Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB 18 - Kanaya


Bab 18

"Tadi malam Boyd datang, kan?" Reny merapikan piring kotor di atas meja, sesekali tatapannya mengunciku, menanti jawaban. Kami baru saja selesai makan malam setelah menutup salon. Masih jam delapan malam sebenarnya, biasanya salon belum tutup hingga pukul sepuluh. Tapi itu dulu, sebelum insiden pembobol itu.

Sejak saat itu Boyd melarangku membuka salon hingga larut, padahal menurutku pukul sepuluh belum larut. Tapi Boyd tidak mendengarkanku. Dia tak memberiku pilihan. Tatapan tajamnya yang mengintimidasi membuatku menyerah. Sebenarnya aku benci pada diriku yang tidak berkutik di bawah kendalinya.

Sekarang dia merasa memiliki aku sepenuhnya, membuat pusat duniaku berputar di sekelilingnya. Aku tahu dia ingin aku aman, karena itulah aku mengiyakan permintaannya. Kalau itu bisa membuatnya tenang, akan kulakukan.

Tadi malam Boyd memang datang, hampir tengah malam. Reny sudah tidur, kupikir dia tidak mendengarnya. Aku tidak tahu ada apa dengan semua kunjungan larutnya. Apakah Boyd sesibuk itu?

"Aku tidak tahu kau masih bangun," jawabku sambil menyesap teh yang dibuatkan Reny. "Dia datang pukul setengah dua belas. Kupikir kau sudah tidur."

"Aku terbangun," katanya. "Tapi aku tidak turun, aku tahu untuk tidak mengganggu." Setelah meletakkan piring kotor ke atas bak cuci piring, dia kembali duduk di depanku, tersenyum kecil. "Aku hanya mendengar samar-samar kalian bicara. Tenang saja aku tidak mendengar dengan jelas."

Aku berlama-lama menyesap tehku. Tidak ada pembicaraan yang membuatku malu jika Reny mendengar tadi malam. Boyd bahkan lebih banyak diam, dia terlihat lelah. Aku membiarkannya tidur di pangkuanku, mengusap rambutnya hingga dia tertidur. Namun saat dia akan pulang, Boyd menciumku. Itulah yang tak ingin kuingin Reny tahu.

Saat itu Boyd menciumku seperti orang kelaparan, erangannya sangat berisik. Aku hampir membiarkannya memilikiku di sofa ruang tunggu, untung saja akal sehatku segera kembali. Sama halnya dengan Boyd. Dia menarik diri di saat yang tepat. Jika ciuman itu berlanjut lebih lama, aku yakin akan bercinta di sana saat itu juga, melupakan bahwa Reny ada di kamar.

"Malam ini dia akan datang?"

"Aku tidak tahu," jawabku jujur. Boyd tidak mengatakan akan datang.

"Kenapa dia selalu datang larut?"

Aku mengangkat bahu. "Aku tidak tahu," betapa menyedihkan jawaban itu. "Boyd bilang dia tidak mau mengganggu aku bekerja, dan dia juga sepertinya sibuk." Apakah jawaban itu dapat membenarkan apa yang dilakukan Boyd?

"Ya?"

"Hhmm?" Aku menatap Reny dari atas gelasku.

"Kau yakin dengan Boyd? Maksudku, kau benar-benar menyukainya?''

Reny tahu apa yang terjadi padaku setelah Brad membuat duniaku hancur, aku seperti kehilangan arah. Sekarang dia pasti mencemaskan hal yang sama terhadap Boyd. Paras Boyd yang keras, badannya yang besar ditambah semua tato itu, menurutku wajar dia khawatir.

Aku tersenyum. "Boyd tidak seperti Brad, Ren." Entah kenapa aku sangat yakin, aku memercayainya begitu saja. "Dia peduli padaku, dia bahkan mau repot memperbaiki pintu kita. Dia memastikan aku aman, tidak pernah menyakitiku. Dia berbeda dengan Brad."

Kudengar Reny menghela napas. "Aku tahu!" Katanya pelan. "Maaf karena telah berpikir buruk tentangnya."

Aku memegang tangan Reny di atas meja. "Terimakasi, aku menghargainya. Aku senang ada orang lain yang peduli padaku selain kedua orangtuaku, apalagi orang itu adalah sahabatku sendiri."

Reny tersenyum. "Baiklah, aku mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua. Ngomong-ngomong, kau sudah bilang pada Boyd kalau akan pergi ke Siantar?"

Pernikahan salah satu pelangganku, lebih tepatnya putrinya. Diadakan di Siantar. Aku akan ikut bersama mereka karena mereka memakai jasaku. Aku selalu lupa memberitahu Boyd, selalu saja perhatianku teralihkan jika aku berdua saja dengannya.

"Belum. Rencananya malam ini kalau dia datang."

"Acaranya lusa, kan?"

"Iya, kita berangkat besok malam. Acaranya lusa pagi." Reny akan ikut bersamaku untuk membantu. Saat aku memberitahunya beberapa minggu yang lalu dia terdengar sangat bersemangat, sekarangpun begitu.

"Aku akan siap."

Kemudian kami mengobrolkan banyak hal. Dari satu topik melompat ke topik lain lalu kembali ke topik pertama. Reny dan aku tertawa pada bagian-bagian yang lucu. Senang rasanya punya teman yang mengerti dan peduli.

Setelah beberapa saat Reny menguap. Tidak terasa sudah pukul sepuluh malam.

"Sepertinya aku akan ke kamar," sekali lagi dia menguap. "Sudah mulai ngantuk. Mungkin karena terlalu kenyang, aku menghabiskan semua makanan yang kau sisahkan."

Aku tertawa. "Aku juga akan masuk ke kamarku."

"Kau tak ingin menunggu Boyd?"

"Aku tidak tahu apakah dia akan datang. Biar aku menunggu di kamar saja. Kalau dia datang dia pasti meneleponku."

"Oke, semoga dia datang," Reny mengerlingkan mata. ''Aku bisa melihat kau berharap dia datang."

Wajahku memanas, apakah aku setransparan itu?

"Apakah salah mengharap kedatangan kekasih?"

"Aku tidak bilang salah, Yaya! Aku paham, kok. Aku juga pernah jatuh cinta." Reny pergi setelah mengerling satukali lagi.

Jatuh cinta?
Apakah sekarang aku jatuh cinta?

Aku menggelengkan kepala. Terlalu cepat untuk memutuskan. Aku menyukainya, iya. Aku peduli padanya, itu juga benar. Tapi cinta? Aku belum berani mengakuinya. Aku tak ingin terburu-buru dalam menentukan perasaan. Biarlah mengalir apa adanya. Bila benar aku jatuh cinta, pada saatnya nanti pasti rasa itu akan nyata.

Aku melewati pintu kamar Reny yang tertutup, tak terdengar apapun dari dalam sana. Secepat itukah dia tidur?

Aku menghempaskan punggungku ke tempat tidur, menatap langit-langit kamar. Aku mengambil ponselku, kemudian menghela napas saat tak ada panggilan ataupun pesan dari Boyd. Memutuskan untuk tidur, aku meletakkan kembali ponselku ke nakas. Aku mematikan lampu dan tidur.

Aku merasa baru tidut sepuluh menit saat ponselku berdering. Sebentar aku mengerang, sedikit kesal dibangunkan dari tidur nyenyakku. Tanganku menggapi ponsel, membawanya ke depan mataku. Aku menyipit membaca kontak si penelepon.

Boyd.

Ya Tuhan, dia datang?

Panggilannya selesai kemudian dia mengirim pesan.

My Boy;
Kau masih bangun? Aku di depan rumahmu.

Me;
Aku turun.

Aku menyibak selimut kemudian turun dari tempat tidur. Aku merapikan rambutku dalam perjalanan menuruni tangga. Aku membuka pintu depan, Boyd berdiri dengan rokok di antara jarinya dan sedang ingin menghisapnya. Aku memberengut ke arah rokoknya.

Dia tersenyum lebar, menjatuhkan rokok itu ke tanah dan menginjaknya. "Malam," suaranya serak. Apakah itu serak dari rokok, atau alkohol, atau memang suaranya seperti itu. Terlalu jantan untukku, membuatku bergidik padahal tak ada angin yang berhembus.

"Aku tidak suka kau merokok, Boyd."

Dia masuk dan mengunci pintu di belakangnya. "Akan kukurangi, sayang."

"Tapi aku ingin kau berhenti bukannya mengurangi."

Kedua tangannya menangkup pipiku. "Aku baru datang, jangan langsung marah-marah."

Aku ingin memprotes lagi namun bibirnya membungkamku, memenuhi mulutku dengan lidahnya. Boyd menciumku cepat, saat dia menarik diri aku bisa mendengar erangan tak relaku.

Kudengar dia tertawa. "Ketagihan, eh?"

Wajahku memanas, aku yakin pasti sudah memerah. Dan Boyd tertawa lagi. Dia menunduk, kembali menciumku. Kali ini lebih lembut dari yang tadi, belitan lidahnya seolah menari di antara gigiku.

Satu tangannya di tengkukku, tangannya yang lain memeluk pinggangku, membantuku berjinjit agar lebih pas dalam lumatannya. Aku memegang bahunya yang berotot. Boyd tidak meringis, itu berarti lukanya sudah sembuh.

Erangan dan lenguhan tak terhindarkan, lolos dari sela bibirku ketika Boyd beralih ke leherku. Dia menghisapku di sana. Dia salah jika melepaskan bibirku untuk memberiku waktu bernapas, karena situasi sekarang tidak lebih baik. Jari-jari kakiku melengkung, tergelitik oleh gairah yang menyebabkan kepalaku seolah dipenuhi bintang-bintang.

Boyd menggeram, kembali meraup bibirku. Melumatnya dalam segala cara yang dia bisa.

"Kumohon!!" Nada suaranya memohon, tatapannya tak pasti, napasnya pun terengah. Sama sepertiku.

"Apa?" Aku berhasil bersuara, meskipun sama seraknya dengan dia.

Boyd memberiku ciuman-ciuman kecil. Dari kening, mata, hidung, pipi, kemudian bibir. "Aku menginginkanmu."

Aku lagi-lagi melenguh, Boyd menarikku merapat padanya, merasakan bukti gairahnya. "Boyd." Aku tak tahu apa yang kuinginkan, aku gemetar dari kaki sampai kepala.

"Kita ke kamarmu!"

Aku mungkin sudah tak tertolong lagi. Aku pasrah saja ketika tanggannya menarikku, menaiki tangga dan masuk ke kamarku. Boyd mengunci kemudian mengantongi kuncinya. Apa yang dia lakukan?

"Di mana kamar Reny?"

Aku terlalu terpana untuk bicara.

"Apakah dia bisa mendengar kita sekarang?"

Aku menggeleng lemah, sama sekali tidak yakin.

"Bagus." Detik betikutnya Boyd kembali menciumku, dia sangat suka melakukannya. Setiap saat jika dia bisa.

Aku mendapati diriku menerima setiap sentuhannya, kedua tanganku melingkari lehernya. Tangan Boyd meremas bokongku, kemudian naik ke punggungku.

Aku tidak tahu kapan kami naik ranjang, Boyd membuatku kehilangan pengendalian diri. Aku terengah, meremas rambutnya saat mulutnya mengulum puncak payudaraku dari balik baju tidurku yang tipis. Boyd berada di atasku. Besar, tinggi, dan bergairah.

Boyd menarik lepas kaos yang dipakainya hingga dia telanjang di bagian atas. Tatonya membuatku semakin kepanasan.

''Sial! Aku sudah tidak tahan." Nada suaranya kasar, begitupun tatapannya. Tapi anehnya aku tidak takut padanya, sedikitpun tidak.

"Jangan!" Aku menahan tangannya, aku tahu dia akan merobek gaun tidurku. "Biar kubuka." Ya Tuhan, aku bisa melihat dia menahan diri begitu kuat, wajahnya memerah. Sebegitu inginkah dirinya?

Boyd membiarkanku membuka sendiri pakaianku. Aku melemparkan gaun itu ke lantai, kemudian melepas ikat rambutku. Boyd membantuku melepas celana dalamku, disusul dengan braku. Aku sepenuhnya telanjang dalam tatapannya. Kulihat dia menelan ludah, jakunnya naik turun. Belum sempat aku berbaring kembali, Boyd langsung menindihku dengan badannya yang besar. Aku meletakkan tangan di dadanya yang keras.

"Aku...aku..." lagi-lagi dia mengumpat.

''Aku tahu," aku berbisik, membuka kakiku untuknya. Aku tahu apa yang sangat diinginkannya. Sudah lewat satu minggu sejak pertamakali aku bercinta dengannya. Sesungguhnya aku tak mengira kami akan berakhir di kamarku sekarang.

Boyd menatapku dalam, wajahnya tegang. Kemudian...perlahan kurasakan dia memasuki. Ya ampun, Boyd bahkan masih memakai celananya. Hanya resletingnya saja yang diturunkan. Dia menggeram, menahan dirinya. Itu terlihat dari urat-urat di lehernya.

Aku melenguh, menggigit bibirku. Dia bergerak sangat pelan. Kutangkup pipinya. "Jangan menahan diri."

"Aku tidak ingin menyakitimu," Boyd meletakkan keningnya di keningku, seraya pinggulnya yang bergerak lambat membuatku gila di bawah sana.

"Kau takkan menyakitiku," aku menaikkan kakiku di pinggulnya. "Lepaskan padaku, Boyd. Tidak apa-apa."

"Kau yakin?"

Aku tersenyum sebagaj jawaban. Sepertinya senyumanku meyakinkannya. Dia menciumku, tangannya meremas payudaraku lalu..pinggulnya menghunjam dalam.

Aku menjerit, jeritan yang dibungkam oleh bibirnya. Kejantanannya mengisiku dengan penuh. Kedua kakiku sampai gemetar dengan ukurannya yang memenuhiku, aku megap-megap oleh insentitas yang tak tertahan.

Boyd terus menghunjam, aku meremas rambutnya dengan sebelah tangan dan meremas selimut dengan tangan yang lain. Ada apa dengannya? Boyd seperti binatang buas yang lepas dari kandang.

Yang pertama tidak seperti ini, mendekatinya pun tidak. Yang ini terasa kasar, tapi...nikmat. aku takut Reny akan mendengar apa yang tengah kami lakukan. Tapi menyuruh Boyd lebih tenangpun takkan mungkin, Boyd menggeram dengan nada keras. Ketika aku hendak meletakkan tangan di dadanya demi meredakan keributan yang kami timbulkan, Boyd menahan tanganku, meletakkannya di atas kepalaku dan terus menghunjamku dengan kuat.

Aku meredam teriakanku saat orgasmeku datang, tubuhku bergetar. Boyd membuatku nyaris pingsan saat dia tak memperlambat ayunan pinggulnya di dalamku. Hingga kemudian aku memalingkan wajah darinya, mencoba menolak ciumannya untuk mengambil napas.

Tidak mendapatkan bibirku, Boyd melumat payudaraku. Ya Tuhan, dia tidak membiarkanku lepas. Dia menghisapku di sana, bergantian antara payudara satu ke payudara yang lain. Aku menggigit bibir bawahku, menahan desahan-desahan keluar dari mulutku.

Aku sudah berpikir Boyd takkan terpuaskan ketika akhirnya dia menghunjam lebih dalam, membuatku meringis merasakan nyeri, kemudian menyebut namaku dengan kasar. Boyd menjauh dariku dengan cepat, masih punya akal sehat untuk tidak keluar di dalamku. Ekspresi wajahnya saat mencapai puncak sangat menakjubkan. Tampan dan kasar, perpaduan sempurna untuk kemaskulinan. Boyd yang menaik-turunkan tangannya di kejantanannya terlihat begitu erotis, dan...mesum.

Napas kami tersengal-sengal, Boyd menoleh padaku. Untuk sesaat dia menatapku datar, hingga kemudian bibirnya tersenyum. "Kau membuatku gila," gumamnya parau. "Apakah kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk, belum mampu bicara. Boyd menarik resleting celananya, dia berbaring di sampingku.

Setelah semua gairah mereda, aku jadi malu. Aku telanjang di sampingnya dan baru saja miliknya berada di dalamku. Aku menarik selimut menutupi tubuh polosku hingga ke leher, aku belum berani menatapnya.

Boyd mendekatkan dirinya padaku, dengan santai dirinya menurunkan selimutku hingga memperlihatkan payudaraku yang dipenuhi bercak-bercak merah akibat ulahnya, tangannya memilin putingku.

Refleks aku menoleh. "Boyd?"

''Kenapa?"

"Jangan bilang kau ingin lagi."

"Tidak, aku hanya akan menyentuh payudaramu. Tidak boleh?"

Jika aku bisa menjadi lebih merah lagi aku pasti sudah begitu. Boyd terlalu blak-blakkan, aku belum terbiasa dengan mulutnya yang seolah tidak di saring. Aku menyingkirkan tangannya dari payudaraku.

"Kau datang untuk meniduriku?"

"Salah satunya." Aku melongo, dia bahkan tidak menyangkalnya. Dia memang sengaja datang untuk seks denganku. "Tapi karena aku juga rindu padamu."

"Jangan berbohong," lagi-lagi tangannya memilin puncak payudaraku, aku menepisnya.

"Aku tidak berbohong! Dan kenapa kau terus menepis tanganku?"

"Kau belum puas, ya?" Aku memelototinya.

"Aku puas, sayang. Sangat puas. Sangkin puasnya aku, aku akan memberikan apapun yang kau inginkan."

Aku mendengus, kali ini tidak menepis tangannya. Dia meremas payudaraku dengan lembut. "Kau tahu?" serunya setelah beberapa remasan. "Laki-laki menjadi sangat penurut setelah puas bercinta."

Sekarang aku jadi kesal dibuatnya. Aku memaksa duduk, tidak menghiraukan tatapan laparnya pada payudaraku yang telanjang. Kudengar dia tertawa, aku tambah kesal. Dia menggodaku.

Aku memukul perutnya kuat, merasa senang saat dia meringis. Kali ini aku yang tersenyum lebar. Namun Boyd terlihat sangat kesakitan, tangannya sampai memegangi perutnya. Apakah pukulanku sesakit itu?

"Boyd? Kau kenapa?" Dia memejamkan mata, merutuk pelan dari sela giginya yang terkatup. Beberapa saat terpaku, akhirnya aku tahu ada yang salah. "Ada apa dengan perutmu?"

"Kau baru saja memukulku."

"Tidak mungkin sesakit itu. Lepaskan tanganmu!" Aku menarik tangannya tapi dia semakin menutupi. "Kau kenapa?"

"Aku tidak apa-apa, sayang. Sekarang perutku sudah tidak sakit lagi." Apa yang dikatakannya berbeda dengan ekspresi wajahnya.

"Lepas. Tanganmu. Sekarang!" Aku menatapnya tajam.

"Kanaya, kubilang---"

''---kau tidak dengar yang kukatakan?"

Boyd menghela napas, kemudian menarik tangannya menjauh dari perutnya. Saat itulah aku melihat luka goresan yang cukup panjang di sana. Seketika napasku memburu. "Kau berkelahi lagi?"

"Itu bukan apa-apa, aku---"

"Kau sudah berjanji tidak akan berkelahi lagi!"

"Aku tidak pernah berjanji---"

''Keluar!"

"Kanaya, dengarkan dulu!"

"Kubilang keluar!" Aku tidak tahu apa yang kulakukan dengan diriku. Benarkah aku menyukai pria ini? Pria yang dengan mudahnya membiarkan tubuhnya terluka karena perkelahian. Dia tidak pernah menjelaskan apapun, dia membuatku cemas sekaligus marah. "Jangan temui aku dulu, Boyd." Aku perlu waktu. Terlalu dekat dengannya membuatku takut. Padahal sebelumnya tidak begitu.

"Kau pikir aku akan mau melakukannya?" Boyd turun dari tempat tidur, dia mengambil kaosnya lalu memakainya cepat. "Aku akan terus datang," dia menangkup pipiku, mencium bibirku cepat. "Aku minta maaf karena membuatmu cemas. Aku akan pulang, tapi besok aku akan datang lagi. Kau tidak bisa memaksaku menjauh, aku takkan bisa menjauh darimu."











Tbc...


Komen dan vote yang banyak, biar up datenya bisa lancar 😊😊😊

Semoga suka😍😍😍

Min. 100 komen baru dapat up date cepat 😂😂😂


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro