, apalagi yang sifatnya bisa memicu pertengkaran seperti ini.
“Gue akan cari buktinya, baru bisa percaya.”
“Silakan, dan lo akan lihat kebenarannya.” Debby tersenyum sekilas lalu melangkah keluar dengan penuh keyakinan.
***
Tidak ada penggambaran lain yang lebih pas daripada membosankan. Semua wajah dalam ruangan ini menunjukkan keseragaman, semuanya menanti hal yang sama. Bel tanda kegiatan kerohanian selesai. Bukan berarti semua anak dalam ruangan ini tidak ada yang rohani, hanya saja mendengar guru mereka berceramah dan mengulang cerita yang sama terus menerus rasanya tidak menarik sama sekali.
Semua anak bergantian memandang keluar jendela, padahal tidak terlihat apa-apa di sana. Mungkin mereka hanya berharap melihat guru piket di bawah sana menekan bel tanda kegiatan kerohanian ini berakhir. Tapi kenyataannya bukan bunyi bel, malah suara sangat berisik dari lantai bawah yang mereka dengar.
Bu Erli menghentikan ceramahnya dan langsung menghambur keluar kelas, diikuti anak-anak yang sangat penasaran akan bunyi berisik di bawah sana. Mereka semua berkumpul di tepi tembok hijau dengan list hitam di atasnya yang menjadi pelindung lantai-lantai atas, dan melihat ke arah sumber suara. Di sana, terlihat segerombol anak-anak berseragam putih abu-abu yang berteriak-teriak, menyerukan nama beberapa murid, yang terkenal sebagai anggota geng badung di sekolah ini.
Kericuhan itu langsung mengundang semua guru keluar dari ruangan. Begitu pula murid-murid, semua melingkar di tembok dan membuat sekolah mereka yang berbentuk U menjadi penuh. Anak-anak yang dipanggil namanya berlarian keluar dari musala. Mereka memasang ancang-ancang, bersiap memberi serangan balik kalau-kalau gerombolan di luar sana hilang kendali.
Pak Rohman, petugas keamanan di sekolah ini terlihat berjaga-jaga di bawah sana, memastikan gerbang sekolah tetap tertutup rapat dan tidak ada satu pun dari gerombolan penyerang itu bisa menerobos masuk. Sedangkan Bu Kun, guru Matematika yang akan pensiun tahun ini terlihat sibuk mondar-mandir sambil menempelkan ponsel di telinganya, mungkin menelepon polisi atau bantuan lain.
“Keluar kalian semua! Kita udah di sini, jangan jadi pengecut!”
Seruan di bawah sana terdengar semakin kencang. Mereka bahkan mulai menggoyang-goyangkan pagar hitam dan terus berusaha menerobos masuk. Pekerjaan Pak Rohman semakin lama semakin sulit melihat jumlah mereka jauh dari kata sedikit. Pertahanan seperti itu saja sepertinya tidak akan berhasil.
Mata Rianti diedarkan ke sekeliling, memperhatikan orang yang dikenalnya satu per satu dan berhenti ketika menemukan Kemal. Cowok itu melihat ke bawah dengan mata berkilat-kilat, entah apa alasannya. Rahangnya mengeras, tangan yang berada di samping tubuhnya pun mengepal keras, sampai buku-buku jarinya memutih.
Rasa penasaran mendorong Rianti untuk menghampiri Kemal. Tangannya terangkat, hendak menepuk pundak cowok itu dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran, tapi suara pecahan kaca di bawah sana mengalihkan perhatiannya. Dia segera menoleh, dan mendapati kaca pos keamanan sudah berserakan. Suasana tidak membaik, malah sepertinya makin kacau dan menegangkan.
Rianti beralih, lupa akan tujuan awalnya untuk bertanya pada Kemal. Matanya kembali mewawas sekeliling. Di saat itu, dia menemukan Diaz di pojok kanan bawah, bersandar di pilar hijau depan laboratorium. Semua terlihat baik-baik saja saat Rianti mengamatinya dari atas. Tapi saat pandangannya tertuju ke arah bawah, ternyata ada banyak darah dari kaki cowok itu, tepatnya di bawah mata kakinya. Mendapati itu, Rianti langsung berlari ke bawah.
Napas Rianti terengah-engah begitu dia sampai di hadapan Diaz, lengkap dengan kotak P3K yang diambilnya di UKS sebelum ke sini. Matanya menatap lurus ke arah cowok yang wajahnya sudah memucat karena menahan sakit.
Sebagian dari dirinya bertanya-tanya kenapa dia harus berlari secepat itu untuk menolong Diaz. Lalu sebagian lagi merasa kesal karena melihat sudah ada banyak cewek berkerumun menawarkan bantuan. Seharusnya dia tidak usah sebaik itu, kan?
Menggeleng sekilas, Rianti langsung membuang muka dan bersiap berbalik. Keberadaannya di sini sepertinya tidak ada gunanya. Tapi di saat itu juga, Diaz menatapnya lalu bangkit dengan susah payah dan berjalan ke arahnya. Cowok itu tidak menghiraukan cewek-cewek yang mengelilinginya dan tetap menatap lurus ke arah Rianti.
“Lo mau ke mana, Yaz? Lo kan harus diobati dulu.” Usaha terakhir terdengar dari cewek yang berada tepat di samping Diaz tadi.
“Gue cuma mau dia.” Diaz menyingkirkan tangan cewek itu, lalu menunjuk Rianti sambil terus fokus menatapnya dan tidak menoleh sedikit pun.
Rianti tertegun. Matanya mengerjap-ngerjap. Dia tidak menyangka cowok seperti Diaz akan melakukan hal seperti itu, menyingkirkan cewek-cewek yang selama ini selalu menggelayuti dan menambah popularitasnya. Masih tidak bisa menemukan suaranya, Rianti membiarkan dirinya dituntun Diaz menuju pilar lain beberapa meter di depan.
Dalam diam, tanpa ada sepatah kata dari siapa pun, Rianti mengobati luka Diaz dengan telaten. Tangannya terus bergerak bergantian meraih alkohol, obat merah, kapas juga perban. Semuanya mengarah pada satu tempat, sudut di bawah mata kaki Diaz. Sedangkan cowok di hadapannya itu hanya diam. Mengamatinya tanpa berkedip dan membuat Rianti harus menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Bahkan tadi dia hampir lupa menjepit kapas saat mau mengoleskan obat merah pada luka Diaz. Konsentrasinya benar-benar terpecah saat ini.
“Yakin masih nggak mau terima gue? Kelihatannya khawatir banget tadi,” ujar Diaz. Tidak ada maksud meledek, Rianti tahu persis karena tidak terlihat senyuman selama berbicara tadi. Nada dan wajahnya, semua menunjukkan keseriusan.
Lagi, Rianti menarik napas dalam-dalam. “Udah selesai, nih.”
Diaz segera menahan tangan Rianti begitu dia ingin beranjak, dan memaksa cewek itu untuk tetap duduk. “Gue serius, Ri. Lo bisa lihat mata gue dan akan tahu kalau gue benar-benar serius.”
Betul, di mata Diaz, Rianti mendapati keseriusan. Bahkan dari nada bicaranya saja, Rianti sudah tahu betul akan hal itu. Tapi tetap saja, ada hal yang mengganggu. Entah apa, dirinya sendiri tidak tahu persis. Rasanya hanya sangat sulit percaya pada cowok macam Diaz. Juga sepertinya sifat cowok itu, yang menjadi salah satu penghalang besar.
“Walau gue lihat dan rasanya benar, tapi tetap nggak segampang itu buat percaya, Di. Isi hati orang nggak ada yang tahu, dibuktiin juga susah, dan bahkan masih mungkin salah.”
“Gue akan jadi anak baik, juga nggak akan dekat-dekat lagi sama cewek-cewek. Itu cukup buat jadi pembuktian, Ri?”
“Jangan jadi baik karena gue. Perubahan karena orang lain nggak akan bertahan lama, Di. Kalau lo mau berubah, itu harus datang dari diri lo sendiri, biar nggak gampang goyah.”
“Terus gue harus apa?”
“Pikir atau bilang ke gue, kenapa lo harus jadi anak nakal dan playboy?”
Diaz terdiam. Matanya tidak lagi menatap Rianti. Semua cahayanya meredup, seolah semangatnya hilang total. Kepalanya merunduk dalam. Mendapat respons seperti itu, Rianti hanya bisa tersenyum. Orang yang terbiasa dengan sifatnya tidak akan mudah memberi penjelasan, apalagi mengharapkan perubahan, rasanya hampir mustahil. Maka Rianti memutuskan untuk melangkah pergi.
“Membosankan.”
Walau dengan suara hampir berbisik, Rianti masih bisa mendengar jawaban Diaz dengan jelas. Kata itu sanggup membuat kening Rianti berkerut dan memikirkan maksud di dalamnya sampai waktu yang cukup lama.
_______________________________________________
Bab 5 up!
Di bab ini ada tentang tawuran, lebih tepat penyerangan ke sekolah, sih. Mungkin ada yang mikir nanti, apa itu mungkin, apa nggak berlebihan, apa logis. Tapi ini aku alami sendiri waktu pas masih SMA dan langsung jadi pengalaman tak terlupakan.
Kalau kalian ada pengalaman tak terlupakan apa selama sekolah?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro