BB 2 - Kanaya
Bab 2
Aku tidak tahu apakah ini yang disebut keluar dari mulut singa dan malah masuk ke bulut buaya.
Laki-laki yang bernama Denny tadi berpenampilan urakan, dan sangat serampangan. Rambutnya dicat warna pirang, sehingga terlihat mengerikan dikulitnya yang hitam. Napasnya bau alkohol saat dia bicara tadi, matanya tak terarah dan liar. Ada bekas luka jahitan di pipinya, aku tidak suka suaranya yang menakutkan. Aku yakin aku pasti akan jadi mangsa empuk buatnya kalau tidak ada Boyd.
Boyd sebenarnya hanya sedikit lebih baik dari segi penampilan. Aku bergidik melihat tato di sepanjang lengan kirinya. Tato itu hanya akan tertutup jika mengenakan pakaian berlengan panjang. Saat ini dia memakai kaos lengan pendek, sehingga tato itu terlihat sampai ke atas. Aku berani bertaruh tato tersebut bukan satu-satunya tato yang dia punya. Pikiran nakalku yang tidak tahu diri penasaran dimana-mana saja letak tatonya.
Boyd, bisa dibilang berwajah tampan, malah sangat tampan. Aku bersyukur dia tipe pria yang fokus ketika mengemudi, jadi dia tidak tahu aku memperhatikannya diam-diam. Dia berbadan besar, laki-laki paling tinggi yang pernah kutemui. Otot lengannya tercetak jelas di kaosnya, dia memiliki kekuatan. Aku sadari itu. Dari caranya menatap Denny tadi, tak ada ketakutan di sana. Padahal Denny, meskipun bertampang belagu, masih terlihat terintimidasi padanya.
Aku tak mengenalnya---bahkan tadi dia sempat keberatan menjabat tanganku---dan merasa seperti orang bodoh dengan mau begitu saja naik ke mobilnya. Bisa saja dia tak ubahnya dengan Denny, secara, penampilan tidak bisa membuatku tenang. Dia punya mobil bagus, tapi sepertinya kekurangan uang membeli pakaian. Celananya robek di sana-sini.
Sejauh ini, arah mobilnya menuju ke rumahku. Aku baru lima bulan tinggal di Medan, selama itu aku mencoba mengingat arah jalan. Aku lumayan berhasil, aku sering pergi sendiri sebulan terakhir dan bisa pulang dengan selamat tiba di rumah.
Sudah beberapa menit kami berkendara, hanya ada kesunyian. Sesekali terdengar erangan dari arah belakang, tepatnya jok belakang, suara itu hanya membuat suasana kian tidak enak. Tidak ada musik, aku tidak berani mengusulkan untuk menyalakannya, itu pasti terlalu lancang dalam posisiku.
Jalanan sedikit macet karena hujan turun lagi, Boyd menjalankan mobilnya dengan tenang, tak sekalipun dia menggerutu. Tampangnya yang kasar tidak sesuai dengan sikapnya yang tenang.
Kesunyian di dalam mobil dipecahkan oleh suara dering ponselnya. Boyd menggeser sedikit bokongnya demi mengambil ponselnya dari dalam saku. Kulihat sekilas dia melirik ponsel, kemudian mengernyit. Dia menyerahkan ponselnya padaku. "Tolong jawab untukku," katanya. "Bilang saja aku sedang mengemudi, tidak bisa menjawab telepon."
Meskipun dengan sedikit bingung, aku melakukan seperti yang diasuruh. Ternyata itu tantenya, ibu Benget. Hanya ingin memastikan putranya sudah dalam perjalanan pulang. Aku mengembalikan ponsel itu padanya setelah panggilan selesai.
"Kenapa bukan kau saja yang menjawab?" Pembicaraan itu hanya sebentar, aku sering melihat orang bertelepon sambil mengemudi.
"Ayah dan ibuku meninggal karena bertelepon sambil mengemudi. Mereka tidak memperhatikan jalan, sebuah truk bermuatan penuh menabrak mobilnya." Aku mendengar nada getir dalam suaranya, dia menggeleng. "Aku punya adik perempuan yang tinggal memilikiku, kalau aku pergi dia tidak punya siapa-siapa lagi."
"Aku menyesal."
"Kematian mereka bukan kesalahanmu," dia tersenyum kecil. "Bukan masalah."
Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa ayah dan ibuku. Meskipun sekarang mereka berada jauh dariku, tapi kami selalu berkirim kabar. Sesekali melakukan video call. Aku sangat menyangi mereka, begitupun sebaliknya.
"Kedua orangtuaku tinggal di Jakarta, aku bersyukur masih memiliki mereka."
Boyd menghentikan mobil karena macet, iring-iringan kendaran di depan melakukan hal yang sama. Dia menoleh lantas bertanya. "Kau tinggal di sini sendiri?"
"Bisa dibilang begitu," aku mengangguk. "Hanya dengan teman."
"Kau bekerja apa?"
"Aku punya salon, belanjaanku tadi adalah keperluan untuk salonku. Baru lima bulan aku tinggal di Medan."
"Kenapa Medan?"
''Hah?"
"Maksudku kenapa kau memilih Medan? Padahal di Jakarta juga prospek untuk salon jauh lebih besar."
Karena ingin menjauh dari seseorang, batinku menjawab. "Aku suka suasana baru," itu tidak sepenuhnya bohong. Aku pindah ke Medan memang karena ingin melupakan dia, dengan lingkungan dan kota yang baru. Membahas masa-masa buruk itu adalah hal terakhir yang kuinginkan, aku ingin memendamnya sedalam-dalamnya hingga takkan pernah muncul di permukaan lagi. "Kota Medan terbukti tidak buruk," aku menambahkan. "Sejauh ini pelanggan di salonku terus bertambah."
Beberapa saat mengobrol dengannya ternyata tidak buruk, Boyd lumayan asyik sebagai teman bicara. Dia tidak menuntut jawaban, tahu batasan-batasan yang harus dibahas. Aku jadi tahu, di balik penampilannya yang kasar, tersimpan laki-laki yang sangat menyayangi adiknya. Dia bisa saja memiliki banyak tato, tapi aku tahu dia bukan pria jahat. Dia unik dengan caranya sendiri. Aku mendapati diriku ingin pertemuan kami ini bukan yang terakhir kalinya.
"Yang itu," aku menunjuk gedung bercat merah muda---sengaja kucat warna itu supaya lebih feninin---dan bertingkat. Aku menjadikan lantai bawah sebagai salon, dan lantai atas tempat tinggal. "Parkir di depan saja."
Boyd dengan mulus membelokkan mobilnya lalu berhenti di antara dua mobil yang mengapitnya. Dia melihat gedung tempatku tinggal, pandangannya menilai tapi tidak berbicara.
Dia ikut turun bersamaku, membantu membawakan barang-barangku. "Terimakasih." Aku merasa bersalah sempat berpikiran buruk tentangnya tadi. "Mau mampir? Aku bisa buatkan teh."
Diletakkannya plastik terakhir di bawah kakiku, kepalanya menggeleng. "Mungkin lain kali saja," alam bawah sadarku langsung bangun saat dia menyebutkan lain kali. "Aku harus mengantar Benget." Tangannya menyugar rambutnya hingga rambut yang sebelumnya sudah berantakan jadi semakin berantakan. Aku menepis keinginan konyolku, yang ingin merapikan rambut ikalnya itu. Alih-alih aku tersenyum.
''Sekali lagi terimakasih! Untuk menyelamatkanku dari Denny dan sudah mengantarkanku pulang.''
Boyd membalas senyumku dengan senyum miringnya. Dia masuk kembali ke mobilnya, membunyikan klakson satu kali kemudian pergi.
Aku masih memandangi mobilnya hingga mobil itu hilang bersama mobil-mobil lain yang lewat. Aku menatap jam di ponselku, sudah pukul setengah sembilan malam.
****
"Kau pulang naik apa?" Reny membuka pintu setelah kutelepon, memberitahunya aku sudah ada di depan. Hari ini salonku tutup, salah satu hari libur wajib dalam satu bulan, karena di hari ini aku pergi ke grosir untuk membeli barang-barang perlengkapan salon. "Pak Warto tadi memberitahuku kalau dia akan terlambat, mobilnya rusak." Pak Warto ada supir paruh waktu yang kepekerjakan untuk mengantar kami jika ingin pergi, aku dan Reny masih belum berani berkendara sendiri di kota Medan ini.
"Aku baru saja menyuruh pak Warto pulang. Tadi aku diantar sama orang lain. Jangat cemas," aku menambahkan karena wajah terkejutnya. Reny tahu aku belum punya kenalan yang cukup akrab di sini. "Namanya Boyd, dia bukan orang jahat. Kau bisa lihat sendiri, aku sampai dengan selamat."
Reny membantuku membawa barang belanjaan. "Lain kali jangan terlalu percaya sama orang yang baru kau kenal, Ya," ujarnya di belakangku. "Apalagi laki-laki."
"Aku juga tidak percaya padanya," setelah semua barang berada di dalam aku menutup pintu. "Tapi aku tidak punya pilihan.'' Kulihat Reny naik ke atas, aku mengikutinya. "Tadi ada laki-laki yang bermaksud jahat padaku."
Dia menoleh, ikatan rambutnya yang berantakan memberitahuku kalau dia tadi sudah sempat tidur. Gadis yang satu ini kalau tidur, sangat tidak cantik. Untuk dia baik, sahabat terbaikku. Dia mau ikut dengnku ke Medan, meninggalkan pekerjaannya yang menjanjikan di Jakarta sana.
"Bermaksud jahat?" tanyanya, memperhatikanku dari atas ke bawah, memastikan aku baik-baik saja.
"Aku tidak kenapa-napa, Ren. Boyd datang di saat yang tepat."
"Aku lega mendengarnya."
Dapur kecil yang sengaja dibuat di atas agar tidak mengganggu pekerjaan dibawah didesain dengan seminimalis mungkin, tapi tetap terlihat rapi. Reny mengikutiku yang berjalan memasuki dapur.
"Aku lapar," seruku. Aku menunduk lalu membuka kulkas dan mencari cemilan. Ada sisa roti coklat yang dibeli Reny kembarin. Kukeluarkan roti itu bersama susu coklat kotak, aku meletakkannya di atas meja. "Kau sudah makan?" Aku melirik Reny yang membaringkan kepalanya di atas meja, kelihatannya dia benar-benar ngantuk.
"Mie goreng dengan sambal pecal, aku tadi memasaknya, masih ada sisa. Kalau kau mau, habiskan saja sisanya."
Aku nyengir. "Kau tahu saja makanan kesukaanku. Aku akan memakannya setelah menghabiskan kue dan susu ini."
Reny menaikkan kepalanya dan melirikku, alisnya yang lebat sedikit naik. "Aku tidak percaya kau bisa makan sebanyak itu dan tetap langsing."
"Anugerah Tuhan, Ren." Jawabku sambil tersenyum. Setelah menelan habis roti coklatku aku menandaskan susu coklat kemudian.
Reny cemberut. "Aku bahkan hanya makan sedikit tapi tiap bulan berat badanku naik. Enam bulan lagi aku yakin aku akan seperti lontong."
"Itu baru kutukan Tuhan, Ren." Aku buru-buru menghindar saat dia mengangkat kotak tisu. "Aku cuma bercanda," tapi wajah Reny tetap ditekuk.
Aku pergi mengambil makan malamku, mie sambal pecal. Hhmm, yummii...
Aroma kacangnya sudah membuat perutku berbunyi, jelas sekali dua potong roti dan sekotak susu belum cukup menentramkan cacing-cacing dalam perutku. Aku memindahkannya ke dalam piring kemudian membawanya kembali ke meja makan, di sana Reny kembali membaringkan kepalanya.
"Ngantuk?"
"Hooh," jawabnya seadanya. "Habis semalam nggak tidur karena marathon nonton korea."
"Syukur aku tidak penggila korea sepertimu." Reny bisa tidak tidur hanya karena menonton drama korea, kalau aku jadi dia pasti sudah tepar. Selain hoby makan aku juga hoby tidur. Yah setidaknya aku memberi waktu untuk mengistirahatkan otakku setelah seharian berkutat dengan para pelanggan. Kalau sampai aku kurang tidur, bisa-bisa wajah orang-orang yang ku-make up jadi coreng-moreng.
"Ren?"
"Hhhmm.''
"Ren?"
"Apa, Yaya?"
"Ren?"
"Apa, sih?"
''Kepalanya dinaikin dong kalau menjawab," aku tertawa melihat dia menaikkan kepalanya dengan manyun. "Aku mau cerita."
"Cerita apa?"
"Soal Boyd."
"Tadi kan sudah."
"Mana ada," bantahku. "Dia ganteng, lho."
"Terus?"
"Ck, kau merusak selera makanku saja."
"Ya ampun Yaya, kamu seperti belum pernah melihat cowok ganteng saja."
"Tapi yang ini beda."
"Bedanya,"
"Hhhmm, pokoknya dia beda, Ren. Biasanya aku tidak suka dengan laki-laki yang punya tato kan, tapi kalau Boyd aku suka."
"Jadi laki-laki itu punya tato?"
"Hoo," aku mengangguk, mengunyah pelan mie yang ada di mulutku. Rasanya enak, Reny memang jago masak.
"Dan kamu suka dia?"
"Hoo, Ren. Hari ini aku bertemu beberapa laki-laki aneh. Yang pertama Benget; sepupunya Boyd, terus Denny, lalu Boyd."
"Benar-benar hari yang sial."
Aku sejutu. "Selain pertemuanku dengan Boyd, tentu saja. Aku suka bagian itu. Malah aku ingin bertemu dengannya lagi."
"Oh, ya," Reny memutar bola matanya. "Kau pasti ingin melihat tatonya lagi."
"Kok kamu tahu?"
"Yah...bukan Boyd yang beda, tapi kamu. Kelihatannya cowok tampan bertato itu telah memesonamu, Ya."
Meski enggan, aku mengakui apa yang dikatakan Reny benar. Sosok Boyd terus ada di dalam kepalaku, aku memikirkannya. Aku belum pernah merasakan ketertarikan pada laki-laki seperti yang kurasakan pada Boyd. Ketengannya membuatku penasaran, ingin berada lebih lama bersamanya untuk mengenal pria seperti apa dirinya.
Aku mendapati bibirku tersenyum mengingat kedekatan kami tadi. Yang singkat, namun bisa menganggu pikiranku. Aku bertanya-tanya, apakah Boyd merasakan apa yang kurasakan padanya?
****
Suara itu lagi! Kenapa aku bisa mendengarnya sekarang? Bukankah saat ini aku berada begitu jauh darinya?
"Kau memang cantik, Yaya! Bisa kita ulangi yang kemarin? Rasanya nikmat sekali, sungguh."
Aku menggeleng keras-keras, memohon padanya tidak menyentuhku lagi. Tapi kenapa suaraku tidak bisa keluar? Air mataku membasahi pipiku akibat rasa sakit dan taku.
Tidak. Tidak lagi. Aku pasti hancur kalau dia kembali menyentuhku.
"Jangan! Kumohon, jangan!!" Dia tidak mau memudarkan senyuman kejamnya, dia makhluk yang mengerikan.
"Yaya sayang, buka kakimu untukku, dan kita akan bersenang-senang."
"TIDAKKK." Peluh membasahi sekujur tubuhku. Aku bersandar di kepala ranjang dengan napas terengah-engah, kututup wajahku, berusaha menepis bayangan Brad dari pikiranku.
Kenapa aku memimpikiannya? Sejak pindah ke Medan aku tidak pernah beemimpi tentangnya, apa yang terjadi padaku?
Kepalaku pusing, bangun tiba-tiba seperti itu membuatku terkejut. Aku mengambil beberapa saat untuk menenangkan degup jantungku yang kencang, nyaris terasa sakit.
Kusibak selimut dari pinggangku, aku turun dari tempat tidur. Tali jubah tidurku kukencangkan sebelum kemudian aku keluar dari kamar. Seharusnya aku tidak menganggu Reny selarut ini, tapi aku tidak punya orang lain tempatku bercerita. Reny selalu bisa menenangkanku setelah mimpi buruk, selain orangtuaku dialah satu-satunya yang kuberitahu tentang masa kelam itu.
Sepanjang perjalanan menuju kamarnya---yang sebenarnya tidak jauh dari kamarku---aku bertanya-tanya apakah pertemuanku dengan Denny tadi yang membuat mimpi itu muncul lagi? Atau Boyd?
Entahlah, kedua pria itu sama-sama tidak baik bagiku. Denny memancarkan apa yang ada di diri Brad. Kejam dan penuh kelicikan. Boyd juga melukiskan sosok bajingan, namun aku tidak bisa memastikan apakah dia bajingan kejam seperti Brad.
Rasa sakit di kepalaku kembali ketika aku memikirkannya. Satu-satunya cara agar aku bisa melupakan pria kejam itu, Brad, adalah dengan menghindari jenis pria yang sama seperti dia. Itulah yang dikatakan dokter terapisku. Sejauh ini aku berhasil melakukannya, sebelum bertemu Denny dan Boyd tadi sore.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro