Beda Itu Satu Itu
Bhinneka Tunggal Ika. Begitulah, sebaris yang ia petik dari Sutasoma. Sederet sastra kawi yang ia jadikan semboyan, mungkin bagian dari hormat tiada henti untuk moyang dari moyangnya. Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda itu satu itu. Bhinneka Tunggal Ika, yang secara umum kita artikan menjadi 'Berbeda - beda tetapi tetap satu jua'.
Jangan salah sangka, aku tidak akan membahas arti maupun asal-usul 'Bhinneka Tungga Ika'. Hanya saja, biarkan aku mengulas beberapa pendapat yang belum tentu benar. Namun juga tak salah. Soal apa yang buku sejarah lapuk pertontonkan padaku. Pun apa saja yang ritme jemari pada layar ponsel pintarmu pamerkan pada kakek dan nenek yang berdiri di bus, menanti peka mengusik otot-otot mudamu untuk mengalah. Jadi perkenankan aku membicarakan aku. Persilakan aku berceloteh tentang kamu, tentang kita. Dan bolehlah aku menilik 1928, menengok kakak-kakak kita. Eh, itu pun jika aku tak malu bertemu kakek dan nenek yang sedang kongres di Negeri Jakarta. Yang tanpa kamu sadari tengah menatap lesu sambil bibirnya yang terkatup bergerak samar: "Jadi beginilah anak cucuku?"
Ah, aku mulai dari perkenalan saja. Tentu telingamu tak asing dengan pemuda 1928, bukan? Benar, merekalah yang selalu diungkit tiap 28 Oktober memanggil dari balik tinta kalender. Mereka adalah kobaran api di masanya, yang membakar hangus tembok pembeda yang kokoh berdiri waktu itu. Bayangkan saja! Jeruji-jeruji adat, sekat-sekat jarak, bahkan jalinan kuat keyakinan roboh dililit nyala semangat mereka. Sehingga terumuslah tiga biji yang terdengar membosankan di telinga, mungkin terlewatkan kala petugas upacara membacanya pagi tadi.
Tidak seperti kita, ya? Padahal jarak sudah dipangkas cuma-cuma oleh globalisasi. Padahal siang-malam, gelombang tak tampak bernama sinyal itu hubungkan kamu, aku, dengan mereka yang bahkan lintas benua. Aneh, ya? Seakan trend serba mudah malah mengikis pondasi gotong-royong yang dibangun para leluhur. Seakan laju cepat informasi keraskan ego opinimu, tak mau lunak jika yang lain tak yakin dengan apa yang kita yakini. Tak ada celah untuk beda. Tak boleh beda karena merasa benar sendiri. Eh! Sebelum bogem mentahmu lepas begitu saja, ingatlah kalau dia juga saudaramu. Saudara, yang terjalin berkat ikrar sederhana di Negeri Jakarta. Delapan puluh tujuh tahun silam.
Duh, duh! Kenapa kita jadi tersekat-sekat begini? Padahal 'Bhinneka Tunggal Ika' jelas-jelas dicengkeram Garuda di depan kelas. Padahal sudah tahu, kalau yang dimaksud satu bukanlah seragam yang dipaksakan. Bukan meriah seremoni yang tercetus dadakan. Satu adalah beda dengan beda yang terpadu, dijalin benang merah dan disangga rangka putih. Karena sama seperti buyut dari buyut dari moyangmu, kita hanyalah anak-anak yang dipersatukan ibu dalam tanah air nan luas ini.
Mengherankan, ya? Kalau kakak-kakak kita saja bisa menepis tembok-tembok itu, kenapa kita yang dialiri darah mereka tak bisa melakukannya? Kenapa api yang bergolak timbulkan perpecahan? Kenapa ego jadi bensin yang membumihanguskan persatuan?
Beda itu satu itu. Ingatlah, kalau nyatanya perbedaan adalah pemersatu. Bahwa dengan kotak-kotak kecil berlabelkan suku, agama, golongan yang saling melengkapi, nusantara ini tersusun. Bahwa pada akhirnya, memang benar. Berbeda-beda tetapi tetap satu, karena beda itu satu itu.
***
Selamat Hari Sumpah Pemuda!
Semoga semangat persaudaraan tak pudar di era globalisasi ini.
#NPC_SUMPAH_PEMUDA_2015
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro