Chapter 2
Wah sulit ini kak sulit. Sekitaran 20an? Hemm 26? Kok bisa udah nikah sih kak? Hahahaha maaf pertanyaan macam apa ini. Udah berapa lama nikahnya kak? Seneng dong yaampun mau suami jugaaaaaaaaaa
"Gue penasaran...," ucapnya.
Ada jeda cukup lama diantara kalimat kami, sebelum aku memutuskan untuk menanggapi.
"Penasaran tentang apa?" tanyaku tanpa menatapnya, namun justru memusatkan mata pada layar televisi yang sedang menayangkan salah satu film box office tahun ini.
"Eum...berapa banyak jumlah cewek yang udah rebahan di dada lo ini?" ujarnya akhirnya.
Aku tertawa meringis, "Entahlah, Diana."
Gadis itu tertegun, lalu dia menyingkirkan tanganku yang sedang mengelus lembut rambut hitamnya. Kemudian menegakkan badan dan berujar, "Tuh...kan. Sampai nama gue aja lo salah."
"Oh ya?" kataku mengangkat alis. "Masa sih?"
"For your information, nama gue Sania," tukasnya cepat.
"Nah...," jawabku, ikut meluruskan badan setelah hampir setengah jam berbaring di sofa, tentu dengan gadis bernama Sania ini di atasnya. Untung saja otakku mampu berpikir cepat, "Bukan karena gue lupa. Itu karena gue nggak pengen kebayang minyak goreng pas nyipok lo," jawabku. Jawaban ngeles? Jelas. "Soalnya tau sendiri nama lo kayak merek benda itu, kan?"
Dia memukul bahuku berulang kali, "Ish...lo jahat bet dah."
"Yang penting kan tujuan akhirnya," jawabku akhirnya. Mulai merasa lelah.
Kenapa perempuan selalu mempermasahkan sesuatu yang sebenarnya nggak perlu? Oh...come on, Shakespeare aja bilang: apa arti sebuah nama, kan? So...wahai makhluk paling ribet semuka bumi ini, berhentilah memperkarakan sesuatu semacam ini. Dunia masih butuh otak kalian buat melakukan hal lain. Menyenangkan lelaki misalnya.
Sebenarnya, kami sebagai kaum lelaki pun tak akan sembarangan dalam memperlakukan wanita. Jika wanita itu tidak bersedia untuk diperlakukan seperti ini, kami juga tidak pernah memaksa. Namun, jika mereka mau? Para lelaki bisa apa?
Seperti halnya seorang gadis yang marah akibat pahanya dilirik oleh mata kami yang secara naluriah memang akan bergerak ke arah situ. Kemudian mendamprat dan mengatai kami sebagai oknum yang tidak sopan. Tapi, sebelum men-judge terlalu jauh, bisakah kutanya balik: siapa suruh pake hot pants?
Sania mendengus, tapi kemudian berbalik menatapku lagi. Aku tahu, terlihat jelas dari sudut mataku.
Sedetik...tiga detik...lima detik, baru kemudian aku ikut menatap wajahnya. Kemudian satu senyum ikut kusunggingkan kepadanya. Wahai lelaki, ini namanya taktik. Jangan pernah langsung menoleh saat kalian tahu kalau ada cewek yang sedang memandangimu, berikan mereka beberapa detik untuk mengagumi paras indah kita. Dan kemudian, petiklah bunga dari kesabaran menunggu itu. Terdengar agak pujangga? Tapi iya, kata-kata dan tingkah pujangga justru lebih efektif dalam membuai gadis-gadis. Kemudian mengisap yang termanis di diri mereka.
Seperti sekarang, Diana...Tania...Sania atau ah...entah siapa namanya sudah meletakkan tangannya yang halus di rahangku. Menelusuri perlahan bulu-bulu halus bekas cukuran tadi pagi. Kalau menyangka dengan tindakan seperti ini bakal membangkitkan sesuatu yang tertidur dalam diriku, maka dia salah. Levelku sudah jauh di atas itu, tentu saja. Tapi, preambule seperti ini juga nggak akan kutolak. Kemudian, dia mencondongkan badannya padaku. Mata kami bertatapan, bibirnya mendekat ke wajahku. Yeah...tak perlu lah kujelaskan detailnya, kalian pasti sudah cukup besar untuk mengerti.
Aku adalah lelaki...Yang tak pernah lelah...Mencari wanita...
Aku adalah lelaki...Yang selalu gundah...Menunggu wanitaku...
(Samsons-Naluri Lelaki)
"Sorry, ponsel gue bunyi," ujarku seraya mengakhiri aktivitas barusan. Sedang gadis itu, dengan muka merah dan napas terengah, terkejut setengah mati karena wajahnya kujauhkan tiba-tiba dari mukaku.
"Sialan!"
Aku mengabaikan umpatannya,"Hallo?"
"Al? Dimana?"
"Ehm...di apartemen, Yah. Tadi sepulang dari kantor Om Roery berasa ngantuk banget." Alasan picik.
"Oh, ya sudah. Nanti sore kamu praktik nggak?"
"Praktik dong. Kenapa, Yah?"
"Oke, kalo gitu jam dua ke sini ya. Ada yang mau Ayah kasih tau."
"Oke," jawabku mengakhiri panggilan.
Aku melirik sevenfriday di pergelangan tanganku. Masih ada empat puluh lima menit sebelum waktu yang ditentukan oleh ayahku untuk ketemu. Dan itu artinya, aku harus mengakhiri sesi eum...bukan kencan juga—sesi saling menyenangkan diri masing-masing—diantara kami.
"Gue harus ke rumah sakit," ucapku.
"Oh, oke," jawabnya. Kemudian merapikan pakaiannya dan meraih handbag. "Nanti gue telepon lagi."
"Oke sip," jawabku. Mengantarnya ke depan pintu apartemen dan kemudian memberikan senyum termanis yang aku bisa sebelum dia berjalan memunggungiku. "Daaaaaah...."
Begitu gadis itu tak terlihat dari pandangan, aku segera meraih ponselku di atas meja, "Hallo, Dod?" kataku begitu panggilan tersambung.
"Yep?"
"Thanks buat pinjeman apartemennya."
"Owkay! Meskipun gue tau nggak bakal ada kondom bekas di situ, tapi rapikan sebelum lo pergi."
"Oke."
Sejenak kemudian, mataku bersirobok dengan satu lagi ponsel pintar—ah bukan, ponsel 'nakal' lebih tepat—yang satunya, mematikan dan mengeluarkan simcard yang terdapat di dalamnya dengan cepat. Melipat simcard nan malang menjadi dua dan membidik tempat sampah sebagai sisa akhir umurnya. Plung! Tepat sasaran. Kemampuan nge-shoot bola basket tepat ke ring jelas masih tersisa. "Bye, Tania...eh...Dania...oh...Sonia!"
-oo0oo-
Rumah Sakit Almedika Jaya, pukul 14.05
Aku mematikan mesin mobilku yang sudah terparkir sempurna sambil melonggarkan dasi dan melepas jasku. Dasi dan jas yang sebelumnya kugunakan untuk menghadiri meeting di perusahaan milik Om-ku sendiri, Roery Bachtiar. Terlalu formal rasanya, tapi nggak mungkin juga aku datang ke sana pake snelli.
Oke, aku memang seorang dokter. Tepatnya dokter umum yang akan segera tercebur di dunia residen, setelah aplikasi dan segala tes yang kulalui mengantarkanku pada sebuah program pendidikan dokter spesialis yang akan segera kujalani. Sudah terbayang sibuknya, karena itulah aku ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk 'bersenang-senang' dan bekerja. Salah satunya dengan mengambil sedikit bagian di perusahaan Om-ku sendiri. Serasa double job, dan seakan aku masih kurang sibuk aja. Tapi mau gimana lagi, ini pilihanku dari awal. Belajar bisnis untuk masa depanku dan menjadi dokter untuk makanan nuraniku.
Aku melangkah pelan melewati bagian pendaftaran pasien rumah sakit yang masih padat dihuni oleh pasien yang menunggu giliran. Sebenarnya jam praktik sudah habis, tapi kebijakan rumah sakit ini tetap melayani pasien yang sudah terdaftar sebelum jam praktik habis. Itu artinya jika seharusnya kerjaan sebagai dokter praktik habis pada pukul dua siang, tak jarang kami baru bisa pulang pada jam lima sore saking banyaknya pasien yang memerlukan pemeriksaan dan tetap memilih berobat di sini meski harus antre.
Sebisa mungkin, semua pelayanan di sini diselesaikan dalam waktu satu hari. Karena fasilitas penunjang di rumah sakit ini lengkap. Jelas, rumah sakit punya siapa dulu dong?
Cek kartu keluarga pemilik rumah sakit ini, masih ada namaku nggak di situ tertera?
Itu juga alasan kenapa aku memutuskan mengambil kedokteran sebagai profesi. Mau bagaimana lagi, adik semata wayangku terlalu jatuh dan mencintai dunia seni. Dan jadi lah AlMedika, yang dari namanya saja diambil dari namaku, Aldebaran Bachtiar, jelas akan menjadi tanggung jawabku kedepannya.
"Loh Al, mau buka praktik sekarang?" tanya Mas Doni, bagian pendaftaran AlMedika. Kata-katanya memancing tatapan rekan-rekan kerja yang lain, terutama yang berjenis kelamin wanita. Mereka mendongak dari duduknya, bahkan ada yang sampai berdiri untuk memberi senyuman padaku. Hah! Siapa sih yang gak demen ngeliatin makhluk cakep seperti aku?
Emph, dibalik itu aku lumayan menikmati tatapan mereka yang melihatku seperti makanan siap santap. Lezat, sampai bisa terbayang kali tetesan air liur di sudut bibir mereka. Hedeeeh...kalo yang ngeliatin aku orangnya cantik sih Alhamdulillah, kalo cantiknya dikit sih gampang, tinggal pake sistem kalender aja. Maksudnya, kalender yang ada mukanya Dian Sastro templokin ke mukanya, dilubangin di bagian mata ama bibirnya. Kelar urusan! Dian Sastro kw pun terpesona pada seorang Al.
"Nggak lah, Mas. Mau ke ruangan dokter Wimar," sahutku sambil melirik jam di tanganku. "Udah kelar kan ya praktiknya?"
Aku selalu berusaha bersikap profesional dengan tidak menyebutkan kata 'Ayah', 'Ayahku', dan sejenisnya, jika aku sedang berhadapan dengan pegawai rumah sakit, melainkan dokter Wimar Adhi Bachtiar, Sp. BP yang tidak lain dan tidak bukan adalah dokter spesialis bedah plastik ternama sekaligus pemilik rumah sakit ini.
"Udah sepertinya, Al," kata Mas Doni sambil melepaskan tangan salah satu rekan kerja wanitanya yang sedari tadi menarik-narik ujung bajunya, "Apaan sih, Git!" katanya sambil melotot. "Kalo mau modusin sama dokter Al, situ samperin!"
Aku hanya menahan tawa. Dasar kaum hawa, tidak seorang pun yang tidak terpesona padaku. Hah!
Terdengar narsis? Menurutku tidak. Orang cakep kan bebas?
Aku meneruskan langkah menuju lift yang membawaku ke lantai empat. Lantai tempat seluruh dokter praktik. Rumah sakit ini terdiri dari tujuh lantai dan berbentuk letter U. Lantai paling bawah untuk kasus emergency dan laboratorium, dua lantai di atasnya khusus untuk rawat inap pasien manula ataupun yang memiliki keterbatasan alat gerak. Lantai empat, kantor praktik dokter dan juga ruang direksi. Dua lantai selanjutnya adalah ruang rawat inap dan terakhir lantai VVIP. Rumah sakit ini merupakan mahakarya dari sepupu cantikku—Alina Bachtiar—yang bekerja sebagai arsitek lepas sekaligus konsultan.
Aku berjalan ke koridor kanan setelah keluar dari lift. Mendekati ruang praktik dokter Wimar yang sudah sepi dengan pasien. Perlahan kuketuk pintunya, namun tidak ada sahutan. Apa udah pulang ke rumah? Terus buat apa manggil aku ke sini?
Akhirnya ku dorong pintunya dan tampaklah pemandangan yang membuatku terkesiap. Lembaga Perfilman Negara pasti akan mengenakan label must censored pada adegan yang baru saja terpampang di depan mata.
Seorang pria dengan rambut yang agak memutih di beberapa bagian sedang bergelayut, merebahkan kepalanya di pangkuan seorang wanita—yang sudah kelihatan berumur namun tetap seksi—yang membelai rambutnya dengan lembut.
Manja!
Sementara pria itu terkesan seperti anak kecil yang tidak bisa tidur jika tidak dielus kepalanya. Kampret!
Sesaat tangan pria tersebut menarik kepala wanitanya dan bibir mereka bertemu dengan menimbulkan riak kecil. Begitu saja, tanpa tahu ada yang panas dingin menyaksikan di sini.
"Ayah...," seruku sambil mengerucutkan bibir. Memutus hal apapun yang bisa saja terjadi jika nggak ada interupsi.
"Eh...Al, kamu sudah nyampe, Nak," kata wanita itu sambil tersenyum ceria. Sangat cantik di usianya yang lebih dari separo abad. Tubuhnya bahkan masih terjaga dengan baik, akibat rajinnya beliau berolahraga dan ngomong-ngomong, perkenalkan—Lailani—bundaku yang doyan sekali menari. Menari benar-benar dalam arti harfiah ini. Bukan menari di atas badan ayahku.
"Bunda kira kamu baru sore nongol di sini," katanya sambil mendorong kepala ayahku dan memeluk serta mencium pipiku. "Meeting-nya lancar?"
"Pengalihan isu. Hih!"
"Al!" Teguran Dokter Wimar Bachtiar yang tak bisa dibantah.
"Meeting? Ya gitu, masih berjalan dengan baik perusahaan Om Roery meskipun seminggu kemarin kena demo besar-besaran soal pembebasan lahan. Tapi, sejauh ini aktivitas udah kembali normal," sahutku gondok. Gantian memeluk bunda yang duduk di sofa sebelahku. Tanganku memeluk pinggang beliau erat dan menumpangkan daguku ke bahunya. Apa, Yah? Ngiri?
"Sudah besar masih peluk-peluk Bunda seperti lintah gitu," sindir ayahku sambil berjalan menuju meja kerjanya. Kemudian menyalakan laptop dan mencari entah apa. Matanya terfokus ke laptop sementara tangan men-scroll mouse tiada henti.
"Biarin, lagian juga gak sevulgar Ayah," sahutku mencela, yang menuai tepukan ringan di kepalaku dari tangan bunda.
"Bagian mana yang vulgar?" tanya beliau tanpa melihatku.
"Hidih...Untung Al yang masuk coba. Kalo karyawan yang lain gimana?" sungutku. "Ayah sama Bunda kalo mau mesra-mesraan tuh inget tempat kenapa? Kalo di film-film barat yang Al tonton udah diteriakkin orang 'Hey, get a room!'" lanjutku.
"Dan sejak kapan ini bukan ruangan?" timpal Ayahku lagi. See....bakat ngeles itu diturunkan secara genetik. Aku percaya itu.
"Jadi pengen pasang CCTV di sini, biar kalo Ayah udah mulai nakal dikit, tinggal Al pencet bel, dan alarm kebakaran langsung meraung dari ruangan ini. Terus semua karyawan bakal menuju ke sini," sahutku licik.
"Coba saja, kalo ada alarm kebakaran, bukannya mereka malah turun ke lantai bawah biar aman?" balas ayahku.
"Arghhh..." gerutuku kesal. Susah sekali berdebat dengan ayahku, selalu ada jawaban menakjubkan dari mulutnya itu. Perlu waktu tiga puluh tahun lagi buat mengimbanginya sepertinya.
"Lagian kenapa? Ayah cuma minta cium istri kok," sahutku ayahku menahan tawa. "Lagian kalo pun ada yang liat, wajar kan, sama bunda juga, bukan perempuan sembarangan...hahaha."
"Oke lah kalo yang ngeliat orang yang cukup umur, gimana kalo yang masuk tadi si Mauri? Kan menyodorkan pemandangan di atas umur," sahutku sambil geleng-geleng kepala sambil membayangkan ponakan manis berumur sebelas tahun. Putri dari Teh Aliyya, sepupu Alina dari pihak bundanya.
"Makanya, cari istri Al. Biar kamu nggak mendebat kelakuan Ayah lagi," kata ayahku cengengesan. Astaga...pembelaannya malah mengarah kesitu. "Nanti kamu juga ngerasain apa yang Ayah bilang sekarang. Dan Ayah pastikan kamu bakal melakukan hal yang sama," sambungnya.
"Setidaknya Al nggak bakalan make out di ruang praktik dokter," sahutku mantap.
"Belum tau dia, Bun," mata Ayahku mengilat ngeri. "Liat aja nanti. Mau taruhan nggak, Bun?"
Coba, apa pantas Bapak Wimar Adhi Bachtiar yang sebentar lagi berumur lima puluh delapan tahun ini mengatakan hal seperti itu. Kelakuan manjanya sama bunda yang kadang bikin aku merasa dipanas-panasi buat cepat kawin. Astaga.
"Iya...udah ah, berdebat hal yang nggak penting banget juga," gerutu bunda keluar dari rangkulanku dan membuka kulkas mini. "Minum, Al?"
"Pulpy aja lah, Bun," kataku menjawab pertanyaan bunda. Minuman favorit dengan bulir buah yang terasa. Bunda pun mengambilkan Pulpy pesananku dan minuman isotonik untuk ayah.
"Terus, ngapain tadi Ayah minta Al mampir ke sini? Katanya ada hal penting?"
"Coba ke sini Al," kata ayah mengajakku ikut menekuri laptopnya. Ternyata sedang membuka laman email.
From : Roery Adhi Bachtiar < [email protected]>
Date : Feb 18, 20.22
Subject : Itung-itung belajar
To : Aldebaran Bachtiar <[email protected]>
Cc : Wimar Adhi Bachtiar <[email protected]>
Al, Om mau minta tolong menggantikan tugas calon suami Alina di perusahaan, bisa? Mumpung kamu juga lagi senggang sebelum memulai kuliah spesialismu. Om sudah bicara sama Ayahmu dan beliau setuju untuk mengosongkan jadwal praktikmu di AlMedika sebulan ke depan.
Oke Al? Thanks.
Regards,
Roery B.
"Hmm?"
"Nih, Om Roery minta tolong kamu buat ngegantiin sementara dokter yang tugas di sana."
"Kenapa Al dan...kok ngirimnya ke Ayah?"
"Cek email kamu, Ayah cuma cc kok," sahut ayahku. "Kamu mana pernah ngecek email, Al."
"Iya sih," kataku sambil garuk-garuk kepala.
"Dokter yang di sana itu yang bakal nikah ama Alinevil-nya kamu dua minggu lagi," kata ayah menyebutkan julukanku untuk sepupu cantikku yang arsitek itu. "Kenal kan?"
Revan?
"Kenal banget lah, Al pikir nikahnya sama orang lain," kataku cuek. "Revan kan?"
"Dari dulu Alina pacaran ama Revan dan nggak putus-putus," sambar bunda. "Emang kamu? Pacaran udah kayak ganti seprai, seminggu ganti baru. Putus mulu lagi."
"Bunda lebay. Gak juga seminggu."
"Apa? Semacam perempuan haid? Sebulan sekali udah beda lagi?" olok bunda.
"Gak juga. Ih, Kemarenan pacarku waktu kuliah bisa tahan dua tahun kalo Bunda...-"
"Bunda nggak suka...kamu udah kayak kerbau di colok idung waktu sama dia," bantah bunda memotong kata-kataku. "Mau aja nurutin kemauan dia."
Yeah...bunda memang nggak bisa menerima kehadiran Prima Sangadji, pacarku waktu itu. "Tapi kan kuliah Al lanjut terus, nggak ada mandegnya?"
"Iya, beruntunglah otak kamu yang lumayan encer itu, jadi walaupun kamu sibuk ngintilin dia kesana kemari tetep aja kamu bisa lulus."
"Nah!"
"Tapi, tetap aja, Al. Bunda nggak suka sama dia," bahas bunda lagi. "Lagian sejak kapan Bunda mau punya calon mantu artis, eh? Tiap minggu masuk infotaintment."
"Kan tenar Bun?"
"Emang Bunda pengen punya mantu yang terkenal gitu? Terus tar kalo kamu udah punya anak siapa yang jagain? Sementara istrimu yang ngartis itu syuting dimana-mana."
Yah, ini lagi yang di bahas.
"Kalo cuman jaga anak bisa pake...-"
"Bunda aja yang cuman jadi penari freelance digeret Ayahmu turun panggung Al, lha...kamu pengen punya istri artis? Euh!"
Oke, mendebat bunda untuk memperjuangkan Prima yang entah udah kemana sama sekali nggak ada untungnya bagiku. Kecuali, kedepannya aku bakal kegaet gadis yang milih berkarir di industri hiburan lagi. Jadi, meskipun pengen merutuk Bunda, namun lebih baik aku mingkem. Tutup mulut sodara-sodara.
"Terus, kelakuan kamu itu, Al. Gandeng sana...gandeng sini, nggak takut penyakit apa?"
"Allahuakbar, Bunda," kataku menepuk jidat. "Al nggak ngapa-ngapain juga kali sama mereka."
"Mereka? What?" Bunda tambah meradang. "Coba liat anakmu, Yah. Dia ngomong mereka, itu artinya pacarnya lebih dari satu," gerutu bunda.
"Stop! Inget kamu punya adik perempuan lho, Al," potong ayah menyudahi perangku sama bunda.
"Ow...," aku memilih memutar mata. Justru karena ada Aliefiya—adikku semata wayang—itulah aku masih menahan diri agar nggak kebablasan. Karena, gini-gini aku takut karma juga kali. Apalagi kalo yang kena adikku atau anak perempuanku kelak. Aduuuh...gara-gara kelakuan bapaknya pula. Nggak deh. Nakal boleh, asal tahu batas. Ahem!
"Ya sudah, kamu berangkat dua minggu lagi ya, Al," tukas ayahku akhirnya.
"Tapi...kenapa harus Al? Astaga...dokter lain banyak," jawabku keberatan. "Al kan harus persiapan menjalani kuliah."
"Persiapan muatamu!" kata Bunda menyeramkan. "Selain praktik yang hanya tiga jam, kamu cuma sibuk kesana kemari bawa cewek," sulut bunda lagi memulai peperangan.
"Astaga...tolong!" peringat ayahku. "Bisa nggak kalian ini akur sehari aja?"
"Nggak bisa," sahut kami bersamaan, kemudian tergelak.
"Lagian, siapa tau di sana nemu gadis baik-baik, Al," lanjut bunda.
"Iya, gadis. Tapi bentuknya bekantan. Mau?" kataku menggoda.
"Mau mau saja, bekantan itu wajib dilindungi kan, Al?" Astaga bunda!
"Deuh...kali mantunya buluan, apa kata dunia, Dokter Aldebaran yang perkasa sampe punya istri idung panjang."
"Sudah...sudah," potong Ayah. Jelas akan panjang lagi ceritanya membiarkan aku dan bunda adu mulut.
"Kalimantan kan? Yang bener aja, Yah. Bisa mati kutu Al di hutan begitu," gerutuku kesal. Kalo boleh nimpuk orang tua sendiri sudah kulakukan dari tadi.
"Ish...Kamu ini, biar sekali-sekali tinggal di kota kecil. Biar kamu bisa bersyukur hidup di kota besar dengan sekaligus kelengkapan fasilitasnya. Lagipula, cita-cita kamu kan pengen PTT di daerah terpencil," lanjut Ayah. "Bukannya dulu gitu pas Ayah minta kamu langsung lanjut PPDS?"
Memang dulu aku sempet mengutarakan niatku untuk mengabdi di daerah terpencil yang menuai pekikan dan gelengan kepala bunda. Nggak bakal diizinkan sampai kapanpun, bahkan sampai planet Pluto bisa ditinggali sekalipun.
"Yee...daerah impianku itu Wakatobi, Yah. Bukannya hutan tropis Kalimantan juga kale...,"jawabku sebal.
"Al, masih dua minggu lagi kok berangkatnya. Kamu puasin dulu aja di kotanya. Itung-itung pengalaman sama bantuin Om Roery sekalian," ujar Ayah akhirnya. "Kan biar kamu gak cuman jadi pemegang saham doang, tapi tau sampe ke dalam soal bisnis Om-mu itu."
"Ah...nanti lah, nunggu petir menyambar kepala Al kali baru mau berangkat ke sono," gumamku sambil memeluk bunda dan mencium kedua pipinya. "Al pamit dulu. Udah hampir jam praktik Al ini."
"Nanti pulang ke rumah kan, Al?" tanya Bunda.
"Nggak, nyari bekantan buat dikenalin sama Bunda," balasku seraya keluar dan menutup pintu ruang praktik ayahku.
Note:
Meskipun di dalam konten cerita ini tidak terdapat adegan 18+, namun tetap harus bijak dalam menikmati isinya dan tentu saja disertai rasa humor yang mencukupi.
Ada beberapa perubahan dibanding edisi lama dulu yang memang sengaja saya sesuaikan demi kepentingan isi cerita.
This story dedicated for @Andifta yang udah bener nebak umur saya. Dan iya, kamu lucu karena mempertanyakan kenapa saya sudah menikah?
Hahaha...Ya, karena ada lelaki yang entah khilaf entah sadar, udah ngucapin ijab kabul di depan ayah saya. Begitu kira-kira. Hihihi.
So...enjoy the story. Smooch you all :* :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro