Before A Kiss | 3
"Jenar mau nikah?" Suara Yusti terdengar dari gawai.
"Hoax itu, Bulik Yusti," sahut Jenar.
"Ck, ngueyel banget," tukas Rumi yang pergi ke dapur sambil membawa gawainya agar tetap bisa bercakap dengan Yusti, adik Rumi.
Namun Darla justru menoleh kecil, satu-satunya respon yang ia tunjukkan sepagian ini. "Iya?"
"Nggak. Itu Bulik Yusti salah paham," ucap Jenar, yang langsung menyesali kalimatnya saat binar di mata Darla meredup.
Tapi, ayolah! Mana mungkin Jenar berbohong soal ini! Pada Darla pula! Mana mungkin dia asal comot lelaki antah berantah, lantas memperkenalkannya sebagai calon suami pada Darla? Di imajinasi Jenar yang paling liar pun, itu tidak mungkin dilakukan. Lagipula, dia jelas tidak mau melakukannya. Satu-satunya manusia yang ingin ia temani sampai mati hanyalah Putra.
"Pepaya, Buk?" tanya Jenar lagi, berusaha mengalihkan pikiran Darla.
"Kenapa?" Darla mengabaikan Jenar dan menatap kosong ke luar jendela. "Kalau Ibu mati, Jenar sama siapa?"
"Ibuk lupa aku kerja di mana? Sekali telfon, beres sudah," jawab Jenar.
"Nggak ada yang lebih dekat selain suamimu nanti. Temanmu akan punya prioritas lain. Kamu bukan prioritas mereka," jawab Darla lirih.
Oh, Jenar sangat menyadarinya. Itu sebabnya dia ingin menghabiskan masa tua di panti jompo saja, yang berkualitas tentunya.
"Aku baik-baik aja, Buk." Jenar berusaha merubah topik. "Ibuk ini...kalau kepingin lihat Jenar nikah, makan yang banyak dong."
Darla melirik Jenar sebelum membiarkan Jenar menyuapkan sepotong pepaya padanya.
"Nikah!" tukas Darla di antara kunyahannya.
"Nanti. Aaaa--"
"Sekarang."
"Ibuk, nggak bisa begitu," tepis Jenar halus. "Begini, aku nggak bisa cari calon suami sembarangan kan, Buk? Lagipula, kenapa harus nikah kalau sendiri pun aku baik-baik saja?"
Darla bergeming, lalu bibirnya bergetar diiringi mata yang mulai berair.
"Piye iki, Mas?" Darla mulai menangis. "Jenar nggak mau nikah. Kalau aku mati, gimana?"
Jenar langsung merangkul Darla dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Astaga, tinggal diiyakan aja apa susahnya sih, Nduk?" Rumi menyambangi mereka. "Dari kemarin ibumu histeris cuma karena itu-itu aja!"
"Bulik, hal begitu nggak bisa--"
"Tinggal bilang 'iya, besok aku nikah' gitu aja susah banget! Seneng lihat ibunya susah begini?" tepis Rumi tajam. "Dibantu nggak mau, dipermudah nggak mau! Terus maumu apa? Memangnya apa alasanmu nggak patuh sama permintaan ibumu? Calon banyak kalau kamu nggak pilih-pilih! Kamunya aja yang banyak mau!"
Rumi menenangkan Darla, meninggalkan Jenar mematung sendirian di pojok ruangan.
"Itu temanmu datang," bisik Rumi saat mobil Hayu berhenti di depan rumah. "Sana berangkat! Lupakan Putra!"
Darla masih meracau sambil menangis, sementara Rumi menenangkan Darla dengan berkata bahwa Jenar pasti akan menikah. Hayu yang masuk, terlihat kaget dan menyambangi ibunya.
Jenar segera masuk kamar. Namun alih-alih segera bersiap, Jenar justru sibuk menenangkan diri.
"Jenar?" Hayu mengetuk pintu beberapa saat kemudian. "Boleh masuk?"
Jenar segera membersihkan wajah dan membuka pintu, namun Hayu menatapnya simpati. Temannya itu menggiring Jenar duduk dan memijit bahunya.
"Kadita Jenari cewek kuat dan baik hati," dendang Hayu. Jenar mendengkus kecil, yang membuat Hayu tertawa tipis. "Jalan-jalan yuk? Tiga tahun ini pasti sumpek banget. Bulik udah ada yang jaga, kan?"
Jenar menatap pantulan dirinya di cermin, lalu menghela napas panjang. Pada akhirnya, Jenar membuka lemari dengan setengah hati.
"Mau begitu?" tanya Hayu saat Jenar selesai berdandan.
"Memangnya kenapa?" Jenar mengamati penampilannya. Blus dan rok panjangnya matching, rambutnya juga sudah tersanggul rapi. Tinggal polesan liptint, dan semuanya selesai.
Cuping hidung Hayu mengembang. Ia memilah isi lemari Jenar yang masih terbuka, lalu menarik sebuah midi dress berwarna ungu.
"Kita mau reuni, Nar. Bukan mau berangkat kerja," omelnya seraya menyeret Jenar tanpa basa-basi. "Lihat sanggulmu aku malah terngiang-ngiang apel pagi, tahu!"
===
"Tipisin dikit, Mbak. Rambutnya memang tebal. Kasih poni yang manis, gitu. Ala-ala soft bang. Cocok sama bentuk wajahnya."
Hayu menyipit dengan tangan bersedekap saat Jenar ditata rambutnya. Jenar hanya melirik Hayu, lalu kembali melihat penampilannya sendiri tanpa minat. Rambutnya tetap disanggul, hanya gayanya saja yang berbeda. Alih-alih polos dan kaku dengan jaring-jaring rambut yang biasa, pegawai itu menatanya sedemikian rupa hingga sanggul rambutnya terlihat modern dengan tatanan yang sedikit messy. Japit bunga berwarna ungu memberi kesan manis di sana, dan poni baru bernama soft bang--kata Hayu--membuat kesan manis itu semakin kuat.
Jenar tidak terlalu peduli akan acara hari ini. Dia bersedia hadir pada saat-saat terakhir karena keceriwisan Hayu dan masih trauma jika Rumi kembali mengangkat topik tentang pernikahan.
Pak Candra
[Dik Jenar, hari minggu ini pergi ke mana? Mau jalan-jalan?]
Pak Candra
[Dik Jenar suka tamasya ke mana?]
Jenar segera menyingkirkan pesan pop up itu dari layarnya.
"Kenapa?" Hayu melirik Jenar yang gusar. "Siapa itu?"
Jenar mendengkus kasar. "Salah satu kandidat suami yang dipilihkan Bulik. Kemarin dia datang ke rumah. Aku udah bilang nggak bisa tapi dia tetap kirim pesan."
"Oh, kamu belum mau, kan?" tanya Hayu. "Abaikan aja."
Jenar hanya mendengkus lagi. Dia bukannya belum mau. Dia tidak akan pernah mau memulai apapun dengan siapapun sampai kapanpun.
Saat itu Awan kembali dengan membawa tiga buah es krim. Hayu dan Awan kembali mengobrol, meninggalkan Jenar sendirian bersama es krimnya. Lihat saja, mereka akan kembali bersama sebelum acara ini selesai.
Pak Candra
[Dik Jenar, maaf, kenapa pesan saya nggak dibalas dari kemarin?]
Pak Candra
[Saya ada salah? Boleh dikasih tahu salahnya di mana?]
Jenar
[Maaf Pak Candra, tapi saya benar-benar belum berniat menikah]
Pak Candra
[Nggak apa-apa. Saya paham kondisi Dik Jenar. Kita bisa memulai pelan-pelan saja]
Jenar mengusap layar hingga pesan itu menghilang dari layarnya. Jenar ingin sekali memblokir Candra, namun ia masih menghormati Rumi. Dia juga punya feeling bahwa Candra akan melaporkan tingkah Jenar pada Rumi, yang berakhir dengan omelan Rumi.
"Jenar, berhenti mikirin diri sendiri. Kamu mau lihat ibumu tambah sedih dan tambah sakit? Kalau ada apa-apa sama Mbakyu, itu karena keegoisanmu!"
Jengkel sendiri, Jenar menghabiskan es krimnya dengan cepat dan berdiri. "Aku ke toilet dulu. Enjoy your time. Awas kalau Hayu ditinggal sendirian!"
Hayu melotot, yang dijawab Jenar dengan cengiran tipis. Jika Jenar terus ada di sana, Jenar yakin ia akan membanting meja sebentar lagi. Lebih baik dia menepi seraya menyapa teman-teman yang lain. Jemarinya menyapu leher tanpa berpikir, lalu membeku saat kalungnya tidak berada di sana. Jenar kembali meraba, namun dia tidak menemukannya.
Gadis itu segera kembali ke toilet dan memeriksa penampilannya di kaca. Tidak ada. Kalungnya tidak ada di mana-mana. Jenar meneliti setiap sudut toilet. Mungkin terjatuh di sana saat dia ke toilet tadi, namun tetap tidak ada.
Jenar menelfon Rumi, namun bibinya tidak mengangkat hingga panggilan yang kelima.
Jenar kembali menelusuri jalan yang ia lewati ke toilet tadi. Namun hingga di meja Awan dan Hayu pun, Jenar tidak menemukannya. Tangannya mulai dingin, dan pikirannya kalut. Kalung itu tidak boleh hilang. Putra--dia tidak boleh kemana-mana.
"Kenapa, Nar?" Hayu mengerutkan kening.
"Yu...aku--boleh pulang duluan?" tanya Jenar terbata.
Hayu melirik Awan--yang menatap Jenar dengan ingin tahu--lalu memasang wajah memelas.
"Habis games, deh," bujuk Hayu.
"Atau boleh pinjam kunci mobil? Kayaknya barangku ada yang ketinggalan di mobil", ucap Jenar cepat.
Hayu mengangguk dan menyerahkan kunci mobilnya. "Cepetan balik sini, ya."
Jenar bergegas ke mobil kalau di mobil tidak ada, dia akan ke salon yang tadi.
"PERHATIAN, PERHATIAN! ADA YANG MERASA KEHILANGAN BARANG BERHARGA?"
Langkah kaki Jenar berhenti. Tanpa basa-basi, gadis itu mengangkat tangan dan bergegas menuju ke depan.
"Oh, kamu." Ketua Panitia yang kebetulan kenal dengan Jenar itu nyengir. Di sebelahnya, berdiri seorang pemuda dengan ransel gunung di punggung. Kamera menggantung di lehernya, dan rambutnya gondrong hingga sebahu. "Jadi, apa yang hilang Nar?"
"Kalung emas, dengan liontin berbentuk bulan sabit. Di baliknya ada huruf P," ucap Jenar buru-buru.
Si ketua mengangkat alis dan menoleh pada pemuda tadi. "Ris, lihat coba?"
"Lain kali hati-hati." Pemuda tadi mengulurkan sebuah kalung, yang sangat dikenali Jenar.
Jenar segera meraih kalung itu dan menggenggamnya kuat-kuat. "Thank you."
Pemuda tadi hanya mengangguk singkat dan kembali ke kerumunan. Jenar juga berterima kasih pada ketua acara sebelum kembali pada Hayu.
"Kalungmu yang hilang?" bisik Hayu cemas.
Jenar mengangguk. Jantungnya masih berdentum keras akibat kelegaan yang membanjiri. "Awan mana?"
"Ikut games. Aku males ah. Baru mens," tukas Hayu sewot. "Dasar cowok nggak peka!"
Jenar tertawa garing dalam hati. Hubungan Awan dan Hayu memang begini dari dulu. Benci-benci suka. Hah!
"Tapi aku nggak nyangka bisa lihat Haris lagi," celetuk Hayu.
"Siapa?"
Hayu menatap heran pada Jenar. "Haris Diwangka, orang yang nemuin kalungmu tadi. Kamu nggak kenal dia?"
Jenar menggeleng. "Kating?"
"Anak teknik, angkatan kita. Kamu--eh, beneran nggak pernah dengar tentang Haris?" Hayu menyipit. "Pernah rame lho waktu kita kuliah dulu. Semester lima kalau nggak salah."
Jenar mengangkat bahu hingga Hayu berdecak.
"Astaga, padahal kita pernah ngobrolin ini di kosan." Hayu merendahkan suaranya. "Kasus pesta seks? Gay? Ingat?"
"Oh!" Jenar langsung ingat satu momen dimana Hayu pulang ke kos dengan heboh, namun Jenar hanya menganggapnya angin lalu. Dia sibuk belajar karena saat itu musim ujian praktik.
"Iya! Nah, dia salah satu orang yang ketangkep," bisik Hayu. "Gila sih. Heboh banget waktu itu! Tapi dari semua anak yang ketangkep, yang paling hilang kabarnya ya si Haris ini. Dia bahkan nggak ikut wisuda, nggak pernah reuni juga. Baru sekarang dia muncul. Awan sih bilangnya dia ke sini bukan karena mau ikut reuni, tapi karena mau pergi bareng anak-anak pendaki. Lihat aja outfit-nya."
"Oh..." Jenar hanya mengangguk sekenanya. Bagaimanapun juga, Jenar tetap berterima kasih karena sudah menemukan kalungnya. Jenar memutuskan untuk ikut menikmati mini games saat ponselnya berbunyi atas nama Rumi.
"Maaf Bulik. Tadi aku telfon karena--"
"Nar, Mbakyu masuk rumah sakit," kata Rumi terbata. "Ibumu sesak napas dan pingsan. Kamu bisa pulang?"
"Iya, aku pulang." Jenar menjawab dengan panik. "Sekarang gimana keadaannya?"
"Belum sadar dari tadi. Makanya to cah ayu, turuti ibumu kali ini saja. Kamu nggak kasihan sama ibumu?" Rumi menangis kali ini. "Kekhawatiran ibumu ini beralasan, Nak."
Jenar tidak mampu membalas Rumi kali ini. Pikirannya begitu simpang siur.
"Coba kamu datang sama Candra, mungkin Mbakyu bakal bahagia. Bulik telfon Candra sekarang--"
Jenar mematikan sambungan saat ucapan buliknya makin membuatnya kalut.
"Sesak?" Hayu terkejut saat Jenar memberitahunya.
"Iya, aku balik dulu. Nggak perlu diantar, Yu. Kelarin urusanmu sama Awan. Aku naik bis aja."
Jenar mengabaikan Hayu yang menyuruhnya menunggu. Gadis itu berlari menuju lift dengan tergesa. Rasa panik dan takut mencengkramnya hingga ia tidak bisa berpikir hal lain selain kondisi Darla. Dia tidak bisa--dia belum bisa berhadapan dengan kehilangan lain.
Dalam ketergesaannya, Jenar menabrak seseorang saat keluar lift. Dia pasti akan jatuh terduduk jika orang itu tidak meraih lengannya dengan cepat.
Sepasang mata yang tengah terkejut itu membuat ucapan Hayu kembali terngiang di kepala. Dan dalam keputusasaannya, Jenar menyadari sebuah kesempatan gila.
"Haris, mau nikah sama saya?"
*TBC*
Selamat hari sabtu 🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro