Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB 12 - Kanaya

Bab 12

Boyd tidak menunggu lama untuk membawaku keluar dari rumahku. Aku hanya diperbolehkan mengemas beberapa potong pakaian. Sementara dia sibuk dengan ponselnya---menghubungi entah siapa---aku merapikan barang-barang yang akan kubawa. Setelah selesai memasukkan pakaian ke dalam tas berukuran sedang, aku pergi ke kamar mandi mengambil peralatan mandiku. Aku berencana menelepon Reny nanti, supaya dia tahu apa yang terjadi. Mungkin besok salonku belum bisa buka, aku ragu Boyd akan mengijinkanku pulang secepat itu. Sekilas tadi aku mendengar pembicaraannya di telepon tentang menambah pintu ganda di salonku. Boyd tidak membuang waktu sedikitpun untuk menjalankan otoritasnya.

"Sudah?" tanyanya saat aku kembali ke kamar. Dia sudah tidak memegang ponsel lagi, tatapannya mengarah padaku. Boyd memiliki tatapan langsung, terkadang membuatku gelisah. Aku merasa dia bisa menelanjangiku hanya dengan tatapan.

Aku menelan ludah---yang mana hal itu sudah kulakukan dari tadi---karena melihat tubuh bagian atas Boyd yang telanjang. Akhirnya aku bisa melihat tatonya. Punggungnya dipenuhi tato, tapi syukur dia tidak mengisi bagian depannya juga. Aku tidak ingin seluruh kulitnya dipenuhi coret-coret menyeramkan itu. Seperti itu dia sudah terlihat berbahaya, aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau dia mengisi dadanya juga dengan tato.

''Sedikit lagi," aku memasukkan peralatan mandiku ke dalam tas, lalu mengancingkannya. "Aku ingin berganti pakaian dulu.''

"Tidak perlu," katanya, berdiri dari tempat tidur. Dia mengambil tas berisi barang-barangku tadi. "Kita berangkat sekarang."

"Tapi aku hanya memakai baju tidur, Boyd." Pakaian tidur seperti biasa, aku menutupinya dengan jubah tidur.

"Aku bisa melihat memang baju tidur yang kau kenakan, Ay. Apa masalahnya? Kita bukan pergi jalan-jalan."

Aku mengerang. "Oke, kita pergi sekarang." Boyd berjalan lebih dulu, penampakan tato di punggungnya yang bidang jadi pemandangan menarik buatku. Punggungnya begitu lebar, membayangkan berbaring di sana membuat pipiku panas.

Bahunya yang terluka sudah kubalut dengan kain agar darahnya tidak keluar. Dia berkeras tidak mau ke rumah sakit, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk kekeraskepalaannya itu. Sebelum benar-benar keluar dari kamar, aku menarik jaket bola kebesaran dari balik pintu. Boyd mungkin tidak keberatan bertelanjang dada seperti itu, tapi tidak denganku. Selain itu bisa membuatnya masuk angin, juga tidak baik bagi kesehatan jantungku.

Boyd memegang tanganku keluar dari rumah. Dia mengunci pintu kemudian mengantongi kuncinya. Pandangannya awas ke sekeliling, gerakan itu membuatku ikut memperhatikan kanan dan kiri.

Aku tidak tahu apa yang dicari pembobol itu dariku. Aku tidak punya uang tunai dalam jumlah besar di sini, tidak mungkin dia ingin mencuri peralatan salonku. Itu tidak masuk akal.

Tidak terkira rasa syukurku Boyd datang sekarang, kalau tidak aku tidak tahu apa yang terjadi. Membayangkan berhadapan dengan penyusup di rumahku membuatku gemetar.

"Kenapa?" Boyd menoleh ke belakang. "Kau kedinginan?" tanyanya, lantas melirik jaket yang kupegang. "Kenapa kau tidak memakai jaketmu?"

"Aku membawanya untukmu. Kau bisa masuk angin kalau telanjang dada seperti itu."

Boyd menggeleng. "Kau lebih membutuhkannya, pakai!"

Dia tidak membiarkanku protes, kakinya kembali berjalan, membawaku bersamanya. Jarak mobil dan rumahku tidak jauh, namun entah sudah berapa kali kepalanya berputar memperhatikan ke sekitar kami.

Boyd membuka pintu belakang, melempar tasku ke sana. Aku masuk ke kursi penumpang, kemudian Boyd juga masuk. Dia menutup pintu dan menatapku. "Kenapa jaketnya masih kau pegang? Atau perlu aku yang memakaikannya?"

"Aku serius Boyd!" Aku memiringkan tubuhku, Boyd menghidupkan mobilnya lalu keluar dari parkiran. Dia tidak peduli sedikitpun dengan protesanku. Aku mengulurkan jaket itu padanya, namun dia menolak.

"Lemparkan saja ke belakang kalau kau tidak mau memakainya." Dia menatap jalan, mengabaikan wajah kesalku.

Ya Tuhan, kepalanya sekeras batu.

Boyd menoleh cepat ketika aku melemparkan jaket yang dia tolak ke kursi belakang. Kenapa dia terkejut? Bukannya tadi dia yang menyuruhku?

Boyd menggeleng, senyuman lebar menghiasi wajahnya yang tampan. "Kau memang gadis pembangkang, ya?"

"Aku melakukan persis seperti yang kau suruh!!"

"Ya," katanya ringan. "Persis."

Boyd berkonsentrasi mengemudi. Jika dia merasakan sakit di bahunya, Boyd tidak memperlihatkannya. Bahkan dia seperti tidak terluka. Dia tampak santai memegang setir dengan kedua tangannya. Aku memperhatikan bahunya yang terluka, ikatan itu sedikit kendor.

"Kainnya hampir lepas, Boyd." Aku menyentuh bahunya.  "Berhentilah sebentar agar aku bisa merapikannya."

"Sebentar lagi kita sampai." Kalau ada yang di atas kepala batu, itulah Boyd.

Aku tidak tahu kemana Boyd akan membawaku. Saat aku bertanya tadi, dia hanya bilang tempat yang aman. Detail persisnya dimana tempat itu tidak dikatakannya. Dan sebentar lagi yang dimaksud Boyd lebih dari setengah jam. Aku tidak mau repot-repot menawarkan bantuan lagi kalau toh ditolak terus.

Beberapa saat kemudian Boyd membelokkan mobilnya ke salah satu rumah yang minim penerangan, dan terlihat tidak terawat. Sebenarnya rumah itu besar, tapi... Dahiku mengernyit, Boyd tinggal di sini?

Tapi ternyata Boyd tidak berhenti di depan rumah itu. Ada belokan di sampingnya menuju belakang. Berbeda dengan dengan rumah yang gelap tadi, di sini terang.

Di sini ramai, banyak mobil yang parkir. Aku takjub melihat parkirannya yang luas. Beberapa saat mengamati, akhirnya aku tahu tempat apa itu.

"Kau membawaku ke kelab?" Aku menatapnya terkejut. "Kau..."

"Ini kelabku," serunya santai. Boyd mematikan mesin mobil kemudian menarik kuncinya. "Kita masuk lewat pintu belakang."

"Tapi Boyd?" Di antara banyaknya tempat, dia membawaku ke kelab?

"Percaya padaku, kau aman di sini. Aku punya ruangan pribadi di dalam, ada tempat tidur. Kau bisa menginap di sini malam ini."

"Apa aku aman di sini?"

"Aku juga akan menginap, kau aman bersamaku."

Boyd memegang tanganku, lagi. Sementara tangannya yang lain membawa tasku, dia masih tidak mau memakai jaket yang kubawa. Sekilas aku mencium jaketku, kalau-kalau bau makanya dia tidak mau memakainya. Tidak bau, aroma deterjen tercium di hidungku. Berarti bukan karena alasan itu.

Pintu belakangnya lumayan jauh. Kakiku yang pendek harus berjalan cepat demi mengimbangi langkah Boyd yang panjang. Beberapa wanita terlihat berdiri di sisi jalan, menatap Boyd seperti matanya akan keluar. Aku berdecak dalam hati. Banyak hal lain yang lebih berguna mereka lakukan daripada kelayapan di jam seperti ini, nyaris tanpa pakaian pula.

Aku melotot pada mereka semua, tapi sayang mereka tidak melihatku. Mata jalang itu tidak mau lepas dari Boyd. Sudah pasti, Boyd membiarkan dadanya jadi santapan betina-betina kelaparan ini. Aku jadi kesal padanya.

Aku menghela napas kecil saat kawanan serigala betina tadi sudah tak terlihat, Boyd tampaknya tidak memperhatikan mereka. Karenanya kekesalanku sedikit berkurang.

Boyd membawaku masuki ruangan yang terlihat seperti dapur, tapi sangat besar. Ada beberapa lemari kaca yang berisi banyak minuman. Mataku terpesona melihat banyaknya jenis minuman keras itu. Aku tidak mengenal mereknya, sejujurnya pengetahuanku tentang alkohol sangat minim.

"Tempat apa ini?" tanyaku penasaran.

"Dapur sekaligus gudang minuman." jawabnya sekedar, dia tidak melambatkan langkahnya.

Belum puas aku melihat seluruh ruangan itu, Boyd menarik tanganku ke ruangan lain. Dia melepas tanganku untuk mengambil kunci dari sakunya kemudian membuka pintu.

"Masuklah," katanya, sedikit mendorong punggungku ke dalam. "Ini ruangan pribadiku."

Sementara Boyd mengunci pintu, aku mengedarkan pandangan. Kamar yang bagus, bernuansa gelap---seperti Boyd---namun terlihat hangat. Tidak banyak perabot di sini. Hanya ada tempat tidur, lemari tiga pintu, meja nakas dan dua kursi santai, bahkan tak ada Tv. Aku bisa melihat tempat ini hanya sebagai tempat istirahat Boyd. Dia tidak tinggal di sini.

Aku tidak mengharapkan Boyd membawaku ke rumahnya, tapi ke kelabpun tidak. Namun aku tahu, dimanapun aku berada bila dia bersamaku, aku pasti aman. Setidaknya aku tidak merasa takut.

"Kamar mandi ada di sebelah sana." Boyd menunjuk ke sudut kamar.

Aku tidak mengikuti arah yang dia tunjuk. Aku memegang tangannya dan membawanya ke tempat tidur. "Sekarang kau harus membiarkanku merapikan kain di bahumu." Kali ini Boyd tidak mendebat, dia mengikutiku dengan patuh.

''Sedaritadi kau memikirkan lukaku?"

"Kau tidak memikirkannya, jadi harus aku yang melakukannya untukmu." Aku tidak suka senyum jahil di bibirnya itu, seolah dengan tersenyum begitu kepala batunya akan dianggap hal sepele.

"Aku senang kau khawatir padaku."

"Hhmm," gumamku tak acuh. "Seharusnya lukamu dijahit, Boyd." Aku telah selesai memperbaiki balutan lukanya. "Kurasa masih ada klinik yang buka sekarang." Aku tidak tahu sudah jam berapa sekarang, perkiraanku jam dua pagi, mungkin juga lebih. Tapi ini kota besar, pasti ada klinik yang buka kalau Boyd tidak mau ke rumah sakit.

"Aku berjanji akan ke rumah sakit besok pagi---"

''---ini sudah pagi."

"Baiklah, kalau hari sudah terang. Sekarang kau tidur!"

Nada suaranya seperti memerintahkan anak kecil. "Kau mau kemana?" Aku berdiri saat dia beranjak dari tempat tidur. Boyd menarik kaos bersih dari lemarinya.

"Ada seseorang yang ingin kutemui." Dia meringis sedikit saat memasukkan tangannya ke kaos itu. "Aku tidak akan lama."

"Kau akan meninggalkan aku sendiri?" Seketika aku menjadi takut. Sejak Boyd memberitahuku ada orang yang berusaha membobol pintu rumahku, perasaanku sudah was-was. Tapi karena ada dia, aku bisa menghilangkan perasaan itu. Sekarang Boyd ingin pergi? Perasaan takut itu kembali muncul.

Boyd berjalan mendekatiku, tangannya melingkar di sekeliling pinggangku. "Aku tidak keluar dari kelab. Kau aman di sini. Kaupikir aku bisa meninggalkanmu kalau kau akan terluka?" Kecupan lembut kurasakan di keningku. "Naiklah ke tempat tidur, aku pasti kembali."

"Tapi..." aku malu harus mengucapkannya. Boyd akan bertemu temannya di kelab ini, itu berarti dia akan dikelilingi wanita-wanita berpakaian seksi. Aku bisa melihat mereka akan menggoda Boyd. Dengan aku dalam gandengannya saja mereka tidak peduli, apalagi Boyd tanpa aku. "Yakinkan aku kalau kau akan kembali padaku dalam keadaan utuh."

"Maksudmu?"

"Di luar sana banyak wanita-wanita cantik, Boyd---"

"Tunggu. Tunggu." Boyd menjauhkanku sejauh rentangngan tangan. "Kemana arah pembicaraan ini, Kanaya?"

"Tidak ada, aku ingin ikut."

Dia mengerang. "Kau harus tetap di kamar ini. Percayalah aku tidak akan selingkuh, kalau itu yang kau takutkan."

"Aku tidak bilang---"

"Itulah maksud dari perkataanmu tadi, sayang." Ponselnya berbunyi. Boyd menarik ponsel dari sakunya. Dahinya berkerut saat membaca sesuatu di dalam sana, kemudian pandangannya menemuiku. Sekali lagi dia merengkuhku dalam pelukan. ''Aku harus pergi sekarang. Kalau ada yang kau butuhkan panggil pelayan. Tidak perlu keluar, tekan saja bel yang ada di bawah lampu tidur. Mereka akan datang."

Aku memberikan tatapan memelasku. "Tidak bisakah kau jangan pergi? Kau tidak mengantuk?"

"Setengah jam, aku janji."

Aku menghela napas, menyerah menahannya.

Boyd akhirnya pergi setelah menegaskan aku tidak boleh keluar dari kamar. "Jangan keluar, oke?" Itulah katanya tadi.

Aku bisa apa selain membiarkan dia pergi? Aku tidak mau merengek lebih parah dari yang sudah kulakukan. Setidaknya Boyd berjanji akan kembali dalam waktu setengah jam. Kuharap aku sabar menunggunya selama itu.

Aku menghempaskan tubuhku ke atas ranjang. Ada aroma Boyd di bantal, selimut bahkan bed cover-nya. Aku menghirup panjang, melingkarkan selimut ke tubuhku. Aku langsung merasa hangat, seperti Boyd yang sedang memelukku, memberiku kehangatan.

Aku berbaring nyaman, namun lucunya aku tidak mengantuk. Aku sudah mencoba tidur, tapi mataku seolah punya keinginan lain. Aku tidur telentang, menatap langit-langit kamar.

Aku menghitung setiap menitnya. Sekarang sudah lima belas menit berlalu. Kemudian lima belas menit lagi. Aku membalik badan, menatap ke arah pintu, berharap pintu itu terbuka. Nyatanya hingga lima belas menit ketiga, Boyd belum muncul juga. Aku menghela napas, Boyd berbohong.









Tbc...






Yang mau triple up date???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro