8 | Out Of The Blue
Pemakaman nenek diadakan secara tertutup, hanya dihadiri keluarga juga beberapa kolega pekerjaan nenek dan Seokgyu. Kulihat pantulan diriku di tembok berlapisi kaca ruang pemakaman. Tidak jauh menyedihkan dari anak perempuan yang kedinginan di malam natal.
Penggambaran robot manusia yang sistemnya rusak sangat cocok untuk diriku sekarang. Belum banyak reaksi yang aku keluarkan sejak nenek meninggal seperti histerisnya Seokgyu di rumah sakit. Namun, begitu aku mengingat semua yang beliau lakukan padaku semasa hidupnya, pipiku sudah banjir air mata.
"Hanya ada satu cara menyelesaikan hal yang tidak mungkin diselesaikan, Zee, percaya pada Tuhan, kamu harus selalu ingat kenapa kamu memulai pekerjaan jika kamu benar-benar peduli dengan tujuanmu, kamu akan selalu mencapainya sesulit apapun itu."
Kotak memoriku membongkar perkataan-perkataan lama nenek dengan sendirinya. Juga semua yang telah nenek lakukan untukku semasa hidupnya. Ada satu kalimat yang detik ini berbayang di kepalaku dan enggan untuk pergi, "Berdamailah dengan orang tuamu."
Siapa lagi yang akan mengingatkanku jangan banyak minum alkohol? Siapa lagi yang menyemangatiku saat bekerja dari sebelum pagi sampai ketemu waktu itu lagi? Saat panik menginjak stage? Yang melarangku "jangan sampai tidak tidur." Siapa lagi yang harus kuingatkan jangan lihat beritaku di internet? Siapa yang selalu update makanan setiap jam makan? Yang tidak pernah marah saat aku collapse karena kerja tanpa tidur padahal dia sudah larang. Yang mendukung pertemananku dengan Lee Ji Na. Gimana dengan rencana liburan kita ke Eropa? Aku sudah siapkan semuanya, tinggal menunggu waktu, nek.
Ada umpatan paling tepat untuk orang berotak keledai sepertiku? Lebih. Lebih dari bodoh. Sudah tahu ada bad blood di antara aku dan orang tua. Sudah tahu sedang dimabuk masalah, malah bicara dengan ibu paruh baya yang kesehatannya perlu dijaga ketat.
Aku yakin itu asal mula kekacauan dipikirannya.
Rasanya aku perlu menyiksa diriku sendiri untuk menghukum apa yang telah kuperbuat padanya. Tapi bagaimanapun aku menghukum diri, Nenek tetap tidak ada.
**
Jaehwa melempar pandangan cemas ke arahku. Malu aku ditatap begitu. Aku malu terlihat lemah dan menyedihkan. Tapi aku tidak bisa menolak. Tanganku enggan lepas dari genggamannya. Aku merasa hanya Jaehwa yang aku miliki sekarang di ruang ini. Seokgyu ... baiklah dia juga. Kita selesaikan masalahnya nanti.
Untuk masalah kami, entahlah, aku merasa sangat dirugikan, bagiku Seokgyu sudah seperti melakukan kejahatan. Kegiatan kotor kasta atas yang dilakukan Gyu sudah membuatku malu dan merasa membebani pihak sebelah.
Ayah dan Ibuku datang 18 menit setelah nenek dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit. Kedatangannya sama sekali tidak membuatku senang, malah aku sedih. Kesal. Risih. Katakanlah aku durhaka. Memang kelihatan seperti itu, kan? Tapi kau tahu? Mereka melihatku tapi tidak berada di dekatku, tidak banyak berbicara denganku, dan tidak menanyakan kabarku.
Tenggorokanku sakitnya bukan main. Sudah kuberi minum namun tetap saja rasanya tidak enak. Belum lagi kepala hingga pangkal hidungku pusing tidak karuan. Penglihatanku dibutakan oleh air mata dan rasa sakit.
Pelipis dahiku menjatuhkan diri pada lengan kekar pria di sebelahku, bersamaan dengan pegangan tanganku mengeras sekencang-kencangnya.
"Noona?!" Jaehwa dengan cepat menyergap tubuh kecilku, membawaku pada dada bidang kebanggaan miliknya. Tanganku mencengkram kemeja bagian punggung Jae erat, mungkin akan menimbulkan bekas lecek.
Semua perasaanku yang berkecamuk sejak pagi seolah pecah di sini. Akhirnya tangisku meledak sejadi-jadinya. Tidak peduli ledakannya mencuri perhatian orang-orang di sekitar. Rengekan mengerikan pun dapat mengganggu indra pendengaran seseorang. Tenagaku habis untuk menahannya juga tenggorokanku teramat sakit karena menangis tanpa suara.
"Zee!?" Panggilan keras dari laki-laki bersuara berat terekam runguku. Ditemani dengan riuh tapak kaki dan bisik-bisikan samar. Padahal aku hanya menumpahkan segala jenis emosiku dalam ruang hening ini, tapi bisa jadi keributan dingin dengan persepsi yang tidak kudengar dengan jelas.
Mereka seperti melihat aku muntah di atas mayat. Menganggapku menjijikan dan tidak ada sopan sama sekali. Memikirkannya malah membuat aku ingin teriak.
"Ayo pulang, Zee," suara tadi muncul lebih dekat. Demi apapun, suara Seokgyu bikin merinding. Ada presensi lain yang muncul di benakku. Sosok pria yang tadi berdiri tegap tidak jauh dari peti mati mendiang nenek, lengkap dengan jas hitam dan kemeja putihnya.
Ayah.
Suaraku mengudara frustasi, "J-jangan ... pergi!!" Amukan kesedihan seolah merasuk sampai ketulang. Jaehwa mengangkat diriku seadanya layaknya manekin yang ia peluk di perutnya.
"Ayo pulang saja," Seokgyu bicara lagi, lalu kurasakan usapan lembut di kepala belakangku yang bisa kupastikan bukan dari Jaehwa.
"Tubuh Zee-ssi panas sekali, hyung."
**
Ditemani selang infus vitamin menggantung di sisi kiriku. Aku terbujur lemas di kasur double size, memberi sensasi nyaman untuk anggota tubuhku. Pengistirahatan terbaik bagi rasa lelah, letih dan lesu.
Perpaduan aroma citrus dan bunga lily mengarungi seluruh ruang lewat diffuser bundar di atas nakas.
Di sinilah aku, di kamar nenek Kim Eui Sun yang sekarang kental dengan kenangan. Jangan salahkan di antara kedua lelakiku kalau aku ada di sini. Aku yang minta kok.
Di rumah dengan hitungan diameter yang sangat besar untuk ditinggali perempuan 79 tahun seorang diri. Mendiang nenek Sun menghabiskan sisa hidupnya bersama para pekerja kepercayaannya. Sesekali anak dari kakak ibuku datang berkunjung. Dengan kata lain, anak itu ingin uang saku tambahan. Kim Jihoon namanya.
Kalau dipikirkan kembali, nenek tidak cukup bahagia dengan semua ini. Harta yang mengalir setiap hari, hasil dari bisnisnya dalam sektor pangan terkuat kedua di kota. Kebutuhan hidup sehari-hari yang lebih dari cukup, bersama dengan orang-orang yang tulus melayani beliau. Namun satu yang kurang, keluarga.
Paling tidak, salah seorang dari anggota keluarga yang menemaninya makan, seseorang untuk duduk di sebelahnya mendengarkan cerita nostalgia miliknya, seseorang yang ia genggam tangannya untuk berjalan santai di taman, seseorang yang ia ajak bicara soal masalah personal. Iya ... dia juga butuh itu.
Sungguh, aku tidak mengerti apakah ini salah? Apa aku salah berpikir seperti ini? Hal ini tentu saja memicu rasa bersalah semakin besar di dalam diriku. Apa aku salah?
Kehilangan nenek Sun benar-benar seperti kehilangan setengah dari diriku.
Mengingat dari kecil aku dan Seokgyu hidup bersamanya, sampai pernah berjanji untuk tinggal bersama di tempat ini sampai ajal menjemput kami. Pada kenyataannya janji itu hanyalah harapan yang tidak akan pernah terwujud. Ketika besar aku meninggalkannya demi pendidikan dan karir. Sampai menjadi orang sibuk di Seoul, dan sekarang, salah satu dari kami dipanggil Tuhan.
Apa aku begitu kejam? Apa aku egois jika menjawab kalau beginilah siklus semesta berputar?
**
"Bagaimana keadaanmu? Jangan sampai sakit, itu menyakitiku." Kedua sudut bibirku saling menjauh merangkai senyum kecil. Senyuman pertama setelah bencana perasaan yang tadi melandaku.
Pelakunya adalah Seok Yoo.
Booster kedua setelah yang pertama. Tidak pasti siapa yang pertama, entah Jae atau nenek Sun. Yang pasti aku hanya ingin menempatkannya di kedua. Si manusia tidak peka yang juga selalu ada untukku.
Seok Yoo menelpon hanya memastikan keadaanku dan memberi kabar kondisi di Agensi-nya. Katanya, dia sempat menyesal karena iri dengan Jaehwa. Dia yang lebih mengenal dan banyak berbicara dengan nenek Sun tapi Jaehwa yang diharapkan datang. Sekarang dia hanya berharap bisa menyempatkan diri datang ke makam nenek.
Mengobrol dengan Seok Yoo sedikitnya meringankan beberapa hal yang berkecamuk dalam pikiran. Membantu memberi ruang untuk diriku istirahat dan perlahan mengikhlaskan semua.
"Syukurlah hanya infus vitamin, toloongg jaga kesehatan dong Zee, jangan buat khawatir banyak orang, jangan terlalu banyak pikiran."
Kepeduliannya dengan lembut mengintruksikan diriku untuk tetap bernapas walau badai sedang menerpa.
"Ada salam dari semua member dan beberapa staf yang kamu kenal turut berduka cita, memang berat kehilangan seseorang yang sangat dicintai, tapi tolong jangan siksa dirimu, Ini akan terjadi pada setiap orang, seperti yang kamu bilang, Tuhan berikan cobaan tidak melebihi batas kemampuannya."
"Jangan terus menyalahkan dirimu, kamu sudah bekerja keras untuk banyak hal termasuk memperlakukan nenek Sun dengan baik, dia bangga loh punya kamu, senangnya bukan main, jadi kumohon fokus juga untuk dirimu sendiri."
Suara Seok Yoo berpengaruh pada kesehatan mentalku. Bukan hanya nasihat, cerita hidupnya, suara tertawanya pun masuk ke dalam sugesti positif. Entah bagaimana, Tuhan seolah membuat semuanya terasa indah kalau Seok Yoo yang melakukan.
Sederhana namun menyakitkan bila Jaehwa bisa baca perasaanku.
***
Jujurly, aku suka ketrigger sama cerita2 org lain, soo.. what do you think about my story??
Heyy.. terima kasih sudah baca sampai sini yaa🧚🏻♂️
Yuk mari dilanjut.. ett, gaada yg ketinggalan kan?
Marilah, pegangan lagi yaa🛺
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro