Beautiful Destiny - chapter 1
Jenna menghela nafasnya sekali lagi. Perjalanannya kembali ke kampung halaman terasa lama dan panjang. Sudah beberapa kali ia berganti memesan kopi, teh, orange juice, roti bakar, kentang goreng, dan makanan kecil lainnya. Tapi ternyata bukan karena perutnya lapar. Kegelisahan ini bukan berasal dari perutnya. Tapi dari hatinya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak menginginkan kembali ke rumah. Meskipun ada pelukan nyaman mama di sana, namun trauma itu tidak pernah hilang. Trauma masa kecilnya yang membuatnya harus menjaga jarak dari laki-laki manapun.
***
"Jenna, kau sudah lihat file yang kukirim untukmu?"
Nathan menyunggingkan senyum manisnya. Tangannya di lipat di atas kubikal yang menyekat ruang kerja mereka. Pria berlesung pipi itu adalah bosnya.
Yaa meskipun Jenna tahu bahwa bosnya itu tengah berusaha keras mendapatkan hatinya. File kerjaan yang di kirim ke emailnya selalu dan selalu di bubuhi puisi puisi cinta yang membuat Jenna memutar bola matanya.
Ayolah, Jenna bukan tipe wanita yang tertarik dengan romantisme macam itu. Dalam hidupnya belum sekalipun ia jatuh cinta pada pria. Bagaimana mungkin bisa jatuh cinta jika ia memasang tembok setinggi langit kepada pria manapun yang mendekat.
"Ehm..iya sudah. Aku akan mengerjakan laporannya sekarang."
Jenna membetulkan letak kacamatanya. Sebenarnya kacamata ini hanya dipakai pada saat berhadapan dengan komputer. Jenna tidak terlalu nyaman menggunakannya sehari-hari.
"Kalau begitu bagaimana dengan ajakanku? Nonton hari sabtu nanti?"
Lihat, dia tidak akan pernah menyerah.
"Maafkan aku Nathan, aku rasa aku tidak bisa. Aku harus pergi dengan Luna sabtu besok."
"Tidak apa-apa Jen..aku tidak akan berhenti sampai kau mengatakan iya."
Nathan mengedipkan sebelah matanya padaku, kemudian berlalu kembali masuk ke ruangannya.
Jenna menghela nafas lega. Nathan sedikit mengintimidasi, meskipun pria itu berlaku luar biasa sopan namun jabatannya yang merupakan bosnya membuat Jenna agak sedikit segan menolaknya.
Luna meletakkan papercup di meja Jenna. Harum kopi memenuhi ruangan itu. Sahabatnya itu tahu persis Jenna menyukai kopi hitam dengan sedikit gula. Pahit ya, sepahit kehidupannya.
"Nathan lagi?"
Luna mengambil kursi dan duduk di samping Jenna.
"Iya..aku heran, dia nggak nyerah-nyerah. Padahal aku udah tolak terus, Lun.."
"Lagian kamu tu aneh Jen..Nathan tu keren, beda 3 tahun dari kita tapi udah bisa jadi bos. Ganteng, cool, tajir, kurang apalagi coba?"
"Kamu kan tahu Lun, aku punya trauma sama laki-laki. Jadi nggak semudah itu.."
Luna adalah sahabat terbaik yang pernah di miliki Jenna. Ia tahu semua masa lalu Jenna. Masa lalu yang membuatnya memilih hidup jauh dari mamanya.
"Hanya dirimu sendiri Jenna yang bisa..selama kamu nggak mencoba membuka hati, maka pintu itu akan tertutup selamanya."
Luna meremas bahu Jenna kemudian pergi.
Jenna tahu, lebih daripada tahu. Ia tidak mungkin selamanya seperti ini. Suatu hari ia harus menemukan pria yang akan mencintainya dan menikah dengannya. Namun Jenna yakin seratus persen, pria itu belum ada sekarang. Dan selama pria itu belum ada. Jenna akan tetap memasang dinding setinggi langit untuk hatinya.
***
Plak!
Suara tamparan yang akrab di telinga Jenna kembali terdengar, kali ini diikuti suara beberapa barang yang pecah. Tidak terdengar suara mama, hanya isakannya yang di tahan. Jenna sudah tidur tadi, namun siapa yang tidak terbangun mendengar kegaduhan macam ini yang berlangsung hampir tiap malam. Setengah jam kemudian terdengar suara pinta di banting, dan deru mobil ayah.
Jenna kecil keluar dari kamarnya dengan tubuh yang gemetar. Jenna bersumpah, ia ketakutan setengah mati, tapi Jenna tidak bisa diam saja di kamar. Di lihatnya mama sedang terduduk menangis dengan sudut bibirnya yang berdarah dan memar merah di pipinya. Ada toples, gelas dan piring yang pecah berantakan di lantai.
Pelan-pelan ia berjalan mendekati mamanya, di hapusnya dengan tissue darah yang keluar dari bibir mamanya. Kemudian ia mengajak mamanya bangun dan masuk ke kamar untuk berbaring. Mamanya masih gemetar karena isakan, Jenna menyelimutinya dengan sayang.
Jenna kecil kembali untuk membersihkan porak poranda di ruang tamu. Tidak ada siapa-siapa. Dia tidak punya siapa-siapa. Ayah yang dulu begitu di cintainya, mendadak usahanya bangkrut dan memilih jalan mabuk-mabukan dengan wanita-wanita yang membuat Jenna kecil merasa jijik. Dan jika uangnya habis, ayahnya akan meminta kepada sang mama, yang mengumpulkan seperak demi seperak dari usaha menjahitnya. Jika mama tidak ada uang, seperti malam inilah kejadiannya.
Tidak ada yang lebih di benci olehnya daripada ayahnya sendiri. Tidak ada yang lebih diinginkannya daripada melihat mama dan ayahnya berpisah saja, sehingga pria kejam itu tidak bisa lagi menyiksa mama. Namun kekecewaan di telan mentah-mentah oleh Jenna. Mama begitu mencintai ayah, sehingga kesalahan macam apapun, selalu ada maaf baginya.
Jenna tertidur dengan perasaan kecewa. Hingga pagi datang beserta sebuah berita. Berita yang tidak yakin ia senang atau sedih mendengarnya.
Mama menangis saat menerima telepon yang entah dari siapa pukul 5 pagi. Sementara Jenna masih mengucek matanya karena mengantuk.
"Nak..kita harus ke rumah sakit sekarang. Ayahmu..kecelakaan.."
Secepat kilat Jenna dan mama bergegas ke rumah sakit. Bahkan ia hanya mengenakan piyama dan sepasang sendal jepit.
Ketika tiba di rumah sakit, sudah terlambat. Ayahnya sudah meninggal dunia. Jenna hanya bisa memandangi tubuh ayahnya terbujur kaku. Tidak ada kata maaf untuk mama dan Jenna, tidak ada pelukan hangat dari seorang ayah. Ia pergi begitu saja meninggalkan kebencian di hati putri semata wayangnya.
***
Jenna tidak pernah membenci mamanya, tidak sekalipun. Wanita yang tetap terlihat cantik di usia 43 tahun itu adalah orang yang sudah mengandungnya, melahirkan dan merawatnya hingga besar. Hanya satu yang tidak bisa Jenna terima. Mama selalu memintanya untuk memaafkan ayahnya. Ayahnya yang sudah menyakitinya dan mamanya. Jenna bersumpah, tidak akan pernah. Dia membencinya, sangat membencinya. Bahkan ia sekalipun tidak pernah mengunjungi makamnya. Orang seperti itu tidak layak mendapatkan maaf dan doa.
Pada akhirnya Jenna memutuskan merantau keluar kota untuk kuliah dan bekerja. Meskipun ia dan mama selalu berhubungan lewat telepon namun mama tidak pernah berhasil memaksa Jenna untuk pulang. Jenna belum siap untuk kembali berbeda pendapat dengan mamanya. Dan ah rumah itu sungguh menyimpan sejuta kenangan buruk yang membuat Jenna sering bermimpi mengenai hal itu. Membuatnya hingga sedewasa ini masih suka terbangun di tengah malam sambil menangis terisak-isak karena bermimpi menyaksikan ayahnya menyiksa mama.
Kadang Jenna berpikir, bagaimana mungkin orang yang dulunya saling mencintai tiba-tiba bisa berubah menjadi monster dan menyakiti hati dan fisik orang yang di cintainya. Dan bahkan yang lebih aneh lagi, yang di sakiti masih bisa memaafkan dan tetap mencintai.
Itulah mengapa dirinya begitu takut untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Ia takut tiba-tiba perasaan pria itu berubah kepadanya dan mulai membencinya, dan kemudian menyiksanya seperti yang terjadi pada mamanya.
TBC-
------------------------------------------
chapter 1 done!
next chapter secepatnya di publish kalo udh ada yg kasi bintang ya....
love. vy.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro