Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

Bangunan dengan tulisan Eby Warnet di depannya terlihat cukup mengerikan bagi Rianti. Pemiliknya seolah sengaja memilih kaca gelap supaya orang yang melintas tidak bisa melihat ke dalam dengan mudah.

Sebenarnya tidak pernah ada berita apa pun tentang tempat ini, tapi Rianti tidak pernah suka dengan kenyataan bahwa yang berada di dalam sana semuanya cowok-cowok yang terkenal badung di sekolah.

Selama hampir tiga tahun bersekolah di SMA, Rianti tidak pernah berpikir untuk datang ke tempat ini. Baginya berada di kerumunan cowok-cowok itu sama saja cari penyakit. Mengerikan. Apalagi mulut mereka yang biasa mengeluarkan ejekan tanpa rasa bersalah. Entah bagaimana jenis lelucon orang-orang itu bisa sama, dengan kadar menyebalkan tingkat tinggi.

Bicara soal ejekan, Rianti juga tidak lepas dari incaran meskipun dia anak paling pintar satu sekolah. Awalnya semua baik-baik saja, sampai hari ketika Diaz menyatakan perasaan yang dianggap Rianti sebagai malapetaka hingga sekarang. Sejak saat itu, setiap Rianti lewat di depan mereka, akan terdengar siulan atau panggilan nama Diaz. Bukan hal yang besar memang, tapi tetap sangat mengganggu, apalagi kehidupan Rianti dulu sangat tenang.

Maka memikirkan akan masuk ke tempat ini, mendapat tatapan dari cowok-cowok itu, apalagi harus memanggil Diaz untuk diajak berbicara membuat tangan Rianti dingin. Entah reaksi apa lagi akan diberikan anak-anak itu, tapi pasti tidak ada yang bagus bagi jiwanya.

Rianti menarik napas dalam-dalam, lalu menggeleng-geleng. Pikirannya yang berlebihan harus dibuang. Dia tahu, tidak akan pernah ada yang bagus ketika berpikir berlebihan. Belum tentu yang terjadi nanti benar-benar buruk.

Krek

Pintu dengan gagang emas di depannya baru saja terbuka, menampilkan dua deret bilik penuh dengan komputer. Rianti celingukan, matanya diedarkan ke seluruh ruangan. Terkadang kakinya berjinjit untuk melihat bilik yang berada di belakang.

Aneh, tidak terlihat satu pun anak-anak badung itu di sana. Pikiran Rianti langsung mengarah pada warung kecil di samping sekolah. Selain di warnet ini, geng itu juga senang sekali berkumpul di sana. Tempat itu bahkan seperti warisan dari senior-senior yang dulunya juga anggota geng itu.

Tanpa keraguan lagi, Rianti berpindah tempat. Langkahnya dipacu dengan cepat kali ini, seolah ketakutannya yang tadi menguap secepat kilat. Hanya warung kecil, tempatnya juga terbuka, harusnya bukan sesuatu yang menyeramkan. Setidaknya masih akan lebih baik daripada warnet tadi, pikirnya.

Tapi begitu sudah dekat dengan tempat itu, bahkan masih ada jarak beberapa meter, dia sudah tahu pemikiran tadi sangat jauh dari benar. Tawa cowok-cowok itu menggelegar, bahkan bisa tetap terdengar sangat jelas walau jaraknya cukup jauh. Bahkan terlihat asap-asap putih mengebul perlahan.

Rianti terkesiap. Anak-anak itu pasti sudah gila! Bisa-bisanya mereka merokok di lingkungan sekolah. Tempat ini kan benar-benar berada di samping sekolah. Itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Rianti. Dia kira, warnet itu satu-satunya tempat paling maksiat di dekat sekolah, ternyata mereka jauh lebih berani dari yang diperkirakan.

“Gue mau ngomong.” Hanya itu yang bisa diucapkan Rianti setelah mengumpulkan semua keberaniannya. Semua mata yang ada di sana langsung melihatnya dengan tatapan kesambet apa ini orang?, lalu dengan perlahan memalingkan wajah ke arah Diaz, yang dipanggil Rianti hanya melalui tatapan.

Setelah sekian detik menatap Diaz dengan sok berani, akhirnya pandangan Rianti turun. Sebenarnya dari tadi pun dia tidak ingin melakukannya. Melihat pemandangan di depannya membuat dia bergidik. Diaz diapit dua cewek dengan seragam ketat yang kancingnya sudah dibuat turun.

“Tugas lagi. Iya, kan?”

Tidak menjawab, Rianti malah melangkah pergi. Setelah rasanya sudah cukup jauh dari kerumunan geng itu, dia berbalik. Untungnya, Diaz mengerti maksudnya dan mengikuti. “Gimanapun, lo harus ikut ngerjain tugas ini. Nama udah gue kasih ke Bu Bertha dan nggak mungkin diubah.”

“Ya udah, tulis aja nama gue di akhir. Kan nggak susah.”

Rianti menghela napas. Sepertinya anggota kelompoknya punya keahlian khusus, membuat darah mendidih saat harus berbicara dengan mereka. “Ini kan film pendek, mana mungkin lo cuma nongol sebagai nama. Lagian Kristi nggak mau kalau nggak lengkap.”

“Sejak kapan lo bawa-bawa nama orang lain buat jadi alasan?”

“Pokoknya lo harus ikut kerja kelompok besok!” jawab Rianti setelah berdecak kencang.

Diaz mencibir. “Harusnya lo nggak maksa. Gue aja nggak pernah maksa lo buat nerima gue waktu itu.”

“Terus gue mesti gimana?” Rianti mulai kehilangan kesabarannya. Entah sejak kapan, mengajak Diaz berbicara jadi sesulit ini. Yang dia tahu, cowok di depannya bukan tipe yang suka bertele-tele.

“Ya… harusnya lo tahu, sih,” jawab Diaz sembari mengedipkan sebelah mata.

Tanpa disangka Rianti malah tertawa. “Maksud lo gue harus terima lo, gitu? Lo masih berharap gue percaya lo beneran suka sama gue, padahal lo diapit dua cewek kayak tadi? Gila kali lo!”

Kali ini gantian Diaz yang tertawa. Lalu matanya memicing, dan memajukan kepalanya, seolah sedang meneliti cewek di depannya. “Lo cemburu?” Rianti mendengus, tapi itu malah membuat Diaz tertawa semakin keras. “Fix! Lo cemburu.”

Rianti memilih tidak menanggapi lagi. Dia berbalik dengan cepat. Tapi sebelum jauh, dia sempat kembali menoleh dan mengucapkan sesuatu, yang membuat tawa Diaz berhenti. Bahkan meninggalkan cowok itu dalam keadaan tercengang.

“Bakal gue pertimbangin. Besok habis pulang sekolah, kumpul dulu di kelas.”

***

Tidak disangka taktik yang dilancarkan Rianti berhasil. Tepat setelah bel pulang sekolah, Diaz tidak langsung pergi, malah menghampiri mejanya. Walau setelah itu dia hanya bersedekap seperti patung. Mungkin bingung harus mengatakan apa. Tapi itu saja sudah tergolong bagus. Setidaknya, dia bisa mengumpulkan kelompoknya saat ini, karena tidak ada lagi alasan bagi Kristi untuk menolak.

Memikirkan kejadian kemarin sebenarnya cukup membuat dirinya sendiri kebingungan. Saat memutuskan untuk mendatangi Diaz di markasnya, sebenarnya Rianti tidak punya rencana apa-apa. Dia benar-benar tidak punya ide bagaimana mengajak cowok itu ikut kerja kelompok. Yang dia lakukan hanya datang, siapa tahu ada peluang. Dan ternyata benar, cowok itu memberi pencerahan, walau cukup berisiko.

Mempertimbangkan pernyataan perasaan Diaz sama sekali tidak pernah ada di otaknya. Dia hanya asal bicara. Apa pun, yang penting mereka bisa berkumpul dulu dan tugas ini bisa selesai. Dan yang tidak kalah penting, misinya bisa tercapai. Setelah itu, dia bisa dengan mudah bilang kalau keputusannya tidak berubah.

Tapi tidak pernah terpikir olehnya, kalau bermain dengan perasaan terlalu berbahaya. Risikonya terlalu besar. Apalagi cewek mudah tersentuh dengan sikap yang tiba-tiba baik, walau tidak semuanya begitu, sih.

Semua berkumpul, lalu pergi ke rumah Hans sesuai usulan Rianti. Rumahnya tidak terlalu jauh, juga bisa mengerjakan dengan suasana yang lebih tenang. Itu yang dijadikan Rianti alasan saat memberi usulan tadi. Semuanya digunakan untuk menutupi satu alasan penting, mengulik informasi untuk menyelesaikan misi pribadinya.

“Jadi ini orangtua lo, Hans?” Rianti tidak membuang waktu sedikit pun. Begitu tiba dia langsung mengamati seisi rumah, sebisa mungkin membuat tingkahnya tidak mencurigakan. Mendapat anggukan dari Hans, Rianti kembali mengamati foto itu. Tidak ada yang mencurigakan. Semua tersenyum di foto itu, hanya saja gayanya sangat kaku.

“Kita pesan makanan, ya? Gue yang bayar, tenang. Mau makan ap…”

“Langsung kerjain aja biar cepat selesai. Nggak usah pesan-pesan makanan, malah bikin lama.” Kristi memotong ucapan Hans dengan cepat sebelum ada yang sempat berkomentar. Tidak ada yang menanggapi setelahnya. Hanya bibir manyun Hans yang menunjukkan reaksi.

“Oke. Jadi kita akan bikin film pendek. Ada yang punya ide mau bikin tentang apa?”

Pertanyaan Rianti terdengar seperti angin lalu. Kemal mendengarkan, tapi kelihatannya tidak berniat memberi komentar apa pun. Sedangkan Diaz, cowok itu sudah pasti tidak akan terlibat kecuali menyangkut keahliannya yang baru dibutuhkan di bagian akhir. Toh, dia ikut ke sini hanya karena janji Rianti kemarin. Hans malah pergi entah ke mana tanpa mengatakan apa-apa terlebih dulu. Satu-satunya harapan tinggal Kristi, tapi cewek ambisius itu masih belum mengeluarkan suaranya kecuali kesewotan tadi.

“Gue bukan patung, woi! Ngomong nggak ada yang nanggapin. Kristi, katanya tadi mau cepat kelar, sekarang ditanya malah diam aja!” Rianti sudah mulai sewot setelah hampir satu menit tapi suara yang terdengar hanya bunyi detak jam dinding.

“Gini…”

“Eh, kalian harus lihat ini!”

Sekarang giliran ucapan Kristi yang dipotong Hans. Cowok itu turun dari lantai dua dengan membawa beberapa tumpukan buku besar dengan sampul tebal berwarna emas. Semua mata memang langsung mengarah padanya, tapi bukan dengan tatapan yang menyenangkan, apalagi Kristi. Tatapan cewek itu sudah seperti ingin menelan Hans hidup-hidup lalu mengunyah sampai tak bersisa.

Tapi Hans seolah tidak menyadari hal itu. Entah benar-benar tidak sadar atau tidak mau mengaku kalau tidak ada satu orang pun di sana yang memberi perhatian padanya. Dia tetap membuka buku itu satu per satu. Ternyata isinya foto-foto. Dari dia kecil sampai umur segini. Lalu satu album khusus berisi hasil potretannya.

“Ini waktu gue umur empat tahun. Kita ke Swiss pas musim salju. Dingin banget! Kalian harus coba suatu saat nanti.” Tidak ada tanggapan.

“Nah, kalau ini hasil foto gue sendiri. Pas masih SMP. Gue udah jago motret ya ternyata dari dulu. Lihat nih, perspektifnya perfect. Susah, loh, bikin gedung di belakang ini kelihatan sejajar.” Masih tidak ada yang menanggapi. Bahkan melihat foto yang ditunjukkannya pun tidak.

“Jadi ide lo apa tadi?” Pertanyaan Rianti membungkam Hans, membuatnya akhirnya sadar kalau tidak ada yang memperhatikannya. Dia mengangkat bahu lalu menarik napas singkat dan akhirnya menunduk, berhenti berbicara.

“Kita buat cerita tentang anak yang bertahan hidup bareng neneknya setelah bapaknya difitnah ngebunuh orang dan dihukum mati, lalu ibunya bunuh diri gara-gara itu.”

Rianti mengangguk-angguk. “Gimana menurut yang lain? Kemal?” Reaksi Kemal sama, mengangguk setuju. “Ceritanya kayaknya keren, sih. Tapi berhubung ini buat perpisahan, kayaknya nggak cocok, ya. Gimana kalau tentang persahabatan?”

Wajah Kristi langsung cemberut. “Nggak usah nanya ide orang lain aja kalau emang lo udah punya ide absolut.”

“Nggak ada yang bilang ini ide absolut, Kris. Gue kan cuma kasih saran lain yang kelihatannya lebih masuk akal buat perpisahan sekolah. Jangan negative thinking terus, dong.”

“Ya udah. Oke. Persahabatan. Nanti gue bikin. Udah, kan? Selesai? Gue pulang.”

Kristi yang sudah terlihat sangat sewot langsung menyambar tasnya dan berdiri. Semuanya terkesiap, apalagi Rianti. Tidak pernah terpikir kalau cewek galak itu benar-benar susah diajak kerja sama. Tapi saat Kristi baru tiba di depan pintu, langkahnya terhenti karena terdengar suara ribut-ribut dari arah luar, lalu pintu dibuka dengan gerak kasar.

“Kamu itu istri macam apa, sih?! Suami ngomong malah pergi!”

“Muak tahu nggak dengar omelan yang itu-itu aja!”

Ketika pintu terbuka lebar, dua orang yang tampak sudah berumur, sumber dari keributan barusan langsung diam. Wajah keduanya terlihat bingung, lalu memerah perlahan. Semua anak-anak yang ada di ruang itu mengangguk perlahan, tetap berusaha memberi salam sesopan mungkin walau wajah mereka dipenuhi keterkejutan. Lalu Rianti menoleh pada Hans, memunculkan pertanyaan dalam dirinya sendiri.

Bukankah cowok itu selalu menceritakan kisah keluarga yang harmonis?

_______________________________________________

Bab 3 up!
Rianti bilang mau pertimbangin perasaan Diaz cuma supaya Diaz mau ikut kerja kelompok, tapi apa iya nanti nggak bakal luluh? Dan ada apa juga sama keluarga Hans? Ada di bab-bab selanjutnya, so better stay tune! :D
Sampai ketemu minggu depan ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro