Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB 4 - Kanaya

Bab 4

Air hangat mengucur membasahi kepala dan seluruh tubuhku. Suara erangan nikmat lolos dari bibirku, rasanya otot-otot kaku dan aura tegang sehabis mimpi buruk tadi malam menguap.

Reny memelukku sepanjang malam, cukup memberiku ketenangan hingga kembali tidur. Dia sahabat yang mengerti aku. Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan bila dia tidak mau ikut bersamaku ke Medan.

Melilitkan handuk ke badan, aku menatap pantulan diriku di depan cermin dalam pandangan kosong. Brad adalah mimpi terburuk, menjauhkannya dari alam bawah sadarku rasanya melelahkan. Sampai kapan hidupku dibayang-bayangi wajah dan suara menjijikannya. Haruskah seumur hidup aku harus dihantui perasaan takut ini?

Sudah ada suara-suara di bawah ketika aku turun. Reny memotong rambut seorang wanita yang terlihat bergaya, kutaksir usianya sekitar pertengahan empat puluh, dan Riris, pekerjaku yang lain, sedang mencuci rambut perempuan muda. Jika dilihat dari wajahnya, usianya tidak lebih dari dua puluh dua.

Riris menaikkan pandangan dari rambut yang dicucinya, ia tersenyum sekilas lalu kembali berbicara dengan perempuan itu. Riris gadis yang mungil, berkulit coklat dan sedikit pesek. Tapi wajahnya yang ceria menjadi poin lebih untukknya. Pelanggan menyukainya karena sikapnya yang ramah dan pandai bercerita, seringkali mereka kembali hanya untuk melihatnya berceloteh dengan semangat.

Hari masih pagi, sudah ada beberapa orang yang mengantri menunggu giliran. Entah itu ingin memotong rambut, facial, luluran, creambath, dan sebagainya. Aku tersenyum kepada mereka yang melirikku.

"Mau pergi sekarang, Ya?" tanya Reny disela merapikan rambut pasiennya, dia mendongak sekilas. Tangannya sangat terampil, bergerak lembut dan pasti memotong setiap helai rambut sesuai selera wanita itu.

"Pak Warto sudah datang?" tanyaku.

"Sudah, Ya. Kamu langsung keluar saja, pak Warto sudah menunggu."

"Jaga salon selama aku pergi ya, Ren."

"Sip, ibu bos."

Aku melontarkan senyum ke semua orang di sana lalu keluar dari salon. Udara pagi sejuk sehabis hujan segera menyapaku, aku menarik napas beberapa kali, membiarkan udara segar itu masuk ke paru-paruku. Salah satu kemewahan menghirup udara segar di pusat kota Medan.

Ada pasien yang ingin memakai jasaku untuk acara pernikahan putrinya bulan depan. Aku belum pernah bertemu dengan mereka, katanya mereka mendapat rekomendasi dari temannya yang sebelumnya sudah pernah memakai aku sebagai periasnya. Pagi ini aku akan ke rumahnya untuk membicarakan beberapa hal, termasuk biaya yang harus dibayar.

Kenapa harus aku yang datang ke sana dan bukannya mereka yang datang ke salonku?

Orang kaya punya caranya sendiri untuk menunjukan kekuasaan mereka, mengatur orang lain adalah salah satunya. Aku tidak keberatan menjadi pihak yang direpotkan, hanya tinggal menambahkan biayanya saja ke dalah daftar tagihan. Pekerjaan lebih pasti mendapat bayaran lebih.

Pak Warto membukakan pintu untukku. "Pagi, mbak." sapanya ramah.

"Pagi, Pak. Terimakasih." Sepanjang perjalanan kami mengobrol hal-hal ringan, Pak Warto adalah pria berusia empat puluh delapan, dia sudah punya cucu, dia sering menceritakannya, pak Warto adalah seorang kakek yang baik.

"Maaf semalam tidak bisa menjemput mbak, bengkelnya lama sekali selesai. Saya jadi merasa bersalah membuat mbak lama menunggu." Pak Warto melirikku dari kaca mobil, wajahnya yang sedikit keriput terlihat tidak enak.

"Tidak apa-apa, Pak," jawabku, tersenyum. "Saya diantar teman, tidak terjadi apapun pada saya."

"Saya lega waktu mbak bilang sudah tiba di rumah."

"Iya, tidak masalah, pak. Cucu bapak apa kabar?" Aku memutuskan mengubah topik pembicaraan. Walaupun ada hal yang terjadi ketika aku menunggu pak Warto semalam, tapi beliau tidak perlu tahu.

Membicarakan cucunya membuat raut wajahnya berubah sumringah. Dengan lancar pak Warto menceritakan kepandaian-kepandaian baru yang tengah dikuasi cucunya itu. Aku mendengarkan dengan senang, aku selalu suka cerita tentang anak-anak. Memberiku harapan bahwa suatu saat nanti aku juga akan memilikinya. Sebuah keluarga sendiri, suami dan anak-anak.

Aku telah sampai, aku menyuruh pak Warto pulang saja karena aku tidak tahu seberapa lama urusanku akan berlangsung. Aku akan pulang naik taksi. Ada beberapa barang yang lupa kubeli semalam, aku berencana ke toko setelah selesai dari sini.

Pelayan bertubuh gemuk mengarahkanku memasuki rumah besar itu, rumahnya benar-benar besar. Luas dan dipenuhi barang-barang mewah, guci-guci yang terlihat mahal berdiri di sekitar ruangan. Aku bergerak pelan, takut memecahkan salah satunya.

''Tunggu di ruang tamu saja, Non. Saya akan memberitahu---siapa namanya, Non?"

"Kanaya dari Rumah Cantik Seragih, mbok."

"Bentar ya." Pelayan itu meninggalkanku.

Sofanya terasa empuk di bokongku ketika aku duduk. Menunggu sang empunya rumah, aku memeriksa ponselku, membalas beberapa pesan.

"Halo. Ya ampun, maaf membuatmu menunggu."

Aku mendengak mendapati wanita paruh baya yang modis, dan dua gadis muda di sisi kanan kirinya. Aku tersenyum seraya berdiri. "Kanaya," gumamku dengan tangan terulur. Tangannya lembut saat menjabat tanganku.

"Panggil Tante Susi saja. Dan kedua gadis ini adalah putri-putriku, Lisna dan Agnes, dia menunjuk satu-persatu gadis-gadis muda itu.

Lisna berambut ombak dan sangat mirip dengannya, namun Agnes berambut lurus, dan wajahnya tidak memperlihatkan kemiripan dengan dua perempuan yang lain. Aku menjabat tangan mereka satu-persatu, keduanya cantik dengan caranya yang unik.

"Saya berpikir kau tidak secantik ini, Kay---tidak masalah, kan, saya memanggil kamu Kay?"

''Tidak apa-apa, Tante. Teman-teman saya memanggil saya Yaya, tapi kalau Tante lebih suka dengan panggilan Kay juga tidak masalah." Aku duduk kembali, mengambil buku kecil tempat aku biasa mencatat pembicaraanku dengan pasien yang ingin memakai jasaku. Biasanya ada warna-warna tertentu yang tidak mereka suka, atau jenis riasan yang ingin mereka pakai, dan keinginan-keinginan lain yang harus kuingat.

"Ternyata kau sangat cantik, saya tidak mengira kau semuda ini. Berapa usiamu?" Saat kupikir kami akan langsung membicarakan topik utama, tampaknya Nonya rumah ini masih ingin berbasa-basi.

"Dua puluh tiga, Tante." Aku tersenyum.

"Saya suka yang muda-muda, biasanya punya ide-ide segar. Temanku menyarankan kami memakai jasamu, kuharap kau memberikan yang terbaik. Lisna dan Agnes suka riasan natural tapi elegan. iya, kan, sayang?" Dilihatnya dua gadis yang lebih muda itu.

Kedua gadis yang ditanya mengangguk bersama. "Aku percayakan semuanya pada kak Kay, aku tidak terlalu mengerti perkara semacam itu." Lisna bergumam, melirik gadis di sampingnya, meminta pendapat.

''Aku juga," sahut Agnes. "Aku tidak suka make up menor."

"Tapi saya suka," cetus Nonya rumah dengan senyuman lebar. "Aku suka make up menor."

"Baik, Tante." Aku mencorat-coret catatan di bukuku. "Warna bajunya?"

"Kebaya hijau toska," Lisna yang menjawab. "Warna kesukaan ibuku."

Aku bisa melihat gadis itu tidak terlalu menyukai warna yang dipilih ibunya, tapi warna hijau toska tidak buruk di kulitnya yang putih bersih.

"Itu warna yang bagus, sayang," komentar ibunya. "Kau akan terlihat luar biasa mengenakannya."

"Tapi aku lebih suka kuning, Bu."

"Ya Tuhan, warna itu mengerikan, sayang. Seharusnya kau seperti Agnes, dia menurut saja ibu pilihkan warna. Dia gadis manis yang cantik."

Bibir Lisna mengkerut, namun ibunya mengabaikan. Wanita itu kembali melihatku, dia melipat tangannya di atas paha. "Putriku Tere, akan menikah di Siantar bulan depan. Kau tidak keberatan kan merias kami di sana?" Belum sempat aku menjawab, wanita itu menambahkan. "Saya akan membayar dengan pantas. Jangan khawatir, akan ada bonus untukmu."

"Dengan senang hati saya akan membantu, Tante." Pembicaraan berlanjut, mengenai sepatu yang cocok, warna tas juga menjadi perdebatan. Bahkan jenis kutek yang akan dipakai membutuhkan waktu dua puluh menit untuk memutuskan.

Lisna dan Agnes lebih sering diam, mereka tak dibiarkan memilih. Segalanya diputuskan oleh wanita yang lebih tua ini. Secara keseluruhan seleranya lumayan, hanya saja menurutku dia seharusnya meminta pendapat putrinya juga.

Agnes tidak mendebat saat dipilihkan warna untuk segala yang akan dikenakannnya nanti, gadis itu mengangguk pelan tanpa komentar. Dia sepertiku, ada sisi rapuh di dalam dirinya. Dia membiarkannya terlihat sedangkan aku tidak.

Sekitar sepuluh menit kemudian segalanya telah diputuskan. Jika ada tambahan-tambahan lain mereka akan menghubungiku.

****

Matahari sudah tinggi saat aku selesai belanja. Terik matahari membuatku berkeringat, aku menutupi kepala dengan tangan karena sangkin panasnya cuaca siang ini. Aku berjalan hati-hati di sisi angkutan umum yang lewat, menenteng plastik di tangan kanan dan dompet di tangan kiri. Barang-barang yang kubeli sekarang tidak sebanyak kemarin, karena hanya ada barang yang lupa kubeli saja.

Supir-supir becak yang mangkal di pinggir rancang menawariku jasanya. Aku menggeleng, masih ada satu barang yang perlu kubeli. Mungkin nanti setelah selesai semua, aku akan pulang naik salah satu becak itu.

Aku berdiri di pinggir jalan, menunggu mobil terakhir lewat agar bisa menyebrang. Aku berjalan dengan hati-hati seraya melihat kanan dan kiri jalan. Sedikit lagi aku berhasil menyebrang, sentakan kuat yang sakit menghantam tanganku. Melewati beberapa detik sebelum kemudian aku sadar, dompetku dicopet.

"Copettt," aku berteriak. Orang-orang kelihatannya lebih dulu menyadari apa yang terjadi. Mereka sudah mengejar si pencopet bahkan sebelum aku berteriak tadi. Aku berlari ikut mengejar. Tanganku masih nyeri akibat sentakan yang keras, tapi aku tidak bisa berdiam saja. Segalanya ada di dompet itu.

Napasku mulai terengah-engah dan kelelahan, aku tidak tahu ke mana lagi mengejar, yang lain pun tidak bisa menemukannya. Aku hampir ditabrak mobil karena tidak memperhatikan jalanku.

Aku terus berlari, mengikuti orang-orang yang masih mengejar. Sekali lagi, aku hampir saja dihantam mobil kalau tidak ada tangan yang menarikku. "Apa yang----"

"---apa kau sudah gila?" Teriakan berseru kasar di wajahku. "Kau akan membunuh dirimu sendiri kalau berlari seperti itu."

Pria itu Boyd. Laki-laki yang meneriakiku dengan lantang itu adalah Boyd. Badannya yang tinggi menjulang di depanku, tangannya memegang bahuku dalam cengkraman kuat, nyaris menyakitkan.

"Dompetku," bisikku serak. Aku bukan orang kaya, aku baru saja merintis bisnisku, dan semua uang yang kupunya ada di sana. Kartu identitasku juga ada di sana, membayangkan mengurusnya lagi kalau sampai hilang membuat kepalaku sakit.

Boyd membawaku ke warung kecil tak jauh dari tempatku hampir ditabrak tadi. Dia memesan air mineral untukku. Aku duduk perlahan di kursi plastik yang tersedia di sana. Boyd ikut duduk, dia mengambil minuman dari penjaga warung.

"Minum dulu!"

Aku mengambil botol air mineral itu, Boyd sudah membukanya hingga aku bisa langsung meminumnya. Aku menghabiskan setengah isi botol.

"Lebih baik?" tanyanya. Mengambil sisa minuman itu dariku lalu menghabiskan sisanya.

Aku mengangguk pelan. ''Tapi dompetku?" Aku menatapnya, menemukan wajah tampan yang rupawan. Sisi keras pribadinya terlihat dari pahatan tajam rahangnya dan tatap matanya. Rambutnya berantakan, sisi liarku yang jarang muncul ingin menyisirnya dengan jemariku.

"Dompetmu lebih berharga dari nyawamu?" sentaknya ketus, "kau tahu ini adalah pajak yang dihuni puluhan pencobet, tapi kau tidak berhati-hati."

"Kau menyalahkan aku?" Aku terkesiap. "Kau seharusnya membantuku mendapatkan dompetku kembali! Bukannya membentakku seperti ini." Sosok menyenangkan yang kutemui pertamakali kemarin bukan dia. Boyd yang mengantarku pulang adalah pria yang ramah walau bertampang kasar.

Boyd melempar botol minuman kosongnya ke tempat sampah. ''Kau akan mendapatkan dompetmu kembali."

"Itu tidak akan terjadi kalau aku tidak mencarinya."

Boyd tiba-tiba menarik tanganku. "Kuantar kau pulang!" Katanya, menunduk melihatku. "Sekali lagi kalau belanja di pusat pasar, pakailah tas yang tidak mudah ditarik."

"Berhentilah menyalahkanku."

"Aku tidak menyalahkanmu! Aku memberi saran; kau perempuan keras kepala. Kenapa kau sering membahayakan keselamatanmu? Sebelumnya kau berdiri seperti gadis tolol di tengah-tengah preman yang lebih dari siap melecehkanmu, sekarang kau berjalan-jalan seolah tempat ini taman bunga. Kau tidak memperhatikan sekelilingmu, Nona."

Sakit hati dengan semua perkataannya, aku menghempaskan tangannya. "Jangan sentuh aku," aku mendesis. "Aku bisa pulang sendiri."

"Jalan kaki?" Terdengar nada mengejek pada suaranya, hanya membuatku semakin marah. Dia tidak berhak memperlakukan aku seperti ini.

Aku membawa plastik belanjaanku yang sebelumnya kuletakkan di lantai, aku pergi menjauh darinya. Urusan aku pulang naik apa bisa kupikirkan nanti yang penting sekarang si Boyd brengsek itu tidak bersamaku.

"Masuk ke mobilku." Ternyata dia mengikutiku. Mengabaikannya, aku terus berjalan. "Aku minta maaf, oke?" Aku tetap mengabaikannya. Setelah kata-kata kasarnya yang tidak mengenal tempat tadi sekarang dia minta maaf?

Tanganku ditariknya. "Aku sudah minta maaf. Aku mengaku salah karena membentakmu, aku terbawa suasana. Sekarang masuk ke mobilku dan aku akan mengantarmu pulang."

''Aku serius bisa pulang sendiri. Sekarang masih tengah hari, aku tahu arah jalan pulang." Kucoba melepaskan tanganku tapi dia memegangnya kuat.

"Kau masuk ke mobilku atau dompetmu takkan kembali."

"Aku ragu kau bisa mendapatkannya."

"Bagaimana kalau kubilang kalau aku mengenal orang yang mencuri dompetmu?"

"Kau....kau..."

"Aku bukan pencopet, kalau pikiran itu yang ada di kepalamu! Aku mengenalnya, itu saja. Sekarang kau mau masuk atau tidak?"

Apa aku punya pilihan lain?
Pasti ada, tapi tidak ada yang lebih baik dari yang Boyd tawarkan. Aku sedikit ragu dia bisa mengembalikan dompetku. Aku tidak percaya dia berteman dengan para pencopet. Sebenarnya penampilannya sangat mendukung, tapi mobilnya bagus. Apa itu hasil curian?
Aku menggeleng, lantas bertanya. "Di mana mobilmu?"

"Tepat di sampingmu, sayang."







Tbc...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro