BB 21 - Boyd
Bab 21
Kanaya tertidur. Begitu nyaman dengan bibir sedikit terbuka, tangannya terlipat di pangkuannya. Sekilas aku menoleh ke belakang. Reny sedang menatapku, atau mungkin aku dan Kanaya yang sedang dia lihat. Dia mengangkat bahu, melontarkan senyuman tipis, kemudian kembali menutup mata.
Aku memegang kemudi dengan kedua tangan, meremasnya pelan selagi aku memikirkan apa yang telah terjadi. Sekarang semua orang yang penting untukku mengetahui hubunganku dengan Kanaya. Aku bisa melihat keterkejutan mereka, walaupun ditutupi dengan senyuman-senyuman. Mereka pasti tidak menyangka diriku mau berkomitmen.
Sebenarnya akupun sedikit tidak percaya telah memiliki seorang wanita yang kusebut pacar. Seseorang yang punya hak marah jika aku berdekatan dengan wanita lain. Satu lagi wanita yang mencemaskanku. Kanaya dengan jelas memberitahukan otoritasnya terhadapku. Biasanya aku tidak senang ada orang lain selain keluargaku yang menyuarakan keberatan terhadap apa yang kulakukan. Tapi Kanaya, dengan caranya dapat membuatku tersenyum---yang seharusnya kata-katanya terasa mengesalkan.
Aku baru dalam hubungan seperti ini. Dan rasanya sedikit menakutkan. Aku hampir selalu merindukan Kanaya, ingin terus mendengar suaranya. Aku tak tahu apakah itu wajar, yang aku tahu aku tak dapat mengendalikannya.
Rasa ingin melindunginya, begitu saja timbul dalam diriku. Aku ingin menghabisi siapapun yang berani menyakitinya. Bayangan dirinya terluka nyaris membuatku gila. Karena itulah aku kesal saat dia menanyakan pendapatku bila dia terluka. Hal itu bukan lelucon. Keselamatannya bukan bahan candaan.
Aku mengusap rambutku, hanya gerakan asal ketika terlalu banyak berpikir. Mobil Benget berada sekitar sepuluh meter dariku. Mobil itu melambat, kemudian berbelok ke sebuah rumah makan khas minang.
Alisku mengernyit, bingung. Aku mengikuti mobil mereka, berhenti tepat di belakangnya. Benget keluar dari mobil, disusul semua orang yang ada di mobil itu.
Aku menoleh pada Kanaya yang masih tidur. Aku tak ingin membangunkannya. Membuka pintu dengan sepelan mungkin agar tak mengganggunya, kemudian aku keluar dari mobilku.
"Kenapa berhenti?" Aku bertanya pada Benget. Reva, Lisna, dan Agnes pergi ke arah belakang rumah makan itu.
"Agnes ingin ke kamar mandi, Lisna lapar dan ingin makan, sementara Vera tiba-tiba sakit kepala," Benget mengangkat bahunya. "Di sinilah kita sekarang."
"Tidak apa-apa," ibu Benget berkata. "Kalian juga perlu istirahat. Kita tidak buru-buru. Biarkan setiap gadis mengurus masalah mereka masing-masing, setelah itu kita bisa jalan lagi.''
"Baiklah. Karena sudah berhenti seperti ini, kita ikut makan saja sekalian, Boyd. Aku juga lapar," dia memegang perutnya. "Segelas kopi juga pasti bagus, aku sedikit mengantuk."
Ibu Benget melotot. "Kusarankan kau minum dua gelas kopi. Kau tahu, banyak sekali kecelakaan terjadi karena supir yang mengantuk."
Benget memutar matanya, memilih tidak berkomentar apapun. Aku memukul bahunya pelan. "Mari kita lihat makanan yang ada. Aku juga lapar."
"Kanaya kenapa tidak ikut turun? Reny juga. Suruh mereka keluar." Ibu Benget melirik ke arah mobilku, lalu kembali padaku.
"Kanaya dan Reny tidur. Aku tidak ingin membangunkan mereka. Sebaiknya kita membungkus makanan untuk mereka, siapa tahu mereka lapar setelah bangun."
Aku memilih meja panjang yang terdiri dari delapan kursi. Setelah aku, Boyd dan ibunya duduk, tak lama kemudian tiga gadis penyebab kami berhenti datang.
Lisna menarik kursi dengan berisik, seolah rumah makan ini miliknya sendiri. Reva memijit keningnya, dan meringis beberapa kali. Kelihatannya dia benar-benar sakit kepala.
Pelayan perempuan menghampiri meja kami, dia melihatku dengan tersipu. Aku hampir mendengus melihat caranya menyampirkan rambutnya ke belakang telinga setiap tiga detik sekali. Pandangannya turun ke bahuku, lebih persisnya ke tatoku, dan wajahnya semakin merah. Ya Tuhan, apa yang ada di pikirannya sekarang?
Suaranya terlalu halus saat menanyakan pesanan kami. Saat semua pesanan selesai dicatat, dia mengangguk lalu pergi. Detik pelayan itu menghilang, senyuman-senyuman menghiasi wajah semua orang yang duduk bersamaku.
"Bang Boyd, kau memang sangat populer," Lisna tertawa kecil. "Aku yakin seribu persen pelayan tadi pasti akan memberi nomor ponselnya kalau abang minta."
"Dia lumayan cantik," timpal Reva. Padahal dia sedang sakit, tapi masih menyempatkan diri mengejekku. Benget menyikut lenganku, membuatku ingin mendorongnya saat melihat senyum mengejeknya.
"Tapi masih lebih cantik kak Kay." Yang itu suara adikku tersayang. Aku tersenyum pada Agnes. Sudah pasti lebih cantik gadisku.
"Pelayan itu datang," tukas ibu Benget. "Berhentilah membicarakannya."
Pelayan yang tidak kutahu namanya itu meletakkan pesanan kami di atas meja. "Sisa pesanan yang lain akan menyusul sebentar lagi." Katanya, berlalu pergi. Sebelum dia benar-benar pergi, dia tersenyum padaku. Kali ini aku benar-benar mendengus.
"Itu tidak sopan, Boyd," ujar ibu Benget.
Aku mengabaikannya. Seharusnya dia tahu kesopanan tidak bersaudara denganku, dia sendiri sudah mengakui itu. ''Mau kopi, Tante?" Aku mengangkat gelasku.
"Tidak, terimakasih! Akhir-akhir ini lambungku sering bermasalah."
"Tante sudah berobat?" Dia tidak terlihat sakit, kuharap bukan masalah serius. Dia satu-satunya yang bisa kuanggap ibu setelah ibu kandungku meninggal. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Agnes jika ibu Benget tidak ada. Meski sulit dipercaya, tapi aku dan Agnes bisa tetap waras karena memiliki dia. Dia memang cerewet, bahkan lebih sering membuatku kesal. Tapi aku tahu dia menyayangiku. Juga Agnes.
"Ck," dia mengibaskan tangan. "Memilah daging di piringnya. "Bukan masalah serius. Orangtua sepertiku memang lebih sering sakit."
Aku melihat Benget menatap ibunya dengan khawatir, rupanya diapun tidak diberitahu. Aku menyesap kopiku perlahan, masih panas.
"Kak Kay dan kak Reny tidak ikut makan?" tanya Lisna.
"Oh, iya. Pantas saja aku merasa seperti ada yang kurang, ke mana mereka?" Reva menimpali.
"Tidur," ibu Benget yang menjawab. "Boyd tidak ingin mengganggu tidur pacarnya."
Agnes membuka mulutnya, berniat mengatakan sesuatu namun batal saat pelayan tadi datang lagi. Membawa pesananku dan Benget. Aku dan Benget memesan ayam panggang.
Piring berisi nadi dan ikan diletakkan di depanku, menyusul dengan lalapan dan sambalnya. Pesanan Bengetpun di letakkan di depannya.
"Terimakasih," Benget tersenyum, tapi aku tidak. Aku tahu apa yang akan terjadi kalau itu kulakukan.
Mencium aroma lezat dari daging ayam yang ada di depanku, membuatku bertambah lapar. Aku mencuci tangan pada wadah yang telah disediakan, sudah akan menyantap makananku saat teringat sesuatu.
Aku menaikkan pandangan pada gadis berseragan merah tua itu. "Bungkus seperti yang kupesan ini dua porsi, sambalnya dipisah."
"Baik, Mas." Dia mengangguk. "Ada yang lain?"
''Tidak ada."
"Kupikir kalian meninggalkan aku dan Kanaya." Reny berdiri di ujung meja, rambutnya berantakan. Ada earphone melingkar di lehernya. Aku menoleh ke belakang, berharap menemukan gadisku. Tapi Kanaya tidak ada.
"Kau sendiri?" Aku bertanya.
"Iya. Kanaya masih tidur, aku tidak tega membangunkannya. Tapi kalau kau mau aku bisa membangunkannya sekarang. Dia juga pasti lapar."
"Tidak perlu. Kau duduk saja dan pesan makanan untukmu, aku sudah memesan untuk Kanaya. Biar dia makan setelah bangun saja."
Sepuluh menit kemudian pesanan Reny datang dan aku sudah selesai makan. Aku mengusap mulutku dengan punggung tanganku.
"Pakai tisu, Boyd!!" Ibu benget menatapku tidak suka.
"Lebih enak pakai tangan, Tante." Aku tersenyum. Berdiri, aku mengeluarkan dompet dari saku. "Aku akan membayar, dan langsung ke mobil saja. Aku akan menunggu kalian selesai di sana."
"Bang Boyd tidak mau lama-lama berpisah dengan kak Kay." Lisna berkata sambil mengunyah hingga mendapat teguran dari ibunya. Aku tertawa, dia benar sekali.
Ternyata pelayan genit tadi berada di balik meja kasir. Dia bekerja dengan dua pekerjaan? Kasir dan pelayan?
"Meja nomor 16, berapa semua biayanya?"
"Oh, saya sudah mencatatnya, Mas." Dia memberiku selembar kertas. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan. "Terimakasih sudah mampir di rumah makan kami," dia menyatukan telapak tangannya dan membungkuk sedikit.
Aku mengangguk, mengembalikan dompetku ke saku kemudian keluar. Struk di tanganku sudah akan kubuang, tapi tulisan di baliknya membuatku tertarik. Nomor ponsel? Ya Tuhan, pelayan itu luar biasa sekali. Seharusnya aku membuang kertas itu, tapi entah kenapa aku malah membawanya. Terlintas niat kecil di kepalaku.
Di luar gerimis, butiran air jatuh ke kepalaku. Aku berjalan cepat menuju mobil. Aku membuka pintu, menghempaskan bokongku di jok. Aku meletakkan bungkusan tadi ke dasboard.
Kanaya sudah bangun, masih terlihat bingung.
"Kau dari mana? Kenapa kita berhenti?"
Aku membanting pintu mobil tertutup. ''Reva sakit kepala, Agnes ingin ke kamar mandi dan Lisna lapar." Aku menatapnya, terpesona dengan wajah bangun tidurnya. Dia cantik. "Kau lapar?"
Kanaya menggeleng. Dia menarik ikat rambutnya dan merapikannya dengan ikat yang lebih kuat. "Reny juga tidak ada."
"Dia ikut makan."
"Kenapa aku tidak dibangunkan?"
"Kau tidur nyenyak, ay! Aku dan Reny tidak tega membangunkanmu."
Dia menatap ke luar kaca. "Hujan?"
"Gerimis." Aku mencari rokok di saku belakangku. "Keberatan aku berokok di sini?"
Dia menoleh cepat. "Coba saja!"
"Kau tinggal bilang keberatan, aku tidak akan merokok di sini." Rokok dan pemantik yang sudah kupegang kumasukkan lagi ke sakuku. "Biasanya aku merokok setelah makan."
"Itu kebiasan buruk, Boyd. Kau harus menghilangkannya."
Sebelumnya wanita yang tidur denganku tidak ada yang keberatan dengan kebiasaanku itu. Sepertinya aku harus menerima perubahan baru ini. Kanaya bukan hanya wanita yang kutiduri satu kali, dia kekasihku. Aku tidak bisa berjanji untuk langsung berhenti merokok, tapi aku akan berusaha menguranginya.
"Kau yakin tidak lapar? Aku membelikanmu ayam panggang, rasanya enak." Aku membuka bungkusan yang kubeli tadi.
"Baunya enak," Kanaya mendekatkan kepalanya, menunduk melirik isi plastik itu.
"Makanlah sambil menunggu mereka selesai. Kau melarangku merokok, jadi biarkan aku menontonmu makan."
"Apa ini?" Tangannya mengangkat struk si pelayan tadi. Sial! Sekarang aku menyesal tidak membuangnya saja tadi.
"Struk," jawabku.
"Sejak kapan struk ada nomor telepon di baliknya?"
"Itu nomor si pelayan yang menanyakan pesanan kami."
"Kau meminta nomor ponselnya?" Nada suaranya semakin kuat, aku hampir tertawa mendengar kecemburuannya. Dia sangat manis.
"Aku tidak memintanya, dia sendiri yang memberikannya."
"Dan kau menyimpannya?''
"Aku meletakkannya di plastik itu, bukan berarti aku menyimpannya. Kalau aku berniat seperti itu aku pasti meletakkannya di sakuku."
Kanaya meremas kertas itu hingga membentuk bola, kemudian melemparnya padaku. Aku tertawa, anehnya senang meskipun tatapannya sangat tajam.
''Aku tidak tertarik padanya," setelah tawaku reda, aku memegang tangannya, dia tidak menolak namun tidak mau menatapku. Dia marah.
"Ay---"
"Kau sengaja, kan?"
"Sengaja apa?"
"Membuatku cemburu."
"Hei," aku mendekatinya, memegang pipinya. "Kau benar-benar marah?"
Dia memukul bahuku dengan tangannya yang bebas. Pukulannya sama sekali tidak menyakitiku. "Perempuan mana yang tidak marah pacarnya menyimpan nomor ponsel gadis lain?"
"Aku hanya bercanda, sayang. Aku sudah bilang aku tidak tertarik dengannya. Aku sudah memilikimu, itu sudah cukup. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan gadis lain sementara hanya kau yang selalu ada di pikiranku?"
''Sekarang kau merayuku?"
"Tidak ada peraturan yang melarang merayu kekasih sendiri. Sungguh ay, itu hanya bercanda. Sekarang lebih baik kau makan, mumpung nasinya masih hangat."
Kanaya menatapku lama. "Kau yakin tidak tertarik pada pelayan itu?"
"Demi Tuhan, aku milikmu sepenuhnya, ay."
"Baiklah, aku mau makan sekarang." Plastik yang tadi sudah ditutupnya, dibukanya lagi.
"Aku membeli air mineral lebih, kalau kau berniat mencuci tangan."
"Tidak ada sendok?"
"Ada, tapi kalau aku lebih suka makan daging pakai tangan. Lebih puas."
"Tapi di sini tidak ada sabun untuk mencuci tangan."
"Pakai air saja."
"Jorok."
"Kita tidak tahu mereka memasaknya apakah mencuci tangannya lebih dulu sebelum memasak, kita tetap memakannya. Kalau kau tetap ingin cuci tangan pakai sabun, kamar mandi ada di belakang rumah makan itu. Jaraknya lumayan jauh, dan sepertinya gelap---"
"Baiklah. Baiklah. Aku cuci tangan pakai air saja. Aku bisa melihat kau sedang menakut-nakuitiku."
Aku tersenyum padanya. Kanaya keluar, mencuci tangannya, kemudian kembali masuk. Aku mengatur agar kertas nasinya berada di tempat yang tepat, agar Kanaya bisa makan dengan nyaman.
Akhirnya dia makan pakai tangan. Aku menontonnya memasukkan nasi ke mulutnya. Sial! Melihatnya menjilati saos dari sudut bibirnya membuatku terangsang.
"Mau?" tanyanya. Mungkin tatapan terangsangku disalahartikannya.
Aku mengangguk. Dia mengambil nasi di tangannya, hendak menyuapiku. Aku menggeleng. "Bukan itu."
"Lalu apa?" Apakah dia sepolos itu?
"Boleh aku mencicipi jarimu?"
"Eh?"
"Jari telunjuk."
"Boyd!!"
"Kumohon?"
Kanaya menatapku ragu. "Jangan di sini, Boyd!" Akhirnya dia paham.
Aku menghela napas. "Cepatlah selesaikan makanmu." Lebih lama menontonnya, aku ragu bisa menahan diri.
Aku mengerang lega saat Kanaya selesai makan, saat ini dia sedang keluar membuang plastik tempat makanan tadi sekalian mencuci tangan. Dia masuk ke mobil, mencari-cari sesuatu.
"Minum?" Di tangannya tidak ada lagi botol air mineral yang kuberikan tadi, mungkin sudah habis mencuci tangannya.
"Iya."
Aku mengambil botol air mineral yang lain. Membuka tutupnya, aku memberikan padanya. ''Sudah?" tanyaku saat dia menutup botol itu. "Sekarang naik ke pangkuanku!" Sial! Tidak bisa bercinta dengannya, setidaknya aku ingin mencium bibirnya.
"Tidak mau!" Dia menggeleng. "Reny bisa saja datang sebentar lagi."
"Oleh karena itu kita harus melakukannya cepat."
Kanaya terkesiap. "Bercinta sekarang?"
"Bukan bercinta! Aku ingin menciummu, Ay."
"Tetap tidak mau, aku tidak yakin kau tidak ingin lebih."
Aku ingin mengangkatnya saat itu juga, membawanya ke pangkuanku dan membuat bibirnya bengkak. Rombongan yang berjalan keluar dari rumah makan membatalkan niatku itu. Mereka sudah selesai makan dan sedang berjalan ke mobil.
Aku mengerang. Kanaya terkekeh di sampingku. "Untung aku tidak mengiyakan permintaanmu. Sepuluh menit takkan cukup untukmu. Sementara kau melakukannya, Reny sudah sampai di mobil dan dia akan melihat kita berciuman. Lagi."
"Ay---"
''Nanti, Boyd," bisik Kanaya, mengusap pipiku. "Setelah sampai aku akan mengurusmu."
"Akan kutagih nanti." Aku berencana membuatnya memohon untukku berhenti. "Kupastikan kau tidak bisa lari."
"Aku tidak ingin tidak bisa berjalan besok pagi, Boyd. Tahan gairahmu."
Aku tidak bisa berjanji untuk hal yang sudah jelas akan kuingkari.
Tbc...
Masih menunggu bang Boyd??
Maaf agak lama, ada masalah sedikit😂😂😂
Tapi tetap double up, kan???
Terimakasih untuk komen yang berlimpah di part sebelumnya. Semoga di part ini juga sama😍😍😍
Ps. Min 100 komen untu cepat up date😄😄😄
Semoga suka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro