Namanya Rifka
Chapter: 2
Panggil saja aku Rifka
···
🍁🍁🍁
Lembar kertas hasil ujian ia remas kuat-kuat, perempuan itu amat kesal dengan nilai yang ia peroleh. Berbeda dengan teman sebangkunya yang tampak berbinar-binar melihat kertas yang baru saja dibagi ketua kelas itu. Rifka tidak pernah mengerti mengapa nilainya bisa begitu, padahal sebelum ujian dia telah belajar mati-matian.
"Ini nggak adil banget!"
Dina si teman sebangkunya menoleh sekilas, sebelum kembali bersikap tak acuh dan menyimpan baik-baik kertas tadi ke dalam tasnya. Dina tahu temannya satu itu akan merengek kesal, hal yang selalu ia terima sehabis pembagian nilai.
"Perasaan masih banyak yang lebih goblok dari pada gue, kenapa nilai gue yang paling bobrok?!" Rifka memukul keras mejanya pada kata terakhir.
Dina sangat ingin mengabaikan Rifka, lebih-lebih ia sudah bosan dengan tingkah Rifka yang begini. Namun, Rifka bukanlah Rifka bila tidak bisa merebut atensinya. Rifka sekarang menendang-nendang kursi di depannya, tentu saja membuat si empunya kursi marah.
"Apa lo?"
"Lo ganggu orang tau, Rif."
"Kok bisa sih lo dapat nilai 90 sedangkan urutan sistem pencernaan aja nggak hapal?"
Zeze yang tadi kursinya ditendang Rifka, juga orang yang terang-terangan disinggung Rifka mulai tidak bisa menahan sabar menghadapi tingkah Rifka.
"Lo kok sewot? Cuma karena lo dapet nilai jelek, terus lo marah lihat orang lain dapat nilai tinggi?" Bukannya meminta maaf atau apa, Rifka malah balas berucap lebih pedas.
"Nilai hasil nyontek aja bangga!"
"He! Mulut tuh jaga ya!"
Dina menutup mulut Rifka yang hendak kembali mengucapkan kata-kata yang akan membuat ia bertengkar dengan Zeze. Ia kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Rifka. Rifka yang awalnya tidak suka diperlakukan seperti itu oleh Dina, mendengar sebaris kalimat yang dibisikkan oleh temannya itu membuat ia terbungkam.
"Kok betah sih temenan sama dia Na, gue sih ogah, tempramen yang selalu membuat masalah," kata Zeze masih dengan sisa-sisa kesal.
"Diem Ze. Lo ngapain nyari ribut juga?" Dina melepaskan tangannya dari mulut Rifka. "Kantin yuk, laper."
Masih menyimpan emosi, tetapi mau tak mau ia ikut juga oleh tarikan tangan Dina yang menuntunnya ke kantin.
Kelas mereka cukup dekat dengan kantin, sehingga tidak perlu berjalan jauh mereka sudah sampai. Istirahat pertama selalu ramai seperti hari-hari sebelumnya. Kantin ini sesak, penuh dengan manusia yang berlomba-lomba untuk memesan makanan, kalau tidak mereka bisa saja kehabisan.
Padahal kantin SMA ini ada dua, isinya pun sama. Tetapi Kantin yang dekat kelas Rifka ini selalu yang paling ramai. Alasannya satu, kantin satu lagi dekatnya dengan kantor guru.
Mereka berdua clingak-clinguk mencari meja kosong yang dapat mereka tempati. Mata Dina jatuh pada meja sudut, walau sudah ada yang menempati, tetapi masih muat menampung mereka berdua.
"Rif, di sana kosong tuh. Lo ke sana duluan gue yang beliin makanan kita, lo jagain, oke?"
Tanpa pikir panjang Rifka menganggu dan mereka berdua berpisah. Setelah meminta izin untuk duduk kepada orang yang duduk lebu dulu di sana, akhirnya ia dapat mendaratkan bokongnya pada kursi kayu panjang itu.
"Anak IPA dua, ya?"
Baru saja Rifka mengeluarkan ponselnya untuk mengusir bosan menunggu Dina, ia tidak tahu ternyata sosok laki-laki tadi yang ia mintai izin sepertinya mengenalnya.
"Ya-ya? Kenapa?"
"Gue IPA satu."
Aku tidak peduli, batin Rifka. Rifka merasa ia tidak perlu tahu kelas berapa si laki-laki ini. Ia hanya tersenyum paksa sambil angguk-angguk. Mencoba tidak terlalu menyinggung laki-laki itu.
"Gue sering lihat lo di kantor guru."
Rifka sekarang merasa lebih baik ia yang membeli makanan daripada terjebak pembicaraan dengan orang asing ini. Sebab, Rifka tidak suka berkomunikasi dengan orang yang baru.
"Lo nggak pernah lihat gue?"
"Enggak."
Maafkan Rifka yang tidak bisa mencegah mulutnya tidak berkata kasar, sebab ia benci orang asing yang sok kenal seperti ini. Perempuan berambut hitam sebahu itu diam-diam mengembuskan napas lega saat melihat Dina akhirnya datang dengan dua mangkuk siomay di tangannya.
Laki-laki tadi tidak lagi mencoba mengajak bicara Rifka, bahkan terkesan mempercepat makannya dan baru saja Dina duduk di sampingnya laki-laki itu beranjak pergi.
"Aneh."
"Siapa Rif?" tanya Dina yang baru saja meletakkan makanan di meja.
"Katanya sih anak IPA satu, tapi nggak tau deh, baru lihat juga."
Dina mengangguk mengerti, lalu menyodorkan tangan terbuka ke Rifka, "delapan rebo," ujarnya.
"Nanti aja, gue nggak bawa duit."
Saat hendak makan, Rifka melihat sesuatu yang tertinggal di tempat duduk laki-laki tadi. Ternyata kartu pelajar. Ia meraih beda petak itu, dan membacanya. Riski Ardiansyah. Entah mengapa nama itu tidak asing bagi Rifka pun wajah itu tiba-tiba saja menjadi terlihat familiar. Benar saja, Rifka sering melihat dia ketika di ruang guru. Jangan tanya mengapa Rifka sering di ruang guru. Salahkan pelajaran biologi yang tidak pernah memberikan nilai tinggi padanya.
"Omeygat!!!" Rifka berteriak histeris saat ingatannya tentang laki-laki muncul.
"Kenapa, sih Rif? Heboh mulu perasaan dari tadi." Dina menatap Rifka yang masih dengan ekspresi tidak percaya.
"Dina, gue ingat cowok tadi."
"Siapa?"
Rifka menyerahkan kartu pelajar itu pada Dina, dan menatap temannya itu dengan penuh makna. Membaca nama yang tertera di sana, Dina akhirnya mengerti.
"Na. Dia cowok yang dimaksud Bu Hasna. Anak olimpiade yang sering banget diumumin waktu upacara. Dia orangnya!"
Setelahnya, Rifka sangat bersemangat untuk kembali bertemu laki-laki tadi dan ia tidak sabar untuk segera mengajaknya mengobrol.
"Asyik! Gue seneng banget." Mood bete yang sebelumnya menggerogoti hatinya kini berganti menjadi perasaan bahagia.
[]
877 words:)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro