Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8: Secret Share

Udah 1k aja sih aduh. Makasih buat supportnya sama Beat Up. Jan bosen bosen yaa 🥂

Untuk foto Iko sama Revan ada di bawah ya~

-


Proses recording berjalan lancar. Untuk wawancara juga, anak-anak Beat-Up berkoordinasi dengan baik. Mungkin karena pertanyaan yang aku ajukan di belakang kamera juga masih terbilang standar, jadi mereka dengan cepat menjawabnya, dan kami nggak perlu take berulang-ulang.

Dari empat anggota, bisa dibilang Juna yang paling cepat menjawab. Jawaban dia singkat, padat, dan jelas—tipe jawaban yang nggak bisa diganggu gugat. Aku nggak tahu apakah Juna memang lagi mode PMS—Pengin Marah dan Sensian—atau memang cara dia menjawab memang begitu. Tapi waktu aku wawancara waktu itu, Juna lebih banyak bicara dari ini.

Sebelum Juna keluar dan bergantian dengan Taran, dia sempat menghampiriku dan bilang, "Kelar nanti ketemu gue di parkiran. Mobil gue masih sama."

Aku belum sempat merespons dan dia sudah ngacir begitu saja. Dan, begitulah cara Juna membuatku nggak punya pilihan kecuali datang ke parkiran dan mencari Land Rover hitam miliknya. Ternyata yang punya juga sudah ada di dalam.

Kubuka pintu mobilnya dan masuk, duduk di kursi depan.

"Udah kelar?" tanya Juna, dan aku mengangguk.

"Ini mau ngapain deh, Jun?"

"Menurut lo?"

Kok malah nanya balik sih? Ya mana aku tahu!

"Malam ini nonton yuk, temenin gue."

"Hah?" Aku mengernyit. Yah, sekarang baru jam 8 sih. Tapi lebih pengin pulang. "Ngapain nonton jam segini?"

Ketimbang langsung menjawab, Juna justru mengambil sesuatu dari dasbor mobil kemudian menyodorkannya padaku. Dua buah tiket. "Tiket premiere film bokap gue."

Awalnya aku nggak mengerti. Butuh waktu bagiku untuk mengumpulkan kepingan-kepingan memori dan mengoneksikannya dengan apa yang Juna maksud.

Ayahnya Juna, Om Keva.

Seingatku, Om Keva bercerai dengan Tante Mira tepat sehari sebelum ujian nasional kami. Aku tahu kalau Om Keva memang seorang sutradara, he's been entering nomination for years. Nama itu nggak asing, apalagi untuk kelasku.

Ingat nggak dulu, akan ada saatnya di mana nama-nama orang tua akan jadi nama pengganti bagi kita. Itu semacam guyonan wajib semasa sekolah, yang seringkali dapat teguran guru atau kita yang nggak sengaja memanggil nama teman dengan nama orang tuanya di saat orang tua teman kita sendiri mendengar itu.

Aku ingat dulu anak-anak kelas sering menganggu Juna dan bilang, "Jun, kalau ada film apa gitu bagi-bagi tiket gratis napa?" Dan Juna membalas itu dengan bilang kalau dia bukan juragan bioskop.

Mendadak aku seperti ditarik pada masa SMA, mengingat bagaimana Juna, tepat di hari ujian nasional pertama, langsung pergi begitu saja, tahu-tahunya ikut balapan motor dan besoknya ikut ujian dengan hidung yang diperban.

Dengan hati-hati aku bertanya, "Ini dikasih bokap lo?"

Juna mengangguk. "Sampai dikirim ke pos, tadi pagi diterima sama agensi. Bokap minta gue datang."

Mau berkomentar pun, rasanya aku nggak berani. Rasa maklum mendadak muncul. Apa karena ini Juna masuk mode PMS?

"Jun."

"Apa?"

"Lo..." aku menggantung kalimatku, masih agak ragu sebetulnya, "pas tadi siang lo mau ngasih tahu ini ke gue?"

"Tadi ada Iko sama Revan, gue nggak mau ngobrol bareng mereka," kata Juna.

Jawaban itu sebenarnya membuatku jadi semakin bertanya-tanya, apa memang Juna sebegitu nggak dekatnya dengan anggota yang lain, tapi aku takut nanti malah memperkeruh keadaan. Lagi pula, bahasannya di sini kan soal Om Keva, bukan soal teman-temannya.

"Premiere-nya di mana, Jun?" tanyaku.

"XXI, Ciwalk," jawab Juna. Dia kemudian menolehkan kepalanya padaku. "Temanin gue, ya, Sya. Gue... nggak bisa ke sana sendiri."

Aku nggak tahu apa ini masuk akal atau nggak, tapi di saat Juna mengatakan itu, aku merasa seperti mendengar dia benar-benar minta tolong. He genuinely asks for it. Aku memang nggak begitu mengerti masalahnya, tapi aku nggak keberatan untuk mengiyakan.

Akhirnya aku mengangguk. "Mau langsung berangkat sekarang?"

"Lo udah kosong, kan?" Juna balik bertanya. "Film-nya nggak lama kok."

Aku tersenyum. Rasanya lucu menyadari bahwa begitu banyak sisi Juna yang baru aku ketahui—bercandaannya yang kotor, yang secara ajaib bisa tiba-tiba cuek, dan Juna yang begini... yang aku sendiri bingung harus mengategorikannya bagaimana, but it's just him. A softie.

"Gue udah kelar kok. Berangkat aja yuk?" kataku.

Juna pun mengangguk, bergerak untuk menyalakan mobilnya.

"Thanks, Sya."

Balasan yang singkat, tapi entah kenapa, aku merasa itu ucapan paling serius yang pernah Juna katakan padaku.

*

Rasanya jauh berbeda menghadiri premiere dalam rangka bekerja dan dan nonton bareng Juna. Aku nggak perlu lari sana-sini dan mengejar narasumber, berebut dengan media lain dengan menyodorkan recorder atau kamera. Yang ini lebih bisa kunikmati.

Lagi pula, aku juga ragu sih kalau aku yang masih biji kecambah ini bakal dikasih tugas untuk meliput Om—eh, ralat, maksudku Pak Keva. Sok kenal banget aku panggilnya Om. Belum tentu dia juga ingat aku sebagai teman anaknya.

Yah, intinya Pak Keva itu beda deh. He is just on another level. Dibanding dengan hebohnya saat premiere film Mas Ganesh kemarin, Pak Keva punya tiga kali lipat kerumunan. Yah, namanya juga senior.

Aku yang hanya melihat saja sudah pusing. Menghadapi media itu nampaknya butuh kesabaran juga mental yang terbiasa dirusuhi.

Semua orang heboh mendekati dan bertanya-tanya pada Pak Keva, banyak pujian yang terlempar. Tapi Juna antitesa dari semua itu. Ketimbang ikut ke sana atau bahkan sekadar menyapa, Juna membawaku untuk lewat begitu saja dan langsung masuk ke studio.

Juna duduk dengan santai, sesekali memakan popcorn dari ember yang ada di pangkuannya. Padahal filmnya juga belum mulai.

"Kayaknya pacar dia ganti lagi."

Seketika aku menoleh. "Pacar siapa ganti lagi?"

"Bokap," Juna menjawab tak acuh, dengan santai tetap mengunyah popcorn. "Lihat, kan, tadi ada perempuan di dekat bokap gue?"

Aku mencoba mengingat-ingat lebih dulu. Di area wawancara tadi, memang aku melihat Pak Keva nggak sendirian. Ada satu cewek, kelihatannya masih muda juga. "Itu bukan asistennya? Sutradara suka punya asisten, kan?"

"Asisten buat hal-hal pribadi sih iya."

Butuh beberapa detik bagiku untuk mengerti apa yang Juna maksud. Asisten pribadi. Hm, oke. Rasanya aku pengin bilang ke Juna untuk nggak mikir yang hal yang begitu, suudzan. Tapi aku juga merasa aku nggak berhak untuk berkomentar. Ranah pribadi.

"Sori kalau gue malah cerita yang kayak gini."

Kalimat Juna kali ini membuatku melongo sesaat. Dia memang kelihatan biasa saja, tapi aneh aja gitu mendengar maaf tiba-tiba dari Juna begini.

"Kalau lo nggak ada, mungkin gue udah baca jampi di sini, atau ikutan wartawan yang lain tapi yang gue kasih bukan mic atau recorder, tapi ini." Juna mengangkat kepalan tangan kanannya dan menurunkannya dengan cepat.

Hanya dengan gerakan sekecil itu, aku merasa Juna yang aku lihat bukan lagi drummer dengan candaan yang ngali-ngali. Ini Juna yang aku kenal, Juna yang brutal.

Selama beberapa saat Juna diam, dan aku juga melakukan hal yang sama. Semua informasi yang aku terima dari Juna berputar di kepalaku. Tak berapa lama, studio sudah mulai terisi dan lampu pun dimatikan, memutar iklan.

Aku seharusnya sudah fokus dan mencari posisi nyaman untuk menonton, tapi aku masih ingin bilang sesuatu pada Juna.

"Lo... yakin ngasih tahu ini semua ke gue?"

Juna menatapku datar. "Kenapa harus nggak yakin?"

Bibirku merapat sesaat. "Yah, lo tahu kan gue kerja di media, Jun. media entertainment. Apa yang lo ceritain bisa jadi bahan enak buat berita gue."

Yah, bukannya punya niat buruk sih, tapi aku juga heran sendiri. Bukankah sikap Juna yang begini terlalu terbuka? Bayangkan kalau dia ngajak cewek lain yang baru kenal dia, dan dia cerita semua ini.

"But will you do that?"

Aku mendadak diam. Pertanyaan Juna membuatku nggak bisa berkomentar lagi.

"Gue percaya sama lo kok. Karena sama lo gue nggak perlu sembunyi-sembunyi," kata Juna lagi, kali ini dia memindahkan popcorn ke pangkuanku, kemudian mencondongkan wajahnya ke arahku.

Sumpah, ini dekat banget! Aku bisa melihat wajah Juna dengan jelas karena cahaya dari layar.

Yang harusnya aku tontonin itu film, Juna! Bukannya kamu! Jangan bikin aku nggak bisa fokus sama filmnya nanti!

Kugunakan satu tanganku untuk mendorong tubuh Juna menjauh, tapi ternyata tenaga kami beda jauh. Juna masih tetap di tempatnya, satu sudut bibirnya tertarik lebih tinggi.

"Nggak ada salahnya kan cerita begini ke pacar sendiri?"

Spontan aku memukul pundak Juna, mengalihkan kepala dan mengunyah popcorn, sengaja memasukkan banyak popcorn ke mulut agar tidak diajak bicara. Kulirik Juna dengan tajam dan dia hanya tertawa, kemudian kembali lagi duduk di tempatnya.

Astaga. Astaga. Aku nggak tahu itu iseng atau nggak, tapi bercandaannya kali ini nggak lucu. Lebih nggak lucu lagi karena aku dibuat kaget dan malu bukan main karena bercandaannya itu. Nggak banget!

Sungguh, siapapun, tolong ingatkan aku kalau aku bukan pacar betulannya Juna. Lagian di sini juga nggak ada Tante Mira, kan?

Dasar Juna gila! []

*

Ini dia gaes yang klean minta~

Mas supel Zefan Jericho alias Iko yang aslinya udah mau 26 tahun tapi ke semua orang manggilnya Mas/Mbak. Masih merasa muda katanya.

Meanwhile ini Revan Zacariah yang cool (susah bayangin Papi Mon cuek? Nanti deh kenalan sama Revan lebih jauh.)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro