BB 10 - Kanaya
Bab 10
Boyd akan datang? Sekarang? Dia dalam perjalanan kemari? Cepat kutolehkan kepalaku melihat jam. Hampir pukul dua belas malam.
Boyd memang tidak bisa diduga. Seharian ini dia tidak membalas satupun pesanku dan semua panggilanku berakhir di pesan suara, tapi baru saja dia mengatakan akan datang.
Aku melompat dari tempat tidur dan membenahi penampilanku. Rambutku berantakan, pakaianku malahan lebih berantakan lagi. Aku memakai jubah tidur untuk menutupi pakaian tidurku yang bisa dibilang tidak sopan. Satu kali Boyd telah melihatku seperti itu, kurasa itu sudah cukup.
Perangai Boyd yang sering asal menyosor membuatku harus berjaga-jaga. Aku sangat menyukai ciumannya, sungguh. Tapi namanya laki-laki, pantang dipancing. Jika kubiarkan dia melakukannya tanpa dikontrol, bukan tidak mungkin kami akan berakhir di tempat tidur dengan aku di bawahnya. Apalagi sekarang sudah larut.
Aku tidak ingin kembali ke masa itu, masa yang memberiku rasa sakit berkepanjangan yang terasa tiada akhir. Bertahun aku melawan mimpi burukku, membiarkannya kembali terulang sama saja menghancurkan diriku yang sekarang.
Aku menggeleng, menatap wajahku di cermin. Kugelung asal rambutku di puncak kepala. Aku pergi ke kamar mandi mencuci muka. Setelahnya aku kembali ke depan cermin, memperhatikan sekali lagi penampilanku. Aku sudah siap.
Sembari menuruni tangga, aku mengencangkan tali jubahku. Aku akan menunggunya di sofa ruang depan, tempat biasa pasienku menunggu. Aku menghidupkan beberapa lampu, setelahnya kuhempaskan bokongku di sofa.
Tiba-tiba aku jadi gugup. Setelah Boyd tiba nanti, apa yang harus kulakukan? Menyuruhnya masuk, tentu saja. Tapi setelah itu apa? Kami akan bicara, oke aku tahu itu akan kami lakukan, tapi bicara apa?
Ya Tuhan, kenapa aku jadi bodoh begini? Boyd bukan satu-satunya pria yang pernah mendekatiku.
Tapi tidak ada yang seperti Boyd, batinku mengingatkan. Perpaduan tampan dan berbahaya dirinya seringkali membuat orang lain bertingkah konyol, seperti aku sekarang, bergerak-gerak gelisah sambil menggigiti kuku jempolku.
Aku terlonjak saat mendengar bel dibunyikan. Sembari berjalan menuju pintu, aku mengatur napasku yang memburu. Serius, aku deg-degan. Kami baru pacaran satu hari, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa bila melihatnya sekarang.
Wajahnya yang tersenyum kecil seketika terlihat saat pintu terbuka. Dengan kedua tangan berada di dalam saku, celana robek-robek dan kaos lengan pendek, dia terlihat sempurnya. Sempurna dan...berbahaya. lagi-lagi tatonya mengganggu pikiranku, membawaku pada skenario nakal yang tak patut dibayangkan.
"Aku berusaha tiba secepat mungkin," katanya memecah kesunyian di antara kami. "Aku takut kau ketiduran dan lupa kalau aku akan datang."
Mana mungkin itu terjadi, Boyd hanya menggodaku saja. Aku bisa melihat godaan jahil itu di cengiran mulutnya. Mulut yang melengkung seksi, yang menyimpan ciuman nikmat. Boyd menyadari semua kelebihannya, dan memanfaatkannya semaksimal mungkin.
"Masuklah," kulebarkan pintu, menunggu dia masuk.
"Tidak ada ciuman selamat datang untukku?" Dia masuk, mengambil alih menutup pintu dengan kakinya.
Badannya yang tinggi mengharuskanku mendongak demi menatapnya. Mulutku terbuka hendak berkata, namun dengan cepat mulutnya menelan apa yang ingin kukatakan. Dia menciumku keras, menelanku seperti seonggok daging lezat.
Tangannya meraup pinggangku, menempelkannya ke perut kerasnya. Tangannya yang bebas naik ke tengkukku, memenjarakan leherku dalam kuasanya. Aku tak berdaya ketika tarian lidahnya menjelajah sekujur bibirku. Aku hampir kehabisan napas saat dia melepas ciumannya tiba-tiba.
"Kau terlalu lama menjawab," dia berbicara begitu tenang, napasnya tidak seperti napasku yang hanya tinggal satu-satu. "Kau tidak pernah mendengar waktu itu adalah uang?"
Syukur tangannya masih memelukku, kalau tidak aku mungkin sudah lunglai jatuh ke lantai. Sementara dia tersenyum senang, aku menatapnya seperti orang bodoh. Aku menelan ludah, memegang lengannya yang keras. Apa dia mengharapkan pembicaraan normal padahal baru saja dia membuatku terperanjat.
"Kau sangat manis saat melotot seperti itu. Kau mau lagi?"
"Apanya?" tanyaku pelan. Detik berikutnya aku menyesali pertanyaan bodoh itu.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Boyd malah tertawa. Dia memeluk pinggangku dengan kedua tangan. "Aku merasa seperti bajingan yang membuatmu harus terbangun, kau belum sadar sepenuhnya rupanya."
Dia yang membiatku hilang kesadaran. Memerangkapku dalam serangan tiba-tibanya, aku terlalu lambat menghindar. Akhirnya dia mendapatkan keinginannya. Boyd suka sekali mencium tiba-tiba.
Boyd bersikap santai ketika melangkahkan kakinya di dalam rumahku, dia melihat ke sekeliling ruangan. "Ruangan yang bagus," serunya, dia mengalihkan tatapannya kembali padaku. "Kau tidak menawariku duduk?"
"Kupikir kau mau berdiri terus," ujarku datar. Selain hobi mencium, ternyata Boyd juga suka bercanda.
"Aku tidak keberatan berjam-jam berdiri, tapi kau juga harus ikut berdiri. Karena kau tidak akan tahan lama-lama berdiri, sebaiknya kita duduk."
Aku tidak mengerti apa yang barusan dia katakan. Perkataannya berputar-putar hingga membuat kepalaku pusing. Saat dia menarikku ke sofa tempatku duduk tadi, aku menurut saja. Tidakkah ini jenis pacaran yang aneh?
"Kau mau minum apa?" Aku masih berdiri sementara dia sudah duduk di sofa. Kakinya terbuka dengan postur santai, seolah dia sudah sering duduk di sofaku. Memangnya kapan Boyd tidak santai? Dia menganggap segalanya berada di bawah kekuasannya.
"Tidak perlu, aku tidak haus, belum."
"Jadi apa yang kau inginkan?"
"Kau!"
Desiran hangat seketika mengaliri pembuluh darahku. Aku menghela napas. ''Jangan bercanda, Boyd!"
"Siapa yang bercanda? Kaupikir aku mau datang ke sini larut malam seperti ini hanya untuk bercanda?"
"Jadi apa maksud perkataanmu tadi?"
"Kau terlalu tegang, sayang." Boyd memegang tanganku, memaksaku duduk di pahanya. "Kau salah mengartikan ucapanku. Ternyata pikiranmu kotor juga, ay!" Aku mencebik kesal, tangannya menahanku ketika berusaha turun dari pangkuannya.
"Kenapa kau memanggil seperti itu?"
''Seperti apa? Ay? Itukan namamu."
''Aku belum pernah dipanggil dengan sebutan itu."
"Malah bagus! Berarti cuma aku yang memanggilmu ay. Kau keberatan?"
Jika aku keberatan apakah dia mau mendengarkanku? Aku menggeleng. "Tidak. Kalau kau suka dengan panggilan itu, aku tidak keberatan."
"Ay?"
"Hhhmm?"
"Tidak ada, aku hanya mencoba melafalkan dua huruf itu." Serunya ringan. "Aku menyukainya, terdengar romantis."
Romantis darimana? Kelihatannya dia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya bersikap romantis.
Karena tidak dibiarkan lepas, akhirnya aku berhenti mencoba turun. Sepertinya Boyd puas karena mengalahkanku, lagi. Tangannya dengan santai diletakkan di atas pahaku. Jubah tidurku terbuka karena tertarik, aku duduk mengangkanginya. Posisi yang sangat mengerikan, menurutku. Bisa berakibat fatal untuk pengendalian diri Boyd yang nyaris tak ada.
Kami tidak bicara, hanya saling menatap, membiarkan kesunyian menenangkan gejolak asing yang berada di antara kami. Boyd begitu tenang, namun caranya melihatku saat ini terasa menggelisahkan.
"Kenapa," kataku dalam bisikan. Aku tidak tahan ditatapnya seperti itu, matanya terlalu menghanyutkan. Aku takut menyelam sementara diriku tak tahu caranya berenang di kedalamannya, mungkin saja iris tersebut tak memiliki dasar.
"Boleh aku melepas ikat rambutmu?"
Aku tertegun, detik berikutnya kepalaku mengangguk. Boyd menaikkan tangannya, melepas gelungan rambutku. Setiap helainya terjatuh di sekitar bahuku. Kemudian kurasakan tangannya di kepalaku, menyisir rambutku dengan jari-jarinya.
"Kau memiliki rambut yang cantik."
"Aku merawatnya, kau suka?"
"Tentu saja, sayang!" Bibirnya melengkung ke satu sisi. "Tidak ada yang tidak kusuka darimu."
"Kau perayu."
"Aku tidak sedang merayu, itu kenyataan, Ay."
Sudah jelas dia perayu ulung. Boyd tidak mungkin mengaku, tapi aku tahu ada banyak hati yang patah karena rayuannya yang indah namun tidak berperasaan itu. Kuharap aku kebal dengan kata-kata manisnya.
"Kita hanya akan duduk seperti ini?"
"Kau tidak suka?"
"Boyd---"
"---apa yang kau kenakan di balik jubah ini?"
"Baju tidur, kenapa?"
"Baju tidur seperti waktu itu?"
"Iya."
"Kenapa kau menutupinya?"
"Agar kau tidak bisa melihat."
"Kenapa begitu?"
"Karena otakmu yang kotor pasti akan bereaksi ke arah berbahaya.'' Aku mulai suka obrolan saling tanya jawab ini, aku tersenyum.
"Berbahaya?" Alisnya terangkat. ''Seperti apa situasi berbahaya ini?"
"Tidak perlu kujelaskan, kau pasti susah tahu."
"Seperti kau terengah di bawahku? Merintih---"
Aku menutup mulutnya dengan tanganku. "Jangan lanjutkan! Dasar kau mesum." Aku menjerit merasakan sakit di jariku, Boyd menggigitnya. Setelah suara jeritan tadi, kini erangan lolos di bibirku saat lidahnya menjilat jemariku yang digigitnya tadi.
Boyd mengusap jariku, meredakan sakitnya. "Apa yang kau sukai dariku?" Dia bertanya tiba-tiba, pandangannya serius.
''Siapa bilang aku menyukaimu?" Suara tawaku membuat dahinya berkerut. Dia mengira aku serius, tanganku yang tadinya dia pegang terlepas. Boyd bersedekap dan menatapku tajam.
Wajahnya berubah kaku. Aku tidak bisa menahan tawa. Kupeluk lehernya dan membenamkan kepalaku di dadanya yang lebar. "Aku bercanda, Boyd."
Kudengar dia menggeram, dia memelukku. "Sekali lagi kau melakukannya, aku akan memukul bokongmu. Kau dengar aku?"
Aku menarik kepalaku, melihatnya dengan senyuman. "Tadi kau kesal?" Kuusap pipinya. Dia meletakkan tangannya di atas tanganku.
"Aku bukan hanya kesal, tapi marah. Kanaya aku tidak suka dipermainkan."
"Tapi kalau kau yang mempermainkan orang, boleh?"
"Aku tidak pernah mempermainkan siapapun."
"Aku minta maaf."
"Kali ini kau kumaafkan."
Boyd mengusap kepalaku ketika aku menyandarkan wajah di dadanya lagi. Dia mungkin berbadaan besar, namun dia punya sisi lembut menenangkan yang kupikir mustahil dimiliki pria seperti dia. Aku merasa nyaman dalam pelukannya, sampai-sampai aku tidak sadar jatuh tertidur.
Suara bisikannya yang membangunkanku. "Bangun, manis!"
"Hhhhmm," bukannya bangun, aku malah semakin mengeratkan pelukanku. Kudengar dia tertawa.
"Aku harus pulang. Atau kau ingin aku menginap di sini?"
Dengan berat hati aku membuka mata. "Aku ketiduran, ya?"
"Bukan cuma kau, aku juga ketiduran."
"Kau mau pulang sekarang?" Aku beranjak dari pahanya, mencoba meluruskan jubahku yang mereng.
Aku mengantarnya sampai depan pintu. "Jangan kencang-kencang bawa mobilnya." Aku mengingatkan.
Boyd tersenyum. "Mendekatlah." Boyd mendaratkan kecupan di keningku. "Selamat malam." Katanya pelan. "Aku pulang. Lain kali kalau ingin datang, tidak akan selarut ini lagi."
"Tidak masalah. Aku senang kau datang."
"Aku pasti mengganggu tidurmu."
"Itu sepadan dengan bertemu kekasih sepertimu."
"Sekarang kau yang menggodaku, Ay?"
Kurasakan wajahku memanas. Karena malu, kudorong dadanya. ''Sana pulang, aku ingin melanjutkan tidurku."
"Aku akan pulang, tapi berikan ciuman selamat malam padaku!"
Tbc...
Mana pendukungnya Boyd???
Pendukung Kanaya???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro