Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 | Cry Over Split Milk

Hati-hati di dalam sini ada adegan yang mungkin membuat kamu ke-trigger ...
Tw // mention of death

~~~

"Nek ... sup tomat smoked beef kesukaan nenek sudah sampai nih, semangat untuk sembuh ya, Nek, berjuanglah untuk diri Nenek sendiri, aku akan selalu dukung kesehatan Nenek, aku tunggu kita mengobrol sambil minum teh Jepang di halaman belakang," sapaku beruntun.

Aku tidak bisa menghindari betapa senangnya melihat nenek masih bisa meminta dan meresponku. Kedua sudut bibir nenek terangkat, aku mengira itu senyuman. Tapi sama sekali tidak seperti senyum. Ekspresinya menyedihkan.

"Smoked beef, Zee?! Yang benar saja," bisik Seokgyu memprotes di seberangku. Aku menggeleng singkat menghiraukannya, membungkukkan tubuh mencium pipi nenek berulang kali sampai aku hampir kehabisan napas.

Selain aku merindukannya, ini salah satu aksi untuk menghilangkan setidaknya sedikit dari kesedihanku. Ingin sekali aku menangis melihat kondisinya yang saat ini benar-benar buruk. Tidak ada lagi rona di wajahnya. Melihat tubuhnya yang tidak lagi gemuk dengan beberapa selang dan alat bantu medis rasanya sangat pedih.

Jemarinya bergerak untuk meraih sesuatu ketika Jaehwa melangkah ke dekat wajahnya, "Ini laki-laki yang sering menghiasi di luar mimpiku akhir-akhir ini, Jaehwa." Aku melirik pemuda Jeon sedang menakup bibirnya menahan senyum. Harusnya kalau mau senyum ya senyum saja agar nenek percaya dengan perannya yang kukatakan.

Aku membungkuk lagi untuk menerka pembicaraan nenek, "Terima kasih ... sudah datang," katanya sangat pelan hampir tidak jelas.

"Aku Jaehwa, senang bisa ada orang lain seperti Nenek yang menanti kehadiranku, sebuah kehormatan," Jaehwa menunduk sopan, tersenyum tulus juga canggung di saat yang sama sambil menunjukan buket bunga Daisy.

Aku menarik buket dari tangan Jae dan memberinya tempat untuk lebih dekat dengan nenek. Tidak lama setelah itu, aku cepat-cepat meletakan buketnya ketika Jaehwa mencolek lenganku, kebingungan dengan reaksi nenek yang mengisyaratkan sesuatu seperti ingin bicara. Kutarik balik lengan Jaehwa agar dia merendahkan tubuhnya sehingga telinganya bisa sejajar dengan wajah nenek.

"Seok ... Yoo tidak ... sekalian i ... kut?" Jaehwa melihatku agak lama, tampaknya dia bingung jawaban apa yang cocok untuk ini.

"Seok Yoo-ssi tidak diminta ke sini kan, Nek? Jadi dia diharuskan melengkapi jadwal kerjanya," sahut Seokgyu mencoba menjawab santai lalu mereka saling bertukar pandang.

"Aku ... ingin makan," kata nenek mengejutkanku. Aku harus bilang apa untuk menolak? Aku juga harus minta tolong seperti apa pada Seokgyu? Jelas-jelas dia sudah marah tentang ini padaku dan seperti melempar tanggung jawab ke pundakku.

Aku kembali mengambil alih tempat Jaehwa, "Nenek tidak bisa makan makanan yang berbentuk, untuk saat ini hanya suplai nutrisi dalam bentuk cairan untuk tubuh Nenek," dengan hati-hati aku mengutarakan, melihat responnya yang tenang aku tidak terlalu tegang menghadapinya.

"Aku ... hanya ingin ... lihat kalian." Seketika itu mataku membesar dan beralih pada wajah tampan di seberangku yang juga mengisahkan ekspresi yang sama.

Seokgyu mengangguk paham.

Bola mataku memutar pada kotak sup tomat yang ingin kami makan. Aneh rasanya makan dengan kondisi begini dengan perasaan campur aduk masing-masing dari kami.

Dengan ragu aku mulai mencicipi rasa dari makanan yang sejujurnya aku tidak suka tomat yang dihancurkan jadi sup.

"Ini akan jadi kesukaanmu juga, Jae," kataku sambil mengangkat sesuap untuk dimasukan ke mulut Jaehwa, untuk memecah atensi kecanggungan di area ini. Sedikitnya aku bisa mencium wangi kepercayaan diri selain antiseptik yang menyengat.

Jaehwa langsung menerima suapan lalu tersenyum singkat sambil menikmati gigitannya. Aku yakin dia super canggung dan malu karena ini dilihat Seokgyu dan nenek. Kuberikan senyuman lebar sebagai ungkapan terima kasih.

"Tidak masalah kalau kalian berdua saja yang makan ...." Ucapan Seokgyu terhenti ketika dia sadar kalau kalimatnya mengganggu Jaehwa

"Ayolah Oppa, kamu pasti lelah dan belum makan, kan?" Bibirnya terbuka untuk mengambil napas, "jadi ... ini?"

Aku langsung memotong interupsinya tidak peduli dia mau bicara seperti apa, kusodorkan kotaknya lalu diterima tanpa ragu. Dia juga langsung memakannya sambil menatap nenek percaya diri. Kalau melihat Seokgyu begitu aku jadi ingat Seok Yoo. Mereka hampir sama saat tidak punya pilihan.

"Kukira Nenek benar-benar ingin memakan daging asap," komentar Gyu di tengah kunyahannya.

"Tidak ... mungkin ...." Aku kembali membungkuk melihat nenek bicara, "dengan keadaanku ... seperti ini, aku tahu ... ini sudah menyakiti hati kalian, apalagi ... kamu, Zee," pelan-pelan nenek mulai mengutarakan perasaannya.

Wajah keriput yang cantik itu sepenuhnya menoleh ke arahku. Di samping itu pun perasaanku mulai terombang-ambing lagi. Lenganku menjalar untuk bertaut erat dengan lengan nenek, kurengkuh di depan dadaku. Tidak kuasa aku menerima penuturan selanjutnya dari bibir mungil nenek Sun. Dahiku jatuh di bantalan empuk di sebelah pipi nenek.

"Maaf ya Sayang ... pesanku ... sebelum nanti kamu punya cucu ... berhentilah jadi alkoholic ... aku percaya ... kalau dengar fakta bahwa kamu ... lebih kuat minum dari Jaehwa," jedanya terkekeh kecil. Ia pun mengais banyak udara masuk ke lubang hidungnya sebelum melanjutkan.

"Kamu ... sudah merasakan sakitnya melihatku ... seperti ini ... jadi jangan buat cucumu ... merasakan apa yang kamu rasakan sekarang ... Sayang, maafkan Nenek," tangisan perlahan mengubur diriku dalam-dalam.

Ini sangat salah. Aku yang harusnya minta maaf. Akulah beban sesungguhnya hingga membuatnya minum alkohol tanpa takaran benar. Rasanya aku tidak pantas menerima maaf darinya. Namun aku tidak bisa menghentikannya. Aku tidak kuat menahan sakitnya dadaku.

"Terima kasih juga ... sudah menemaniku setiap hari ... meski hanya lewat ponsel, aku ... sangat senang bisa menerimanya ... dari kedua cucu yang berusaha ... selalu ada untukku ... yang mampu menyingkirkan ego ... dan meluangkan ... waktunya yang gila dari pekerjaan ... kalian."

Lututku hampir tidak kuat lagi menopang tubuhku. Aku hanya bisa diam dengan cucuran air mata membasahi bantal. Seperti ada sepuluh kilogram karung beras di punggungku. Berat sekali.

"Padahal ... aku ingin sekali ... melihat kedua cucuku ini menikah ... dengan pasangan pilihan kalian ... tapi mungkin ... hanya akan jadi bayanganku ... aku sangat berharap ... Tuhan memberikanku umur panjang ... untuk melihat kebahagiaan cucu-cucuku."

Beban ini terlalu berat sampai aku belum bisa mengangkat wajah atau membuka bibirku. Tapi bagaimana dengan Seokgyu? Dia tidak angkat bicara? Ruangan ini hanya dihiasi suara bip alat pendeteksi denyut dan irama jantung.

"Tapi ... penyakitku buruk, semua usaha ... yang aku lakukan, doa yang kupanjatkan ... pada Tuhan setiap hari, aku ... sudah di titik ... merasakan kematian di ujung kakiku, mungkin Malaikat maut ... sudah hadir di sini ... untuk menjemputku ...."

"Nek ... jangan bicara seperti itu, jangan pernah! Nenek kuat, ingatlah sebelum ini Nenek pernah berhasil melewati ini, dan yakinilah Nenek akan berhasil lagi. Aku dan Zee akan selalu ada untuk Nenek, berjuanglah, Nenek akan lihat kebahagiaan Zee berada di atas altar dengan Jaehwa, Nenek akan pulih." Sontak kakiku hampir menekuk sempurna mendengar usaha Gyu menyemangati mataharinya.

Sebelum aku tersungkur ke lantai, Jaehwa dengan cepat menahan tubuhku. Seketika aku merasa seperti nyawaku hilang entah kemana, "Sayangku Seokgyu ... pada intinya ... aku luar biasa senang dan bersyukur ... dekat dengan kedua cucuku ini, you both are great ... maafkan aku."

"Aku yang seharusnya minta maaf, Nek. Maaf yang sebesar-besarnya, maaf untuk segala hal yang membuat Nenek kecewa, marah, dan cemas padaku, aku sering melakukan itu pada Nenek, maka aku yang lebih pantas untuk memohon maaf  ... dan juga terima kasih sudah menjaga kami sejak lahir, menjadi bumi untuk kami, menjadi tempat kami pulang, terima kasih banyak, Nek," akhirnya aku angkat bicara dengan suara sumbang, menarik wajahku melihatnya. Relung hatiku bergetar hebat. Kedua mata bulatku berkedip-kedip menghilangkan kerabunan dari desir-desir air.

Aku kembali memiliki kekuatan untuk menahan diri. Lebih dari itu, aku tersentak bukan main mendengar detak jantung nenek meningkat. Elektrokardiograf-nya menampakkan diagram tinggi tidak beraturan. Tanganku semakin kuat menggenggam lengan lemahnya yang tidak ada daya.

Gerakan cepat datang dari seberangku, menekan tombol merah di dinding sebelah ranjang.

Aku dengan sisa tenagaku menarik Seokgyu menjauh dari awak rumah sakit dan keluar dari ruang. Antara ada dan tiada roh di dalam tubuhku.

Tenggorokan seperti dicekik preman berbadan besar. Jantung berdegum keras dan cepat seperti drum dimainkan oleh band metalica. Lenganku melingkari pinggang Seokgyu kencang dari belakangnya, sengaja agar runguku mengurangi asupan suara isak Seokgyu. Itu lebih menyiksaku di banding dengan suara jedag jedug jantungku sendiri mengalir jelas di punggung Gyu. Entah apapun yang dipikirkan Jaehwa melihat kami.

Namun aku sangat tidak sepeduli itu sekarang. Seokgyu pun tidak peduli dengan harga dirinya sebagai lelaki yang turun dipertontonkan Jaehwa. Tentu kami lebih peduli dengan seseorang dalam penanganan serius di dalam ruang IGD.

Aku siap jadi benteng untuk Gyu dalam kondisi apapun bahkan sampai setelah ini jika ada yang bilang Gyu lebih lemah dari gadis yang usianya lebih muda dan tubuhnya lebih kecil darinya, aku siap menghalau kalimat sialan jenis apapun. 

Tidak ada lagi senyuman di wajah nenek. Aku bisa mendengar suaraku bergetar menahan tangis. Air mata panas mulai membakar kelopak mataku dari dalam. Dadaku sudah mati rasa saking sakitnya. Aku harus menelan fakta bahwa nenek berada di ambang kematian.

Masih memeluk Seokgyu erat-erat dan terus-menerus berkata, "Jangan takut, ini sudah saatnya." Aku sendiri tidak percaya aku bisa mengatakan itu. Sejujurnya jauh dibalik itu aku ingin memaksa nenek tetap hidup dengan cara apapun.

Kurasakan air mata memenuhi pelupuk mataku, menjatuhkan air mendidih yang terasa seperti lelehan bara di wajahku. Sesekali Jaehwa hanya bisa mengusap lenganku lembut, setidaknya itulah usaha kecil dari kebingungannya untuk menenangkanku.

***

Next ges ges ku💗💗
Gumawoyong yang sudah vomment💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro