10
Dari tempat duduknya, Rianti terus mengamati Hans. Jujur saja, dia masih merasa sangat kesal dengan kejadian kemarin. Dia juga merasa rasa kasihannya kemarin terbuang sia-sia dengan kenyataan kalau alasan Hans kabur dari rumah sangatlah kekanak-kanakan. Tapi dia tidak mau menghakimi terlebih dulu. Bisa saja ibu Hans sengaja berkata seperti itu untuk menyembunyikan keadaan keluarga mereka yang sebenarnya, mengingat bagaimana sikap ayah Hans kemarin.
Rianti melirik jam tangan kecilnya. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum Bu Bertha masuk dan memberi pelajaran terakhir. Maka dia bangkit dari bangkunya dan berjalan ke sebelah kiri, tempat Hans berada. Tapi di saat itu, Kristi juga datang. Arahnya dari luar kelas, sepertinya cewek itu baru selesai jualan.
"Heh, Orang Kaya! Orang-orang kayak kalian nggak bisa ya sekali aja nggak nyusahin orang lain? Kalian kebanyakan waktu apa sampai dibuang-buang seenaknya kayak gitu dan nggak mikirin orang lain punya kerjaan?"
Hans yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepala begitu Kristi datang dan melancarkan serangan bertubi-tubi. Tidak ada ekspresi di wajah Hans. Dia hanya menatap Kristi dengan bingung. Tapi dari tempatnya berdiri, Rianti bisa melihat kesenduan di sana. Tidak seperti biasanya, Hans memang terlihat tidak bersemangat sepanjang hari ini.
"Apa coba alasan lo kabur? Pasti sepele, gue yakin. Orang kaya macam lo tuh pasti berlebihan dan nggak bisa menghargai yang udah ada. Iya, kan? Ngaku aja!" Kristi masih mengomel tanpa ampun. Entah hati cewek itu terbuat dari apa. Bisa-bisanya dia terus mengomeli Hans tanpa rasa kasihan.
Rianti menoleh dan menyadari kalau mereka sudah menjadi pusat perhatian. Semua murid yang menikmati waktu istirahat di dalam kelas menyaksikan tindakan Kristi, dan seolah sepakat untuk bersama-sama menunggu jawaban Hans. Tapi cowok itu masih tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Lo nggak punya jawaban buat ngebela diri, kan?" Kristi menunggu sejenak, lalu mendengus keras-keras. "Pastilah, ya. Kenapa orang-orang kayak kalian nggak musnah aja coba."
Di akhir ucapan Kristi barulah terlihat perubahan ekspresi di wajah Hans. Dia tertegun. Sepertinya tidak pernah menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut Kristi. Tapi ucapan itu memang cukup keterlaluan. Rianti pun kaget mendengarnya. Menurutnya, semarah apa pun Kristi, dia tidak berhak berkata seperti itu. Pada siapa pun. Maka Rianti memajukan langkah, tapi Diaz tiba-tiba mengadang.
"Nggak usah ikut campur, Ri. Kayaknya Kristi udah cukup nggak suka sama lo, jangan nambah masalah."
Walau yang diucapkan Diaz ada benarnya, tapi Rianti tidak bisa hanya berdiri diam melihat kejadian itu. Apalagi setelah mendengar ucapan yang membuat Hans bertambah sendu tadi. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk tidak bertindak. Rasanya dia sama kejamnya dengan Kristi kalau tidak melakukan apa-apa.
"Lo nggak kasihan sama Hans? Kata-kata itu terlalu nyakitin, Di. Gue nggak bisa diam aja." Rianti akhirnya melepas tangan Diaz yang menahan tangannya dan menghampiri mereka berdua.
Begitu tiba di depan Kristi, Rianti menarik napas dalam-dalam. Dia harus menghadapi cewek itu dengan tenang supaya tidak menimbulkan masalah baru. "Kata-kata lo terlalu kejam, Kris. Semarah apa pun, lo nggak berhak meminta orang untuk musnah," ujarnya dengan nada tenang setelah merasa berhasil mengontrol diri.
Kristi langsung menoleh. Tatapannya masih sama gaharnya seperti yang sejak tadi ditunjukkan. Lalu tiba-tiba dia tersenyum. "Baiklah, Ketua Kelas Panutan. Terima kasih untuk pengajarannya." Selanjutnya dia melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Ternyata tadi hanya senyuman meledek.
Rianti mengembuskan napas kencang. Rasa ingin tahunya akan Kristi bertambah setiap harinya. Cewek itu pasti pernah punya kenangan buruk dengan orang kaya sampai bisa bersikap sekejam itu pada Hans. Apalagi sampai tidak bisa ditegur seperti barusan. Tidak biasanya kalau mengingat sifatnya yang selalu patuh pada aturan dan menurut perintah guru.
"Lo nggak apa-apa, Hans?" Rianti menoleh dan mendapat anggukan dari cowok itu. Begitu Kristi pergi, Hans langsung terduduk lemas di bangkunya.
"Mungkin dia benar." Suara lemah itu terdengar dari Hans. Rianti sontak menoleh dan menemukan tatapan kosong di mata cowok itu. Sepertinya kata-kata Kristi barusan membuatnya sangat terpukul.
"Nggak, Hans. Tuhan ciptain manusia pasti ada gunanya, bukan buat musnah gitu aja." Rianti mengambil waktu dan duduk tenang di bangku kosong sebelah Hans. "Emang sebenarnya lo kenapa kabur, sih?"
"Sama kayak yang dibilang mama gue. Gue minta kamera baru dan nggak diturutin. Memang benar yang Kristi bilang. Gue nyusahin."
Mendengar pengakuan Hans, harusnya kemarahan Rianti datang lagi. Tapi melihat keadaannya seperti sekarang, Rianti tidak sampai hati membuatnya lebih terpuruk lagi. Di saat seseorang merasa sangat buruk dan tidak berguna, yang dia butuhkan adalah penyemangat, kan? Atau mungkin yang paling sederhana, telinga untuk mendengar semua keluh kesahnya.
"Kalau benar kayak gitu, seenggaknya sekarang lo udah sadar. Selanjutnya lo tinggal berubah jadi lebih baik. Kurangin sifat kekanak-kanakan kayak gitu dan semua beres. Semangat, Hans! Lo pasti bisa." Rianti menepuk-nepuk punggung Hans. Dari arah belakang, terlihat Diaz yang sedang mengamati mereka berdua dengan tatapan tajam.
Tidak lama kemudian, bel berbunyi dan Bu Bertha masuk. Di tangannya ada amplop cokelat tebal. Begitu tiba di kursi tingginya di depan kelas, dia langsung mengeluarkan setumpuk kertas dari amplop cokelat tadi. Lalu memanggil nama murid-murid di kelas ini satu per satu. Ternyata itu hasil try out kedua mereka.
"Kenapa nilai kamu menurun drastis, Rianti? Kamu harus fokus belajar, sebentar lagi UN. Masa juara umum nilainya segini," ujar Bu Bertha sambil menyerahkan kertas hasil try out pada Rianti. Dengan wajah menunduk Rianti kembali ke bangkunya. Hari ini dia memilih duduk di sebelah Hans.
"Semangat! Ini baru try out kedua. Masih ada satu kali lagi terus UN. Anak pintar kayak lo pasti bisa, Ri." Gantian Hans yang menepuk-nepuk punggung Rianti, yang akhirnya membuatnya bisa tersenyum. Tapi di sisi lain kelas, ada yang sedang mengepalkan tangan keras-keras dan kehilangan senyumannya. Diaz.
***
Kita harus kerja kelompok hari ini, buat ngegantiin hari yang berlalu sia-sia kemarin gara-gara satu orang nggak penting!
Chat itu masuk ketika Rianti baru saja mengempaskan dirinya ke atas kasur. Setelah membaca isinya, Rianti malah merasa ingin melempar ponsel yang digenggamnya ke mana pun. Harusnya itu menjadi berita yang menggembirakan karena Kristi mengajak kerja kelompok duluan. Tapi kalau sudah berada di rumah seperti ini, bukankah semua orang akan malas keluar?
Kenapa nggak bilang tadi sih, Kris? Kalau udah di rumah gini mah pasti pada malas keluar lagi.
Rianti mengetikkan balasan, tapi bukan ke grup. Dia memilih untuk mengirimkan chat pada Kristi secara pribadi, karena yakin hal itu akan mengundang pertengkaran mengingat sifat Kristi yang biasanya tidak suka dibantah. Apalagi selama ini cewek itu juga tidak pernah merenspons dengan baik semua yang diucapkan Rianti.
Bukannya biasa lo yang semangat banget buat ngerjain tugas? Sejak kapan juga lo jadi tolerir alasan malas keluar kayak gitu? Gue udah selesaiin ngetik cepat-cepat karena lo kejar terus dan sekarang kalian yang harus dengar kemauan gue.
Seperti dugaan, Kristi tidak akan merespons dengan baik. Pilihannya untuk tidak menanggapi di grup tepat kali ini. Sebenarnya Rianti juga ingin mengajak kerja kelompok, tapi mengingat kejadian yang membuat keadaan menjadi panas tadi, niatnya langsung urung. Siapa sangka Kristi yang menimbulkan kejadian seperti tadi malah yang mengajak duluan.
Ya udah, kita kerja kelompok hari ini ya, guys. Semua bisa ke rumah Hans sekarang. Makasih.
Setelah mengirimkan chat itu ke grup, Rianti langsung turun dari kasurnya. Mengganti seragamnya dengan pakaian yang lebih santai, lalu bersiap berangkat. Tapi sebelum itu, dia masih sempat mengecek chat yang dikirimkannya ke grup tadi untuk melihat siapa saja yang sudah membaca chat itu. Dia tidak mau datang sia-sia karena tidak ada yang setuju, atau menunggu sekian lama karena semua orang masih bersiap-siap.
Setelah mendapat balasan berupa emoticon jempol dari Kemal dan Hans, Rianti akhirnya berangkat. Perjalanan kali ini terasa lebih melelahkan, padahal harusnya sama saja karena jaraknya pun tidak berbeda. Tapi kasur empuk yang tadi sudah sempat ditempati membuat kemalasannya bertambah.
Begitu tiba di rumah Hans, Rianti menemukan Kristi sedang duduk di tembok kecil putih di sebelah rumah Hans. Sepertinya ini salah satu alasan Kristi lebih mendesak Rianti untuk setuju dengan adanya kerja kelompok sekarang. Panas yang tidak manusiawi memang tidak memungkinkan orang untuk menunggu dengan lebih sabar. Rianti sendiri saja ingin segera masuk dan menikmati nyamannya rumah Hans.
"Udah lama, Kris?" Basa-basi Rianti itu tidak dibalas oleh Kristi. Cewek itu lebih memilih membuka pagar supaya bisa secepatnya masuk ke rumah Hans.
Baru ketukan kedua, Hans sudah membukakan pintu rumahnya, seolah dia sudah menunggu kedatangan mereka sejak lama. Hans tersenyum begitu melihat Kristi, tapi cewek itu tidak melakukan hal yang sama. Dia melengos begitu saja, menoleh pun tidak. Sikap Kristi ini membuat Rianti semakin curiga, dan yakin untuk mencari tahu alasannya, seperti yang sudah direncanakannya sejak awal.
Tidak lama kemudian, suara pintu diketuk kembali terdengar. Asalnya pasti dari Kemal, tebak Rianti. Betul saja, begitu Hans membukakan pintu, cowok itu muncul dengan wajah datar di baliknya. Kemal juga membuat Rianti semakin penasaran. Ekspresinya jarang muncul, tapi sekalinya ada, malah menyeramkan, juga mencurigakan.
Menit demi menit berlalu hingga tidak terasa sudah setengah jam mereka menunggu, tapi Diaz belum datang juga. Rianti mengambil ponselnya dan mengecek chat yang dikirimkannya ke grup tadi. Ternyata Diaz belum juga membacanya. Akhirnya, Rianti mencoba menelepon Diaz, tapi sampai dering terakhir, cowok itu tidak juga mengangkat teleponnya.
Rianti mengusulkan untuk menunggu lagi, tapi seperti biasa, Kristi tidak setuju. Tapi setidaknya, kali ini dia memberi usul, tidak hanya mengomel. Coba telepon teman gengnya, usulnya. Rianti menurut, tapi hasil yang didapat malah membuat darahnya mendidih. Suara berisik menjadi latar.
"Dia nggak datang lagi?" kejar Kristi.
"Mungkin lagi ada urusan." Rianti berusaha menutupi kenyataan. Berharap amarah Kristi tidak akan meledak, walau dalam hati dia juga kesal setengah mati dengan sikap Diaz.
"Nggak usah cari alasan. Gue dengar suara berisik tadi." Rianti terdiam. Harusnya dia tahu usahanya itu tidak akan berhasil. Suara berisik itu memang terlalu kencang untuk bisa ditutupi.
"Lagi-lagi hari ini sia-sia, ya. Memang harusnya dari awal gue nggak ikut di kelompok ini. Nggak pernah ada yang benar dari awal." Kristi menatap Rianti dalam, lalu kembali melanjutkan, "Lo juga, Ri. Cari orang yang nggak benar buat masuk ke kelompok ini. Jadi kacau balau kan semuanya!"
Rianti mencoba menahan amarahnya dari tadi. Tapi kali ini dia tidak tahan lagi. Semua tingkah anggota kelompoknya sudah membuat Rianti pusing, dan sekarang dengan seenaknya Kristi menyalahkannya.
"Gue juga udah usaha sebaik mungkin, Kris. Sampai nilai try out gue turun drastis. Lo kira gampang ngurus kelompok yang isinya orang-orang kayak kalian!"
Mendengar itu, Kristi mendengus keras-keras, lalu tertawa. "Ini kan memang mau lo. Lo pikir gue nggak tahu? Lo sengaja kumpulin anak-anak yang udah lo incar buat diteliti sifatnya, dan cari tahu cerita masa lalunya. Dan sekarang lo bilang ini nggak gampang buat lo? Nggak usah bercanda, Ri."
Mata Rianti melebar seketika. Dia tidak tahu dari mana Kristi mengetahui misi rahasianya. Juga tidak pernah terpikirkan hari ini, di mana Kristi akan menyerangnya dengan hal itu. Tangannya mengepal keras, mencoba menahan semua perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Dia bahkan tidak tahu perasaan mana yang lebih dominan saat ini.
Melihat suasana seperti itu, Hans mendekat dan berusaha memisahkan. "Kita masih bisa kerja tanpa Diaz dulu, kok. Dia kan dibutuhin di akhir. Kalaupun sampai akhir dia nggak ikut, gue bisa bayar orang yang jago edit buat bantu kita."
"Nggak semuanya bisa diselesaiin dan dibeli pakai uang, Orang Kaya!"
Kali ini Hans yang tertegun. Rasanya begitu berat mendengar ucapan Kristi yang menyakitkan selama dua kali hari ini. Entahlah, sepertinya cewek itu memang tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Mungkin dari sudut pandangnya, dia yang paling dirugikan dan menderita sampai bisa seenteng itu berbicara seenaknya pada orang lain.
Suara Hans yang hampir tidak terdengar akhirnya menjawab dengan wajah sendu. "Memang. Teman dekat, contohnya."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro