Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Namanya Dina

Chapter 3
Namanya Dina

...

🌸🌸🌸

Dina menatap teman sebangku sekaligus sahabat karibnya itu dengan menahan diri untuk tidak berteriak. Rifka lama sekali hanya untuk mengembalikan kartu pelajar milik laki-laki bernama Riski itu. Dina menyandarkan diri ke sisi pintu sekali lagi menarik napas dalam-dalam, sudah lebih dari tiga puluh menit sejak jam belajar habis. Tadi Rifka mengajak untuk menemaninya mengembalikan benda itu, sekaligus ia juga berniat membicarakan sesuatu katanya. Namun, mana Dina tahu bakalan selama ini.

Dina mengetuk-ngetuk pintu untuk menyadarkan Rifka bahwa ia lelah menunggu. Kedua orang yang tengah terlibat percakapan itu pun menoleh pada Dina yang balas menatap Rifka tajam.

Sabar, Rifka mengatakannya dengan gerakan bibir saja. Dina kembali mengetuk-ngetuk pintu, yang kali ini baru mendapat respon nyata dari Rifka yang sepertinya mengerti dan segera berpamitan pada Riski.

Mendekati Dina. "Sabar, Na. Lo buat citra gue jelek tau!"

"Udah jam segini, gue ada janji sama mama bakalan pulang cepat." Dina berjalan mendahului Rifka yang menyusulnya kemudian.

Rifka memang menumpang mobil Dina, sebab rumah mereka searah terlebih lagi Rifka yang tidak ingin berdesakan dalam angkot.

"Dia baik banget, dia mau ngajarin gue. Dan mulai Senin kita bakalan belajar di perpustakaan tiap istirahat. Lo mau ikut nggak?"

Mereka sampai di parkiran, Dina memasukkan diri ke dalam mobil diikuti Rifka yang mengambil tempat di sampingnya. "Enggak deh, nilai gue selalu bagus seingat gue."

"Setan! Halus bener sindirannya," kata Rifka mengeluarkan ponselnya.

"Tapi, Na. Kalau kita dua doang yang belajar bakalan akward banget. Lo ikut dong ...."

Tidak menanggapi, Dina memilih diam saja ia memikirkan bagaimana nanti ia memberi alasan pada mamanya sebab tidak menjawab beberapa panggilan sejak tadi. Rumah Rifka lebih dulu sampai, setelah  tiga kilometer dari sekolah, rumah bercat putih dengan pagar beton bercat emas.

"Gue duluan, Dina. Jangan marah terus dong tentang yang tadi. Makasih, ya ... hati-hati di jalan."

Setelah Rifka keluar, Dina melajukan mobilnya dengan cepat. Tidak lama kemudian ia sampai dan buru-buru masuk ke rumah. Baru juga masuk ke dalam rumahnya. Ia menemukan pria duduk bersama ibunya di ruang tamu. Pria itu lagi.

"Mama 'kan udah bilang pulang cepat. Pak Beni sudah menunggu dari tadi."

Dina berjalan mendekati kedua orang itu, dan menatap mamanya tidak percaya. Ia disuruh cepat pulang hanya untuk ini? Dina lebih memilih pulang lebih lama kalau begini ceritanya. Ia duduk di samping mamanya, menyunggingkan senyum paksa untuk pria di hadapannya.

"Kamu buruan ganti baju sana, kita makan siang di luar bareng Pak Beni hari ini."

"Ma ...."

"Enggak ada penolakan sayang."

Meskipun enggan Dina tetap naik ke atas untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Ia tidak mungkin menyakiti perasaan mamanya hanya karena egonya.

Sungguh ia bukan membenci Beni. Pria itu baik, sungguh. Namun, Dina masih belum ikhlas dengan kenyataan ada seseorang yang menggantikan posisi almarhum papa. Memang sudah tiga tahun berlalu sejak kepergian sosok  Papa, sejatinya semuanya telah menerima kenyataan, pun hidup juga terus berjalan. Hanya saja Dina masih belum bisa menerima orang lain menjadi pendamping Mama.

Saat sampai di kamarnya yang berada di lantai dua, sepasang kaki menghampirinya, lalu ada sebuah belaian halus di kepala Dina rasakan.

"Kakak tebak, pasti adik kakak ini lagi kesal."

Dina mendongak, menemukan perempuan berperawakan mirip sekali dengan Mama hanya saja yang ini memakai kacamata. Dia Lana, Kakaknya, sekaligus saudara satu-satunya. Rentang usia di antara mereka empat tahun, tetapi bagi Dina, Lana itu sudah seperti Mama. Sifat dan karakter nya sebelas dua belas.

"Om Beni baik, kok. Dia selalu bisa buat Mama bahagia."

Sama seperti Mama, Lana juga bisa dengan mudah menebak apa yang tengah dipikirkan sang adik.

"Dina nggak mau Papa digantikan," kata Dina kembali menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia memang cengeng bila sudah menyangkut Papa.

"Emang siapa yang mau gantiin Papa?" Lana duduk di tepi ranjang, bersebelahan dengan Dina. "Bagi Kakak Papa juga tak tergantikan, hanya saja, Kakak juga senang banget akhirnya Mama bisa menemukan pendamping yang bisa melanjutkan tugas Papa."

Lana menarik wajah Dina, agar bisa melihat dengan jelas mata yang hanya dengan satu kedipan itu akan mengeluarkan air mata. "Dina ingat, kan, Mama selama ini selalu sedih sejak ditinggal Papa, tapi semenjak ketemu Om Beni, Mama bisa perlahan bisa bahagia?"

Itu fakta menyebalkan lainnya. Dina tahu itu, hal yang membuat ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dina sayang Mama, ia ingin Mama bahagia selalu.

"Perlahan Dina, Kakak harap perlahan kamu bisa menerimanya."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro