Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

Seperti halnya kapal mewah Royal Princess yang berlayar di Lautan Karibia, kapal pesiar Ocean Dream ini memiliki ruang khusus galeri seni. Dengar-dengar karena pemiliknya merupakan seorang penggemar seni. Minat itulah yang mendorong sang pemilik kapal untuk mengadakan acara pegelaran seni ini. Bukan hanya lukisan yang dipamerkan di sini. Ada juga beberapa patung pahatan karya perupa ternama asal Bali. 

Galeri sudah dipadati oleh para penumpang kapal yang semuanya berbusana mewah. Para pria mengenakan tuksedo dan para wanita memakai gaun rancangan desainer. Jenis pakaian yang sama seperti yang kini melekat pada tubuh Ayu dan Lintang. 

Saat melintas di depan sebuah cermin besar dengan bingkai kayu berukiran khas Jepara, Ayu sempat melihat pantulan dirinya. Gaun hitam yang ia kenakan semakin menonjolkan warna kulitnya yang putih bersih. Rambut hitam panjangnya ditata rapi ke belakang telinga dan ditahan dengan sepasang jepit rambut bertatahkan berlian, memamerkan telinganya yang juga berhiaskan anting berlian. Pikiran liar terlintas dalam benak Ayu, bagaimana reaksi orang-orang  jika ia muncul dengan penampilan yang sedikit kacau? Mungkin ia bisa melepas jepit rambutnya dan mengacak surai hitamnya agar sedikit berantakan? Atau mengganti high heels delapan sentimeternya dengan sepatu kets putih-silver?

Ayu menggeleng kecil sembari terus melangkah. Orangtuanya pasti akan menguburnya hidup-hidup jika ia berani muncul seperti itu. Mereka telah menetapkan standar sempurna pada semua hal yang Ayu jalani: cara berpakaian, teman-teman, pendidikan, karir, bahkan urusan cinta. 

"Itu Om dan Tante," ucap Lintang, sebelah tangannya yang bebas menunjuk pada sepasang pria dan wanita paruh baya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang pria lainnya di depan lukisan Moonlight at Midnight buatan Ayu. Wayan Subroto, ayah Ayu, mengenakan tuksedo hitam seperti pengunjung lainnya, tampak sedang mengobrol akrab dengan lawan bicaranya. Sementara, Sekar Kinanti, ibu Ayu, hanya sesekali menimpali sambil terus tersenyum manis. Batu-batu permata yang menghiasi gaun batik modern yang ia pakai terlihat berkilau ditimpa cahaya lampu. Mereka langsung menoleh begitu melihat Ayu datang bersama Lintang.

"Ah, ini dia putri semata wayang kami, Pak Sam," kata Wayan sembari merangkulkan tangannya di pundak Ayu. "Ayu, kenalkan ini Pak Samudra. Dia seorang kurator independen. Pernah bekerja di museum di New York tapi akhirnya memilih kembali ke tanah air. Pak Sam ini sangat terkesan dengan lukisanmu."

Ayu menyalami Samudra sembari mengucapkan terima kasih atas apresiasi pria itu terhadap karyanya. Gelang berliannya tampak semakin berkilau di bawah sinar lampu. Ayu memperkirakan Samudra berusia 40-an, belum setua ayahnya.

"Putri Anda sangat berbakat," puji Samudra.

Wayan tertawa. "Ya, ya, memang benar," katanya pongah sembari menepuk-nepuk pundak putrinya. Ayu sedikit mengangkat alis, terkenang saat dirinya harus menyusun argumen kuat selayaknya sebuah desertasi untuk meyakinkan sang ayah tentang jurusan seni yang ingin ia tempuh di bangku perguruan tinggi.

"Dan pemuda tampan ini, apakah kekasihnya?" Samudra bertanya tentang Lintang.

"Lintang ini adalah kawan baik Ayu. Sudah lama sekali mereka bersahabat. Dan memang hanya dia yang paling saya percaya untuk menjaga putri saya."

 "Pelukis juga?" tanya Samudra lagi.

"Bukan, Pak. Saya lebih tertarik pada dunia literasi," jawab Lintang seraya menjabat tangan Samudra.

"Oh, ya? Menggeluti genre apa? Sastra serius?" Samudra tampak tertarik.

"Hanya tulisan-tulisan fiksi populer. Saya nggak bisa yang terlalu nyastra," jawab Lintang malu-malu, yang membuat Ayu ingin tertawa.

"Penulis berbakat sekaligus pengusaha muda," timpal Wayan. "Husband material," guraunya.

Ayu memutar bola mata, sementara Lintang tersenyum simpul.

"Oh ya, Om Wayan, tadi saya bertemu dengan Sentanu Wisnubrata, CEO jaringan Hotel Lestari, yang hendak kita bidik untuk kerjasama berikutnya. Ternyata beliau juga penggemar seni rupa dan sengaja berlibur dengan kapal pesiar ini," kata Lintang.

Hotel Lestari kabarnya ingin membangun sebuah resort wisata di Lombok dan ayah Ayu berencana untuk menjalin kerjasama. Begitu yang Ayu dengar dari Lintang. Sebagai tangan kanan ayahnya, Lintang sudah nyaris sama sibuknya dengan Wayan. Kadang Ayu heran, bagaimana cara pemuda itu membagi waktu untuk menulis.

Mendengar informasi dari Lintang, wajah Wayan seketika bersinar antusias. Ia pun berpamitan pada Samudra. "Saya tinggal dulu, Pak Sam. Silakan dilanjutkan obrolannya dengan Ayu."

Wayan menepuk bahu Ayu dan memandang penuh arti. Ayu paham maksud tersirat dari gestur itu. Bersikaplah yang baik! Dengan anggukan kecil, Ayu melepas Wayan, Sekar, dan Lintang untuk pergi membicarakan bisnis. Bidang yang sama sekali tidak menarik minatnya.

"Semua lukisanmu indah. Seindah pelukisnya." Pujian Samudra membuat Ayu menoleh. "Saya paling menyukai Moonlight at Midnight ini,” ucapnya sambil menunjuk lukisan Ayu.

Ayu memang mengikutsertakan lima buah lukisannya untuk acara pagelaran seni ini. Moonlight at Midnight adalah karyanya yang terbaru. Menggambarkan seorang pria berpakaian biasa yang tengah berkaca di sebuah danau, tetapi pantulan dirinya justru menunjukkan sesosok pria berjubah pangeran. “Boleh saya tahu alasannya?” tanya Ayu.

"Lebih banyak perasaan yang tercermin," jawab Samudra singkat.

Ayu tersenyum senang. Mungkinkah Samudra juga bisa merasakan gundah yang ia tangkap sewaktu membaca prosa yang menginspirasi lukisan itu?

"Akan tetapi lukisan ini juga yang paling banyak kesalahannya.”

“Maaf?”

“Kalau saya perhatikan dari kelima lukisanmu, caramu menyapukan kuas, semuanya ...  impresionisme, bukan?"

"Benar."

Impresionisme memang menjadi gaya awal lukisannya. Ayu menyukainya karena aliran ini mengusung keakuratan warna pada pencahayaan objek, meski harus mengorbankan keakuratan bentuk.

"Berarti di situlah letak kesalahanmu. Impresionisme tidak ditujukan untuk mengungkapkan perasaan. Kalau kamu ingin menunjukkan perasaan, seharusnya kamu mengambil ekspresionisme,” terang Samudra.

Ayu memahami penjelasan Samudra. Selama ini, ia memang lebih condong pada impresionisme karena aliran ini memungkinkannya untuk melukis di alam terbuka dengan cepat, tak perlu menunggu cat kering untuk ditimpa dengan warna lainnya. Biasanya saat menemukan objek yang ia sukai, Ayu akan langsung menuangkannya dalam kanvas. Akan tetapi, ketika ia membaca sebuah karya seorang penulis bernama pena Beasty, ia merasa tergugah dan ingin menuangkannya ke dalam lukisan. Untuk pertama kalinya, Ayu tidak melukis alam, ia tergerak untuk mengejawantahkan intepretasinya terhadap sebuah karya sastra ke dalam lukisan.

“Apa salah jika saya memadukan impresionisme dan ekspresionisme?”

“Tidak salah. Hanya saja ciri impresionisme masih terlalu dominan di sini.” Samudra diam, seolah memberi Ayu waktu untuk merenung. “Ah, tapi untuk Indonesia, di mana masyarakat kita masih banyak yang buta seni, saya rasa kekuranganmu itu tidak akan disadari. Bisa dimaklumi dan bisa ditutupi oleh kelebihanmu.”

“Kelebihan saya?”

“Kecantikanmu, tentu saja.”

Kalimat Samudra sontak menghancurkan semua rasa hormat Ayu pada pria itu. Ayu mendongak, menatap Samudra. Tadinya Ayu tidak keberatan dengan segala kritik yang dilontarkan sang kurator. Ayu pikir akhirnya ada seseorang yang menilai karyanya dengan objektif. Murni menilai berdasarkan apa yang ada di atas kanvas, tanpa memedulikan rupa pelukisnya.

“Mungkin kamu perlu mempelajari seni lukis di luar Indonesia. Saya bisa merekomendasikanmu untuk berguru pada pelukis ekspresionisme di Amerika Serikat. Bagaimana? Apa kamu tertarik?”

Belum sempat Ayu menjawab, Samudra dengan lancang meraih tangannya dan menggengamnya. “Mungkin kita bisa makan malam berdua untuk membicarakan prospek ke depannya? Saya rasa orangtuamu tidak akan keberatan. Toh, ini juga untuk kemajuanmu sebagai pelukis,” usul Samudra.

Pria itu kini mulai mengusap telapak tangan Ayu dengan sensual. “Pikirkan betapa pesat kemajuanmu sepulang dari Amerika. Pelukis cantik asal Bali yang mendunia,” lanjutnya lagi sembari mendaratkan kecupan di punggung tangan Ayu.

Ayu tersenyum sopan, meski batinnya mencibir, lalu dengan perlahan ia menarik tangan yang baru saja dikecup Samudra.  Ternyata Samudra tak lebih dari seorang pria mesum berpikiran picik. Ayu tahu pasti apa yang dimaksud dengan tawaran ‘makan malam’ dari Samudra. Ia cukup pintar untuk mengetahui maksud terselubung dari tawaran itu. Apa Samudra pikir ia gadis murahan yang sudi menjual diri demi ketenaran?

“Terima kasih, Pak Samudra. Tawaran yang menggoda, tetapi saya lebih memilih untuk merangkak dari bawah. Memperbaiki kekurangan saya dengan peluh dan air mata daripada mendapatkan kemudahan yang harus ditukar dengan tubuh saya.” Ayu menarik napas dalam. "Pembicaraan kita cukup sekian, Pak Samudra,” pungkasnya.

Ayu menganggukkan kepala lalu berbalik dan meninggalkan Samudra. Ada gemuruh di dada yang seolah mendesak untuk keluar.

Brak!

"Maaf, Nona. Saya tidak sengaja," cicit seorang pelayan yang tak sengaja bertabrakan dengan Ayu. L

Ayu tidak membalas, hanya mengangguk seraya membantu si pelayan membereskan kudapan yang berserakan di lantai kembali ke dalam baki. Setelahnya, Ayu segera memacu langkahnya menuju dek belakang.  Ia membutuhkan ketenangan. Tanpa siapa pun mengusiknya. Tidak Lintang, tidak juga orangtuanya.

Ayu berdiri memandang laut lepas. Suara deru ombak seolah bersaing dengan gemuruh di dadanya. Tawaran Samudra merupakan penghinaan terbesar yang pernah ia terima. Selama ini, ia sudah sering menerima pujian palsu, tetapi tidak ada yang begitu merendahkannya seperti ini.

Ayu berdiri tegak dengan kaki rapat. Ia merilekskan kedua bahunya, memejamkan mata, menarik napas, lalu mengangkat kedua tangannya, tertangkup di depan dada. Pranamasana. Efektif untuk memperbaiki suasana hati yang buruk ... sampai suara langkah kaki kembali mengacaukannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro