7: Old Friend, Friend, Not Really a Friend
Selamat malming gaes. Punten kalo ada nganu nganu tandain aja. Baru bangun aqiqah 🤣
-
Dengan disahkannya kerjasama dari HypeMe dan DropUs, agensi yang menaungi Beat Up, resmi sudah bahwa keinginaku untuk nggak sering-sering terlibat bahkan bertemu dengan Juna hangus. Hal itu juga mengartikan bahwa aku akan banyak berkunjung ke kantor agensi bahkan sampai ke tempat latihan untuk mengejar berbagai berita.
Satu minggu setelah perjanjian itu terbentuk—dan kabarnya diberitahukan kepada publik—pengunjung laman serta pembaca HypeMe semakin banyak, apalagi di bagian entertainment-nya. Kanal Youtube HypeMe juga secara ajaib bertambah, karena bentuk siaran ulang akan ikut diunggah di sana. Tak hanya itu, banyak sekali email yang masuk ke layanan redaksi yang kurang lebih isinya adalah permintaan fans tentang apa yang ingin mereka tahu lebih lanjut soal Beat Up.
Bahkan belum mulai saja, demand-nya sudah sebanyak ini. Senang rasanya melihat kantor jadi bahagia, Pak Samudra juga tampak antusias dengan ini. Tapi aku cukup aware kalau ini berarti beban pekerjaanku bertambah.
Aku nggak tahu ini disebut rezeki karena begitu bergabung, aku sudah bisa terlibat dalam kegiatan besar dan penting, atau aku harus stres sendiri karena sadar bahwa aku itu newbie.
Dan kayaknya Mbak Santi menganggap aku begitu. Newbie beruntung yang terlalu beruntung.
Sekarang aku harus membiasakan diri dengan fakta kalau nggak semua orang suka dengan kehadiran anak baru. Berbeda dengan Bang Jinan yang bilang kehadiranku cukup membantu karena dia nggak perlu lagi jadi reporter sambil pikul—yes, he used this word by his own—kamera sendiri, Mbak Santi lebih seperti ular yang pengin banget gigit aku. Kalau saja rapat hari ini nggak mengikutsertakan Pak Samudra dan Mas Andra, mungkin Mbak Santi nggak akan ngomong ke aku sedikitpun.
Masalahnya aku sama sekali nggak ngerti kenapa Mbak Santi begini. Kita fine aja, kan, Mbak? Aku salah apa? Ngegosipin Mbak juga paling sama diri sendiri doang. Or she is a psychic?
"Lo tuh misuh-misuh udah kayak lagi baca jampi sih, Sya."
Suara di depanku membuyarkan lamunanku, mengembalikanku kembali pada lini waktu masa kini, dengan Juna di hadapanku. Dia memandangiku dengan alisnya yang meninggi.
"Apaan sih, Jun," aku memandanginya sebal. "Jangan bikin gue betulan bacain jampi buat lo."
If you wondering how I ended up here, itu juga karena acara itu. Hari ini merupakan first recording dari Days with Beat Up, dan akan dilakukan beberapa jam lagi. Kami diberi waktu untuk beristirahat lebih dulu sebelum mulai di jam 1 untuk menyiapkan stage untuk wawancara nanti.
Aku harusnya istirahat, tapi sewaktu keluar dari toilet, aku justru ketemu Juna dan dia menyeretku begitu saja untuk makan dengannya di café di seberang kantor DropUs. Juna sengaja memilih meja di bagian dalam karena di luar banyak karyawan HypeMe yang ikut makan di sini juga.
Juna geleng-geleng, menyeruput jus pesanannya. "Lagian lo kenapa deh? Sebal karena senior lo?"
Aku mengernyit, nggak tahu apa Juna ini bisa baca pikiran atau gimana. Tahu dari mana coba?
"Pas tadi pagi ngumpul di kantor, ada satu cewek yang ngelihatin lo mulu pas ngobrol sama pimred—eh, yang pakai kemeja merah tadi betul pimrednya HypeMe, kan?"
Aku mengangguk sebagai jawaban, tapi cukup terkejut karena Juna melihat itu. Mbak Santi merhatiin aku? Ada dendam apa coba Mbak Santi sama aku?
"Asli, ya, gue nggak tahu salah gue apa," gerutuku pelan, dengan sekali seruput menghabiskan jus mangga milikku. "Apa karena itu juga gue dibohongin?"
Pundak Juna mengendik. "Tapi bisa jadi cemburu sih, Sya."
"Hah? Cemburu?" Aku malah makin bingung. "Baru juga kerja, gue nggak ada dekat sama siapa-siapa."
"Mungkin sama Pak Samudra?" Juna menjawab tak acuh, akhir kalimatnya malah terkesan menggantung. Ya kali, kan!
Baru mau protes dan bilang ucapan Juna sebelumnya itu nggak berdasar, aku sudah keduluan suara lain.
"Wah, wah! AA Juna hilang duluan karena lagi modusin mbak pewawancara kita? Cepat banget mainnya, AA."
Dari pintu masuk ke taman belakang café, ada dua cowok yang berjalan mendekat ke meja kami, salah satunya hanya memasang wajah datar sementara yang satu lagi mengangkat tangan sambil menyengir. Mereka berdua yang aku lihat di pertemuan tadi pagi. Kalau nggak salah yang lagi nyengir itu Iko, pianis Beat Up, sementara yang satu lagi Revan, yang pegang posisi bassist.
"AA Juna padahal dicariin Taran." Cowok yang kelihatan supel itu menepuk pundak Juna, tapi buru-buru Juna tepis.
"Terus kenapa lo yang ke sini, Ko?" balas Juna ketus. Ini aku aja yang ngerasa atau memang Juna selalu begini sama anggota Beat Up? Waktu sama Taran dulu juga begini.
Seakan nggak peduli dengan ketusnya Juna, cengiran Iko nggak pudar. "Nggak papa. Tadi gue sama Revan mau pesan tapi malah lihat lo di sini sama cewek. Penasaran jadi kami nyamperin. Ikut bareng boleh, kan—"
"Terserah. Jangan tanya gue," Juna justru memotong begitu saja, suaranya terdengar tak acuh. Juna malah beranjak pergi dan meninggalkanku bersama dengan dua teman band-nya begitu saja.
"Juna, mau ke mana?" tanyaku cepat.
"Kasir. Terus balik." Tanpa menoleh Juna terus melanjutkan langkahnya, membuatku melongo sendiri di tempat.
Siapa yang ngajak, siapa yang pergi, dih!
Aku hanya bisa menggerutu di tempat, yang sayangnya nggak bisa aku biarkan lama-lama karena sudah ada yang mengajakku untuk bicara. Bisa-bisa dikira nggak waras aku nanti.
"Ini Mbak Asya, kan?" Iko menunduk sambil tersenyum. Well, this man is well-mannered, I guess. Bukan yang kayak Juna. Jauh!
"Kamu Iko, kan, ya?" Aku balik bertanya seusai mengiyakan pertanyaan Iko, dan kali ini Iko balik mengiyakan dengan anggukan.
"Mbak Asya sama kita aja dulu, ngobrol-ngobrol," kata Iko, kepalaku langsung menoleh. "Atau mau nyusul Juna?"
Aku menggeleng. Ayam asam manis pesananku belum habis sih. Akhirnya aku kembali duduk, sementara Iko mengisi kursi Juna yang kosong.
"Gue mesan dulu kalau gitu," kata Revan, aku nggak tahu suara dia memang nge-bass begitu, tapi aku terpana.
Iko mengangguk cepat. "Pesanin gue juga, ya, Van. Kayak biasa."
Revan tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung pergi meninggalkan aku dan Iko. "Revan emang ngomongnya irit, Mbak. Dimaklumin aja, ya?"
Aku hanya bisa manggut-manggut. Sebenarnya aku ngerasa agak kikuk dipanggil mbak begini, apalagi kalau dilihat kayaknya Iko juga lebih tua dariku. Apa aku harus balik panggil mas?
"Sama Juna dari tadi udah di sini, Mbak?" Iko kembali membuka percakapan.
"Lumayanlah," balasku singkat.
Kali ini giliran Iko yang mengangguk-angguk. "Nggak mau dikejar itu AA Juna-nya?"
Aku nggak tahu itu semacam mengusir dengan cara halus atau apa, tapi cari Iko bertanya jauh sekali dari menyindir. Senyumnya itu terlalu baik.
"Nggak deh, ngapain juga," aku menjawab dengan nada malas dan menggeleng. "Lagian dia juga yang tiba-tiba pergi."
Iko kontan tertawa. "Itu sih Juna banget, Mbak. Mungkin karena tadi aku sama Revan ke sini."
"Karena kalian?" Kok kesannya Juna kayak dendam banget ini sama anggota bandnya?
"Kalau kami makan bareng, dia jarang ikut. Pokoknya kalau di luar manggung, Juna mah nggak bisa diganggu gugat, Mbak," jelas Iko, tapi anehnya cara cowok ini menjelaskan seolah dia sudah memaklumi semuanya. Kalau aku jadi dia, belum tentu aku bisa sesabar ini deh, sumpah! "Ini berati Mbak Asya bukan pacarnya Juna?"
Dengan cepat aku menggeleng, membantah. "Bukanlah!" Reaksiku terlalu spontan dan bersemangat, mendadak jadi malu sendiri. Kuturunkan nada suaraku dan bicara lebih normal. "Hanya teman SMA aja. Dulu kami sebangku."
"Oh, teman lama, toh. Pantasan." Iko mengangguk singkat sambil tersenyum. "Soalnya Juna juga biasanya jarang sih ajak cewek makan bareng, apalagi kalau fansnya. Mungkin kalau teman Juna-nya lebih nyaman."
That's quite surprising. Aku pikir Juna tipikal yang suka ngajak jalan cewek, apalagi buat enak.
"Tapi Mbak Asya betulan bukan pacarnya?" tanya Iko lagi. "Siapa tahu teman kayak, Te-te-em gitu."
Duh, TTM-an sama kok sama Juna? Jadi teman biasa aja sudah pusing.
Aku menggeleng. "Nggak kok, nggak."
Iko sekali lagi manggut-manggut. Tapi entah kenapa aku merasa anggukan itu bukan untukku, tapi untuk sesuatu tentang Juna yang nggak aku mengerti. []
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro