Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5. Together Forevermore

Resepsi pernikahan telah selesai satu jam yang lalu. Sementara Sean masih mengobrol dengan keluarga besarnya, aku pamit duluan untuk menghapus riasan sekaligus istirahat. Karena di kamar Sean tidak ada cermin yang cukup besar, jadi terpaksa aku menumpang di kamar Kak Sarah.

Sebelum pindah ke rumah kami sendiri, aku dan Sean akan tinggal sementara di rumah orang tuanya. Sejujurnya, aku masih tidak percaya semua ini terjadi. Rasanya seperti baru kemarin aku bertemu Sean, menjalani hubungan yang penuh liku, dan sekarang aku telah resmi menjadi istrinya. Istri seorang Sean, lelaki yang membuatku tertarik pada pandangan pertama. Semua ini terasa bagaikan mimpi.

Aku menatap pantulan wajahku yang telah bersih dari riasan. Di sana ada sosok Audrey yang sama seperti yang selama ini aku kenal, namun ada yang berbeda di jiwa wanita itu. Diriku yang ada di dalam cermin seolah bertanya kepadaku, sekarang apa lagi?

Teman-temanku berkata aku beruntung mendapatkan Sean sebagai pendamping hidup. Aku akui, Sean memang sosok yang sempurna untukku. Tapi, aku merasa masih ada banyak hal yang belum aku ketahui. Masih ada hal yang membuatku takut. Bagaimanapun juga, kehidupan pernikahan memiliki tantangannya sendiri. Aku bersyukur setidaknya Sean telah berhasil meyakinkanku. Ah tidak, Sean adalah alasanku yakin mengambil keputusan untuk menerima lamarannya. Bukan usahanya, bukan juga tuntutan dari orang lain. Semua ini karena Sean. Dia membuatku berani menghadapi ketakutanku sendiri.

Ketika aku kembali ke kamar Sean---kamar kami, dia rupanya juga telah kembali dari kegiatan ramah tamah dengan keluarga. Sean masih mengenakan setelan jas yang dipakainya di resepsi tadi, kini tengah duduk di sisi tempat tidur dengan sebuket mawar putih di pangkuannya.

"Hari ini melelahkan, bukan?" tanyanya ketika melihatku berjalan menghampirinya, menyusulnya duduk. Tanpa banyak kata, Sean mengangsurkan buket itu kepadaku.

"Apaan nih?"

"Seperti yang bisa kamu lihat, ini mawar putih, Audrey. Anggap saja hadiah pernikahan dariku," balas Sean, kelihatan sekali dia sedang menahan malu. Aku pun juga begitu.

Apakah semua pengantin baru merasa seperti ini? Merasa malu dan canggung setelah menjalani resepsi, dan sekarang tinggal berdua saja di dalam kamar?

"Thank you. Tapi aku nggak nyiapin apa-apa nih buat kamu."

"Kamu ada di sini aja, udah cukup kok, Drey." Rasa malu Sean sepertinya sudah menguap karena barusan saja dia mengerlingkan sebelah matanya. Aku pura-pura menghirup aroma mawar pemberian Sean, untuk menyamarkan senyumanku. Aku bingung harus berbuat apa untuk meredam perasaan gugup ini.

Mengunjungi rumah Sean tentu bukan hal yang baru bagiku. Tapi tentu saja situasinya berbeda sekarang. Aku bukan lagi mengunjunginya sebagai kekasih yang akan pulang ketika saatnya tiba, melainkan aku akan tinggal menetap bersamanya. Perasaan asing itu kembali menghampiriku. Ini bukan mimpi, kan?

"Drey?" Suara Sean membuyarkan lamunanku. Dia merapikan rambutku ke belakang telinga saat memanggilku. Mau tak mau aku menoleh menatapnya, seketika menyadari betapa tampannya Sean malam ini. Seharian tadi, aku terlalu sibuk menjalani prosesi dan menyapa para tamu resepsi, hingga tak sempat benar-benar memperhatikan Sean.

"Kamu capek, nggak?"

Pertanyaan Sean menimbulkan makna ganda yang menghidupkan fantasi liar di dalam kepalaku. Tanpa sadar aku meneguk ludah. Apakah aku akan segera mengalami "malam pertama"?

Karena aku tak segera menjawab, Sean malah mengetuk dahiku dengan buku jarinya, "Nggak usah mikir aneh-aneh ya kamu. Mentang-mentang sekarang kita udah sah, dan cuma ada kita di sini."

"Apaan sih, siapa juga yang mikir aneh-aneh."

"Atau kamu malah ingin segera melakukannya sekarang?? Aku sih ayo aja."

Bulu kudukku meremang. Oh Tuhan, dosakah aku jika aku berkata aku belum siap?

"Nggak, aku begitu capek. Kenapa emangnya?" balasku, mencoba mengembalikan topik pembicaraan yang sepertinya hampir menyimpang.

"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Bentar ya, aku ganti baju dulu."

***

"Astaga, tempat ini kan...?"

Aku terperangah ketika kami telah sampai di gerai es krim sebuah pusat perbelanjaan. Tak terasa kedua mataku mulai basah. Bagaimana bisa aku melupakan tempat yang spesial ini?

"Tempat pertama kali kita ketemu, kan?" sahut Sean sambil memamerkan giginya. Dia meraih tangan kananku untuk membimbingku duduk di bangku yang kosong.

Sean lalu memesan satu skup es krim rasa cokelat untuk kami nikmati bersama.

"Kamu aneh."

Sean hanya tertawa mendengar ucapan spontanku. Bagaimana tidak aneh? Mana ada pengantin baru yang menghabiskan malam pertamanya dengan makan es krim?

"Aku hanya ingin mengenang pertemuan pertama kita di malam pertama kita. Apanya yang aneh, coba?"

Pada akhirnya aku setuju juga dengannya. Aku mengungkapkan perasaan heranku pada diriku sendiri jika mengingat pertemuan pertamaku dengan Sean kala itu. Mengapa aku bisa langsung percaya padanya, bahkan mau diajaknya makan es krim bersama, padahal kami belum saling mengenal?

"Mungkin kamu tak menyadarinya," jawab Sean, "Bahwa ada sebuah garis tak kasat mata yang mencoba menyatukan kita saat itu."

Aku mencibirnya. "Sejak kapan kamu percaya hal begituan?"

"Kamu kan suka nulis, aku kira kamu bakal suka kalau aku jawab begitu," balas Sean sambil mengedikkan sebelah bahunya.

Ah, aku jadi lupa tentang rencana tulisanku setahun lalu. Aku sempat terpikir menuliskan kisah cintaku dengan Sean ke dalam sebuah buku. Namun kesibukan kerja dan persiapan pernikahan menghambat waktu menulisku. Mungkin aku harus mulai mengerjakannya kembali sekarang.

"Balik yuk, Drey?" tanya Sean setelah melahap sendokan es krim terakhirnya.

"Kamu seriusan ngajak aku ke sini cuma mau makan es krim?"

"Kamu seriusan nggak mau menikmati malam pertama kita?"

Sekali pukulan di lengan dan Sean berpura mengaduh kesakitan. Pada akhirnya kami berjalan menuju tempat parkir tanpa sekalipun melepaskan tautan tangan kami. Layaknya anak remaja yang baru saja mulai pacaran.

Dan begitulah cara kami memulai menjalani fase kehidupan pernikahan kami. Kini setelah aku melangkahkan kaki ke dalam kehidupan yang baru bersama Sean, ternyata tidak semenakutkan yang aku pikirkan dulu. Walau begitu, tak ada yang bisa menjamin jalan yang telah kami pilih ini akan lurus seperti jalan tol. Jalan yang berkerikil dan terjal bisa saja telah menanti kami di suatu titik dalam perjalanan kami, namun aku yakin kami akan bisa melaluinya jika kami bersama.

END



A/N: Terima kasih telah mengikuti kisah Sean dan Audrey hingga ke titik ini ^^ Maafkan chapternya yang pendek sekali, dan jika ceritanya masih jauh dari kata sempurna. Namun aku harap kalian bisa menikmatinya :) 

See you an another story~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro