Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Akan ada hari di mana sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan, terjadi di hidupmu. Di saat itu, yang akan terjadi selanjutnya ada di tanganmu, tergantung pada langkah mana yang kau pilih.

Rianti pernah membaca penggalan kalimat itu, tapi tidak pernah melintas di benaknya kalau hari itu benar-benar ada. Selama ini, semua yang terjadi di hidupnya tidak pernah jauh dari apa yang dia bayangkan. Dia belajar dan nilai-nilainya bagus. Dia mengamati orang di sekeliling dan sifat mereka tepat sesuai dugaannya.

Tapi kali ini, semua benar-benar di luar kuasa dan bayangan Rianti. Nilai-nilainya menurun karena terlalu fokus mengurusi misi rahasia yang membuatnya tidak konsentrasi selama belajar. Juga memikirkan tugas demi tugas yang lagi-lagi berurusan dengan orang-orang itu. Lalu sekarang, tugas yang dibelanya pun terancam berantakan karena perselisihan kemarin.

Dari tempat duduknya, Rianti memperhatikan anggota kelompoknya satu per satu. Hans yang biasanya sangat bawel jadi diam saja di bangkunya di pojok dekat pintu. Kristi tidak berubah, masih berjualan nasi kuning, tapi raut wajahnya semakin tidak bersahabat setiap lewat di depan Rianti. Kemal juga masih memasang ekspresi datar. Sepertinya dia satu-satunya orang yang tidak terpengaruh dengan apa pun yang terjadi di kelompok.

Semua kenyataan itu membuat Rianti bertambah pusing. Saat ini, sama sekali tidak mungkin untuk mengusulkan kerja kelompok, belum lagi skenario masih ada di Kristi. Tapi perpisahan sekolah juga makin lama makin dekat. Menjelang itu juga mereka akan makin sibuk dengan ujian demi ujian. Proses pembuatan film juga tidak mungkin hanya satu hari, kan?

Rianti mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Pikirannya benar-benar tidak menemukan jalan saat ini. Semua yang ditemuinya hanya kemungkinan buruk. Tapi dia berniat untuk tidak berdiam diri. Melakukan sesuatu tapi gagal masih lebih baik daripada berdiam diri dan menyerah pada imajinasi akan hal terburuk.

"Hans, kita..." Ucapan Rianti yang baru tiba di depan meja Hans terpotong begitu saja. Begitu melihat Rianti dan mendengar suaranya, cowok itu langsung membenamkan kepalanya di atas meja, seolah tidur. Padahal Rianti tahu, Hans hanya tidak ingin menanggapinya saat ini.

Dugaan Rianti runtuh begitu saja. Dia pikir, orang yang kelewat ceria seperti Hans akan sangat mudah diajak bicara. Semarah apa pun, dia akan segera lupa dan bersikap seolah tidak pernah ada masalah apa-apa. Tapi ternyata salah. Untuk kali ini, Rianti benar-benar salah. Tanpa sadar itu membuatnya terpukul. Keyakinan kalau dia mampu menjadi psikolog tiba-tiba goyah.

Selama beberapa saat, Rianti tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dia tidak melakukan apa-apa. Tidak melihat Hans atau pun mencoba bicara lagi dengan cowok itu, membuat semua anak yang melintas menatapnya bingung.

Sekali lagi dia meyakinkan diri untuk berusaha. Langkahnya dipacu cepat menuju tempat Kemal dan coba mengajaknya bicara. Tapi cowok itu tidak menjawab, juga tidak mengubah reaksi, hanya mengangkat kepala dan menatap tajam. Rianti sendiri bingung dengan arti tatapan itu, tapi sepertinya bukan hal yang bagus.

Semuanya sia-sia, pikir Rianti. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki keadaan sekarang ini. Kalau semua orang tidak ada lagi yang bisa diajak berdiskusi, mungkin ini saatnya untuk menyerah. Mengatakan terus terang pada Bu Bertha tentang semua kejadian ini dan meminta beliau untuk membatalkan tugas film pendek. Hanya itu yang mengisi pikirannya saat ini.

***

"Mana bisa seperti itu, Rianti. Ini untuk perpisahan sekolah, bukan main-main. Kamu biasanya tanggung jawab sekali sama tugas. Itu juga kenapa Ibu pilih kamu untuk tugas ini. Ibu yakin, kamu bisa tangani semua halangannya."

Begitu yang dikatakan Bu Bertha begitu Rianti menyampaikan keluh kesahnya tentang kelompok mereka. Tidak membantu sama sekali, malah membuat Rianti makin stres. Di depan Bu Bertha, Rianti tidak bicara apa-apa, hanya menunduk dan mengangguk pada akhirnya. Dia tahu, pembelaan seperti apa pun tidak akan menolongnya saat ini. Kemungkinannya sangat kecil untuk Bu Bertha membatalkan tugas itu.

"Kamu pasti bisa, Rianti," ucap Bu Bertha sesaat setelah Rianti berbalik, membuat langkahnya menuju pintu terhenti begitu saja. Ternyata, mendengar penghiburan diplomatis seperti itu ternyata cukup berpengaruh saat ini.

Dengan segala perasaan yang berkecamuk, Rianti akhirnya melangkah keluar. Sebelum benar-benar pergi, dia sempat berbalik, mengangguk sekilas dan tersenyum pada wali kelas yang biasanya tidak terlalu disukainya itu. Untuk kali ini saja, Rianti mau merasa senang karena semangat formalitas yang diberikan Bu Bertha, mengesampingkan kenyataan kalau tujuan dari ucapan itu adalah untuk kepentingan sekolah dan Bu Bertha sendiri.

Manusia akan memercayai apa yang ingin dipercayainya, sesuatu yang bisa membuatnya nyaman, walau mungkin kepercayaannya itu tidak benar. Rianti tahu benar, kalau hal itulah yang sedang dialaminya sekarang. Dia ingin percaya kalau Bu Bertha benar-benar mendukungnya, juga film pendek itu benar-benar bisa selesai, sesulit apa pun jalan di depan sana.

Saat baru beberapa langkah dari ruang guru, Rianti melihat Debby di kejauhan. Nama itu seketika menyentaknya. Bukankah dia sudah terlalu lama membiarkan orang itu sendirian sedangkan dirinya sibuk dengan kelompok baru dan tugas film itu? Mungkin sekarang saatnya untuk kembali berteman dengan cewek itu.

"Deb!" panggil Rianti setelah berhasil mengejar Debby.

Debby menoleh, tapi ekspresinya datar. Bahkan cenderung tidak senang. Tangannya disilangkan di depan dada, memberi sikap defensive, menyatakan dengan jelas kalau dirinya tidak ingin diganggu. Tapi Rianti mencoba menampik semua itu. Untuk kali ini saja, dia ingin bertindak tanpa memikirkan apa pun. Tanpa banyak menduga dan berekspektasi.

"Lo mau ke mana?" Setelah beberapa detik Debby masih belum mengubah ekspresi, Rianti memberanikan diri untuk kembali bertanya.

Tanpa disangka kali ini Debby tersenyum miring, lalu mendengus cukup kencang. "Sejak kapan lo peduli sama gue?"

"Kok lo ngomong kayak gitu, Deb?"

"Pura-pura bego banget, Ri? Lo nyamperin gue karena teman-teman satu kelompok lo lagi pada ngejauh semua, kan?"

"Nggak, Deb. Gue nyamperin lo karena benar-benar kepikiran sama lo. Begitu lo lewat, gue langsung ikutin."

"Nggak usah pura-pura, Ri. Coba lo tanya sama hati lo sendiri apa alasan lo nyamperin gue. Kalau memang benaran karena gue, lo nggak akan ngejauh kemarin-kemarin. Gue di-bully sama geng Raka aja lo nggak mau peduli, kan? Terus sekarang lo ngomong kayak gitu dan berharap gue percaya? Gue nggak bego, Ri."

Rianti tertegun. Sekarang semua ucapan Debby terasa benar. Ke mana saja dia saat cewek itu sedang dalam kesusahan? Bisa-bisanya dia meninggalkan Debby saat cewek itu meminta bantuan lewat tatapannya saat di-bully geng Raka. Rasanya dia bisa mengerti sakit hatinya Debby saat ini.

Tapi alasan yang dituduhkan Debby padanya tidak bisa diterima begitu saja. Rianti sendiri tidak yakin betul saat ini sedang menjadikan Debby pelarian karena semua orang menjauhinya. Tapi dia juga tidak punya alasan yang tepat saat ditanya alasannya tiba-tiba menghampiri Debby saat ini.

"Lo nggak bisa jawab, kan? Pasti, Ri, karena semua itu benar. Lo berantem sama anak-anak kelompok lo pasti karena misi pribadi lo yang mau cari tahu rahasia mereka, kan?"

Lagi, Rianti tertegun. Anggota kelompoknya tahu akan misi rahasia itu saja sudah cukup mengejutkan baginya. Sekarang Debby juga membahas hal yang sama. Apa semua orang tahu akan misi itu? Mana bisa lagi itu disebut rahasia kalau diketahui banyak orang seperti sekarang? Pikiran Rianti jadi kacau memikirkan semua itu.

"Lo... tahu dari mana?" tanya Rianti ragu-ragu.

Debby kembali tersenyum. "Itu nggak penting, Ri. Gimana pun caranya, yang jelas sekarang kita udah tahu semuanya. Menurut lo, kita akan tetap diam aja setelah lo manfaatkan buat misi pribadi lo itu? Dan kita akan terima aja pas lo ungkap rahasia kita? Nggak akan, Ri. Nggak ada orang yang mau digituin. Seharusnya lo sadar akan hal itu."

Rianti tidak lagi menjawab. Sampai Debby sudah menghilang dari pandangannya pun pikirannya masih kacau. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Kepercayaan yang baru dibangunnya hancur sekali lagi. Sepertinya itu benar-benar palsu. Tidak seharusnya dia menuruti hatinya untuk percaya akan hal mustahil itu.

***

Hingga sekian lama, Rianti masih duduk termenung di sebuah sudut di lantai dua. Sudut itu ada di depan ruang rohani Katolik, yang jarang dipakai, sehingga rasanya aman berlama-lama di sini tanpa takut ada yang melihat atau menghampiri. Dengan keadaan seperti ini, Rianti tidak merasa ingin menemui atau ditemui siapa pun. Entahlah, semua perasaan berkecamuk dalam hatinya. Membuatnya gundah dan tidak bisa merasakan apa pun dengan benar saat ini.

Jari Rianti yang saling menggenggam terasa dingin, padahal ini ruang terbuka tanpa AC. Kalau ada sesuatu yang bisa membuatnya jadi lebih baik, dia pasti akan mengambilnya, tidak peduli seberapa sulitnya hal itu untuk dilakukan. Tapi sayangnya, tidak ada apa pun yang bisa dilakukan saat ini. Juga tidak ada satu orang pun yang bisa mengangkat perasaan ini dari dirinya.

"Lo lagi ngapain di sini, Ri?"

Saking berantakannya pikiran dan perasaan Rianti, dia sampai tidak memperhatikan ada cowok yang bersandar di salah satu pilar dekat tempatnya duduk. Diaz. Cowok itu sudah mengamati tingkah Rianti dari saat di kelas tadi, dan mengikutinya sampai ke sini. Melihatnya bicara dengan Bu Bertha lewat celah kecil, juga mendengar perdebatannya dengan Debby. Bagi Diaz, sikap Rianti terlihat sangat aneh hari ini.

Rianti menoleh lemah. Di saat seperti ini, saat dia sedang tidak ingin ditemukan siapa pun, sosok Diaz terlihat semakin salah. Rianti menatap cowok itu dengan napas tertahan. Melihat Diaz di hadapannya saat ini terasa begitu menguras emosi. Wajah cowok itu terlihat seratus kali lebih menyebalkan dari biasa, dengan ekspresi tidak bersalah, setelah tidak datang ke kerja kelompok kemarin dan menimbulkan pertengkaran yang memusingkan seperti itu.

Akhirnya Rianti bangkit dari duduknya dan memilih pergi, mencoba menahan dirinya sebisa mungkin supaya tidak meledak. Semua yang terjadi hari ini sudah cukup menguras energinya, dan dia tidak berniat menambah beban itu dengan menghadapi Diaz sekarang. Tapi cowok itu malah menahannya, seolah tidak mau berhenti cari masalah. Rianti menghela napas dalam-dalam. Kesusahannya hari ini tidak berniat berakhir sepertinya.

"Kenapa lo selalu pergi pas gue ajak ngomong, tapi giliran sama Hans lo malah nyamperin? Apa lo nggak bisa ngerti perasaan gue sama sekali, Ri?"

Rianti menggeram. Rasanya saat ini dia tidak bisa lagi menahan amarahnya. "Lo masih bisa ya ngomong kayak gitu setelah bikin kacau kemarin?!"

Alis Diaz berkerut. "Memang kemarin ada apa?"

"Kerja kelompok. Lo nggak datang, Kristi marah, Hans mau ngelerai tapi Kristi malah makin marah. Menurut lo gimana? Apa itu nggak bisa digolongin kekacauan?"

Diaz terdiam. Dia memang sempat membaca chat di grup tentang kerja kelompok di rumah Hans kemarin. Dia juga melihat panggilan Rianti di ponselnya beberapa kali, yang tidak diangkatnya sama sekali. Diaz sengaja melakukan itu kemarin karena kesal melihat Rianti dan Hans begitu dekat. Dia tidak menyangka kalau keputusannya saat itu membuat kekacauan seperti ini. Kalau tahu begitu, tentu dia tidak akan membiarkan kecemburuan menguasainya dan malah membuat Rianti susah sekarang. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

"Maaf, Ri..." Hanya kata itu yang bisa diucapkan Diaz. Dia tahu, apa pun yang dikatakannya tidak akan membuat keadaan membaik. Juga tidak akan membuat posisi Rianti jadi lebih mudah. Tapi lebih baik minta maaf daripada tidak menunjukkan penyesalan sama sekali, kan?

Rianti mendengus. "Minta maaf memang gampang, Di. Tapi keadaan sekarang pasti udah susah membaik."

Benar. Diaz tahu kalau yang diucapkan Rianti memang benar., tapi dia juga tidak menemukan jalan lain untuk memperbaiki keadaan sekarang. Selama beberapa saat mereka terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Lalu tiba-tiba alis Diaz berkerut dalam. Dia baru ingat dengan ucapan Debby yang ingin ditanyakannya sejak tadi.

"Yang tadi Debby bilang, masalah misi buat cari tahu rahasia kita, maksudnya apa, Ri?" Terdengar jelas nada ragu di pertanyaan Diaz barusan. Wajahnya pun menunjukkan hal serupa. Dia tidak tahu apa menanyakan hal ini benar atau tidak, tapi rasa penasarannya juga tidak bisa ditahan lagi.

Rianti tidak menjawab. Mendengar pertanyaan itu membuatnya ingat kata-kata Debby sebelum pergi tadi. Semua ucapannya terasa makin benar sekarang, membuatnya makin terpuruk.

"Gue yakin, sekarang lo lagi cari-cari orang buat disalahin, dan kemungkinan paling gede, orang itu Diaz. Tapi kalau mau instrospeksi, lo akan tahu kalau semua kekacauan ini asalnya dari lo, Ri. Kalau lo nggak mau buktiin dugaan lo, semua ini nggak akan terjadi. Berhenti anggap diri lo pahlawan yang sempurna, Ri. Lo manusia yang juga pasti punya salah, dan itu wajar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro