Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Before A Kiss | 5

"Tunggu aku, Nar. Aku pasti pulang."

Wajahnya pucat dan ia sesekali terbatuk, namun Putra tetap tersenyum seraya menatap Jenar dengan optimisme yang selalu berkobar di matanya. Jenar mengangguk dan ikut tersenyum menyemangati. Ia percaya, sebab lelaki itu tidak pernah ingkar janji.

Lalu jauh di suatu tempat, sebuah suara menginterupsi. Makin lama makin keras hingga Jenar terganggu, dan akhirnya ia terjaga dengan senyum yang masih tertinggal di bibir. Senyum yang perlahan memudar saat ia sadar jika senyum Putra barusan hanya ada di dalam mimpi.

Gadis itu segera mematikan alarm ponselnya dengan kecewa. Rasanya perih sekali di hati.

"Kenapa, Nar?" Rumi bertanya.

Gadis itu menggeleng demi menyamarkan mata yang berkaca. Masih pukul lima pagi, tapi Darla dan Rumi ternyata sudah terjaga.

"Nggak tidur, Buk?" Jenar bertanya dengan cemas saat melihat wajah Darla semakin pucat. "Badannya sakit, ya? Aku panggilkan perawat sebentar."

"Agak sesak aja, tadi sudah diperiksa. Katanya nanti akan dikonsulkan ke dokter," ucap Rumi.

"Parah? Kenapa aku nggak dibangunkan?"

Rumi melirik Darla dengan tidak puas.

"Nggak, nggak parah. Cuma sebentar lalu hilang, kok. Kamu kelihatan capek banget," Darla tersenyum meskipun suaranya terdengar lemah. "Hari ini Haris bisa ke sini?"

"Haris kerja--"

"Mas," desis Darla parau. "Yang sopan. Calon suamimu itu!"

Rumi mengangguk-angguk setuju, sementara Jenar menahan diri agar tidak menepuk jidat.

"Mas Haris kerja, Buk. Hari ini mungkin agak sibuk."

Wajah Darla mengerut kecewa. "Nanti sore, tetap nggak bisa?"

"Kayaknya dia lembur." Jenar terus mengelak.

"Satu jam saja?" Darla menatapnya sedemikian rupa hingga akhirnya Jenar mengalah juga. Lagipula, dia tadi berbohong tentang kerja lembur Haris. Dia hanya tidak ingin melibatkan Haris dalam banyak aktivitas.

Jenar

[Haris. Kita bisa bicara?]

"Rumahnya juga dekat, kan? Harusnya itu nggak masalah," timpal Rumi.

"Memangnya--" rumah Haris di mana?

Jenar kembali menelan sisa kalimatnya. Skenarionya bisa hancur jika dia bahkan tidak tahu di mana Haris tinggal.

"Kerjanya analis analis gitu. Memang kerjaannya kayak apa sih, Nar?" tanya Rumi lagi.

"Analis--pegawai laboratorium, Bulik. Kemarin ngobrol apa sih? Baru ketemu, bisa gitu langsung ngobrol banyak?" Jenar buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Kamu nggak merhatiin?" Rumi mengerutkan kening.

Jenar menggeleng. Prioritasnya kemarin adalah Darla. Begitu Darla aman, dia sibuk memastikan kondisi Darla dengan dokter dan psikiater.

"Ah, padahal seru lho, Nar. Pengalaman mendakinya banyak. Dia pintar cerita, pacarmu itu."

Jenar tertawa canggung sambil menggenggam kalung saat dadanya makin perih.

"Nar," panggil Darla tiba-tiba. "Kalungnya nggak dikembalikan saja ke orangtuanya Putra?"

"Nah, kan!" timpal Rumi cepat. "Dari kemarin Bulik juga udah kepikiran. Nggak pantas masih menyimpan barang mantan padahal sudah punya yang baru. Kasihan Haris, Nar. Sini, Bulik simpan. Nanti kalau mau dikembalikan--"

"Aku berangkat dulu. Ada titipan?" Jenar berdiri terburu.

"Haris tahu tentang kalung itu?" tanya Darla susah payah. "Kasihan kalau dia tahu. Dilepas ya, Nduk. Putra sudah tenang di sana."

Jenar menggenggam kalungnya makin erat kala pikirannya blank sesaat, namun ia tidak menjawab Darla. Gadis itu hanya memaksakan senyum sebagai tanda pamit. Rumi mengantar Jenar keluar ruangan dan mengusap punggung Jenar dengan lembut.

"Bulik tahu kehilangan Putra sangat sulit buat kamu. Tapi kamu harus tahu mana yang harus diprioritaskan. Ada Haris sekarang. Masa lalu cukup jadi kenangan saja, Nar," Rumi menatapnya simpati. "Boleh Bulik berikan ke ibumu? Biar nanti Mbakyu yang simpan."

"Biar aku sendiri yang cari caranya," ucap Jenar kaku. "Seperti yang Bulik Rum bilang, ini nggak mudah."

Rumi menyipit. "Kamu serius sama Haris, kan?"

"Kenapa Bulik tanya begitu?" tanya Jenar tidak nyaman.

"Kalau memang serius, lepas kalungnya," ucap Rumi tegas. "Kamu jangan manja. Yang paling penting saat ini adalah Darla dan hubunganmu dengan Haris. Harusnya kamu sudah membuang apapun tentang Putra! Kamu peduli ibumu, kan?"

Rumi menatap tajam Jenar, yang berusaha keras menahan air mata meskipun kini hatinya sakit luar biasa. Iya, ini memang salahnya. Seharusnya ia memikirkan tentang kalung ini jika ingin segala sandiwaranya dengan Haris berhasil.  Tapi, dia hanya belum bisa.

Aku--" Jenar berdeham. "Aku berangkat dulu, Bulik."

"Jenari! Sudah Bulik bilang jangan egois!"

Desisan Rumi bergaung di dinding lorong, menghantui langkah Jenar yang meninggalkan Rumi dengan air mata yang meleleh tidak tertahan.

===

[Haris?]

[Haris, bisa bertemu?]

Jenar mengembuskan napas frustrasi kala Haris belum membalas pesannya sejak tadi pagi.

[Saya tahu kita punya perjanjian, dan perjanjian kita nggak seberapa penting buat kamu. Sorry, nggak seharusnya saya bersikap impulsif seperti kemarin. Perjanjian kita selesai di sini. Selamat siang.]

Jenar segera membereskan materi rapatnya dengan gusar. Setelah ini, dia harus memikirkan alasan mengapa ia putus dengan Haris. Salahnya juga sudah percaya pada lelaki asing yang baru saja ia temui. Selain informasi dari Hayu, tidak ada satupun yang ia ketahui tentang Haris.

"Bulik Darla gimana, Nar?" Hayu mendekatinya dengan cemas saat mereka keluar dari ruang rapat.

"Baik," jawab Jenar singkat hingga kecemasan Hayu bertambah.

"Yakin? Kamu kelihatan tegang banget. Ada yang bisa aku bantu?" tanya Hayu.

"Nggak. Ibuk udah membaik, mungkin dua tiga hari lagi pulang." Jenar menghela napas panjang demi meredam emosinya. "Nggak perlu bilang-bilang sama yang lain. Aku belum mau Ibuk ketemu orang banyak. Aku pulang dulu, Yu."

Hayu mengangguk dan membiarkan Jenar pergi ke ruangannya sendiri. Gadis itu baru saja menelfon Rumi saat Haris membalasnya.

[Bengkel motor di pertigaan besar. Kita ketemu di sana jam empat sore.]

Jenar langsung membalas dengan jengkel.

[Pertigaan mana? Banyak pertigaan besar yang ada bengkelnya.] 

Haris

[Bengkel Sinar. Kamu selalu lewat pertigaan besar itu kalau pulang kerja.]

Pesan barusan membuat Jenar mengernyit. Lelaki itu tahu di mana Jenar kerja?

Jenar

[Kesorean. Sekarang, bisa?]

Haris

[Y]

Jenar segera mengelus dada demi meredam emosi yang meningkat drastis. Sabar, sabar. Sepertinya dia memang absurd. Sabar Nar. Oke?

===

"Nar, kenapa lagi motornya?"

Seseorang yang Jenar kenali menyambanginya. Namanya Sinar, anak pemilik bengkel yang kini menjadi penanggungjawab bengkel ini. Dia cukup akrab dengan Sinar karena bengkel ini menjadi bengkel langganannya saat motor Jenar bermasalah.

"Mas, ada cowok ke sini nggak? Umm...rambutnya panjang, terus--aduh!"

"Eh, Nar!" Sinar menendang sepasang kaki yang terjulur dari bawah mobil. "Udah dibilang jangan di sini, astaga!"

Sinar membantu Jenar bangkit dengan hati-hati saat Haris muncul dari bawah mobil. Rambutnya diikat serampangan, ada noda di pipi dan lengannya yang terbuka. Lelaki itu melirik Jenar sebelum membereskan perkakasnya.

Jenar terperangah sebelum bertanya dengan kesal. "Kamu ngapain di situ?"

"Sarapan."

"Sara--" Jenar mendengkus sebal. "Bisa kita bicara?"

"Kalian saling kenal?" Sinar mengangkat alis.

"Pacarku. Ke belakang dulu."

Haris mengemasi perkakasnya dan pergi ke dalam, meninggalkan Jenar dalam kecanggungan yang luar biasa.

"Pacar?" ulang Sinar. "Kamu sama Haris?"

"Ng--begitulah." Jenar memilin kalungnya dengan canggung. Dia tidak tahu apakah Sinar mengetahui orientasi seksual Haris, namun gadis itu memutuskan untuk melanjutkan sandiwaranya. "Haris kerja di sini? Kenapa aku nggak pernah lihat dia?"

Bukannya menjawab, Sinar masih tampak takjub.

"Wow," gumamnya tertarik. "Sejak kapan?"

"Kemarin. Jadi?"

Sinar tertawa kecil. "Astaga. Jadi kemarin Haris nggak kelihatan di pertemuan karena beneran ketemu pacarnya? Kalian satu almamater?"

"Begitulah. Beda fakultas aja," ucap Jenar, yang merasa makin terperosok dalam lubang penuh dusta. "Jadi, Haris kerja di sini?"

"Kita satu komunitas pendaki kok. Dan Haris nggak kerja di sini. Tapi ini," Lelaki itu menendang pelan roda mobil yang tadi dibenahi Haris. "Dia harus tanggungjawab. Mobil beginian dipaksa naik gunung. Agak edan memang!"

Saat itu Haris kembali. Ia memberi isyarat pada Jenar agar mendekat.

"Nar, pulang dulu," ucap Haris, yang membuat Jenar mengerutkan kening.

"Kita perlu ngomong, Ris," kata Jenar.

"Monggo," ucap Sinar di saat yang sama.

Jenar dan Sinar saling lirik, namun Haris melewati mereka dengan tidak peduli.

"Jen, ikut sini," gumam Haris.

"Jen?"

"Kalian berdua nengok kalau dipanggil, repot sekali. Sini, Jen."

Cuping hidung Jenar mengembang. "Kenapa bukan Mas Sinar yang ganti panggilan? 'Jen' kedengaran aneh."

"Sin nggak aneh di telingamu?" Sinar mengernyit.

"Bisa panggil nama yang lain, kan? Nggak mungkin namanya Sinar aja."

Sinar mengangkat alis. "Yog!"

"Ya?" seorang pegawai melongok.

"See? Sinar Prayoga doesn't work. Dan aku nggak mau dipanggil Pra, jadi kamu tetap Jen. Sana ikut Haris, Jen!"

"Tapi--"

"Nari?"

Jenar melotot pada Haris yang barusan memanggilnya dengan wajah datar.

"Ah elah Ris. Sama pacar juga. Panggil nama panjang, dong," ejek Sinar yang nyengir lebar.

"Jen, adalah panggilan istimewa. Sini Jen, kita punya banyak PR," celetuk Haris, yang membuat Jenar ingin mengucir mulut lelaki itu.

Mengabaikan Sinar yang makin terkekeh, gadis itu mengikuti Haris dengan langkah menghentak.

"Jangan dipanggil Jen!" geram Jenar. Jan Jen Jan Jen! Rasanya seperti mau bilang jentik-jentik nyamuk!

"Sinar teman lamaku. Kamu? Cuma perempuan yang aku kenal kemarin. Jadi jangan protes. Seperti yang kamu bilang, ini nggak akan lama."

Jenar melirik sebal pada Haris. Dia punya perasaan lelaki itu sedang bermain-main dengannya, namun lelaki itu hanya berjalan tenang di sebelah Jenar.

"Kita mau ke mana?" tanya Jenar akhirnya, merasa bahwa mereka punya sesuatu yang lebih penting untuk dibahas.

"Tempatku," gumam Haris. "Lebih nyaman ngobrol di sana, dan kamu kotor."

"Salah siapa, coba?" tukas Jenar jengkel.

"Maaf."

Jenar mendengkus, namun tidak menjawab lagi. Mereka berjalan menyusuri trotoar menuju sebuah gang kecil. Ia mengikuti Haris masuk ke kompleks kos-kosan. Kompleks itu terdiri dari tiga bangunan dengan dua lantai. Di tengahnya terdapat lapangan luas yang digunakan untuk parkir, sementara sisa lapangan diberi beberapa gazebo untuk bersantai.

"Kamu bisa bersih-bersih di sana." Lelaki itu menunjuk kamar mandi. "Perlu apa?"

"Ini cukup."

Jenar segera membersihkan telapak tangan dan lututnya yang kotor dan sedikit berdarah karena bergesekan dengan lantai bengkel yang kasar. Selesai bersih-bersih, Jenar keluar dan menemukan Haris duduk di salah satu gazebo. Ia mengganti kausnya dengan kaus lain yang lebih bersih. Tidak ada lagi noda tubuhnya, dan rambutnya kini diikat rapi.

Lelaki itu menyodorkan sebuah kotak P3K saat Jenar ikut duduk bersamanya, yang diabaikan Jenar.

"Aku kira kita sedang bekerjasama. Nggak ada artinya kalau aku nggak bisa menghubungi kamu kayak tadi," gumam Jenar dingin.

"Sori, ponsel ketinggalan di kos," ucapnya seraya menatap langit yang mulai mendung. "Ibu minta ketemu lagi?"

Jenar mengangguk. "Selain itu, kita perlu memikirkan skenarionya. Mungkin kita bisa mulai dari hal-hal sederhana semacam...rumahmu di mana, atau kerjaanmu?"

"Aku tinggal di sini." Ia membuka kotak P3K dan menyodorkan serenteng Hansaplast pada Jenar. "Kerja di Lokamuda."

Jenar mengangguk paham. Lokamuda adalah sebuah marketplace online dalam negeri. Selain menjual barang-barang umum, Lokamuda juga mempunyai segmentasi khusus barang elektronik dan bahan makanan segar. Termasuk platform online shopping yang baru berkembang selama tiga tahun belakangan dan belum banyak terdengar gaungnya, namun Jenar sudah beberapa kali menggunakannya. Bagi Jenar, platform itu cukup lengkap. Apalagi layanan khusus pesan-antar bahan makanan segarnya, sangat membantu Jenar jika ia tidak sempat berbelanja. Dengar-dengar selain di Jakarta, Lokamuda juga mempunyai kantor cabang di kota ini.

"Lebih tepatnya? Bulik bilang kamu kerja jadi analis," pancing Jenar. "Nggak mungkin kamu jadi petugas laborat di Lokamuda, kan?"

"Data analyst."

"Oh..." Jenar merasa bersalah pada Rumi karena memberikan informasi sesat. "Kemarin kita harusnya ngobrol tentang ini dulu, jadi cerita kita bisa saling sambung kalau Bulik atau Ibuk tanya. Dan aku kerja di puskesmas, kalau kamu belum tahu. Ahli gizi."

"Hm. Ada lagi?"

"Ng--tentang pekerjaan, mungkin? Kenapa hari ini nggak kerja? Remote?"

"Aktif mulai besok. Barusan dipindah ke sini."

"Memang tadinya di mana?"

"Jawa Barat," jawab Haris.

"Umm...orang tua di mana? Berapa bersaudara?" tanya Jenar tidak enak hati. "Cuma--biar tahu aja. Kalau kamu keberatan, nggak masalah. kita bisa bikin skenarionya lagi."

"It seems so easy for you, isn't it?" celetuk Haris. "Membuat skenario dan sebagainya?"

"Kamu tahu aku nggak punya pilihan," ujar Jenar gentar. "Kalau kamu keberatan, kita berhenti di sini saja, Ris."

Iya, dia tahu dia berengsek karena sudah membohongi ibunya! Dia tahu dia durhaka karena berbohong pada Darla! Semua rasa bersalah itu sudah cukup menekan Jenar tanpa Haris selalu mengingatkannya lagi dan lagi! Lalu dia harus apa agar tetap jadi manusia suci? Menikah seperti permintaan Darla? Menerima Candra? Atau bertahan dengan kondisi Darla yang bisa histeris setiap saat? Memangnya lelaki itu tahu betapa sakitnya Jenar setiap kali Darla histeris sambil memanggil-manggil kakak dan ayahnya?

Haris melirik Jenar, lalu menjawab, "Juga di Jawa Barat. Dua bersaudara."

Jenar segera membuang wajah saat sadar jika matanya mulai basah. "Pekerjaan mereka?"

"Pegawai swasta biasa."

Jenar melirik Haris yang kembali mengamati langit. Cuaca memang kini jadi sejuk seiring mendung yang mulai terbentuk. Jenar harus cepat-cepat menyelesaikan misinya.

"Aku punya kakak." Jenar berusaha bersikap biasa. "Tapi kakak dan ayahku meninggal karena covid tahun kemarin. Aku harap kondisi keluargaku membuat kamu berhati-hati saat ngobrol sama Ibuk. Dan tolong, selalu bawa handsanitizer dan pakai masker saat di kerumunan. Ibuk termasuk kelompok rentan."

"Got it. Ada lagi?"

Apalagi, ya? Apalagi? Otak Jenar berusaha mencari-cari. Sangat susah ketika ia tidak benar-benar ingin tahu tentang lelaki di sebelahnya.

"Pulang, Jen. Mau hujan," celetuk Haris saat hujan mulai turun.

"Jangan panggil Jen!"

"Itu panggilan istimewa."

Jenar hanya mendengkus. "Dan jangan lupa, nanti sore ke RS."

"Siap, pacar."

"Haris, berhenti." Jenar menggenggam kalungnya saat kuping dan hatinya terasa panas. "Jangan pernah bilang kalau aku pacarmu ketika kondisi nggak memintanya. Di antara kita, kita hanya dua orang yang terikat kerjasama. Paham?"

"Tapi itu perjanjian kita, Jen. I ask you to be my girlfriend." gumam Haris jemu, yang secara ajaib masih mengamati langit di atas sana. "Atau kita perlu memperjelas semuanya?"

===

[This is our agreement, Jen. I ask you to be my girlfriend. You have your rules, I have mine:

1. You're my girlfriend whenever I want it.

2. I call you Jen.

You grant it, I will come whenever you call me.]

Jenar yang baru saja sampai rumah sakit, mendengkus keras saat membuka ponselnya dan menemukan pesan Haris. Agaknya ia tetap bersikukuh meskipun tadi Jenar langsung meninggalkannya.

[You're having fun, are you?]

[Sure. Dan panggil Mas, Jen]

Ha. Ha. Jenar langsung mencampakkan ponselnya ke sofa. 




-TBC-

Selamat pagi, semoga sehat selalu

💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro