Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 | The Sweetest One

Aku tidak mau semesta meruntuhkanku, tapi sayang sekali semesta sudah melakukannya sekarang. Dunia itu memang tempatnya capek ya?

Dunia ini aneh. Tapi memang tempatnya nilai-nilai universal, dimanipulasi untuk diperhitungkan sebagai hal yang benar dan salah. Kekuasaan diperhitungkan sebagai hak, mereka yang mengklaim hak dan kepentingan sama dengan keadilan.

Apakah dunia sebecanda itu ya bagi mereka yang memegang kuasa? Seenaknya mempermainkan orang yang berada di bawah kuasanya seperti pion catur.

Tidak pernah terbayangkan aku akan mendapat perlakuan sekejam ini. Kekuasaan pelaku mengharuskan diriku untuk bungkam padahal rasa sakit selalu memaksa untuk dirasakan dan trauma yang terasa menggelikan. Ditambah memang pekerjaanku juga menjadi sebab aku disembunyikan.

Sekuat apapun aku berusaha untuk tabah, hal ini masih terasa mengerikan.

Aku mengusap air mata yang tidak mampu kutahan. Menarik sumpit lalu mengaduk ramen di dalam panci dengan tangan gemetar.

"Mau kubantu?"

Napasku berhenti sebentar mendapati suara pria dari belakang. Diam-diam aku menyeka wajah dari air mata lalu mempercepat putaran di panci, "Um, ibumu suka jamur Shitake kan, Oppa? Tolong ambilkan di kulkas, aku lupa," kataku tidak berpaling dari panci. Mencoba mengalihkan agar ia tidak mendekatiku.

Namun justru Seok Yoo jalan mendekat, "Itu 3 detik lagi juga matang, Zee. Telat kalau mau masukan jamur sekarang, ibuku nggak suka kematangan."

"Ah baiklah." Segera kumatikan kompor lalu diam memegang gagang panci. Ingin mengambil mangkuk besar tapi terhalang tubuh Seok Yoo

"Kalau kamu mau jamur, rebus terpisah. Sana ambil jamurnya biar aku bantu rebus," perintahnya lalu mengambil alih panci berisi ramen matang.

Aku yakin dia sempat melihat wajahku sebelum aku melesat ke kulkas. Tapi, mungkin bekas tangis ini tidak akan begitu kentara karena baru sebentar.

"Zee?" Dia diam sebentar sampai aku menoleh lalu menatapku cukup lama, sampai aku mengalihkan pandangan karena canggung, "kamu punya jus jambu?"

"Tinggal sedikit, adanya jus stroberi."

"Ah kalau begitu sajikan juga Champagne," bicaranya santai, "malam ini kamu punya teman minum, aku pulang besok pagi."

Aku terkekeh kecil lalu bangkit dengan dua kotak jus stroberi di kedua tangan, "Kusimpan Champagne-nya untuk kita, jangan biarkan nyonya Kim mabuk," jawabku kemudian menarik sudut bibir merangkai senyum ketika kami beradu tatap.

Seok Yoo mengangkat kedua alisnya tanpa membalas senyumku. Nampaknya dia menyadari sesuatu dariku, "Cuci dulu jamurnya, setelah itu langsung saja masukan," katanya sambil menunjuk panci isi rebusan air yang belum mendidih.

Sambil aku memasukan semua jamur di tangan, Seok Yoo bicara lagi, "Lain kali kalau ada apa-apa aku harap kamu bilang."

Aku diam, menakup bibirku menatap jamur dalam panci. Iya. Aku tidak bisa menyembunyikan masalah darinya. Sepertinya bukan dia yang terlalu peka, tapi aku yang kurang handal menutupinya.

"Soal hiatus," lanjutnya datar, "pertama kali aku dapat info bukan dari pesanmu tapi dari media, trending di Twitter, aku seperti orang lain, Zee." Ia menyandarkan pinggangnya pada meja dapur granit, kedua tangannya tenggelam dalam saku celana sambil mengawasiku.

Haruskah pembicaraan ini dimulai di sini? Di depan jamur Shitake yang terlambat direbus. Di belakang ibu Seok Yoo dan supirnya yang sedang menunggu makan siang.

"Maaf, Oppa. Aku jelaskan detailnya nanti." Aku mengacungkan jempol ke arahnya lalu kembali menghadap rebusan jamur, mencoba membawa suasana tetap santai.

"Kau tahu?" Kataku lagi sambil sesekali menggoyangkan panci, aku meliriknya dari sudut mata kemudian melanjutkan kalimatku, "aku lebih takut denganmu kalau sudah marah dibanding dengan Min-ssi, karena dia tidak pernah meninggikan suaranya untuk perempuan."

Bersamaan dengan suara klik kompor mati, aku memberinya senyuman. Dia masih bergeming di tempatnya dengan tatapan datar.

Sambil membawa panci dan saringan ke washtafel, aku menggeser tubuhnya dengan lengan karena ia enggan untuk berinisiatif memberiku ruang lebih lebar, sekaligus menghindarinya dari panci panas.

"Zee?" Panggilnya setelah aku meletakan jamur pada mangkuk. Ia mencubit sweater oversize bagian pinggangku, perlahan menarikku ke dekatnya. "Zee?"

Kalau aku tidak salah tebak, Seok Yoo ini mulai menuju ke mode ingin menunjukkan impresi yang baik untuk orang lain. Kesedihanku memang sudah tertangkap basah olehnya. Dan sekarang ia akan berusaha untuk membuatku merasa lebih baik. Sejujurnya hal ini membuatku kagum dengan Yoo.

Tanpa melanjutkan ucapannya, Seok Yoo menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Hangat tubuhnya nyaris membuat kelopak mataku ikut menghangat. Berulang kali ia mengusap kepalaku lembut. Jantungku berdebar karena keget dan alasan yang tidak kuyakini.

"Semoga ini bisa membuatmu merasa nyaman, tapi kalau kamu nggak mau kamu bisa bilang. Kalau aku sangat ingin dipeluk dalam masa-masa sulit ... aku nggak memaksamu bercerita tapi kuharap kamu nggak menyimpannya sendirian, Zee," ungkapnya dengan suara berat.

**

Seok Yoo menuangkan Pinot NoirㅡChampagne bertipe rose, ke gelas tulips milikku. "Terima kasih," kataku lalu segera menengguknya habis.

Setelah ibu Seok Yoo pulang, kami duduk bersama di satu sofa besar ruang tengah, menikmati malam dengan dua botol Champagne.

"Tidak ada hal lain selain di rumah saja selama hiatus," kataku memulai seadanya, sambil memainkan jari-jari dari tangan kiri  Seok Yoo. "Dan bukan di Seoul."

"Di mana?" Refleks Seok Yoo menekuk jemarinya sehingga menggenggam tanganku. Agaknya aku jadi salah tingkah karena ini. Syukurnya Seok Yoo hanya tahu aku pengagum jari panjang dan jari Taejun yang jadi favoritku. Yoo tidak begitu peka kalau physical touch adalah love language-ku. Aku hanya malu kalau dia tahu itu.

"Besok lusa aku dan nenek Sun mau pulang ke Los Angeles," jawabku mantap. Ini keputusan yang kuambil setelah aku resmi hiatus dengan alasan masalah pribadi.

Aku mau menghindari semua orang di Korea. Masih sangat takut berkeliaran di daerah sini.

Yoo menarik tanganku ketika aku ingin menuangkan Champagne ke gelasku, "Los Angeles?! Berapa bulan kamu hiatus?"

"Delapan bulan, bisa kurang bisa lebih sesuai kondisiku. Kenapa kaget begitu?" Aku menarik tanganku kembali.

Wajah Yoo tampak kesal dengan alasan yang tidak kuketahui. Ia melipat lengannya di dada, "Sebenarnya alasan pribadi apa sampai selama itu?" Rasa-rasanya dia kesal karena tidak diberi tahu.

Aku menghela napas perlahan, menimbang-nimbang alasan yang tepat untuk pertanyaannya. Sialnya, ingatanku memperjelas kejadian yang membuatku mual! "Aku menghindari ayah."

Tentu saja aku berbohong. Mentalku masih teracak-acak bila aku mengulas kejadian minggu lalu. Kasus yang dibiarkan begitu saja seperti jurnal hakim yang terbakar dan abunya tertiup angin. Mengingat itu seketika tubuhku menegang.

Tatapan Yoo melembut lalu mengusap pundakku, "Dari usiaku delapan tahun aku tidak pernah melihat kejanggalan dari beliau, malah kukira dia sama dengan ayahku, hebat dan baik dengan keluarga. Bahkan ketika aku bertemu Seokgyu hyung semua terlihat baik-baik saja sampai akhirnya aku dekat denganmu," tuturnya mencoba memberi pengertian di sana.

Baiklah. Kurasa alasan bohong ini bisa dikatakan tepat bisa juga tidak. Ketika aku menutup masalah direktur Shin dengan masalah ayah, aku seperti menutup luka dengan perban lama, pun membuat luka lama terbuka.

"Terima kasih karena tidak ikut kesal dengan ayahku," kataku pelan, menoleh ke arahnya dengan sedikit senyuman.

"Aku nggak punya alasan untuk kesal," Yoo menatapku dalam-dalam.

Kepalaku mengangguk paham, lalu aku menuang minuman kesekian ke gelasku, "Sebagian anak perempuan mengatakan kalau ayahnya adalah cinta pertamanya," jedaku meloloskan one shot ke dalam lambung, "tapi aku nggak seberuntung mereka."

Aku mengangkat bokongku untuk mengambil sesuatu di saku belakang celana. Kotak kardus kecil berisi tujuh batang rokok. Secepat kilat Yoo merampas kardusnya, "Lanjutkan keluhanmu tanpa merokok," ucapnya dingin.

Sudut bibirku menyeringai, "Kamu pintar membuatku kesal, Oppa."

Aku menarik napas perlahan kemudian bicara lagi, "Ayah yang kupunya adalah orang pertama yang menyakitiku, orang pertama yang menjatuhkan mentalku, orang pertama yang membuatku didiagnosis mengalami depresi, aku nyaris membenci ayah."

"Jangan."

"Bagaimana bisa orang tua nggak tahu apa kelebihanku, apa kesukaanku, apa keinginanku, dan karakterku secara spesifik? Mereka hanya melek bisnis dan politik tapi buta dengan kondisi anak-anaknya."

Seok Yoo tidak memberikan komentar, hanya mengusap pipi kananku dengan punggung tangannya.

"Aku masih merasa ayah tidak memberiku kesempatan untuk mengekspresikan keinginanku sesuai dengan kemampuanku," kataku datar dengan tatapan tajam ke arah botol Champagne. Aku sudah terbiasa mengatakan ini pada diriku sendiri. Maka itu, aku seperti tidak ada tenaga lagi.

"Ganti kalimatmu," seru Yoo, "karena beliau sudah membiarkanmu terjun ke dunia hiburan. Menjadi centre of view, menyanyi di atas panggung besar, membuat lagu, menari dengan power yang kamu sebarkan, dunia yang kamu inginkan sesuai dengan kemampuanmu," lanjutnya tampak yakin.

Seok Yoo menyentil leherku sangat pelan, "Ilmu kedokteran yang sudah kamu pelajari bertahun-tahun itu tidak ada ruginya buatmu, kamu hanya merasa lelah dan kehabisan banyak waktu untuk hal yang tidak kamu sukai, iya kan? Karena kamu dipaksa ... tapi sejatinya kamu mampu, Zee."

Bola mata abu-abuku menyorot ke arah Yoo, sambil di dalam mulut mengunyah Champagne seperti sedang makan. Ucapan Seok Yoo ada benarnya, "Meski begitu, ayah masih saja menghinaku, bisa-bisanya merendahkan kalangan artis hanya karena tidak terima anaknya menjadi idol. Kukira pikirannya seluas bisnis yang dia bangun."

Seok Yoo menggeser tubuhnya menghadapku, menyandarkan punggungnya pada lengan sofa, "Ayahmu nggak menyuruhmu lanjut spesialis, kan?"

Dahiku mengerut, "Terakhir kami bertemu, beliau bercerita tentang teman bisnisnya pemilik rumah sakit yang anaknya menjadi dokter, alih-alih menyarankan justru dia membandingkan betapa tidak ada artinya aku sebagai artis dan sebagai anak yang pembangkang, kalaupun nanti aku lanjut spesialis, aku merasa sudah nggak ada harga dirinya lagi sebagai dokter."

"Bagiku kamu akan semakin dihargai jika menjadi seorang dokter."

"Aaakkh ...." Aku mendecak kesal, meregangkan tangan dan badan ke atas, "aku mau minum sampai mabuk malam ini, dari pada mendengarmu membela ayah terus menerus."

Dia juga melakukan hal yang sama setelah meletakan gelasnya, "JANGAN MABUKK ... kamu kalau mabuk seperti ular," keluhnya.

"Jaehwa tidak pernah bilang begitu."

Dia menghela napas, "Jaehwa itu pacarmu, dia tidak pernah merasa mabukmu adalah masalah karena dia tidak perlu menahan diri sepertiku," katanya lalu menarik gelas kembali dan mengisi gelasku juga.

"Jangan terus menahan, sesak, aku tahu rasanya," bibirku mencibir kemudian mengangguk sambil menelan air dengan kadar alkohol tiga belas persen, menyetujui perkataanku sendiri.

Dia menatapku tidak mengerti, "Kamu membahas hal yang lain ya?" Ujarnya.

Aku menoleh, "Konteksnya luas."

"Kamu mau aku melakukan itu denganmu?"

"Itu? Itu apa?"

"Itu ... kegiatan manusia untuk berkembang biak."

Seketika aku menahan gelasku di depan bibir sebelum aku tersendak, membiarkan sedikit airnya tumpah ke dagu hingga leher. Lalu melotot ke arahnya, "Baiklah, tahan aku untuk nggak mabuk."

"Aku nggak janji."

~~~

👇🏻Kim Seok Yoo👇🏻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro