BB 16 - Kanaya
Bab 16
Aku baru saja menelepon Reny, memberitahunya cerita singkat kejadian malam kemarin. Bagaimana Boyd terlibat hingga terluka di bahu, aku juga mengatakan padanya saat ini rumah sedang diberi pintu ganda demi mencegah pembobol.
Reny terdengar mencemaskanku, dia ingin menemuiku segera jika bukan aku yang melarangnya. Aku aman bersama Boyd. Setelah menenangkannya dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja akhirnya Reny membatalkan niatnya. Dia tetap akan pulang besok, seperti rencananya sebelumnya. Semoga hari ini segala perbaikan di rumahku bisa selesai.
Sekarang sudah hampir malam. Boyd meninggalkanku beberapa jam lalu---setelah untuk ketiga kalinya dia bercinta denganku---ada hal yang harus dilakukannya. Aku tidak bertanya pekerjaan apa karena kupikir bila Boyd berniat mengatakannya padaku pasti akan dia katakan. Aku tahu hubungan kami telah berjalan semakin dalam, namun aku tak ingin terlalu mencampuri urusannya. Setidaknya jika hal itu berkaitan dengan pekerjaannya.
Aku berbaring sambil membaca artikel-artikel dari ponselku demi membunuh kebosanan, setelahnya aku membuka aplikasi game di sana. Boyd tidak memperbolehkanku keluar dari kamar, kali ini nada suaranya lebih penuh penekanan. Aku sampai tersenyum dibuatnya, dia pikir aku akan menurutinya.
Memang pada awalnya itulah yang ingin kulakukan. Berdiam diri, mematuhi perintahnya agar tak keluar dari ruangan bernuansa gelap ini. Tapi itu tadi. Sekarang aku sangat bosan, benar-benar tidak tertahan tanpa seorangpun yang bisa diajak bicara seperti sekarang.
Dia begitu...peduli padaku. Sungguh, tak ada dalam harapanku Boyd melakukan semua ini padaku. Dia menjagaku dengan sangat, mencemaskan segalanya. Bahkan tanpa pikir panjang dia memperbaiki keamanan di rumahku. Boyd melakukan segalanya dengan caranya yang efektif. Dia membuatku merasa aman dan...tenang.
Boyd punya hal itu dalam dirinya. Sangat mudah menarik hati. Sisi lain---yang bukan gelapnya dunianya---sangat mudah disukai.
Tangannya kuat dan berotot, banyak tato di tubuhnya, namun saat menyentuhku dia bisa begitu lembut. Membelaiku dengan usapan halus yang membuat setiap lapisan kulitku bergelenyar penuh damba.
Mengingat percintaan kami tadi, wajahku menjadi panas. Boyd seakan tak mau berhenti menyentuhku, selalu menciumku jika ada kesempatan.
Bagaimana dia menerima keadaanku tak kupungkiri semakin memperdalam rasa sukaku padanya. Aku nyaris putus asa mencari jalan menerangkan situasiku, namun Boyd membuat ketakutanku tak beralasan. Dia tidak jijik padaku. Dia menerimaku sebagaimana adanya aku. Boyd tidak melihat masa laluku, hanya aku yang sekarang yang dia ingini. Betapa beruntungnya aku.
Yah, walaupun di balik fakta kecil itu hatiku merasakan sedikit sengatan rasa cemburu terhadap setiap wanita yang pernah bersama dengannya. Dia mengaku bukan perjaka---yang mana memang sudah kuduga sebelumnya. Bagaimanapun, aku ini hanyalah seorang wanita biasa.
Aku merutuk saat aku kalah lagi dalam permainanku di ponsel, sebuah permainan menyusun dadu warna-warni berbentuk buah. Memang bukan permainan sulit bagi sebagian besar orang, tapi bagiku rasanya sangat sulit menambah score. Aku selalu kalah.
Bosan dengan game tersebut, aku meletakkan ponselku di sampingku. Aku memperhatikan pintu yang tertutup, kelihatannya Boyd belum akan kembali dan saat ini aku hampir mati karena bosan.
Boyd membawaku ke kelabnya itu berarti tempat ini cukup aman. Mungkin tidak ada masalah kalau aku hanya pergi ke dapur. Di dapur banyak pelayan, bila ada bahaya aku pasti bisa menyadarinya. Baiklah, aku akan menunggu Boyd di dapur saja.
Aku keluar kamar dengan kemeja kebesaran Boyd dan celana jeans milikku. Aku tahu penampilanku sangat jelek, bahkan lengan kemejanya harus kugulung karena kepanjangan. Tapi aku kan cuma pergi ke dapur, tak ada orang yang akan mengomentari penampilanku. Kalaupun ada, mereka pasti melakukannya tanpa sependengaranku.
Bau minuman langsung tercium begitu aku memasuki dapur. Pelayan berjalan ke sana ke mari melakukan pekerjaannya, mereka terlihat sibuk. Para pelayan mengenakan seragam merah tua dan hitam. Yang pria memakai kemeja merah tua dengan rompi dan celana warna hitam. Sementara yang perempuan hanya mengenakan kemeja---tanpa rompi---yang ketat membentuk lekukan payudara mereka. Bahkan tidak sedikit dari perempuan-perempuan itu sengaja membuka satu atau dua kancing kemeja teratas, sehingga belahan dan daging dadanya terlihat. Rok merekapun sangat pendek. Hampir sejengkal di atas lutut. Aku sampai menelan ludah melihatnya. Wanita-wanita seperti inilah yang berkeliaran di sekitar Boyd, malah dia yang memperkerjakan mereka. Aku tidak tahu harus berpikir seperti apa sekarang.
Salah seorang dari mereka menghampiriku, salah satu yang berpayudara montok. Dalam hati aku menilai ukuran milikku dengan miliknya. Ya ampun, berbeda jauh. Payudaraku yang kecil tak ada apa-apanya dengan punya wanita ini.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya. Apakah dia tahu aku kekasih Boyd?
"Hhhmm, sebenarnya tidak ada," kataku. "Tapi aku ingin meminum sesuatu. Di sini ada jus?" Sebenarnya aku ingin mencicipi alkohol, tapi aku takut Boyd pulang dan melihatku meminumnya. Aku sudah melakukan satu larangannya, sebaiknya aku menunggu kalau ingin melanggar hal lainnya.
Dia tertawa kecil, menganggap apa yang kuminta adalah hal konyol. Tapi dia mengangguk. "Sepertinya ada apel di lemari es, mbak mau?"
"Boleh, aku tidak keberatan membuatnya sendiri."
"Tidak apa-apa, mbak tunggu saja di sini. Saya yang akan membuatnya." Pelayan itu pergi. Sepertinya dia tahu aku berada di sini karena Boyd. Kalau tidak, mana mungkin dia sebaik itu. Aku jadi bertanya-tanya apa yang dia pikirkan tentangku. Perempuan seperti apa yang berada di kamar bujangan seksi seperti Boyd? Entahlah, aku tak ingin memikirkannya.
Aku duduk sambil memperhatikan gerakan-gerakan tangan para pelayan yang lincah. Mereka berjalan cepat membawa banyak gelas di kedua tangannya. Mereka tidak takut, akulah yang takut gelas itu jatuh dan pecah kemudian melukai tangan dan kaki mereka. Mereka tak sepenuhnya mengabaikanku. Sesekali anggukan dan senyuman kecil diberikan padaku. Mereka bekerja dengan baik meskipun Boyd tidak ada di sini.
"Ini, mbak," si payudara montok tadi membawa jusku. Dia meletakkannya di meja di depanku. "Ada yang lain, mbak?"
Aku tersenyum. "Tidak ada, terimakasih."
"Baiklah! Kalau perlu sesuatu, panggil pelayan saja, mbak."
"Iya, sekali terimakasih, ya." Pelayan itu mengangguk kemudian meninggalkanku. Aku menunduk melihat minumanku, kelihatannya segar. Sebelum meminumnya aku mengaduknya lebih dulu. Rasa manis yang segar terasa di lidahku begitu jus itu menyentuh lidahku, rasanya enak. Pelayan tadi pintar membuatnya. Jika aku yang melakukannya, rasanya takkan seenak ini. Aku meminum lagi, hingga tinggal setengahnya saja.
Suara percakapan dari di pintu keluar dapur membuatku menoleh ke arah pintu itu. Di sana Boyd sedang berbicara dengan seseorang berbadan besar, hampir sebesar Boyd, dan memiliki lebih banyak tato. Bahkan di lehernya pun pria itu melukis tato. Aku bergidik melihat semua bagian tubuhnya yang terlihat tertutup tato. Teman Boyd itu sedang merokok, Boydpun sama. Keduanya sama-sama bertampang kasar.
Hatiku berlonjak senang dengan cara paling menjijikan yang pernah kutahu, jantungku berdetak lebih cepat setelah mendapati dia di dekatku. Bukankah sekarang aku berubah jadi wanita kasmaran yang konyol?
Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Boyd tertawa terbahak-bahak seraya memukul bahu temannya itu, sedangkan temannya hanya tersenyum. Boyd belum menyadariku di dapur, dia terus berbicara.
Beberapa saat kemudian mereka berjabat tangan. Temannya pergi, kemudian Boyd melewati pintu itu dan masuk ke dapur. Tatapannya mrnjelajah seisi dapur sebelum kemudian matanya melihatku.
Boyd terdiam sebentar, langkahnya terhenti untuk beberapa saat. Alisnya terangkat ketika dia berada dekat denganku.
"Lagi-lagi kau keluar kamar, Kanaya. Kau sama-sekali tidak mendengar apa yang kukatakan. Kau harus memberi bokongmu jeda sebelum aku memukulnya lagi."
Aku terkesiap dengan kata-katanya yang blak-blakan. Cepat aku melirik ke sekitar, cemas para pelayan mendengarnya dan malah berpikir buruk tentangku. Ketika aku tak mendapati mereka mendengar---mungkin karena terlalu sibuk bekerja---aku menghela napas.
"Aku bosan, Boyd. Lagi pula aku di dapur, bukan keluar dari kelab." Aku menantang matanya, menunggunya memarahiku.
"Kau sudah makan malam?" tanya Boyd, menekan ujung rokoknya di asbak yang ada di atas meja.
"Kau tidak marah?"
"Apakah ada gunanya?" Boyd duduk di sampingku, menarik gelas jusku ke depannya lalu dia menghabiskannya. "Lain kali aku akan mengurungmu saja." tambahnya setelah mengusap sisa jus di mulutnya.
Aku mengabaikan ancamannya, memilih bertanya tentang temannya yang tadi. "Siapa pria besar tadi?" tanyaku.
"Seorang teman lama."
"Dia punya tato banyak, sepertimu."
"Punya dia lebih banyak, hampir penuh di seluruh badannya. Kalau aku cuma lengan dan punggung."
"Kau berniat menambah lagi?"
"Untuk sekarang tidak," jawabnya. Bibirnya tersenyum dengan cara tak senonoh. "Kenapa? Kau ingin aku memperbanyak tatoku?"
"Jangan," aku berujar keras, kemudian memelankan suaraku ketika menambahkan. "Jangan tambah lagi, aku suka yang sekarang."
Boyd memajukan kepalanya cepat dan mencium pipiku sama cepatnya. "Terserah padamu, sayang." Katanya, lalu berdiri. "Pintu rumahmu sudah terpasang, sore tadi selesai."
"Berarti besok aku sudah bisa pulang."
Boyd mengangguk. "Akan kuantar kau besok. Sekarang kita makan, aku lapar."
****
Aku sedang memakai body lotion di atas tempat tidur saat Boyd membuka pintu kamar. Setelah makan malam tadi, dia menyuruhku kembali ke kamar lebih dulu karena dirinya masih ada pekerjaan. Boyd selalu sibuk, baik di kelab maupun di luar kelab. Sebanyak apa usaha yang dia jalankan sebenarnya?
"Kau belum tidur?" Boyd memegang tengkukku, mencium bibirku sekilas.
"Sedang siap-siap ingin tidur," jawabku, meletakkan botol body lotion kembali ke laci. Boyd sedang melepas kaos dari kepalanya, disusul celana jeans-nya. Pipiku panas, Boyd bahkan tak canggung sedikitpun.
"Tidurlah, aku mandi dulu." Boyd hendak masuk ke kamar mandi tapi aku memegang tangannya. Lebam kebiruan di sisi bahunya yang terluka tidak luput dari perhatianku.
Aku menariknya hingga dia duduk di tepi ranjang. Jemariku perlahan menyentuh lebam itu. "Kenapa ini?" tadi seusai bercinta dengannya lebam itu belum ada. Dia pergi dan pulang membawa memar?
"Aku terjatuh," saat Boyd mengatakan itu matanya tidak melihatku. Aku tahu dia berbohong.
"Katakan yang sebenarnya, Boyd! Kenapa bahumu lebam?" Aku menahan tangannya saat dia lagi-lagi ingin menjauh. "Boyd?" Kulayangkan tatapan tajam.
Dia menghela napas, menyusurkan tangannya di rambut. "Aku berkelahi?"
"Berkelahi?" Bola mataku sontak membesar. "Kenapa kau berkelahi? Kau harusnya memikirkan luka di bahumu, Boyd. Lukamu belum sembuh."
"Semua laki-laki biasa berkelahi, Kanaya." Boyd berujar santai, bahkan terlalu santai menurutku. "Hanya lebam biasa, aku tidak apa-apa. Sekarang biarkan aku mandi."
"Kau biasa berkelahi?" bayangan dia terluka membuatku mual.
"Aku akan menguranginya."
"Aku tidak ingin kau menguranginya, Boyd. Aku ingin kau berhenti berkelahi."
"Itu tidak mungkin, sayang," jemarinya mengusap pipiku. "Berkelahi adalah olahraga, baik untuk menghilangkan kekakuan di otot-ototku."
"Aku tidak percaya kau baru saja mengatakan hal konyol seperti itu. Bagaimana kalau kau terluka?"
''Tidak akan lebih dari luka memar, sugar. Sekarang biarkan aku mandi supaya aku bisa memelukmu sambil tidur."
"Sebentar," aku merapikan kain kasa di bahunya. Untuk sekarang sepertinya Boyd tidak terlalu mendengarkanku. Tapi perlahan aku akan mencoba meraih hatinya sepenuhnya. "Berhati-hatilah saat kau mandi, usahakan jangan terlalu banyak membuat lukamu terkena air."
Boyd berdiri. "Akan kuusahakan. Atau," Boyd tersenyum mesum. "Kau ingin memandikanku?"
Itu takkan terjadi sekarang. Bukannya mandi yang ada dia malah mengajakku olahraga malam.
"Aku ngantuk," kataku.
Boyd tertawa terbahak-bahak. Kepalanya menunduk dan mengecup puncak hidungku. ''Aku takkan melakukannya malam ini, sayang. Aku akan menunggu lain waktu, satu hari ini aku membuatmu lelah dengan gairahku."
Boyd berjalan ke kamar mandi sambil bersiul. Aku menghela napas, tidak habis pikir Boyd menjadikan perkelahian sebagai olahraga. Sebarbar apa kekasihku ini sebenarnya. Ya ampun, bagaimana caraku membuatnya tidak menginginkan perkelahian lagi?
Tbc....
Karena vote dan komennya lumayan, aku sempatkan ngetik dan up date malam ini😊😊
Terimakasih untuk semangatnya yang mendorongku mencari ide walaupun udah capek jahit baju seharian ini.
Tetap vote dan komen ya supaya besok bisa up date lagi😍😍😍
Peluk sayang dan cium
Ttd calon ibu dari anak2 mr. Boyd
😂😂😂😂😂😂
Ada yg keberatan??
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro