Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Before A Kiss | 27

"Pisang goreng, Buk?"

Jenar menawarkan sepiring pisang goreng pada Darla yang beristirahat di teras. Ibunya mengambil satu, lalu mengawasi bunga-bunga mawarnya dengan bangga. Wanita itu baru saja menyiram tanaman-tanaman kesayangannya. Jenar menyadari ekspresi itu, dan ia merasa lega.

Hari ini Darla dan Rumi pergi ke makam untuk kesekian kalinya, namun Jenar tidak bisa menemani karena ada penyuluhan yang harus ia hadiri. Ini pertama kalinya Darla pergi tanpa dirinya. Jenar khawatir setengah mati, ia selalu bertanya pada Rumi setiap kali ada kesempatan. Tapi nyatanya Darla bisa melewati hari ini dengan baik.

Darla membaik, itu tidak diragukan lagi. Padahal, ibunya sering sekali ke makam dan menangis malam-malam. Tapi di lain sisi, Jenar tidak pernah melihat Darla seceria ini, selepas ini, setenang ini.

Jenar jadi takut jika ketenangan ini hanya topeng bagi ledakan emosi yang sedang bertumbuh di dalam sana.

"Tadi nggak ada kendala, kan?" tanya Jenar.

Darla menggeleng. "Besok Ibuk mau cari biji bunga matahari, Nar. Mau Ibuk tanam di samping makam. Kamu tahu carinya di mana?"

"Besok aku carikan," ucap Jenar menenangkan. "Ibuk baik-baik aja, kan?"

"Ibuk sehat. Kenapa to, Nduk? Dari tadi sepertinya khawatir terus?" Darla mengerutkan kening.

Jenar bersandar pada pundak Darla. "Ibuk makin sering ke tempat Bapak sama Mas."

"Bersih-bersih sama rapi-rapi," jawab Darla. "Juga, agar Ibuk terbiasa."

Jenar memeluk erat lengan Darla, membuat wanita itu menepuk-nepuk anak gadisnya sambil termenung. "Tiga puluh dua tahun, Nar. Tiga puluh dua tahun Ibuk terbiasa hidup sama bapakmu. Memulai semuanya dari bawah, suka duka rumah tangga dijalani bareng. Kamu ingat yang di foto? Rumah kayu kecil punya nenek yang lantainya batu kapur? Dulu masmu lahir dan besar di sana. Baru waktu SMA dan Bapak naik pangkat, kami bisa beli rumah yang lebih layak. Dari dulu, Masmu bukan orang yang rewel. Waktu kamu lahir pun, dijaga benar-benar sama Mas. Masmu mirip Bapak, sabar dan bertanggung jawab."

Suara Darla tercekat. Jenar membelai bahu ibunya meskipun ia sendiri juga makin tenggelam dalam gelombang duka. Sebab, ini pertama kalinya Darla mau seterbuka ini pada Jenar.

"Bagi Ibuk, Bapakmu itu rumah. Di manapun Ibuk tinggal, Ibuk tenang kalau ada Bapak. Lalu tiba-tiba bapakmu pergi gitu aja..." Suara Darla bergetar pelan. "Rasanya semuanya hilang, Nar. Rasanya sakit sekali. Ibuk sampai mikir kalau Ibuk nggak akan bisa baik-baik aja. Ibuk selalu merasa kalau Ibuk bakal cepat mati nyusul Bapak karena di sini ini, rasanya perih sekali. Sakit sampai sebadan-badan. Ngilu. Tapi kalau Ibuk mati, kamu gimana? Begitu dulu pikir Ibuk."

"Udah Buk," ucap Jenar cemas kala suara Darla makin hilang. "Besok-besok ke sananya sama aku ya, Buk. Jangan berdua aja sama Bulik."

Darla menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Ibuk udah bilang, Ibuk mau sering-sering ke sana biar terbiasa. Biar Ibuk makin yakin kalau meskipun semuanya udah berbeda, Ibuk tetap baik-baik saja. Ibuk cuma perlu semacam...beradaptasi?  Ibuk selalu bisa ketemu Bapak sama Mas lewat doa dan kenangan. Ibuk nggak benar-benar kehilangan mereka."

Jenar mengangguk demi memberi semangat. "Ibuk kalau mau cerita tentang Bapak atau Mas, cerita aja, Buk. Aku pasti ngedengerin. Aku juga kangen Bapak, kangen Mas. Kangen rawonnya Bapak, kangen omelannya Mas."

"Masmu memang cerewet." Darla terkekeh pelan. "Ibuk tahu ini terlambat sekali. Tapi, berkunjung ke makam justru bikin perasaan Ibuk tertata lagi. Itu membantu Ibuk menerima keadaan, dan mungkin karena Ibuk mulai bisa menerima, Ibuk justru merasa tenang."

"Persis seperti kata Anggie, ya," celetuk Jenar pelan. "Dia pernah bilang kalau hal yang paling dibutuhkan Ibuk, adalah penerimaan."

"Anggie memang pintar dari dulu." Darla tersenyum samar sambil mengusap wajahnya. "Maaf ya. Kemarin-kemarin Ibuk pasti menyulitkan kamu."

"Jangan bilang begitu," gumam Jenar. "Kita semua butuh proses. Aku juga punya Anggie sama Hayu."

"Dan cowok bucin itu," batin Jenar meneruskan.

Darla tercenung lama sambil masih menepuk-nepuk lengan Jenar. "Tapi akhir-akhir ini kamu kelihatan banyak pikiran. Wajahmu murung terus, kelihatan gelisah sekali. Kenapa? Masalah pekerjaan, ya?"

Jenar menggenggam kalungnya kala rasa bersalah itu mulai mengganggu.

"Dipikirkan satu-satu, Nar. Jangan semuanya langsung. Nanti tambah ruwet," ucap Darla lembut.

"Iya. Aku cuma...umm, Ibuk pernah ketemu Haris akhir-akhir ini?" tanya Jenar akhirnya.

Darla menggeleng. Keengganan samar terlihat dari raut wajahnya. "Kenapa? Dia masih ganggu kamu?"

"Nggak. Dan aku nggak pernah diganggu Haris lho, Buk," koreksi Jenar.

"Ibuk nggak suka dibohongi," kata Darla. Singkat, namun menohok dada. Jenar tersenyum kecut, antara menyesal dan tidak terima karena Haris harus mendapat kebencian Darla. Yang lalu itu salah Jenar sepenuhnya.

"Beberapa minggu lalu, aku ketemu Haris," ucap Jenar lamat-lamat. "Dia bilang dia sering lihat Ibuk siram bunga. Itu, maksudnya dia sering lewat sini, kan? Siapa tahu Ibuk pernah lihat, gitu."

Darla menggeleng. "Kenapa sering lewat sini? Pindah di daerah sini?"

"Nggak juga, katanya. Tapi mungkin, dia cuma mau memastikan kalau Ibuk baik-baik aja. Karena toh, kami nggak pernah komunikasi lagi. Jadi mungkin, satu-satunya jalan memang langsung ke sini," ucap Jenar.

"Dan kenapa begitu?" tanya Darla kaku. "Kamu yakin bukan karena mau ketemu kamu?"

"Yakin dong. Ngapain juga ketemu aku? Haris udah ada calon istri, kok. Itu, si Hanna," tukas Jenar.

Darla melirik Jenar. "Lalu kenapa harus lihat Ibuk?"

"Karena perhatian Haris ke Ibuk itu tulus," kata Jenar. "Haris pernah bilang kalau dia masih menyesali kepergian ibunya, karena ibunya meninggal waktu Haris di penjara dan belum sempat kasih penjelasan apapun ke beliau. Dari awal Haris ketemu Ibuk, perhatiannya tulus sekali. Setiap kami ngobrol, dia selalu tanya kabar Ibuk. Kemarin pun, kabar Ibuk adalah hal pertama yang dia tanyakan."

"Jadi?" tanya Darla dingin.

"Jadi, Ibuk--jangan terlalu benci sama Haris. Jangan apa ya? Umm...kasih doa yang jelek-jelek buat Haris. Yang kemarin itu salahku, Buk. Katanya kan, doa orang tua selalu didengar Tuhan. Dia udah punya banyak kesulitan. Jangan sampai karena aku, Tuhan tambah mempersulit hidupnya," gumam Jenar pelan.

Ekspresi Darla melunak meskipun tatapannya masih dingin. "Pakdemu juga ngomong hal yang sama tentang Ibu Haris."

Jenar meringis. "Dia ngobrol sama Pakde tanpa aku tahu."

Darla tidak langsung menanggapi. Ibunya justru sibuk menghabiskan pisang gorengnya.

"Dia baik sama kamu?" tanya Darla.

Jenar mengangguk. "Walau pendiam gitu, dia orangnya perhatian, kok."

"Yang begitu pendiam?" tepis Darla hingga Jenar tertawa kecil.

"Buk, Haris itu cerewet cuma di depan Ibuk. Sama aku, dia lebih pendiam. Waktu awal-awal, sih. Makin ke sini juga makin mau diajak ngobrol. Tapi kalau sama Ibuk, pasti dia selalu cerewet. Ceria aja, gitu." Jenar terkekeh geli. "Orangnya juga berdedikasi tinggi, bertanggung jawab dan nggak takut kerja keras. Maksudku, karena kasusnya itu, dia sempat kesusahan cari kerja sampai akhirnya dia diterima di Lokmud."

"Pakdemu juga cerita tentang kasusnya," kata Darla. "Sepertinya anaknya memang pekerja keras."

Jenar mengangguk cepat.

"Tapi tetap saja, Ibuk nggak ikhlas dibohongi. Untuk alasan apapun, berbohong identik dengan sifat nggak baik," hujam Darla kaku. "Jangan khawatir, Ibuk bukan orang yang suka mengutuk orang lain. Mungkin anaknya memang baik."

"Iya, baik kok," timpal Jenar buru-buru. "Dia perhatian dan...umm, di waktu-waktu tertentu, aku justru ditolong sama Haris."

Darla mengerutkan kening. "Ini kamu berusaha mempromosikan Haris? Ibuk makin merasa kamu nggak terima kalau Ibuk nggak suka sama dia."

"Nggak! Aku--iya...tapi maksudnya--" Jenar bingung sendiri. "Maksudnya, Haris begitu karena ajakanku. Aslinya, dia orang baik. Baik banget, malah. Jadi Ibuk--"

"--jangan mendoakan Haris yang aneh-aneh, begitu kan maksudnya?" sambung Darla.

Jenar menjentikkan jarinya. "Iya, begitu."

Darla menatap lama pada putri bungsunya hingga Jenar salah tingkah sendiri, lalu ibunya tertawa samar. "Nggak. Nggak akan. Lega?"

"Benar?"

"Iya. Tapi nggak janji kalau kelepasan."

"Ibuk--"

"Nggak, iya nggak!" Tawa Darla makin berderai. "Dia nggak mau ke sini lagi?"

"Siapa? Haris?"

Darla mengangguk.

"Kan...Ibuk nggak mau ketemu dia. Haris tahu diri, kok," jawab Jenar, yang tambah bingung menebak-nebak isi hati ibunya.

Darla menatap Jenar sejenak, lalu mengangguk cepat. "Dia juga sudah ada calon istri. Benar. Nggak usah ke sini. Bagusnya--uhuk!"

Jenar buru-buru masuk untuk mengambilkan minum. "Ini Buk. Hati-hati ngunyahnya--"

Jenar menoleh saat sesuatu melintas di ujung mata. Namun motor itu keburu menghilang tanpa Jenar bisa melihatnya lebih lama, menyisakan lonjakan dopamin yang segera surut menjadi kekecewaan.

"Berhenti, Nar! Kamu nggak perlu peduli dia lewat atau nggak. Just stop!"

Jenar memarahi dirinya sendiri demi membabat habis kekecewaan yang muncul tanpa mampu ia bendung.

Sebab saat nasi goreng bukan lagi satu-satunya hal yang ia harapkan kala pergi ke kedai kecil itu, Jenar tahu ada yang salah pada dirinya. Dan ia marah pada hatinya yang merasa antusias, gembira, lalu kecewa saat ia tidak pernah bertemu lelaki itu lagi.

===

"Makan siang guys!"

Hayu memasuki ruang tunggu UGD dan meletakkan beberapa kardus makanan beraroma laut. Di belakangnya, Awan mengikuti dengan santai.

"Nar," sapanya nyengir pada Jenar yang ikut beristirahat di UGD daripada sendirian di ruangannya.

"Kalian ke pantai?" tanya Jenar.

Hayu mengangguk. "Mumpung aku jaga sore, jadi ke pantai dulu.'

"Tadinya mau besok biar bisa double date sama Haris. Tapi Hayu bilang kalian udahan," ucap Awan polos. Hayu langsung menyikutnya, tapi  Mel, Tora dan Robi menoleh.

"Mbak Jenar udah nggak sama mas-mas cool itu lagi?" pekik Mel, yang membuat Jenar memutar bola mata.

"Kenapa memangnya?" tukas Jenar sambil mengunyah peyek jingking.

"Kenapa?" erang Mel. "Kan aku masih mau lihat dia lagi, Mbak!"

"Yang mana sih pacarnya Jenar?" timbrung Robi. "Yang gondrong itu, bukan?"

Tora mengangguk. "Gondrong ala-ala Eren Yeager."

Hayu bertepuk tangan dan menunjuk Tora dengan puas. "Kan? Mirip kan bentuk rambutnya?"

"Banget. Auranya juga sama. Dingin-dingin kalem begitu. Pacarmu fansnya AoT ya?" tanya Tora penasaran.

"Nggak," tepis Jenar risih. "Kenapa jadi ngomongin Haris, sih? Dan dingin-dingin kalem apanya?! Nyebelin iya!"

"Nggak banyak cowok yang bisa kelihatan oke dengan rambut gondrong. Makanya aku salut." Awan meraih rambutnya sendiri yang dipotong cepak. "Yu, aku pantas nggak kalau rambutnya gondrong begitu?"

"Nggak!" seru Hayu jijik. "Berani ngegondrongin rambut, kita putus! Udahlah!  Kamu ganteng kalau cepak gini!"

Ekspresi mengernyit Robi telah mewakili isi hati yang lain, sementara Jenar sudah kebal dengan segala tingkah absurd Awan dan Hayu sejak mereka kuliah.

Awan terkekeh. "Sibuk apa sekarang si Haris? Nggak apa-apa kan kalau aku sama Pandu ngajak dia mancing walau kalian udah putus?"

"Silakan," ucap Jenar. "Tapi nggak bisa minggu ini. Dia baru ke Salak."

"Oh..." Hayu mengangkat alis.

"Aku pernah diajak, makanya tahu jadwalnya," jelas Jenar lelah.

"Ohhh..." Hayu terkikik.

"Ngomong-ngomong tentang Salak..." Robi menunjuk televisi dengan peyek udangnya. "lagi ada beritanya."

Semua yang ada di ruangan memberi atensi pada berita yang sedang tayang, tak terkecuali Jenar.

"...terpisah dalam perjalanan turun. Dua pendaki yang terpisah bernama Bima Tristano dan Haris Diwangka. Hingga berita ini diluncurkan, keduanya masih dinyatakan hilang. Mereka tergabung dalam..."

Semua orang menoleh pada Jenar dengan terkejut. Namun tatapan Jenar masih terpaku pada si pembawa berita meski tidak ada lagi suara yang bisa ia dengar. Dunia tiba-tiba menjadi sunyi di telinga.

"--nar! Jenar! Hei!"

Jenar menoleh tanpa fokus saat mendapati tubuhnya berguncang. Ternyata Awan.

Si pembawa berita berbicara lagi, membuat Jenar takut setengah mati hingga gadis itu berdiri.

"Aku balik dulu."

Jenar menyusuri selasar sambil menepuk-nepuk dada. Ada sesuatu yang mengganjal di sana. Besar dan mencekik, membuatnya sesak dan tidak nyaman.

Ponselnya berdering. Dengan tangan yang gemetar, gadis itu merogoh sakunya.

Sinar is calling...

Jenar kembali mengantongi ponsel dan terus menepuk-nepuk dadanya dengan kekuatan yang makin besar.

"Kamu hati-hati."

"Sure."

"Aku serius. Hati-hati, Ris!"

"Iya, Jenari."

"Udah janji," gumam Jenar bersamaan dengan air mata yang mulai menetes tanpa sadar. "Kamu udah janji. Awas aja--"

"Jenar!"

Tiba-tiba saja, Hayu menyahut bahu Jenar. Gadis itu terbelalak kala melihat ekspresi Jenar. Hayu mendesah penuh dilema, lalu merangkul gadis itu.

"Ya ampun Nar," ucap Hayu cemas. "Takut banget pasti."

Jenar mati-matian menahan diri, sebab menangis masih terasa salah. Separo kesadarannya masih berkata jika kabar tadi harusnya bukanlah apa-apa bagi Jenar, namun suara naif itu makin sirna kala rasa takut merajamnya hingga ke tulang. Rasa takut akan kehilangan yang lukanya masih segar diingatan.

Di pundak Hayu, Jenar menangis teredam.

=TBC=


Selamat pagii, selamat hari Jumat. Terima kasih telah membaca 💕

Karena cukup banyak yang tanya, Nao jawab di sini sajha yaaa. Apakah cerita ini akan dibukukan?

Tbh, saya belum ada rencana ke situ. Fokus cerita mau ditamatin dulu di KK. Tapiii jika banyak permintaan, bisa dipertimbangkan. Yang udah mengikuti di KK dengan prosentase tertentu, tentunya akan ada potongan harga. Kelebihan buku? Lebih rapi, more chapters, and more sketchs, may be?

Please note, ini baru rencana kasar. Apakah akan dibukukan atau nggak? Saia belum bisa memastikan. Tergantung demand yaaa. Kalau kakak-kakak cantik sekalian sudah merasa cukup di KK saja, then it's okay.

Memangnya di KK beda sama yang di wp, Nao? Lebih banyak chapter sajhaa. Termasuk POV Haris yang hanya ada di KK.

Sekian jawaban saya untuk beberapa pertanyaan kemarin. Sampai jumpa di bab selanjutnyaaa. Love you to the moon and back, my dear 💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro