Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Before A Kiss | 12

"Apa?"

Aji bertanya bingung saat Jenar melirik tajam padanya. Putra sulung Rumi yang lebih tua dua tahun itu menyapa Jenar yang baru pulang, namun Jenar hanya menjawabnya dengan singkat. Dia masih sakit hati karena Aji terlibat dalam penyusunan CV calon suami Jenar.

Gadis itu mengabaikan keberadaan Aji. Dia sampai rumah nyaris maghrib. Rapat di dinas baru saja selesai, dan dia lelah luar biasa. Setelah memastikan Darla baik-baik saja, Jenar segera mandi. Tapi sebelumnya, ia mengirim pesan pada Haris agar tidak kemari dulu. Dia tidak mau makin banyak orang yang terlibat dalam hubungannya dengan Haris.

[Ibuk baik. Hari ini nggak perlu ke sini, Ris]

"Kapan pacarmu ke sini?"

Aji menyambangi Jenar yang duduk di ruang tamu. Jenar meletakkan ponsel dan kembali memangku laptopnya.

"Kenapa memangnya?" tanya Jenar.

"Mau interogasi. Siapa dia berani macarin sepupu gue yang manis?" tukasnya.

"Bilang gitu sama Haris, tapi ikut nyodorin Candra dan kandidat lain," kata Jenar sebal. "Pergi sana!"

"Aku nggak nyodorin nama Candra, Nar. Semua rekomendasiku cowok lajang usia dua puluh tahunan. Candra itu rekomendasi Om Gibran yang diamini sama banyak saudaranya Mama," Aji berkilah.

"Dari awal, harusnya nggak perlu kasih rekomendasi segala. Kenal Putra kan?" sahut Jenar sakit hati.

Aji akhirnya duduk bersila di hadapan Jenar dengan setoples marning di pangkuan.

"Usaha nggak ada salahnya, Jenari. Aku kasih rekomendasi juga nggak ngawur. Keputusan final, tetap di kamu," jawabnya hati-hati.

"Tetap di aku apanya? Nggak sadar gimana intimidatifnya kalian ke aku?" sembur Jenar. "Nggak ada gitu, dari kalian yang nyoba bilang kalau ini bukan jalan keluar alih-alih maksa aku nikah cepat?"

"Sorry." Aji mengangkat kedua tangannya. "I am too busy, Nar. Om Gibran sama Mama maksa kami semua buat setor kandidat, dan menurutku ini bukan hal yang sepenuhnya harus kamu patuhi. Terbukti, kan? Kamu malah bisa milih calon sendiri?"

Jenar tidak membalas argumen Aji. Dia terus entry data dengan parasaan yang dongkol sekali.

"Tapi Bulik Darla beneran makin membaik, Nar," ucap Aji kemudian. "Aku sempat kaget lihat Bulik yang kalem begini. Nggak pernah histeris lagi sejak ada Haris?"

Jenar menggeleng.

"Aku anggap itu hal bagus. Buat kamu sama Bulik, maksudnya. Semoga si Haris ini beneran baik. Tapi karena si Haris ini orang asing yang belum divalidasi siapapun, boleh dong kenalan sama kami-kami ini."

"Nggak perlu. Itu pilihanku, harusnya bisa kalian hormati," gumam Jenar dingin.

Aji menatap adik sepupunya yang sedang berada dalam mode galak maksimal, lalu ke dapur dan kembali dengan segelas cokelat panas.

"Sorry," ucapnya sungguh-sungguh. "With all my heart."

"I hate you, you know that?" geram Jenar dengan suara yang gemetar. "Udahlah nggak ada yang ke sini waktu Bapak sama Mas pergi, sekadar telfon aja nggak sampai lima menit. Waktu Putra pergi, ada yang peduli?"

"Maaf, Jen. Kami semua terlalu fokus ke Bulik Darla. Tahu kan kondisinya kayak apa? Dengan tetek bengek PPKM waktu itu, keluar kota aja susah, Nar," sahut Aji lembut. "Tapi...sekali lagi. Sorry."

Jenar tahu kok. Dia paham kenapa nggak ada satupun yang datang waktu ayah dan kakaknya meninggal. Tapi astaga, melewati kehilangan itu hanya berdua dengan Darla adalah salah satu momen paling seram di hidup Jenar.

"Udahlah," gumam Jenar saat matanya mulai panas. Ia buru-buru meraih cokelat panasnya. "Besok-besok jangan begitu lagi. Aku nggak suka."

"Oke, tapi--besok-besok?" tanya Aji curiga. "Kamu nggak yakin sama yang sekarang?"

"Untuk masalah lain maksudnya. Jangan waton begitu." Jenar memperbaiki lidahnya yang tergelincir senormal mungkin. "Generasi kita udah beda pola pikir sama generasinya Ibuk. Bukan berarti harus iya-iya aja kalau disuruh sesuatu. Kayak yang kemarin, itu aku nggak suka banget."

"Aku rasa memang harusnya begitu. Jadi kita baikan ya? Nggak main pelototan-pelototan lagi, ya?" Aji meringis.

Jenar berdecak kecil, yang disoraki Aji dengan senang.

"Ngomong-ngomong, pacarmu nggak ke sini hari ini?"

"Namanya Haris," gumam Jenar risih. "Nggak. Banyak kerjaan."

"Hmm...kerja di Lokmud--siapa, Nar?" Aji memasang telinga, sementara Jenar langsung berlari ke depan saat suara motor Haris yang khas terdengar di teras.

"Nggak baca pesanku?" bisik Jenar panik. "Kenapa masih ke sini?"

Haris batal melepas helmnya. "Iya? Maaf, mungkin waktu aku masih di jalan. Tante kenapa?"

"Ibuk nggak apa-apa. Tapi--"

"Oh, Haris, ya?" Aji keluar, dan Jenar menghela napas panjang.

Sudahlah.

"Ayo masuk, Ris," gumam Jenar setelah dua pria itu berkenalan.

"Kita perlu bicara, Jen. Bisa?" tanya Haris, yang membuat Aji mengangkat alis.

"Ng...oke." Jenar melirik Aji yang melenggang ringan ke dalam. "Kenapa?"

"Agendanya nggak jadi outbond. Diganti pendakian," ucap Haris.

"Jenar langsung menggeleng. "Nggak bisa kalau mendaki."

Haris mengangguk sekali dsn melepas helmnya. "Dimengerti. Tante di dalam?"

Jenar mengawasi punggung itu dengan tidak enak hati, lalu berdecak keras.

"Di mana memangnya?" tanya Jenar dengan setengah hati.

"Nglanggeran. Nggak ikut nggak masalah."

"Oh...aku kira di mana." Jenar bersungut-sungut. "Satu hari selesai, kan?"

"Nggak sampai satu hari penuh," jawabnya.

"Bisa...sih. Kakak sepupuku masih di sini jadi...yah, aku agak tenang." Jenar berdeham. "Aku ikut nggak apa-apa."

"Yakin?" tanya Haris.

Jenar mengangguk. Haris menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum samar. "Thank you. Aku perlu minta izin sama ibumu, kalau begitu. Tante di mana, Jen?"

==

Seperti yang sudah bisa diduga, Darla mempersilakan Jenar ikut Haris dengan wajah berseri. Yang tidak Jenar duga, adalah interaksi Aji dan Haris. Mengejutkan saat dua lelaki beda usia dan beda karakter itu mampu akrab dengan cukup cepat. Saat Haris menjemput Jenar pagi harinya pun, Aji sempat menawarkan secangkir kopi padanya.

"Jenar! Ikut juga?" Shanum menyapanya dengan bersemangat saat ia dan Haris tiba di titik kumpul.

"Iya. Banyak yang ikut?" tanya Jenar basa-basi.

"Cuma belasan yang bisa. Nggak apa-apalah. Kebanyakan juga pada bawa keluarganya. Ris, jadi sweeper, kan? Nih!" Shanum memberikan walkie-talkie pada Haris, lalu pamit pergi saat seseorang memanggilnya.

"Sweeper itu apa?" tanya Jenar. Dia benar-benar clueless tentang pendakian.

"Sweeper, sweeping, penyapu. Orang yang mengawasi rombongan dari belakang, juga bertugas memastikan nggak ada barang maupun anggota yang tertinggal," jawab Haris.

"Oh..."

"Jenar!"

Hanna mendekat. Ia bergandengan tangan dengan seorang lelaki yang pernah dilihat Jenar dulu di bioskop. Rion.

"Akhirnya ikut juga?" tanya Hanna.

"Iya. Diajak dia." Jenar menunjuk Haris dengan jempolnya. Ia mencuri pandang pada tangan Hanna dan Rion yang bertaut, tapi tidak mungkin dia dan Haris bergandengan tangan demi membuat Hanna cemburu, kan?

"Ini juga jadi hiking kita yang pertama. Iya kan, Mas?" Hanna menyenggol Rion yang sibuk dengan ponselnya. Rion mendongak dan tersenyum.

"Kita ketemu lagi," sapanya sebelum menyalami Haris dan Jenar.

"Susah banget ngajak dia keluar, tahu!" Hanna kembali menggandeng Rion. "Sibuk banget ngurus bisnis."

"Buat masa depan kita juga, Na," balas Rion ringan.

"Iya, sih. Tapi kita jadi susah main bareng. Tahu nggak, Nar? Masa kencan cuma dua-tiga kali sebulan? Kejam nggak, tuh?" tukas Hanna.

"Samalah. Kami juga jarang keluar bareng." Jenar tertawa kecil, sementara wajah Haris sedatar batu bata. "Tapi setiap hari dia ke rumah, kok. Jadi nggak masalah."

Mata Hanna membulat, ia langsung menatap Haris. Rion tidak menyadari ekspresi Hanna karena lelaki itu kembali sibuk dengan ponselnya, sementara Jenar gemas sekali dengan ekspresi Haris. Ia mencubit pinggang Haris agar lelaki itu berganti ekspresi, yang ada Haris malah memeriksa jam tangannya.

"Waktunya kumpul," gumam Haris. "Ayo, Jen. Kalian juga masuk ke bis."

"Kami pakai mobil, Ris," sahut Hanna, yang disusul senyum rendah hati Rion.

"Ada cabang yang baru buka. Jaga-jaga saja kalau aku mendadak harus pulang," jelas Rion. "Kalian mau nebeng aja?"

"Yuk Jen! Daripada di bis panas-panasan!" sambung Hanna bersemangat.

"Sorry, tapi kayaknya nggak bisa. Haris jadi sweeper, soalnya," sahut Jenar.

Hanna mengerutkan kening dan menatap Haris. "Memangnya--"

"Mobilnya ngalangin jalan, Na. Duluan, guys!" Rion buru-buru berjalan ke mobilnya. Rupanya ia dicari oleh salah satu anggota.

"Bawa minum banyak, Ris. Dah, Nar!" seru Hanna sebelum menyusul Rion.

"Padahal dia bisa ajak aku aja, lho," komentar Jenar saat mereka berjalan ke bus. "Yang jadi sweeper kan, kamu--kenapa ketawa?"

Karena Haris tampak menahan tawa dengan kepalan tangan menutup bibirnya.

"Sweeper biasanya baru bertugas saat mendaki. Untuk perjalanan, kami ada penanggungjawab tersendiri. Tapi terima kasih buat usahamu tadi," ucapnya.

Sial. Wajah Jenar langsung panas sekali. Pantas tadi Hanna agak curiga.

Haris membiarkan Jenar duduk di dekat jendela, sementara dia sendiri bercakap dengan beberapa orang lainnya. Jenar memasang kuping kali ini, berusaha menyerap banyak informasi baru tentang dunia pendakian yang ia buta sekali.

"Kamu udah lama punya hobi mendaki gini?" tanya Jenar saat Haris kembali duduk.

"Hm. Sejak SMA," jawabnya.

"Pernah ke gunung apa aja?" tanya Jenar tertarik.

"Semeru, Merapi, Merbabu, Salak, Welirang, Prau, dan masih banyak lagi." jawabnya.

"Di Jawa semua?"

"Luar pulau butuh banyak uang," ucapnya.

"Memang mau ke mana kalau ke luar pulau?"

"Jaya Wijaya," jawabnya. "Salah satu summit impian."

"Karena bagus?"

"Karena menantang." Haris menoleh sambil tersenyum kecil. "Dan bagus juga, Jen. Jaya Wijaya punya puncak yang nggak biasa, aksesnya pun nggak biasa. Itu kenapa menarik sekali summit ke sana."

"Oh...semoga keturutan, deh," komentar Jenar.

"Nggak mau ikut?"

"Nggak, makasih," tukas Jenar yang membuat Haris terkekeh singkat. "Terus selain sweeper, apa ada posisi lain?"

"Navigator, leader, logistik," gumam Haris. "Sisanya follower."

"Nggak nyangka ternyata mendaki seribet itu," komentar Jenar. "Aku kira tinggal jalan, muncak, turun lagi. Selesai."

"Kelihatannya begitu. Tapi prosesnya, nggak sesederhana itu. Tujuan utamanya adalah saling lindung satu sama lain."

Jenar jadi ingat beberapa berita yang pernah ia lihat. Berita-berita tentang orang hilang di gunung.

"Kelihatannya bahaya." Jenar mengernyit. "Tapi banyak orang yang hobi mendaki. Termasuk kamu. Kenapa?"

Haris tampak berpikir, lalu menjawab, "Stress release, ajang kontemplasi. Hal-hal yang bersifat rohaniah. Rasa puas yang cuma bisa kamu penuhi lewat hobi. Seperti kamu dan hobimu. Ngomong-ngomong, hobimu apa?"

"Rebahan," jawab Jenar langsung. "Stress release, ajang kontemplasi, baik untuk jasmani dan rohani."

"Hm...bisa diterima," tukas Haris sebelum mengangkat ponselnya yang berbunyi. Ia menjawabnya sebentar, lalu mulai menekuri ponselnya dengan serius.

"Kerjaan?" Jenar bertanya saat melihat bagan-bagan di ponsel Haris.

"Iya. Give me a moment, Jen," gumam Haris sebelum kembali fokus.

Gadis itu bersandar di jendela selama beberapa menit sebelum kembali melirik Haris.  Ia tampak santai dengan celana cargo selutut dan kaus putih berlengan pendek. Jenar sendiri memakai kaus ungu terang yang dipadu dengan jeans sebetis.

"Mas Rion. Dia kolega kerjaku. Orangnya dewasa dan mapan. Kedengarannya pasti jahat, tapi hidup selalu tentang memilih."

Jenar mengerti pilihan Hanna, sungguh. Tapi melihat Haris yang sebegini serius mengurus pekerjaan, rasanya cukup perih. Dia bahkan bekerja saat sedang sakit.

"Kenapa?"

Haris menangkap tatapan Jenar. Gadis itu dan mengepalkan tangannya. "Ganbate!"

Haris semakin mengerutkan kening, namun Jenar kembali bersandar di jendela sambil memainkan kalungnya.

"Ngomong-ngomong, Ris," bisik Jenar. "Rion tahu kamu mantannya Hanna?"

"Sepertinya nggak, atau belum. Hanna mungkin nggak pernah cerita."

"Kamu kenal Rion?" tanya Jenar lagi. "Maksudnya...umm, sebelum mereka jadian."

"Hanna beberapa kali pernah cerita. Dia atasan Hanna di kantor," jawab Haris kalem. 

Oh, jadi apakah Haris sadar jika Hanna mungkin saja sudah dekat dengan Rion sebelum mereka putus?

Jenar cepat-cepat mengusir pikiran itu dari kepalanya. Bukan urusannya, seharusnya Jenar tidak peduli.

Tapi, Jenar tetap tidak bisa menahan ekor matanya untuk tidak melirik Haris yang kembali fokus dengan ponselnya.

===

"Haris!"

Hanna berlari menuju mereka berdua dengan terengah, sendirian.

"Akhirnya," ucap Hanna sambil membungkuk dalam-dalam.

"Kenapa?" tanya Haris. "Rion mana?"

"Dia--harus pulang dadakan." Hanna berusaha mengatur napas. "Kami barusan masuk parkir terus dia dapat telfon."

Raut wajah Haris mengeras, sementara Jenar mulai antusias dengan dua manusia ini.

"Kamu ditinggal sendiri?" tanya Haris dingin.

"Nggak sendiri juga. Kan ada kamu. Lagipula aku masuk kelompokmu nanti." Hanna meninju bahu Haris dengan main-main. "Jangan marah gitu. Mas Rion pengusaha besar, wajar kalau ada hal-hal kayak gini. Ayo briefing! Ayo, Nar!"

Hanna menggamit lengan Haris dan berjalan lebih dulu hingga Jenar mengangkat alis. Tapi Haris melepasnya dan menoleh pada Jenar.

"Aku perlu ketemu Sinar. Kalian berdua, ke sana duluan," gumamnya sebelum hilang dari pandangan.

"Maaf, tadi itu kebiasaan." Hanna meringis. "Nggak marah, kan?"

Jenar melambaikan tangan dengan santai. "Cuma pegang-pegang gitu sih nggak masalah. Asal jangan kelepasan yang lainnya aja."

Raut wajah Hanna menegang, namun ia memaksakan tawa.

"Yuk ke sana," ajaknya kemudian. "Tapi, kamu yakin mau ke atas?"

"Kata Haris nggak lama."

"Nggak, kok. Tapi medannya agak berat. Jangan dibayangin kalau kita cuma akan jalan-jalan aja lho, Nar. Ada medan yang harus dicapai lewat tali aja. Manjat. Jadi, yakin kamu kuat? Udah siap?" tanya Hanna serius.

"Aku malah makin penasaran," jawab Jenar. "Ada Haris juga. Nggak ada yang perlu dikawatirkan. Dia jago, kan?"

"Iya." Hanna membuang wajah. "Dia bisa diandalkan buat hal-hal begini. Tapi jangan sampai kita jadi beban, Nar. Paham kan, maksudku?"

"Santai saja. Aku ke sini nggak berniat jadi beban. Niat kami ke sini kan buat senang-senang bareng," ucap Jenar sambil tersenyum.

Hanna mengangguk enggan dan tidak bicara lagi. Jenar terkikik dalam hati. Akhirnya, mereka berkumpul bersama yang lain. Diamatinya dedaunan rimbun yang menutupi gunung batu tersebut. Ia mungkin sering melihat Nglanggeran ini dari jauh, salah satu dari hamparan pegunungan seribu di tanah mataram.

Tapi hal lain kini melintas di kepala.

Sinyal ponsel. Dia tidak tahu bagaimana kualitas sinyal di atas nanti. Tapi Jenar merasa sangat tidak aman jika sampai ia lost contact dengan orang rumah.

"Batalin?" batin Jenar cemas. "Nggak usah ikut naik, mungkin. Sampai sini udah cukup, kan?"

"Haris!"

Seruan antusias Hanna membuat Jenar menoleh, namun Haris langsung mendekati Jenar.

"Jen, kamu perlu tahu ini," ucap Haris, sementara Hanna mendekat dengan ingin tahu.

"Aji punya nomor Sinar, dia stay di bawah," kata Haris. "Dan Sinar bisa kasih tahu aku lewat walkie-talkie ini. Jadi jangan khawatir. Kalau ada kabar yang harus kamu dengar, kita bisa tahu--are you okay? Mau pulang aja?"

Haris menatap Jenar lekat. Jenar buru-buru mengusap matanya. Haris pasti melihat kekalutan yang terpantul jelas di wajah Jenar.

"Nggak," gumam Jenar lega. "Itu bagus banget, Thank you."

"Takut ya, Nar? Kalau takut, bisa tinggal di bawah aja, kok," saran Hanna simpati.

"Bukan, kok." Jenar berdecak saat Haris tetap menatapnya tajam. "Nggak apa-apa. Masalah teratasi, dan aku punya perasaan kalau ini akan seru sekali."

Dari sudut matanya, Jenar melihat Hanna yang menatap mereka dengan enggan sekaligus ingin tahu. Sengaja, Jenar berjalan mendekati Haris hingga perbedaan tinggi mereka begitu terlihat.

"Jadi," Jenar mendongak pada lelaki itu.  "Kita berangkat?"

===TBC===

 Selamat siang, selamat hari jumat, dan selamat berpuasa bagi yang menjalankan 🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro