4
Dalam keheningan perjalanan pulangnya, otak Rianti penuh dengan pertanyaan. Semua tentang Hans dan yang terjadi di rumahnya barusan. Pikiran Rianti langsung teralih pada sifat cowok itu. Menceritakan segala sesuatu, memuji diri sendiri, semuanya dilakukan untuk menarik perhatian. Standar, pikirnya.
Setiap orang yang merasa kurang diperhatikan akan berusaha mencari perhatian di tempat lain. Kalau begitu Hans bisa dicoret dari misinya. Rahasia di balik sifatnya terlalu biasa dan tidak lagi menarik bagi Rianti.
Di persimpangan jalan, Rianti menghentikan langkah. Otaknya kembali menelaah. Sepertinya orangtua Hans tidak baik-baik saja, tapi cowok itu selalu menceritakan hal bahagia. Untuk orang seperti Hans yang bisa mengumbar segala sesuatu dengan mudah, harusnya tidak ada yang dirahasiakan. Bahkan kebanyakan dari mereka suka sekali menceritakan kesulitan hidupnya untuk meraih simpati. Lalu apa yang terjadi pada cowok itu? Rianti kembali berpikir keras.
Represi, sebuah mekanisme pertahanan ego yang teorinya pernah dia baca langsung muncul di otaknya. Keadaan di mana seseorang tidak mau mengakui adanya hal yang membuatnya tidak nyaman. Dari yang pernah dia baca, orang-orang yang melakukan mekanisme itu akan lebih senang menceritakan berita baik dibanding berita buruk. Kalau benar begitu, maka dia tidak akan mencoret nama Hans dari daftar misi. Ini bahkan terasa lebih menarik lagi.
Rianti baru mau melanjutkan langkahnya menuju sebuah gang di persimpangan jalan tadi ketika suara klakson mengagetkannya. Umpatan keluar dari mulutnya begitu saja. Siapa pula yang membunyikan klakson sekencang itu padahal dia sudah berada di pinggir, bahkan lengannya hampir mengenai tembok.
Rianti menoleh dengan tatapan gahar, tapi sebuah helm langsung menyerbu kepalanya. Orang di depan sana menekan sekali lagi sehingga helm itu melesak sampai menutupi dagunya. Tangannya bergerak cepat untuk melepaskan benda itu, tapi orang di depan sana ternyata masih memegangi dan menekan sekali lagi. Rianti mengerang kesal, lalu menyerah dan mengarahkan tangannya untuk membuka kaca helm itu. Di depannya, muncul sosok Diaz yang sedang nyengir sambil memainkan kedua alis.
“Katanya mau pertimbangin, kan? Pendekatan dulu lah kita.”
Cowok itu mengedipkan sebelah mata lalu melemparkan senyum khas seolah tanpa dosa yang membuat Rianti ingin sekali menghajarnya. Sayang saja dia masih dibutuhkan dalam kelompok ini. Untuk pertama kali, Rianti membiarkan cowok itu menggiringnya sampai naik ke atas motor dan memboncengnya pergi.
Diaz menghentikan motornya di sebuah taman. Masih di sekitar daerah rumah Hans dan sekolah mereka. Taman ini memang cukup terkenal di daerah sini, juga selalu ramai. Sekarang saja ada banyak sekali orang berlalu-lalang di sana. Banyak juga yang berolahraga. Sepak bola, bulu tangkis, bahkan skate board. Semua orang terlihat sangat menikmati aktivitas masing-masing.
Rianti segera turun dari motor, berniat melepas helmnya tapi sudah didahului Diaz. Cowok itu memasang senyum manis. Taruhan, ini pasti sudah sering dilakukannya pada banyak cewek, apalagi yang suka menggelayut di sekitarnya. Playboy pasti sangat paham bagaimana membuat para cewek senang, tapi sayangnya hal itu tidak berhasil pada Rianti. Dia hanya menggumamkan terima kasih seadanya lalu melangkah pergi.
Di pinggir, ada semen yang melingkari tanaman-tanaman di belakangnya. Rianti memilih duduk di sana, menghadap orang-orang yang sedang bermain bulu tangkis. Sejak dulu dia memang suka dengan permainan yang satu itu.
Masih jelas di ingatannya saat dia dan keluarganya menonton pertandingan bulu tangkis bersama di televisi. Tapi kini sudah sangat jarang terjadi, karena tante-tantenya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing. Ah… Rianti benar-benar merindukan saat-saat itu.
“Lo suka badminton?” tebak Diaz melihat tatapan Rianti yang masih sangat fokus pada orang-orang yang sedang memukul kok di depan sana.
Rianti mengangguk. “Seru sih lihatnya. Apalagi kalau pertandingan kelas dunia. Bikin tegang nontonnya.”
Diaz tidak menanggapi, tapi langsung berdiri. Rianti melihat itu dari ekor matanya dan langsung menoleh bingung. Tangan cowok itu terulur, lalu kepalanya mengedik sekilas. “Kita main, yuk!”
“Kita, kan, nggak bawa apa-apa…”
“Gampang.” Diaz langsung menghampiri orang-orang yang sedang bermain di depan sana, sedangkan Rianti masih duduk diam, ragu apa usaha melobi itu akan berhasil atau tidak.
Terlihat mereka berbicara entah apa, tapi tidak lama kemudian Diaz menoleh lalu tersenyum lebar. Kali ini bukan senyum menggoda seperti biasa, tapi senyum yang terlihat lebih tulus, seolah bermain bulu tangkis adalah keinginannya, bukan keinginan Rianti.
***
Rianti mengempaskan diri ke tempat duduknya tadi, masih terengah-engah setelah bermain bulu tangkis barusan. Dia mengarahkan pandang ke sekeliling karena baru sadar kalau Diaz tidak mengikutinya untuk kembali duduk di sini. Matanya terus menjelajah sampai menemukan botol minum yang terulur.
“Pasti haus, kan?” Diaz muncul dengan senyum dan permainan alis khasnya, mau tidak mau membuat Rianti ikut tersenyum lalu menggumamkan terima kasih.
Mata Rianti masih terus menghadap ke depan. Setelah sempat diambil alih oleh mereka berdua selama beberapa saat, pemilik raket tadi kembali melanjutkan permainan mereka. Mengingat hal itu kembali mengundang senyum di wajah Rianti. Dia tidak pernah menduga kalau dirinya bisa tertawa, bahkan menikmati waktu bersama cowok badung yang selama ini dihindarinya.
Selama kurang lebih setengah jam, mereka berdua bermain bulu tangkis dengan asyik. Tidak ada smash atau teknik lain seperti para ahli, mereka hanya bermain dengan santai. Sahut-menyahut pukulan, dan membiarkan kok bergulir di udara dengan tempo lambat. Tapi memang seperti itu yang disukai Rianti, melakukan reli-reli panjang sehingga permainan semakin bisa dinikmati, sekaligus tidak membuat lelah karena harus terus mengambil kok.
“Jadi sejak kapan lo suka badminton?” tanya Diaz memecah lamunan Rianti.
“Sejak kecil, sih. Sejak orang rumah suka nonton pertandingannya di TV.”
“Apa lagi yang lo suka?”
“Kenapa lo harus tahu apa aja yang gue suka?”
“Biar gue bisa jadi bagiannya.”
Tawa Rianti langsung membahana sesaat setelah Diaz menyelesaikan ucapannya. Anak-anak di sekolahnya memang tidak pernah salah memberi julukan pada setiap orang. Gombalan seperti itu memang pantas membuat Diaz terkenal sebagai playboy kelas kakap.
Baru kurang lebih satu jam dia menghabiskan waktu dengannya, cowok itu sudah dua kali mengeluarkan jurus. Tidak terbayang cewek-cewek yang selalu menguntit di sekitarnya sudah dicekoki berapa banyak gombalan.
“Jangan ketawa, gue serius.”
Nada yang didengar Rianti benar-benar serius. Dia menoleh untuk memastikan itu dan menemukan Diaz sedang menatapnya lekat-lekat. Wajahnya tanpa senyum, seakan ingin menegaskan perkataannya barusan. Kali ini Rianti tidak langsung memalingkan wajah seperti biasa. Dia mengambil kesempatan untuk mengamati wajah cowok itu.
Rianti tidak yakin betul, tapi sepertinya hidung mancungnya lah yang menjadi daya tarik utama cowok playboy di depannya. Karena selebihnya tidak ada yang terlalu istimewa. Matanya hitam seperti kebanyakan orang, alisnya cukup tebal, rahangnya tidak terlalu tajam tapi tegas. Wajahnya memang putih, dan rambutnya ditata keren dengan jambul. Entahlah, mungkin perpaduan semua itu serta sikapnya yang suka menggombal yang membuat banyak cewek tergila-gila.
“Sejauh ini gue masih nggak bisa percaya, sih,” jawab Rianti sambil mengangkat bahu.
“Kalau gue nggak dekat sama cewek-cewek itu lagi, lo bisa percaya?”
Rianti tidak langsung menjawab. Baginya, itu pertanyaan yang sulit. Siapa yang tahu masalah hati, kan? Lagi pula, dia tidak yakin cowok seperti Diaz bisa melakukan apa yang diucapkannya barusan. Jauh dari cewek-cewek itu rasanya mustahil, mengingat mereka juga bagian dari geng itu. Rianti kembali mengangkat bahu dan baru ingin mengucapkan sesuatu ketika seorang cewek mendekati mereka dengan grasah-grusuh.
Cewek itu berhenti di depan Diaz, memajukan wajahnya hingga jarak mereka sangat dekat. Lalu berdiam cukup lama di sana dan mengamati wajah Diaz dengan saksama. Mulutnya terbuka, dia terkesiap. “Lo Diaz? Serius lo Diaz? Kok jadi keren gini? Dulu kan lo…”
Diaz langsung menarik cewek itu pergi. Refleksnya begitu cepat, sampai-sampai tidak melihat Rianti lagi. Mata Rianti mengikuti arah yang mereka tuju. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi rasanya sulit bagi Rianti untuk percaya pada Diaz. Baru berapa detik dia berbicara tentang menghindari para cewek, dan sekarang sudah menggandeng tangan salah satu dari mereka dan membawanya pergi tanpa mengingat Rianti.
***
Sepanjang jalan pulang menuju rumahnya, Rianti menggerutu. Bukan berniat berharap pada cowok macam Diaz, sih. Tapi setidaknya orang harus bisa memegang kata-katanya sendiri, kan? Bisa-bisanya cowok itu berharap Rianti akan percaya, sedangkan baru dihampiri seorang cewek saja, dia sudah langsung pergi dan melupakan Rianti.
Pilihan kata melupakan tidak berlebihan, kok. Buktinya setelah menunggu sekitar sepuluh menit, Rianti masih duduk sendirian di taman tadi. Diaz dan cewek yang tiba-tiba datang itu juga sudah menghilang. Entah ke mana. Rianti bahkan tidak ingat lagi melihat mereka pergi atau tidak. Lehernya sudah terlalu capek menoleh terus untuk memastikan keberadaan cowok itu.
Sampai akhirnya, setelah mengecek ponsel dan tidak menemukan pesan atau panggilan tak terjawab dari Diaz, Rianti memilih pulang. Dia pasti sedang bersenang-senang dengan cewek tadi, pikir Rianti yang membuatnya sama sekali tidak membaik. Begitu sadar pikiran itu melintas, Rianti menghentikan langkah lalu menggeleng-geleng kencang. Dia tidak boleh terus memikirkan hal itu.
Aneh, pikirnya begitu melihat sekeliling. Sepertinya gara-gara memikirkan kejadian di taman tadi Rianti jadi tidak fokus pada jalanan. Sekarang dia baru sadar kalau sejak tadi tidak ada satu orang pun yang berpapasan dengannya. Daerah ini terlihat begitu sepi, tidak seperti biasanya. Tidak menemukan hal mencurigakan di sekitarnya, Rianti membelok di persimpangan, satu-satunya jalan menuju rumahnya.
Begitu keluar dari kelokan, Rianti kembali terdiam. Kali ini bukan karena berpikir atau mengingat Diaz, tapi yang ada di depan sana terlihat menyeramkan. Segerombol preman sedang berkumpul dengan tawa menggelegar, bahkan sampai ke ujung kelokan sini. Beberapa dari mereka memegang botol hijau yang kadang digilir ke anggota lain.
Rianti bergidik. Menerobos gerombolan preman tidak pernah ada dalam bayangannya. Tidak usah preman, bertemu kelompok anak badung di sekolahnya saja dia akan memilih jalan lain.
Tapi saat ini dia tidak bisa melakukannya. Rumahnya yang berada di jalan buntu sekarang benar-benar menjadi petaka. Kenapa pula preman-preman itu harus berkumpul di sana, menyusahkan saja!
Rianti menarik napas dalam-dalam dan memacu langkahnya dengan sangat cepat. Dia memilih jalan di sebelah kiri, hampir mepet tembok. Setidaknya tembok lebih tidak membahayakan daripada preman-preman itu, pikirnya.
“Hei, Manis!”
Napas Rianti tertahan begitu saja. Ini buruk! Rianti yakin mereka sedang fokus minum-minum saat dia melirik tadi, tapi sialnya masih ada saja yang sadar kalau ada tubuh mungil yang berjalan cepat di seberang.
Dia ingin kabur, tapi bayangan preman-preman itu mengejarnya terasa semakin menyeramkan. Pada akhirnya dia hanya bergeming seperti batu. Bahkan dia benar-benar berharap bisa menjadi batu saat ini.
“Kamu punya duit nggak? Minuman kita habis, nih.” Salah satu preman mendekati Rianti dan bertanya sambil menggoyang-goyangkan botol kosong. Suaranya terdengar seperti orang pilek. Sengau dan tidak jelas.
Rianti masih bergeming. Tidak tahu harus melakukan apa. Di saat seperti ini, semua akan jadi serba salah. Kalau dia mengeluarkan dompet dan memberi uang yang mereka minta, bisa-bisa semuanya tidak kembali. Tapi kalau tidak melakukan apa-apa, hal yang lebih buruk bisa saja terjadi. Botol kosong itu melayang dan menghantam kepalanya, misalnya.
Bulu kuduk Rianti meremang. Akhirnya dia memberanikan diri untuk menoleh, tapi di saat itu juga dia melihat mereka semua lari terpontang-panting.
Walau samar, Rianti masih sempat mendengar salah satu preman yang berdiri paling belakang berseru pada bosnya yang meminta uang tadi. Dia berbalik, memastikan kalau preman-preman itu benar-benar sudah pergi, juga mencari tahu apa yang didengarnya barusan benar atau tidak.
Di belakang sana, seorang cowok yang sedang berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku dan menatap tajam, tidak seperti biasanya, membuktikan kalau yang didengarnya tidak salah. Sekaligus menimbulkan pertanyaan baru dalam dirinya.
“Bos… Ada Kemal, Bos…”
_______________________________________________
Bab 4 update!
Diaz mulai melancarkan usaha pdkt, nih. Kira-kira berhasil nggak ya?
Dan bagian Kemal serta Diaz mulai dibuka perlahan. Nantikan bab-bab selanjutnya, ya!
Sampai ketemu minggu depan ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro