Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB 7 - Boyd

Bab 7

Rasanya baru lima menit yang lalu aku tidur dan sekarang ada tangan sialan yang sedang mengguncang-guncang bahuku. Apakah aku tidak bisa mendapatkan ketenangan sedikit lebih lama?

Setelah mengembalikan dompet Kanaya tadi malam---yang hampir saja berakhir dengan bencana kenikmatan---aku tidak langsung pulang ke rumah. Pegawaiku menelepon, terjadi perkelahian di salah satu kelabku. Hampir terjadi pembunuhan, katanya. Sehingga polisi terpaksa dipanggil. Untuk menyelesaikan masalah sebesar itu harus aku yang turun tangan. Setelah polisi pergi dan para pelaku keributan dibawa ke rumah sakit, aku memecat dua penjaga keamanan yang bertugas menjaga ketenangan kelab. Pria-pria berbadan besar bodoh itu tidak ada gunanya kugaji kalau tidak bisa menjalankan tugasnya dengan benar.

Begitu keadaan kembali normal, aku pulang ke rumah, tepatnya rumah Benget. Setelah kedua orangtuaku meninggal, aku dan Agnes jarang tinggal di rumah kami sendiri. Agnes suka tinggal di sini karena ada Lisna, dan ada ibu Benget---yang meskipun sangat cerewet tapi sangat menyayangi Agnes. Aku tidak bisa memaksa Agnes pulang, di rumah kami dia tidak akan punya teman. Hanya ada pelayan dan...kenangan ayah dan ibu.

"Bang Boyd?" Apa aku sudah bilang kalau adikku Agnes berbadan kecil tapi suaranya melengking hingga membuat gendang telingaku hampir pecah. Lagi, dia menggoyang-goyang bahuku dengan tangannya yang kurus. "Bangun, bang!"

"Lima menit lagi, Nes!" Suaraku teredam bantal, aku semakin membenamkan wajahku di dalamnya.

"Aku tidak bisa menghitung ini sudah lima menit yang keberapa yang abang bilang. Tante memanggilmu, bang!"

Benarkah? Aku tidak tahu kalau sebelumnya dia sudah membangunkanku. Tapi persetan dengan lima menit lagi, satu jam lagi bahkan belum bisa meredakan kantukku. Akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur.

"Bang Boyd???" Teriaknya lebih keras.

"Ya Tuhan, Agnes!!" Aku menggerutu sambil membalikkan badan, dengan kasar kuusap wajahku. Mataku yang melotot tidak sedikitpun membuatnya takut, dia tahu aku tidak akan pernah menyakitinya. Sial, setitikpun aku tidak ingin menyakiti adik kesayanganku ini. "Kau berteriak seperti gadis penjual rombengan! Kau tahu suaramu itu tidak baik untuk kelangsungan pendengaranku?"

Dia meletakkan kedua tangannya di pinggang, entah apa tujuannya melakukan itu. Untuk membuatku terintimidasi? Haha, seharusnya dia melihat badan mungilnya itu. Dia berlagak seperti wanita tangguh, padahal....hanya aku yang tahu betapa cengengnya si kurus yang satu ini.

"Abang selalu pulang larut," dia mulai berbicara, dengan nada sok tenang yang membuatku tersenyum. "Jangan senyum-senyum! Tidak ada yang lucu di sini."

"Aku tidak tersenyum." Aku membantah, mengembalikan bibirku dalam mode garis lurus.

"Tadi iya, sekarang tidak.'' Jadi apa masalahnya? Ya ampun, dia kejam sekali bahkan tidak memperbolehkanku tersenyum.

"Ini masih pagi, Agnes!"

''Siapa bilang? Abang tidak melihat jam? Sekarang sudah sore, dan abang belum sarapan dan makan siang. Tante menyuruhku membangunkan abang untuk makan, tante takut abang mati ketiduran karena tidak bangun-bangun."

Karena pria tidak bisa hidup tanpa wanita sudah seharusnya aku beradaptasi dengan kaum yang sifatnya berlebihan ini. Aku menggeser selimut dari dadaku, aku tidak pernah tidur mengenakan baju. Kuangkat lenganku lalu menunjukkan ototku yang besar pada Agnes.

"Kau lihat ini?" Kudenger dia berdecih. "Aku tidak akan mati hanya karena melewatkan makan satu harian. Malah kekurangan tidur yang bisa membuatku berubah jadi gorila lapar," tambahku lagi.

Agnes menurunkan tangannya dari pinggang. "Tante hanya khawatir, bang!" Dia mendekati tempat tidurku. "Aku juga. Akhir-akhir ini abang jarang pulang, kalau pulang selalu tengah malam. Apa sih yang abang kerjakan? Bang Benget saja selalu pulang tepat waktu."

Aku tidak tahu di bagian mana Benget pulang tepat waktu? Dia malah tak ada bedanya denganku. Tapi aku tidak membantah Agnes. Saat dia berada dekat denganku, kutarik tangannya. Dia duduk di sampingku, kupeluk pinggangnya yang kurus.

"Kau menyuruhku makan, tapi badanmu sendiri seperti kurang makan, adik manis." Kurasakan tangannya mengusap rambutku dengan lembut. Aku semakin membenamkan wajahku di perutnya, momen seperti ini sangat langka, karena kesibukanku hingga jarang berada di rumah. Baunya harum, lembut dan feminin.

Agnes yang memberi sedikit sisi lembut dalam diriku. Kalau tidak karena dia aku mungkin takkan mempedulikan resiko-resiko berbahaya dalam kehidupanku. Dia manis, lembut dan penyayang. Dia marah-marah padaku hanya untuk meredam rasa sayangnya yang besar. Demi melihatnya bahagia akan kulakukan segalanya yang kubisa.

"Mata abang merah," katanya pelan, masih mengusap rambutku.

"Aku kurang tidur tapi kau malah memaksaku bangun."

"Jadi aku salah karena menyuruh abang makan?" Dia mendorong kepalaku menjauh, aku tergelak kemudian duduk. Aku mengacak-acak rambutnya, mulutnya mengerucut panjang.

"Oke. Oke. Aku yang salah! Aku minta maaf," sepertinya aku semakin sering meminta maaf pada wanita belakangan ini. "Sekarang bisakah kau membawakan makanan ke sini! Aku sedang malas bergerak."

"Karena aku sayang pada abang, aku akan membawakan makanan ke kamar." Tanpa ragu dia memajukan wajahnya lalu mendaratkan kecupan di keningku.

Agnes keluar dari kamarku dengan semangat, rambutnya yang lurus bergoyang ketika dia melangkah. Kalau tidak ada ibu Benget dan Lisna yang menemaninya setelah ayah dan ibu meninggal, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padanya.

***

Aku tidak tahu ternyata aku sangat lapar. Dua roti lapis, satu piring nasi penuh, dua ekor ikan panggang, satu mangkuk tauco udang, dan segelas besar jus jeruk telah tandas hanya dalam waktu tidak lebih dari lima belas menit. Agnes akan bersorak melihat aku menghabiskan semua makananku seperti orang yang lama tidak makan.

Setelah mengusap mulutku dengan ujung kaos yang kulepas semalam---jangan melihatku seperti itu! Laki-laki biasa melakukannya. Tisu tidak tersedia di semua tempat, tapi kalau baju? Tidak mungkin aku tidak punya---aku berbaring kembali. Tapi perutku yang kekenyangan membuatku tidak nyaman berbaring.

Berdecak, aku memutuskan mandi saja. Sepertinya aku harus beranjak dari kamar.

Seperti biasa, kaos berlengan pendek dan celana robek-robek yang menjadi pakaian favorite-ku, kukenakan dengan cepat. Aku membiarkan nampan berisi piring kotar di atas nakas, mbok Mumun yang akan membereskannya.

Sampai tengah malam nanti tidak ada hal penting yang harus kukerjakan. Mengganggu gadis-gadis di rumah ini sepertinya cukup menghibur.

Aku mencari mereka, dan langsung kutemukan di ruang keluarga. Lisna, Reva, Agnes, dan Benget?---Tumben dia tidak keluyuran---terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang penting. Aku sengaja berjalan lambat-lambat agar tidak menganggu diskusi menyenangkan tersebut. Pintu sedikit bergeser ketika aku menyandarkan punggungku di sana. Tangannku bersedekap, mendengar apa yang menjadi topik pembicaraan mereka.

''Seharusnya kau tidak membangunkan bang Boyd, Nes!" Lisna menuding Agnes. "Kalau dia bangun dia tidak akan membiarkanmu pergi berdua dengan Bara."

"Tapi bang Boyd belum makan dari pagi, Lis," Agnes menjelaskan. "Abang pasti lapar. Lagipula bang Boyd tidak tahu aku pergi bersama Bara, abang kan tidak ikut menonton konser."

"Kalau Boyd tahu kita pergi menonton konser, dia pasti akan ikut." Ternyata Reva juga berpartisipasi dalam diskusi itu. Wah, mereka mau berbohong padaku? Dan...siapa Bara?

Benget yang sebelumnya hanya diam, mengangkat tangannya. "Gadis-gadis," serunya. "Jangan berdebat lagi soal itu. Boyd tidak akan ikut jika kita berangkat sekarang." Ingatkan aku memukul si bodoh Benget nanti.

"Iya, kita pergi sekarang."

Mereka belum menyadari keberadaanku. Agnes merapikan barang-barangnya ke dalam tas kecil, Lisna juga melakukan hal yang sama. Yang membuatku mengernyit, Reva melotot pada Benget. Benget mencoba memegang tangan Reva, tapi gadis itu menepisnya kasar. Sesuatu telah terjadi di antara mereka.

Lisna terkesiap begitu melihatku. Matanya hampir keluar dan mulutnya terbuka.

"Aku tidak diajak?" Aku memasuki ruangan itu, menikmati keterkejutan mereka semua. Agnes memilin-milin jarinya, wajahnya gugup.

Reva, yang menjadi gadis tertua, mengambil alih. "Kami akan pergi menonton konser di lapangan merdeka." Katanya, sukses mengabaikan Benget di belakangnya. "Kau boleh ikut kalau mau!"

Terdengar tarikan napas kencang dari kedua gadis yang lebih muda. "Kita tidak punya pilihan, teman-teman." Dia tersenyum kecil, Reva memang harus melakukannya. "Boyd nyatanya sudah bangun dan ada di sini."

"Aku ikut!" Tidak ada yang memberitahuku tentang rencana ini, bahkan si kampret Benget pun tidak. Sudah jelas mereka tidak ingin aku ikut. Tapi aku akan ikut. ''Agnes." Aku memanggilnya dengan jari telunjuk melengkung.

Agnes maju ke depanku, kepalanya mendengak menatapku. "Kalau tidak salah mendengar konsernya di lapangan merdeka, benar?" Dia menangguk. "Dan kau akan memakai pakaian kurang bahan seperti itu?" Atasannya memang lumayan, tapi roknya?? Dia akan berakhir dikurung di kamarnya kalau tidak segera mengganti pakaiannya itu.

"Agnes cantik, bang Boyd." Lisa menengahi. "Roknya manis."

"Agnes memang cantik dan manis, tapi tidak dengan pakaiannya. Kau ganti sekarang atau tidak perlu pergi."

"Inilah kenapa kau tadi lebih baik tidak membangunkannya," Lisna bersungut-sungut. Tapi aku tidak peduli.

Satu jam berikutnya kami sampai di lapangan merdeka, tempat berlangsungnya konser. Aku tidak tahu siapa bintangnya, atau band apa. Di kelab tidak ada yang membicarakan konser.

Agnes turun dari mobil. Dia mengganti bajunya seperti yang kusuruh. Kaos longgar dan celana jeans panjang, dia tetap terlihat cantik. Terkutuklah semua laki-laki yang menyukai adikku hanya kalau dia berpakaian terbuka. Mereka harus bisa menjaga matanya tetap di tempat jika tidak mau bola itu mendarat di tanah.

Reva dan Benget, memainkan drama sepanjang perjalanan. Sementara Benget mendekati Reva, Reva malah menghindar.

Tidak mau memusingkan mereka berdua, aku memegang bahu Lisna. Setelah kusuruh Agnes mengganti pakaian tadi, dia menampilkan wajah kesalnya padaku. "Jangan majukan bibirmu seperti itu, adik kecil." Dia menonjok dadaku bercanda, tawanya terdengar.

"Kau tidak bisa terlalu menjaganya seperti itu, bang. Agnes bukan anak kecil lagi."

Kucubit puncak hidungnya. "Bagiku kalian berdua masih kecil. Jangan sok dewasa."

****

Meskipun sepertinya semua orang menikmati setiap lagu yang dinyanyikan artis ibukota itu, aku tidak terlalu suka. Masih lebih keren penari telanjang di kelab yang meliuk-liukkan tubuh moleknya di pipa panjang. Namun hiburan seperti itu tentu tidak baik untuk kedua gadisku, Agnes dan Lisna.

Keduanya tidak kubiarkan lepas dari pandanganku. Tak satupun teman laki-laki mereka yang tahan bicara lama-lama, semuanya lari ketakutan macam banci. Si Bara yang sempat dibicarakan di ruang keluarga tadi tidak terlihat, mungkin dia juga banci. 

"Berhentilah mengeluarkan matamu, bang Boyd!" Lisna keberatan. "Teman-temanku semuanya pergi. Padahal kami sudah sepakat menonton bersama."

"Mataku masih aman, ladies!" Aku memberikan senyum termanisku. "Kau harusnya tidak berteman dengan banci. Coba kau tanya Benget, dia pasti setuju denganku."

Lisna menoleh mencari abangnya. Lagi-lagi Benget dan Reva berdrama, mereka adu mulut seperti suami-istri kehabisan beras. Aku menggeleng. "Sepertinya abangmu sedang sibuk. Sudahlah, sayang." Kepeluk bahunya dengan sebelah tanganku, tanganku yang satu lagi sudah memeluk bahu Agnes. Kalau Lisna merengek terus, Agnes tampaknya nyaman dengan sikapku yang mengintimidasi semua teman laki-lakinya. Atau dia hanya pura-pura tenang karena tahu tidak akan berhasil mendebatku?

Lisna melepas pelukanku. "Isshh, jangan peluk-peluk aku. Nanti orang-orang mengira aku pacaran sama bang Boyd."

"Memangnya kenapa? Aku ganteng, banyak uang----"

"---Tapi playboy."

Aku tertawa. Kuacak-acak  rambutnya hingga dia semakin kesal. Dia bersedekap dan mengarahkan pandangannya ke panggung.

Orang-orang mengelilingi panggung, berteriak mengikuti nyanyian sang penyanyi, mereka melambai-lambaikan tangan. Tadi Agnes dan Lisna juga melakukannya, kusuruh mereka berdua menghentikan kelakukan konyol itu. Norak.

Aku belum pernah pergi ke konser siapapun sebelumnya, baru kali ini. Itupun kalau ini bisa disebut konser. Tiketnya hanya dua puluh ribu, kami berdiri di atas rumput jepang yang lembab, kemudian ada panggung di depan, tempat beberapa penyanyi menyanyikan lagunya.

Aku mulai bosan, berjudi bahkan lebih baik daripada berdiri macam orang kurang kerjaan seperti ini. Aku mencari-cari keberadaan Benget dan Reva. Ketika mataku mengelilingi sekitar lapangan itu, aku melihatnya.

Kanaya. Gadis itu terlihat cantik dengan gaun kuning muda. Ada temannya di sebelahnya dan...pria yang memeluk bahunya?

Aku tidak pernah merasakan dorongan kuat menjatuhkan seseorang seperti yang kurasakan sekarang. Tiba-tiba aku ingin mematahkan tangan bajingan itu, yang dengan santainya melingkari tubuh gadis yang kusukai.

Agnes menyadari ketegenganku, dia mendengak padaku dan bertanya ada apa. Aku menggeleng singkat, pandanganku masih tertuju pada Kanaya. Laki-laki itu menunduk ke telinga Kanaya dan membisikkan sesuatu yang membuat Kanaya tertawa.

Ya Tuhan!! Aku tidak menyadari tanganku terkepal sampai Agnes memegangnya, sekali lagi dia bertanya ada apa. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diriku agar tidak membuat Agnes takut.

Reva, tidak tahu datangnya dari mana, tiba-tiba memeluk lenganku kemudian menyandarkan kepalanya di sana. "Biarkan aku seperti ini sebentar," bisikknya kasar. Awalnya aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun saat melihat wajah berasap Benget tak jauh dari kami, aku tahu rencana Reva.

Drama mereka membutuhkan pemeran pendukung. Sialnya, akulah orang itu. Aku mengerang tertahan, kenapa semua perempuan membuatku sakit kepala.

Kubiarkan saja Reva berakting sesukanya. Aku menolehkan pandang ke arah Kanaya tadi, dia masih di sana, masih membiarkan bahunya dipeluk, dia...menatapku. Lama, kami saling memperhatikan! Aku tidak akan jadi orang pertama yang mengalihkan pandangan.

Dia kalah. Kepalanya berpaling dariku.

Kanaya gadis yang cantik. Seharusnya aku sudah tahu kalau tidak mungkin gadis sepertinya belum punya kekasih. Aku melupakan fakta itu, dan membiarkan diriku seperti pria tolol yang memikirkannya terus.






Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro