Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB 6 - Kanaya

Bab 6

Bel berbunyi saat aku berbaring santai di atas tempat tidur, menunggu Reny pulang. Dia pergi mencari makanan karena tak ada satupun dari kami yang berniat memasak. Tidak jauh sebenarnya, rumah makan itu berada di ujung jalan. Berjalan kaki sepuluh menit juga sampai. Reny memaksaku tinggal karena sakit perut bulanan, senggugut-ku tidak pernah hilang sejak pertama kali aku haid.

Rasa sakitnya bisa sampai tiga hari, tapi yang paling parah adalah hari pertama. Aku jadi serba salah. Ingin duduk sakit, tidurpun tidak nyaman. Perasaan selalu ingin emosi. Hari ini hari ketiga, rasa sakitnya sudah sedikit berkurang. Sudah dua botol minyak angin kuhabiskan untuk kuoleskan ke sekujur perutku. Hangat yang berasal dari minyal angin tersebut mengurangi nyeri di perutku.

Sekali lagi berbunyi. Dengan semangat aku bangkit dari ranjang. Membayangkan ayam bakar berbalut bumbu pedas membuat liurku hampir keluar. Ditambah nasi hangat dan lalapan, semoga Reny tidak lupa meminta kecap lebih. Aku menyukai kecap dari rumah makan itu, mereka mengolah sendiri resepnya. Hhhmm, aku tidak sabar mencicipi hidangan favorite-ku itu.

Dengan sendal jepit berwarna hitam di kakiku, aku berlari kecil menuruni tangga.  Kuputar kunci pintu lalu membukanya. Dalam sekejap senyum lebarku menghilang, digantikan rasa teekejut yang membuat mataku membelalak.

Boyd berdiri di depan pintu rumahku. Dia seperti biasa, tampan dan mengagumkan. Memakai kaos lengan pendek---sepertinya kaos seperti itu favoritenya---yang memperlihatkan gulungan seksi tato di sepanjang lengannya. Celana jeans robek-robek membalut kakinya yang panjang, ditutup sepatu boot berwarna gelap. Rambutnya hitam dan berantakan, membuat tanganku gatal ingin merapikannya.

"Boyd," bisikku lemah, terlalu terpesona padanya. Sama sepertiku, diapun terkejut melihatku. Dia memalingkan wajah dariku, mengumpat dalam nada kecil. Alisku mengkerut bingung, kemudian barulah aku sadar seperti apa penampilanku sekarang.

Terkesiap, aku buru-buru bersembunyi di balik pintu. Ya Tuhan, Boyd melihatku nyaris tanpa pakaian! Ya ampun. Ya ampun. Ya ampun. Aku menggigiti kuku jempol tanganku, sekarang apa yang harus kulakukan? Menyuruhnya pulang?

Lagipula apa tujuannya datang malam-malam seperti ini? Tidak mungkin---dompetku? Aku mengintip, memajukan kepalaku lebih menjorok ke luar. Benar, dia membawa dompetku. Pandanganku naik ke wajahnya, dia memejam dan menggeram pelan. Apa yang dilakukannya?

"Jangan bilang kau selalu membukakan pintu dengan pakaian seperti itu!" Nada suaranya kasar, dia menatapku tajam.

"Tadi kupikir Reny yang datang! Dia sedang keluar mencari makanan."

Boyd menghela napas. "Tapi kau mungkin tidak berpikir apa yang akan dilakukan seorang pria bila melihatmu dengan pakaian seperti itu?"

"Ma..maksudmu?" aku bertanya dengan terbata, sedikit terganggu dengan kemarahannya yang tidak kumengerti.

Aku terkejut saat dia menarik pintu agar terbuka lebih lebar, dia masuk dan apa yang dikatakannya membuatku kehilangan napas. "Karena hal pertama yang ingin kulakukan sejak kau membuka pintu dengan penampilan seperti hidangan lezat ini adalah menciummu."

Apa yang terjadi selanjutnya adalah hal yang tak pernah kubayangkan akan terjadi, setidaknya tidak sekarang. Bibir Boyd membungkam semua protesan yang hendak kulontarkan. Lumatan bibirnya kasar dan menuntut. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya yang keras, mendorongnya dengan usaha sia-sia. Boyd dengan mudah mengapit tanganku dan menguncinya di atas kepalaku. Kedua tanganku tak bisa bergerak dicengkram lengannya yang kokoh.

Sementara tubuhku menggeliat ingin bebas darinya, Boyd semakin menghimpitku ke pintu. Menarik bibir bawahku dalam upayanya membujuk mulutku terbuka untuknya. Boyd memiliki lidah ahli seorang pencium berpengalaman, dia tahu cara membuat perangkap nakal yang menjanjikan. Aku berkeras bertahan menutup mulutku, namun rasanya usahaku hampir hancur di tengah-tengah ciuman kecilnya.

"Buka, sayang," bisiknya serak. Matanya yang hitam seolah berkabut, aku melihat jakunnya naik turun. "Berikan padaku." Kurasakan tangannya yang lain merayap di sekitar pinggulku. "Kanaya!" Demi apapun, suaranya yang seksi adalah sumber keruntuhanku.

Aku menggeleng lemah, terlalu bingung harus berkata apa. Bibir Boyd kembali, menyelimuti bibirku dengan bibirnya. Dia terasa seperti rokok dan minuman keras. Di tengah segala bujuk rayu lidahnya, aku tak mampu bertahan. Akhirnya aku menyerah, membuka mulutku untuknya. Dengan cepat Boyd menyelinap masuk, lidahnya mencariku dengan intensitas tajam yang membuatku mengerang.

"Boyd," aku terengah.

''Yah, sebut namaku," dia menarik lumatannya sebentar hanya untuk kembali mengulum bibirku. Jari kakiku melengkung, desiran gairah menghampiriku seperti badai yang tak terhentikan. Boyd mengangkat bokongku agar aku lebih dekat padanya. Aku harus berjinjit, setengah mati berdebat dalam batin kenapa aku malah membantunya melahap bibirku. Boyd menunduk, tidak membiarkan ciumannya melenceng.

Seharusnya aku tidak membiarkannya melakukan ini padaku. Aku tidak mengenalnya dengan baik. Dia seorang preman, punya tato dan berteman dengan pencopet. Tidak ada satupun dari bagian itu yang terdengar baik.

Tapi akal sehat seperti menjauh dariku, pergi tanpa tahu jalan pulang saat Boyd mencumbu bibirku dengan keahlian seorang laki-laki yang mengenal peta kenikmatan wanita. Dia hanya menciumku di bibir, tapi rasanya seolah belaiannya menyeluruh hingga ke setiap lapisan kulitku.

Kupikir aku sudah kehabisan napas saat Boyd menjauhkan kepalanya dariku, tapi kedua tanganku masih belum dilepasnya. Aku tidak sendiri dalam luapan gairah yang memuncak, Boyd terengah dan terlihat....jantan. dia tinggi dan besar, jika dia ingin mematahkan leherku, tidak butuh usaha keras. Tapi tangannya naik ke leherku, menyentuhku di sana dengan kelembutan nyaris sehalus kapas. Matanya yang gelap membutakanku akan akal sehat.

Lama kami saling menatap, tidak melakukan apapun. "Maaf," katanya, gusar. "Aku tidak....yah aku minta maaf."

Sementara dia memungut dompetku yang jatuh ke lantai ketika dia menciumku tadi, aku berdiri dengan limbung. Tanganku sudah dilepaskannya, aku memegang daun pintu agar tidak merosot ke lantai, kakiku seperti tak bertulang-tulang.

"Aku datang untuk mengembalikan dompetmu," dia berbicara, tapi aku hanya setengah mendengarkan. Ingatan bibirnya mengunci bibirku berputar-putar dalam benakku. "Yang tadi itu tidak masuk dalam rencanaku."

"Kau menyesal?" aku berhasil bicara, jemariku naik ke bibirku yang bengkak. Reny pasti menuntut penjelasan jika melihatku, mungkin sebentar lagi dia akan pulang.

Boyd menarik tanganku dan meletakkan dompetku di sana, tatapannya menunduk padaku. "Aku minta maaf karena membuatmu syok! Tapi aku tidak menyesal menciummu. Sekarang aku akan pulang." Dia mendekatkan wajahnya lagi, saat kupikir dia akan menciumku seperti yang dilakukannya beberapa saat lalu, Boyd mendaratkan bibirnya di keningku. "Selamat malam." Setelah mengatakan itu dia keluar dan pergi. Aku mencekram dompetku di dada, berusaha mengembalikan kesadaranku secara utuh. Rasanya sangat sulit.

Aku terkejut saat pintu di dorong sedikit, Reny terlonjak melihatku berdiri di baliknya. "Apa yang kau lakukan di sini, Ya?" Reny menatapku dari kepala hingga kaki. Satu kesimpulan hadir di matanya. "Aku baru saja berpapasan dengan pria bertato. Tinggi dan berbadan besar, jangan bilang kau baru saja melakukan ciuman panas dengan laki-laki itu!"

"Ren---"

"Dia Boyd, kan?"

Aku mengangguk pelan, menundukkan kepala karena tidak berani menatapnya. Reny pasti akan mengatakan pria seperti Boyd tidak baik untukku. Demi Tuhan, akupun tahu pria itu seharusnya orang terakhir yang kusukai. Boyd terlalu menyimpan kegelapan, terlalu lapar akan gairah dan...terlalu tampan.

Reny mengejutkanku dengan pelukannya serta kata-katanya selanjutnya. "Dari bibirmu yang seperti tersengat lebah itu, aku bisa melihat Boyd adalah pencium yang handal," dia tertawa sebentar. "Aku tidak bisa menyalahkanmu menyukai Boyd, dia sangat...eerrr...panas. tadi dia melirikku sekilas, wajahnya benar-benar tampan, Yaya."

Aku menggigit bibir bawahku menyembunyikan senyuman. Reny melepaskan pelukannya, selanjutnya dia menutup pintu. Ditariknya tanganku. "Ayo! Kita makan malam sambil kau menceritakan apa yang terjadi tadi sebelum aku datang."

***

Setelah suapan terakhir nasi dan ayam bakarku, akhirnya ceritaku selesai. Aku menceritakan semuanya pada Reny. Maksud kedatangan Boyd untuk mengembalikan dompetku, rasa terkejut pria itu saat melihat aku hampir tanpa busana, dan ciuman panas yang singkat namun berkesan itu.

"Dia langsung menciummu?" Reny menjilati jarinya yang terkena sambal, aku mengangguk. Merasa tidak perlu menutupi apapun dari sahabatku ini.

"Bisa dibilang dia menghambur ke dalam dan menciumku, Ren. Aku terkejut."

"Aku pasti sudah pingsan kalau didekati pria bertato seperti dia."

"Pingsan?"

"Pingsan karena terlalu senang!" Dia terkekeh. "Tapi," tambah Reny setelah tawanya reda. "Jangan terlalu menyukainya, Ya. Aku tidak ingin dia melukaimu. Aku tahu Boyd tampan, tapi dia juga berbahaya. Kau pasti juga merasakannya, setiap dia berjalan memancarkan ketegangan. Pelan-pelan saja."

Piringku yang sudah kosong kudorong ke tengah meja makan. Aku menaikkan kakiku ke kursi, menekuknya lalu meletakkan daguku di sana. "Aku tahu," kataku. "Boyd bukan seperti Ridho, laki-laki penjual roti langganan kita, yang terang-terangan menyukaiku itu. Ridho baik dan manis, dia tidak memiliki sisi gelap seperti Boyd. Tapi aku tidak bisa memaksa diriku menyukai Ridho padahal aku sudah mencoba. Sedangkan Boyd, aku berusaha menjauh darinya dan memblokir perasaanku terhadapnya, tapi tidak berhasil. Boyd memiliki kunci tak kasat mata untuk masuk ke pikiranku, dia menyimpannya. Aku bisa apa kalau sudah seperti itu, Ren?"

"Tidak ada," jawab Reny tenang. "Selain berhati-hati."

"Akan kucoba.''

"Boyd mengembalikan dompetmu."

''Yang di depanmu sekarang adalah dompet yang dia kembalikan."

Reny menarik dompet tersebut lalu membukanya. "Kau yakin dia tidak mengurangi isinya?" Kulihat Reny menghitung uang yang ada di dompet itu.

Aku tersenyum masam. "Dia bahkan menambahkan isinya." Tadinya aku hanya ingin memastikan bahwa kartu identitasku masih utuh, masalah uang yang ada di dalam tidak terlalu membuatku risau. Tapi aku dikejutkan dengan penambahan jumlah uang yang sebelumnya tidak ada di sana. Boyd mengisinya dengan uangnya sendiri, aku tidak tahu untuk apa dia melakukannyan.

''Waah, aku tidak tahu kau mengisi dompetmu dengan uang tunai sebanyak ini, Yaya."

"Aku sudah bilang, Boyd yang menambahkan uangnya."

"Tapi kenapa?" Perhatian Reny berpindah dari isi dompet kepadaku.

"Jangan tanya aku, aku juga tidak tahu. Aku akan mengembalikannya, aku tidak mau menerima uang itu. Apapun maksudnya memberiku uang itu, tidak bisa dibenarkan."

"Bagaimana caramu mengembalikan uangnya?"

Reny benar, bagaimana caranya? Aku tidak tahu nomor ponselnya, apalagi alamat rumahnya. "Aku akan mengembalikannya kalau bertemu lagi. Kalau kami tidak bertemu lagi, aku akan memberikannya kepada orang yang lebih membutuhkan."

Reny mengangguk, dia kembali menghitung uang yang ada di dalam dompet seolah itu ada gunanya. Lama dia menekuni pekerjaannya itu, kepalanya mendengak menatapku. "Oh, ya, besok malam kita jadi menonton konser?"

Ada konser band ibukota yang diadakan di lapangan merdeka, Reny antusias ingin pergi ke sana. Sudah seminggu terakhir kami merencanakan kepergian menonton konser itu, aku akan sangat kejam jika berubah pikiran di saat-saat terakhir. Akhirnya aku mengangguk, hingga membuat senyum Reny melebar.

"Tadi aku bertemu dengan Ridho saat beli ayam bakar, dia ingin pergi bersama kita kalau kita jadi pergi. Kau tidak keberatan, kan?"

"Terserah. Kita bisa menumpang mobilnya agar tidak perlu memanggil pak Warto untuk mengantar kita."

Reny menepuk tangan. "Kita akan bersenang-senang, Yaya. Kuharap Ridho berhasil membujuk temannya supaya ikut juga."

"Teman lain?" Aku menaikkan alisku.

"Iya, Kanaya. Maksudmu kau berjalan bersama Ridho sementara aku berperan sebagai obat nyamuk?" Di tutupnya dompetku dan mengembalikannya ke meja. "Aku akan punya pasangan besok, semoga teman Ridho tidak terlalu buruk."






Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro