Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BB 11 - Boyd

Bab 11

''Ada saksi yang melihat seorang pria berjalan mondar-mandir di kediaman Johan sebelum insiden penembakan," gumam Billy. Billy memperhatikan reaksiku atas informasi tersebut. Aku tidak terkejut, hal seperti itu sudah kuduga. "Bahkan Johan tidak bisa menebak siapa orang itu."

"Orang itu tidak ada hubungannya dengan Johan. Penembak itu mengincarku, tapi aku tidak tahu kenapa kau yang menjadi sasaran." Aku sudah menelepon Johan, sejauh ini dia tidak punya masalah dengan bisnisnya.

Raut wajah Billy berubah pucat. "Kau punya musuh, Boyd?"

Aku tertawa pelan, menaikkan ujung sepatuku di tempat tidur Billy. ''Aku akan terkejut jika tak ada orang yang membenciku, Bill. Sudah berapa orang yang kalah bertarung denganku? Apapun bisa terjadi. Aku sudah memperkirakan bahaya-bahaya kehidupanku, tapi aku tidak menyangka bahwa salah satu orang terdekatkulah yang terkena imbasnya.'' Aku tidak pernah pergi didampingi pengawal, seharusnya mudah bagi mereka mencelakaiku, tapi mereka tidak melakukannya.

"Kalau begitu kau harus berhati-hati! Tidak ada salahnya kau menyewa pengawal, itu perlu. Kalau seperti yang kau katakan bukan aku yang mereka incar, melainkan kau. Mereka tak ingin membunuhku tapi beda halnya denganmu."

Mereka tolol kalau mengira aku takut dengan ancaman seperti itu. Sebelumnya aku tidak memperkerjakan pengawal, dan sekarangpun tidak. "Jangan cemaskan aku," kutepuk bahunya yang tidak terluka. Keadaan Billy semakin membaik, baru beberapa menit yang lalu anak dan istrinya menjeguk. Tapi putrinya yang masih kecil tidak boleh berlama-lama berada di kamar Billy. Untuk menjaga dua orang yang disayangi Billy itu aku menyewa dua pengawal, yang mempunyai akses cepat ke ponselku. Mereka akan menghubungiku jika ada hal yang mencurigakan. "Aku harus pergi sekarang."

"Boyd, kau tidak bisa menyepelekan orang ini," seru Billy kaku. Aku tahu siapa yang dia maksud dengan orang ini. "Mereka punya pistol sementara kau tidak."

"Aku punya."

"Tapi kau tidak membawanya."

"Aku tidak ingin berakhir di kantor polisi, Bil. Kau sendiri tahu masyarakat biasa tidak boleh sembarangan membawa senjata api."

"Tapi itu untuk keselamatanmu."

"Kau pikir polisi akan memahaminya; saat aku berkeliaran dengan pistol di pinggangku?" Aku memberinya senyum ringan. "Ayolah, kawan. Sudah kukatakan jangan cemaskan aku."

"Kau temanku, bagaimana mungkin aku tidak khawatir? Di luar sana ada seseorang bahkan mungkin sekelompok orang yang ingin membunuhmu. Kau gila kau kalau tidak cemas."

Aku menghela napas. "Aku khawatir, Bill. Tapi cuma sedikit. Aku tidak melihat ada gunanya merasa takut yang berlihan, itu hanya akan membuatku seperti orang tolol yang tidak melakukan apapun selain menengok ke kiri dan ke kanan dua menit sekali karena cemas ada orang yang mengikutiku."

"Kau memang tidak takut apapun, Boyd. Tapi pikirkan orang-orang yang menyayangimu! Bagaimana kehilangannya mereka kalau kau terbunuh!"

Aku menyesal menjenguk Billy. Mulutnya seperti perempuan. Apa maksudnya mengingatkanku pada anggota keluargaku. Aku menyayangi mereka dan mengusahakan keamanan bagi mereka, tapi bukan berarti kehidupanku bisa terusik.

"Keamanan di rumah Benget sudah kutingkatkan." Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan dari ibu benget. Kepalaku hampir pecah saat dia mengoceh pagi tadi. Aku tidak mungkin memberitahu keadaan yang sebenarnya, bisa-bisa dia terkena serangan jantung. Meski dia kerab memarahiku, aku tahu dia menyayangiku. Mengetahui ada orang yang ingin membunuhku pasti membuatnya resah. Dengan berkelit dan banyak alasan akhirnya ibu Benget bisa kuyakinkan kalau penambahan jumlah keamanan di rumah tidak ada maksud lain selain menjaga keamanan mereka semua. Aku tidak berbohong, walaupun tidak mengatakan semuanya. Benget sudah tahu, tapi dengan bijak menutup mulutnya. "Jangan melihatku seolah-olah aku akan mati, Bill!"

"Itulah yang akan terjadi kalau kau tidak peduli keselamatanmu."

"Orang bodoh yang tidak peduli keselamatannya sendiri, kawan. Tapi, ya Tuhan, kenapa kau jadi mengesalkan seperti ini. Kau yakin bahumu yang tertembak? Bukan kepalamu?"

"Ck!! Lakukanlah sesukamu, aku hanya bisa mengingatkan. Dan...maaf karena sakit pekerjaanku jadi terbengkalai."

"Selalu ada orang yang bisa dibayar untuk menggantikan pekerjaanmu sementarawa waktu, yah walaupun mereka tak sebagus kau. Aku bisa apa?"

Billy mengangguk, kupikir dia sudah selesai dengan omong-kosongnya. Ternyata aku salah ketika dia kembali bertanya. ''Kau yakin tidak perlu didampingi pengawal?"

"Aku akan gila di detik pertama mereka berdiri di sampingku.''

****

Jam makan siang aku menyempatkan menghubungi Kanaya. Deringan kedua dia memangkat panggilanku. Terdengar suara-suara orang berbicara, mungkin dia sedang bekerja.

"Halo?"

"Apa aku mengganggumu?" Aku keluar dari mobil, setelah memarkirkannya di depan kelab. "Aku belum makan siang, kau mau keluar bersamaku?"

"Sebenatnya aku mau," kata-katanya hilang digantikan suara perempuan lain. "Tapi aku sedang banyak pasien, maaf, Boyd."

"Tidak masalah! Kau sudah makan siang?"

"Belum!"

"Kau ingin makan apa, biar kupesan!"

"Tidak perlu, Boyd.".

"Katakan saja! Apa ada larangan seorang laki-laki membelikan kekasihnya makanan?"

Tawa lembut terdengar darinya. "Pesankan aku makan siangmu hari ini! Aku ingin memakan apa yang kau makan."

Bibirku berkedut, aku mendorong pintu kelab, melewati kedua pengawal di depan pintu. "Akan kupesan. Kuharap kau memikirkan aku saat memakannya."

Setelah memastikan makan siang Kanaya sudah diantar, aku membuka komputerku untuk memeriksa beberapa laporan yang masuk. Karena Billy sedang sakit, otomatis pekerjaanku jadi bertambah. Orang yang kusuruh menggantikan pekerjaannya membuat kepalaku pusing, dia terus bertanya padaku. Hampir saja kupecat si bodoh itu.

Selagi memperhatikan layar komputer, aku menyalakan rokokku, menyulutnya di bibir. Ponselku berdering, ada pesan masuk.  Tanpa memalingkan kepala dari layar komputer, aku mengambil ponsel dari saku.

Ternyata dari dari Kanaya. Berisi ucapan terimakasih dengan emotikon cium. Daripada membalas pesannya, aku memilih meneleponnya. Kali ini dia mengangkat pada dering pertama.

''Aku suka emotikon ciumannya." Kataku langsung.

Dia terkekeh. "Terimakasih, makanannya enak. Reny juga suka." Tadi aku memesan dua porsi, satu untuk temannya Reny.

Aku masih belum percaya Kanaya mau menerimaku. Dengan tampilanku yang serampangan seharusnya dia takut, tapi tidak. Dia hampir membuatku gila, bibirnya yang lembut membuatku ketagihan. Keseluruhan dari dirinya adalah pelengkapku. Aku berharap dia bahagia dengan huhungan ini. Aku bukan laki-laki yang manis. Aku suka berkelahi, hal-hal berbahaya menguji adrenalinku, sangat berbeda dengan Kanaya yang lembut dan manis. Tapi aku akan berusaha membuat hubungan kami berhasil.

Aku takut menghancurkannya, namun membayangkan menjauh darinya membuatku resah. Kanaya telah merasuki pikiran dan hatiku sejak pertamakali kulihat dia. Kanaya terbukti mempengaruhiku begitu besar. Di tengah-tengah pikiran kacauku sekarang, aku bisa langsung tersenyum mendengar suaranya. Dia memilikiku, bahkan aku belum bercinta dengannya. Sial, aku sangat menginginkannya. Semalam aku hampir kehilangan kontrol, sekuat tenaga aku memaksa diriku agar tidak menindihnya di sofa ruang tunggunya. Aku tidak ingin membuatnya lari ketakutan, aku harus berjalan lambat. Sangat lambat.

Kanaya sedang menceritakan sesuatu yang terdengar seperti pedas dan bumbu saat pintu ruang kerjaku diketuk. Benget memasuki ruangan.

"Aku akan datang nanti malam. Sekarang aku harus memutuskan telepon."

"Kau sibuk?"

"Ada beberapa urusan, sampai nanti." Aku meletakkan ponselku di atas meja, Benget duduk di kursi tepat di depanku.

"Tumben kau datang ke kelab! Ini masih siang, kelab belum buka."

"Aku memang mencarimu." Pandangannya lurus ke depan. "Apa yang kau sembunyikan, Boyd. Aku tahu ada yang tidak beres, kau menambah jumlah keamanan di rumahku sementara di rumahmu tidak. Kenapa?"

Aku menaikkan alis. ''Bukankah sudah jelas? Di rumahku tidak ada orang selain pelayan, sementara di rumahmu ada Agnes."

Benget tersenyum mengejek. "Terus terang saja, sepupu. Aku tidak sebodoh itu."

Benget telah menjadi temanku sejak kecil, kami akrab dengan cara kami sendiri. Dia sering menyusahkanku namun aku tidak akan berhenti mencarinya jika ibunya menyuruhku. Benget dengan caranya sendiri peduli pada Agnes, untuk itu aku berterimakasih padanya. Meskipun kelakuannya agak mengesalkan tapi Benget orang yang bisa dipercaya.

"Ada orang yang ingin melukaiku," kataku memulai, membakar rokok lain saat rokokku yang pertama habis. ''Polisi masih mendalami motif penembakan Billy, dugaanku peluru itu adalah sebuah ancaman."

Benget memelototiku. "Ada bahaya sebesar itu dan kau tidak berniat mengatakannya padaku?"

"Baru saja aku memberitahumu."

Benget mendengus. "Kemana kau pergi semalam? Kali ini langsung saja, Boyd. Tidak perlu berbohong."

Aku menghisap rokokku, membiarkannya menunggu jawaban. "Bertemu dengan kekasihku."

''Sudah jelas itu kebohongan sialan, aku tidak percaya."

"Percayai apa yang kau suka. Aku tidak akan membicarakan hubungan pribadiku denganmu."

"Tengah malam?"

"Apa ada larangan?"

"Aku tidak percaya kau punya pacar, Boyd."

"Aku laki-laki normal, sepupu."

"Ada perempuan-perempuan di kelab yang bisa jadi tempat pelampiasan nafsumu," Benget tertawa pendek. "Kau punya kekasih?"

Tampaknya sepupuku ini lebih tertarik dengan kisah cintaku daripada topik keselamatanku yang menjadi alasannya datang menemuiku. "Aku sudah bosan berganti-ganti wanita."

''Dan itu keluar dari mulut pria yang membenci komitmen." Dia mengejekku.

"Aku tidak bilang akan menikah, hanya menjalin hubungan."

"Bedanya apa?"

Sejujurnya aku juga tidak tahu. "Aku tidak ingin membicarakannya, Benget. Bisakah kita membicarakan yang lain?"

"Seperti 'apakah kau sudah bercinta dengannya'?"

''Aku sudah bilang aku tidak ingin membicarakannya. Tapi akan kujawab pertanyaanmu yang satu itu. Belum."

****

Lagi-lagi aku datang ke rumah Kanaya saat malam sudah larut. Mungkin kalau Kanaya tinggal bersama orangtuanya, aku sudah diusir dan dilarang mendekati Kanaya lagi.

Jalanan sudah sunyi, membuatku bisa melajukan mobil dengan cepat. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan Kanaya.

Mobilku memasuki area parkir. Jantungku hampir melompat keluar saat kulihat seseorang berbaju hitam, memakai topi berdiri di depan pintu rumah Kanaya. Dari gerak-geriknya dia terlihat mencongkel pintu.

Makian kasar lolos dari mulutku. Belum pernah aku keluar dari mobil secepat sekarang, suara bantingan pintu mobilku terdengar berdentum di malam yang sunyi. Aku kehilangan kendali, amarah dan takut membuatku mual.

Orang itu menyadari keberadaanku. Dia berusaha kabur, namun aku berhasil menarik bajunya. Suara patahan terdengar ketika tinjuku menghantam wajahnya, kuharap itu suara hidungnya yang patah. Yang ada di dalam pikiranku sekarang hanyalah mencekik lehernya, dan itulah yang kulakukan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku mendesis di wajahnya. Seorang pria, aku tidak mengenalnya. Dia menatapku tajam. "Jawab sialan? Siapa kau?" Cengiran di wajahnya semakin membuatku geram.

"Boyd?" Suara Kanaya memanggil dari balik pintu. "Itu kau?" Mendengar suaranya perhatianku jadi teralihkan.

Tiba-tiba, dengan cepat dan tak terduga, dia menarik pisau dari saku belakangnya kemudian...

"Brengsek." Aku berhasil menghindar namun pisau itu tetap melukaiku. Peganganku jadi lemah, dia berhasil kabur. Lagi-lagi aku mengumpat. "Sial!" Aku menatap arah kepergian bajingan itu, dia telah hilang. Aku tidak mungkin mengejarnya dengan Kanaya yang bisa kubilang menjerit saat melihatku.

"Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan." Dia menutup mulutnya dengan tangan. "Boyd, apa yang...kau..." dia berbicara dengan terbata.

Aku bisa melihat apa yang membuatnya histeris. Bahuku berdarah, kaosku robek di bagian itu. Memperlihatkan luka yang lumayan besar.

"Kita masuk dulu," darahku masih menggelegak akibat amarah, tapi kutahan. Aku tidak ingin Kanaya takut. Kututup pintu, memastikan kunci itu aman. "Kau punya obat merah?"

Aku bahkan belum selesai bertanya dia sudah berlari ke dalam, kudengar dia menaiki tangga dengan tergesa. Aku jadi tersenyum, dia ketakutan. Aku menunggu di sofa, meringis kecil ketika meloloskan kaos dari kepalaku. Aku memperhatikan luka di bahuku, sepertinya harus dibalut.

Kanaya belum datang juga. Aku membiarkan beberapa menit lagi berlalu, namun Kanaya tetap belum juga turun. Aku jadi penasaran apa yang membuatnya lama.

Aku memutuskan naik ke atas. Bagian atas rumahnya tidak terlalu luas. Setelah aku tiba di tangga terakhir aku bisa melihat dapur dan lorong yang terdiri dari dua pintu. Kuduga itu adalah kamar Reny dan Kanaya. Tapi aku tidak tahu yang mana kamar Kanaya.

Suara barang-barang berjatuhan mengarahkanku ke satu kamar. Aku mengetuk dua kali kemudian membukanya. Kanaya sedang mengobrak-abrik laci sambil mengeluarkan suara rengekan, lalu kudengar dia menangis.

"Hey," dia bahkan terkejut ketika bahunya kupegang. "Apa yang kau lakukan? Kau menghancurkan kamarmu."

"Aku...aku mencari obat merah! Aku lupa meletakkannya di mana."

''Sssttt," kutarik pinggangnya. Aku mengusap pipinya yang berair. "Lalu kenapa kau menangis?"

"Aku tidak bisa menemukannya.''

Seketika apa yang kurasakan padanya berubah menjadi sesuatu yang besar dan sulit kubayangkan akan kurasakan pada seorang gadis. Melihatnya menangisi lukaku telah memilin hatiku, membuatku sakit karena kesedihannya. Bahkan tangannya bergetar saat kugenggam.

"Aku takut," bisikknya serak.

Aku duduk di ujung tempat tidurnya, mendudukkannya di pahaku. ''Sssttt, jangan menangis." Aku mengecup keningnya. "Lukaku tidak separah itu, sayang."

Perlahan dia melihat bahuku yang terluka, air matanya jatuh lagi. Oh, Tuhan. Aku tidak tahan melihatnya menangis seperti ini. "Kumohon jangan menangis! Aku tidak akan mati."

''Pasti rasanya sakit sekali," jemarinya menyentuh bahuku dengan lembut. "Lukamu harus dijahit, Boyd. Kita harus ke rumah sakit. Ayo---"

"Tetaplah duduk," aku memegang pinggangnya, menahannya. "Aku tidak akan pergi kemanapun."

"Tapi---"

Aku membungkam mulutnya agar diam. Cara itu berhasil. Wajahnya cemberut, aku tersenyum.

"Aku akan mengobatinya nanti. Kau punya kain yang bisa diikat ke tanganku?"

"Itu tidak cukup, Boyd."

"Percayalah, hanya itu yang kubutuhkan sekarang. Dimana Reny?"

"Ada apa dengan Reny? Neneknya ulangtahun, dia disuruh datang ke sana."

"Kau tinggal sendiri?"

"Iya, aku tidak takut."

"Ya Tuhan." Aku tidak tahu apakah ingin menciumnya atau malah mencekik lehernya yang halus ini. Pantas saja bajingan tadi ingin membobol pintunya.

"Kau belum memberitahuku darimana kau mendapat luka itu, Boyd. Kau berkelahi?"

"Ada seseorang yang ingin masuk ke rumahku." Wajah Kanaya berubah pucat. "Suaramu membuatku kehilangan fokus, bajingan itu memanfaatkan situasi itu."

"Boyd...."

"Berapa lama Reny menginap di rumah neneknya?"

"Du...dua malam. Lusa dia baru pulang."

"Kau akan menginap di tempatku! Tidak aman berada di rumah ini."







Tbc...

100 komen untuk double up date malam ini, boleh???😍😍😍😍



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro