Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Before A Kiss | 10

"Ini apa?"

Jenar yang baru saja bangun tidur, mengerutkan kening saat Darla mengulurkan sebuah rantang padanya.

"Buat Haris. Kasihan, pasti susah cari makan," jawab ibunya.

"Nggak sesusah itu. Banyak yang jual makanan di sekitar kosannya Haris," gumam Jenar mengantuk.

"Mas," desis Darla.

"Mas Haris." Jenar mengulang enggan. "Lagipula Haris cuma nggak enak badan--"

"Mas!"

"Mas Haris cuma--"

"Bapak dan kakakmu dulu juga nggak enak badan. Putra juga awalnya cuma nggak enak badan."

Darla berkata lirih. Namun di telinga Jenar, ibunya bagai melecutkan cemeti tepat di ulu hati.

"Jadi, tolong antarkan ini. Terus kalau bisa, bawa periksa. Ibuk nggak mau kehilangan satu anak lagi."

Suara Darla agak bergetar di akhir kalimat. Ibunya menyentuh dada dan menghela napas panjang, lalu meninggalkan Jenar yang mematung di depan kamar. Jenar sendiri masih merapikan serpih hati yang sempat berserakan karena kalimat Darla.

"Putra juga awalnya cuma nggak enak badan."

"Nar, kayaknya aku agak meriang, ini. Nanti aku tes, ya? Jangan panik, Nar. Screening makin awal justru makin bagus  kan?"

"Positif, Nar. Nggak apa-apa. Aku di rumah sakit terbaik di ibukota, ingat? Jadi, Jenwriku baru apa?"

"Masuk isolasi. Masih bisa vc. Mau vc?"

"Maaf, kemarin agak drop."

"Jangan sedih, Nar. Tunggu aku, ya. Aku pasti pulang."

"Putra is calling..."

"Jenari, ini Mama. Putra pergi tadi malam, Nak."

Jenar langsung berpaling entah dari apa. Nyatanya, suara mama Putra yang bercampur tangis masihlah menempel erat di ingatan.

"Nangis lagi! Nangis terus kerjaanmu!" Rumi lewat sambil berbisik galak. "Cepat dihapus sebelum ibumu tahu!"

Gadis itu segera menghapus air mata. Ia lalu berdecak kecil saat melihat rantang di tangan.

Ini hari minggu. Dia baru tidur jam dua pagi setelah entri data semalaman. Dia ingin bergulingan di kasur saja seharian sambil melepas rindu dengan Putra.
Membaca chat mereka untuk kesekian kali, membuka galeri yang ada Putra-nya, membersihkan barang-barang pemberian Putra, dan masih banyak lagi.  Tapi sepertinya ia harus menunda semua itu.

Jenar membawa rantang itu ke meja makan yang sudah penuh dengan menu sarapan. Semenjak ada Haris, Darla jadi rajin memasak seperti dulu.

"Mau ngapain?" tanya Darla saat Jenar mengambil nasi.

"Sarapan. Ibuk udah sarapan?"

"Sarapan sama Haris aja. Itu porsinya sengaja Ibu banyakin." Darla mengambilkan puding dari kulkas. "Ini, makan ini buat cemilan, terus ke tempat Haris. Kamu ini, mbok ya yang agak perhatian sama Haris, Nduk. Anaknya sendirian di kota orang, siapa lagi yang dia punya kalau bukan kita? Udah, sana berangkat!"

Jadi dengan terpaksa, gadis itu pergi ke tempat Haris pukul delapan pagi. Tapi sesampainya di sana, dia justru bertemu dengan Hanna yang mengetuk pintu unit Haris.

Gadis itu salah tingkah saat Jenar menyapanya."Cuma mau antar sarapan aja. Dia sakit, kan?"

Jenar mengangkat alis. "Kamu tahu?"

"Tadi malam nggak sengaja ketemu di Indoapril. Kontrakanku nggak jauh kok," ucap Hanna. "Kapan-kapan mampir ya, Nar. Aku nggak punya siapa-siapa di sini, jadi rasanya masih asing sekali."

"Pacarmu?" Jenar mengerutkan kening. "Bukannya ada keluarganya di sini juga?"

"Oh..." Hanna memalingkan wajah. "Mas Rion sibuk, keluarganya juga sibuk. Pengusaha besar, tahu kan?"

Tidak, Jenar tidak tahu. Tapi gadis itu mengangguk saja.

"Haris?" panggil Hanna lagi. "Sarapan dulu, deh. Kamu selalu susah makan kalau sakit, ck. Aku masakin tom yam, lho."

Pintu itu tetap bergeming.

"Haris, di dalam, kan?" Hanna mengeraskan suaranya. "Ayo dong, Ris. Nggak banget bertingkah begini sama aku!"

Pintu itu masih tetap bergeming.

"Yakin dia di dalam?" tanya Jenar.

Hanna mengangguk sebelum kembali mengetuk pintu Haris dengan tidak sabar. Ck, yang begini ini kemungkinan besar memang belum move on. Jenar benar-benar tergoda untuk menguji hipotesisnya, tapi dia sedang sangat lelah dan malas hari ini.

"Ris, ada sarapan dari Ibuk," ucap Jenar setengah hati. "Aku taruh depan aja, ya."

Jenar menaruh rantang itu di depan pintu kos Haris sebelum pamit pada Hanna yang mengernyitkan dahi. Jenar tidak selera berpura-pura lebih jauh lagi. Dia amat sangat lelah. Bayangan kasur empuk dan foto-foto Putra terasa lebih menggoda.

Tapi bersamaan dengan Jenar berbalik badan, Haris keluar.

"Mau ke mana?" tanyanya parau. Lelaki itu membalut tubuhnya dengan selimut, sampai kepalanya juga. Wajahnya kusut, dan rambutnya terurai di sisi wajah. Ia menatap Jenar dengan sayu. "Temani sarapan, Jen."

Haris menariknya ke salah satu gazebo sambil membawa rantang. Hanna segera mengikuti mereka dengan tergesa.

"Udah baikan, Ris?" tanya Hanna dengan cemas. "Ini aku juga bawa makanan. Dimakan, ya. Piringmu mana?"

"Pulang, Na," gumam Haris.

"Nggak sebelum aku lihat kamu makan." Hanna bersedekap. "Kamu susah makan kalau sakit. Lihat, aku masak tom yam. Belum ada nasi, kan? Aku juga--"

"Aku perlu telfon Rion?"

"Nggak perlu! Ngapain juga telfon-telfon dia, Ris? Aku cuma cemas sama keadaan kamu."

Haris tidak menanggapi. Dia justru membongkar rantang Jenar. Sementara Jenar sendiri duduk bersandar sambil terkantuk-kantuk.

"Kamu punya tiga detik sebelum aku telfon Rion," ucap Haris yang duduk bersila masih dengan selimut tertungkup di kepalanya. "Satu."

"Makan dulu. Kamu suka ini kalau pas nggak enak badan, kan?"

"Dua."

"Astaga Haris! Apa salahnya aku di sini? Sebagai teman lama, rasanya aku nggak mungkin bisa ninggalin kamu pas kamu sakit begini!"

"Ti--"

"Iya! Iya! Aku pulang!" seru Hanna berang sebelum menunjuk Jenar. "Jenar nggak kamu suruh pulang juga?"

"Dia pacarku. Pulang, Na. Bawa makananmu juga."

Melirik Jenar dingin, Hanna pergi dengan langkah terhentak. Sementara Jenar setengah tertidur sambil menggenggam kalungnya.

"Kejamnyaa..." komentar Jenar. "Ngomong-ngomong, kamu kenapa, lebih tepatnya? Demam nggak? Ada flu? Kerongkongan nggak enak?"

"Sedikit."

"Terus?" Jenar mengerutkan kening. "Nggak swab aja, Ris?"

"Nanti mau swab," gumam Haris. "Jauh-jauh duduknya."

Jenar memutar bola mata. "Makanannya nggak dibawa Hanna, lho. Makan itu dulu, Ris. Katanya suka tom yam."

Haris meraih kotak makan sekali pakai itu dengan bimbang, yang membuat Jenar mencibir kecil. Lain di bibir, lain di hati. Ckckck

"Mau? Ini enak." Haris menyodorkannya pada Jenar.

Gadis itu menggeleng dan mengerang lirih saat gerimis tiba-tiba turun.

"Kenapa?" tanya Haris parau.

"Hujan." Jenar memeluk lututnya. "Dingin."

Haris kembali menyodorkan tom yamnya. "Hangat."

Jenar menggeleng lagi.

"Pulang aja."

"Biar reda sekalian." Jenar hanya malas memakai jas hujan. Tidak sederas itu, sebentar lagi juga reda. Lagipula Darla akan mengomelinya jika ia pulang cepat. Maka sambil menunggu, gadis itu mengeluarkan ponselnya dan membuka-buka galeri tentang Putra.

Putra yang tersenyum, putra yang tertawa, Putra yang berbicara.

Putra yang berjalan ke arahnya dengan cengiran lebar dan memakai kemeja kesayangannya. Jam tangan pemberian Jenar melingkar manis di tangan. Tatapannya seperti biasa: berbinar dan hangat.

"Nunggu lama, ya?" ucapnya sambil menggenggam jemari Jenar. Rasanya hangat. "Gimana kalau kita jalan-jalan?"

Dan Jenar menyanggupi. Seperti biasa, mereka mengintari kota sambil sesekali mampir membeli jajanan. Kali ini Putra membawanya ke Alun-Alun Kidul, duduk di rerumputan sambil melihat beberapa anak bermain mainan baling-baling.

"Wajahmu lelah, Nar."

"Hm. Aku nunggu kamu dari lama."

Putra mengangkat alis. "Aku di sini. Kenapa wajahnya masih begitu? Senyum coba? Senyum sampai aku nggak yakin kalau calon istriku bisa secantik ini."

Jenar memutar bola mata meskipun pipinya terasa membara. Putra terkekeh puas. Selama itu, genggaman Putra terasa hangat. Memberikan ketenangan di relung hati Jenar seperti biasanya. Membuatnya merasa hidup dan bahagia. 

TAK

"Sori."

Bahkan saat Jenar membuka mata dengan terkejut, ia sadar bibirnya masih tersenyum.

Mimpi.

Jenar melipat selimut yang secara ajaib menyelimuti tubuhnya tadi, lalu memperbaiki duduknya. Lehernya sedikit kaku karena meringkuk di pojok gazebo entah sejak kapan.

Ia mengawasi Haris yang membenahi laptopnya dengan agak marah. Jika Haris tidak berisik, dia bisa bersama Putra lebih lama lagi.

"Itu bersih, jangan khawatir," gumam Haris tanpa menoleh. Suaranya masih parau.

"Thank you. Ini jam berapa?" Jenar bertanya saat melihat rantangnya sudah kosong dan sudah dicuci bersih.

"Sembilan," jawab Haris.

Itu berarti Jenar tertidur hampir satu jam!

Haris meliriknya, namun tidak mengatakan apapun. Lelaki itu masih menelungkupkan selimut di tubuhnya. Ia duduk membelakangi Jenar, menghadap laptop yang entah sejak kapan ia bawa ke gazebo. Dari belakang sini, rasanya Jenar sedang menatap punggung ulat yang besar sekali. Warna selimutnya hijau, pula.

Gadis itu mendesah sedih sambil memilin kalungnya. Hujan justru turun makin lebat. Dia mulai lapar dan kedinginan. Selimut terlipat rapi di samping tubuhnya, tapi meminjamnya lagi terasa amat canggung.

"Nggak istirahat aja?" tanya Jenar hanya agar suasana tidak begitu sepi.

"Kerjaan."

"Terus kenapa malah kerja di sini? Dingin, katanya meriang."

"Tidur lagi, Jen."

"Nggak bisa," sahut Jenar seraya menerawang hujan di luar sana. "Ada banyak hal yang perlu dibahas. Ibuk tanya terus kapan orangtuamu datang."

"Sedari awal, perjanjian itu cuma tentang kita berdua. Orangtuaku nggak terlibat," gumam Haris parau.

"Tahu. Aku cuma--are you okay?" Jenar bertanya karena Haris terus memijit bahunya sejak tadi.

"Nggak masalah," gumamnya.

"Kenapa nggak istirahat aja dulu?" tanya Jenar saat Haris tetap melanjutkan pekerjaannya.

"Ini event penting."

"Bukan berarti mereka nggak akan bisa jalan tanpa kamu, kan?" tukas Jenar.

"Actually, they don't. Timku hanya dua orang."

Jenar mengernyit. "Serius? Lokamuda?"

Keterdiaman Haris menjawab pertanyaan Jenar.

"Astaga. Itu berarti load kerjamu sangat nggak sehat! Yakin kuat? Yakin adil? Kenapa nggak cari kerja yang iklimnya lebih manusiawi dan lebih menjanjikan?" cecar Jenar tidak habis pikir.

"Dan apakah aku langsung dapat pekerjaan baru? Apakah tempat kerjaku yang baru menjamin iklim yang lebih manusiawi dan menjanjikan?" balik Haris, yang membuat Jenar langsung terdiam.

"Cari kerjaan baru nggak gampang, dan Lokmud pekerjaan pertamaku setelah lebih dari lima kali mencoba," ucap Haris dengan suara yang nyaris hilang.

Iya, sih. Butuh tiga kali percobaan bagi Jenar sebelum berhasil mendapatkan pekerjaan.

"Sebelum di Lokmud, nggak kerja?" Jenar memeluk lututnya untuk menahan dingin.

"Ngojol, freelance."

"Oh, ada niat cari better offer?"

"Mungkin," gumam Haris. "Hanna bicara alasan kami selesai?"

Jenar meringis, namun tidak menjawab. Untuk beberapa saat, ia mengawasi Haris yang membuat bagan entah apa di laptopnya sambil memijit bahu satu menit sekali.

"Lokmud nggak seburuk itu. Sesuatu yang sedang tumbuh memang belum sempurna, tapi progres kami jelas," ucap Haris tiba-tiba. "Tentang Hanna, itu haknya. Jadi Jen, berhenti mengganggu Hanna sama Rion."

Jenar memutar bola mata. "Kapan aku ganggu Hanna, coba?" 

"Niatmu."

"Aku nggak niat ganggu mereka. Aku cuma mau memastikan. Hasil akhirnya, tetap di Hanna sendiri."

"Sama saja."

"Anggap saja, itu imbalanku karena udah bikin Ibuk membaik dengan luar biasa."

"I've told you. Imbalanku--"

"Iya, tahu. Tetap saja arahnya ke sana, kan? Siapa tahu Hanna akan sadar kalau kamu orang yang nggak bisa dilepaskan begitu saja. Orang-orang yang masih ada di persimpangan begitu, perlu dibantu untuk memutuskan. Kalau nggak, justru Rion juga bisa sakit hati nantinya," ujar Jenar tidak sabar. "Contoh kecilnya, Rion tahu Hanna sering ke sini?"

Haris tidak menjawab, yang membuat Jenar kembali bersandar sambil memilin-milin kalungnya.

"Kamu juga masih di persimpangan?"

Jenar melirik punggung Haris. Tangannya makin erat menggenggam kalung.

"Nggak," Suara Jenar sedikit pecah hingga ia berdeham. "Aku tahu harus ke mana."

"Then why are you crying?"

"Kapan?"

"Barusan. Kamu nangis, cekikikan, panggil nama seseorang, terus nangis lagi."

Jenar menyapu pipinya dengan panik. Sialan, dia benar.

"Kamu salah lihat," tukas Jenar pahit.

"Begitu?" gumam Haris serak. "Just cry when you wanna cry. I wont judge you, anyway."

Jenar terkekeh pelan, namun  matanya menghangat tanpa bisa dicegah.

"Kalungmu, itu pasti sangat berharga."

"Hm. Berharga sekali." Jenar bersikeras menatap hujan kala matanya mengabur tanpa bisa ditahan. "Tapi Bulik Rum sama Ibuk nggak suka."

"Karena?"

"Karena katanya aku harus ikhlas. Karena katanya, seharusnya aku nggak ingat-ingat Putra lagi. Yang lalu biarlah berlalu, begitu katanya."

Jenar menggigit bibir saat matanya perih tidak keruan. "Tapi...memangnya kenapa sih? Apa masalahnya kalau aku nggak mau ikhlas? Memangnya kenapa kalau aku maunya terus mengingat dia sampai aku mati? Ada yang rugi kalau aku nggak mau lupa? Nggak, kan? Terus kenapa orang lain merasa berhak mengatur caraku menata perasaan, coba?"

Jenar mengusap wajahnya dengan cepat.

"Tapi aku nggak bisa ngawur begitu, Ris," gumam Jenar lirih. "Ibuk nggak bisa lihat aku sedih. Beliau bisa histeris, teriak-teriak sendiri. Bulik Rum akan marah-marah, dan bilang itu semua salahku."

Haris tidak menyahut. Lelaki itu masih tetap memunggunginya. Hujan begitu deras, mungkin dia memang tidak mendengar. Baguslah, sebab Jenar mendadak merasa malu sudah kelepasan bicara.

"Mau wedang ronde?"

Jenar mengangkat wajah dengan bingung, namun Haris sudah menyambangi penjual wedang ronde keliling memakai payung. Dia masih dibungkus selimut, rasanya seperti melihat ulat besar yang berteduh di bawah daun.

"Kalau kurang, bilang," gumam Haris sambil menyodorkan semangkuk wedang ronde di hadapan Jenar. Dia sendiri membawa satu mangkuk untuk dirinya.

"Thank you," gumam Jenar kikuk.

Haris meliriknya sebelum kembali memunggungi Jenar. "I won't judge you, Jen. Jadi, makan. Bilang kalau mau lagi."

Jenar terpaku sejenak, tapi si ulat hijau besar itu tidak berbalik. Dia sibuk bersantap hingga gesturnya terlihat aneh dari belakang sini.

Jenar menyentuh mangkuk itu. Hangat. Hangat yang terasa sampai di hati. Matanya mengabur lagi, namun Jenar membiarkannya kali ini.

Seperti di atas motor tempo hari. Jenar membebaskan memorinya berkelana karena dia tahu, Haris tidak akan berkomentar apa-apa. Disentuhnya satu persatu kenangan tentang Putra yang tidak bisa terjamah tanpa mengundang air mata. Rindu ikut serta sampai sakit rasanya.

Tapi Jenar merasa puas. Untuk pertama kalinya, ia merasa bebas menangis. 

*TBC*

Haii, selamat pagi. Terima masih telah membaca ❤️
 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro