5: Little Bribe
"Kok lo kayak jin sih? Tiba-tiba muncul." Juna memicingkan matanya.
"Karena lo gosipin, jadi kepanggil gue." Taran mengendikkan bahu sambil menurunkan masker sampai ke dagunya, kepalanya kini beralih padaku kemudian tersenyum. "Halo. Kenalin, Taran."
Duh, ampun! Merinding dangdut! Manis banget senyumnya! Ini tangannya pakai ngajak salaman, nih? Aduh!
"Halo." Sebisa mungkin aku menahan diri untuk nggak gelagapan, menjabat tangan Taran. "Asya."
Mata Taran seperti memandangiku sesaat. "Ini seragamnya HypeMe, bukan?"
Aku mengangguk. "Iya, saya kerja di HypeMe."
"Ah," Taran manggut-manggut, "pantasan. Kemarin yang wawancara saya juga pakai seragam ini."
"Harusnya kemarin dia, Tar, cuman dia dikerjain seniornya."
Kepalaku langsung menoleh ke arah Juna, tapi Juna kelihatan tak peduli. ini anak buka aib orang segampang buka bungkus ciki!
Taran tertawa. "Ah, senior emang kelakuannya suka gitu. Sabar ya, Sya."
Disemangatin Taran gini aku jadi adem. Aduh, hidup ini ternyata nggak sial-sial amat, asal disemangatin Taran.
"Lo ngapain di sini deh, Tar?" Juna kembali bertanya.
"Gue habis dari Guardian, nyari obat sariawan. Pas parkir tadi di depan gue lihat mobil lo. Platnya sama lagi. Pas gue naik ternyata muka lo kelihatan di balkon," jelas Taran sambil menarik kursi dari meja yang kosong dan ikut duduk di meja kami. "Ini kentang siapa deh? Lo ya, Jun?"
"Siapa lagi?"
"Oh, ya udah kalau gitu." Dengan mudahnya Taran mengambil dua potong kentang, memasukkan ke dalam mulut. "Kalau punya Asya kan saya permisi dulu."
"Tai," umpat Juna, sementara Taran hanya cekikikan, sambil ikut memakan kentang milik Juna, kepalanya menoleh ke arahku.
"Jadi, Sya, udah berapa lama sama Juna?"
"Ah, anu. Saya sama Juna tuh cuman—"
"Dia teman SMA gue," justru Juna yang menyambung, dia menyeruput sodanya kemudian mengalihkan tatapannya padaku. "Tadi lo ngomongin Mas Ganesh, kan, Sya? Taran tuh sepupunya."
Aku kira betulan bakal dikenalin jadi pacarnya. Ternyata bohongnya memang hanya untuk Tante Mira, Ya?
Dih, kesannya malah kayak aku yang ngarep dikenalin jadi pacarnya Juna. Nggak sama sekali.
"Oh, ngomongin Ganesh toh?" Taran manggut-manggut. "Hari ini juga saya diajak Ganesh buat ikut premiere film barunya. Kamu mau nonton juga?"
"Mau wawancara," aku mengoreksi. "Kebetulan Mas Ganesh kasih tiket gratis, jadi kru kami bisa ikut nonton. Kata Mas Ganesh biar kami bisa ikut menilai juga."
"Ganesh banget," Taran terkekeh. "Mau berangkat kapan kamu? Mau bareng—"
"Dia kerja, bego, berangkatnya sama kru. Nggak bisa lo modusin," lagi-lagi Juna memotong, tatapannya ke Taran sangat tidak bersahabat.
Heran sendiri aku, kenapa deh ini Juna? PMS? Yang kayak Taran kan enaknya disenyumin, biar kita disenyumin balik.
"Gue cuman nanya sih." Taran geleng-geleng kepala. "Kalau ke sana berarti kita ketemu lagi dong ya, Sya?"
Aku hanya bisa senyum malu-malu. Kalau ketemu lagi, bakal bisa ngobrol bareng Taran kayak gini nggak?
"Ya udah sana, jin. Pergi, pergi." Juna mengibas-ngibaskan tangan kirinya.
"Ngusir banget, berasa tempat nenek moyang ya ini?"
"Memang punya nenek moyang gue. Adam sama Hawa, punya cucu cicit cicit cicit cicit, terus sampai ngelahirin yang punya ini semua. Saudara gue banyak."
Isi kepala Juna ini memang betul-betul ajaib. Nggak bisa aku puji lagi dengan kata-kata.
"Ya sudah deh, lagian gue ke sini cuman mau nyamperin lo aja, nggak enak kalau teriak-teriak di bawah." Taran sepertinya mengalah, hanya tersenyum kemudian beranjak dari kursi, mengembalikannya lagi ke meja semula. "Kalau gitu gue duluan deh."
"Nah, iya. Pergilah."
"Duluan, ya, Sya. See you at the premiere!"
"O-oh, iya. Iya." Aku mengangguk-angguk cepat, mengangkat tangan karena Taran melambaikan tangan ke arahku, dan tak lama menghilang begitu menuruni tangga.
Seperginya Taran, aku hanya bisa terpana sambil senyum-senyum. "Tadi Taran betulan, ya, Jun? Masya Allah sekali gantengnya. Harusnya tadi gue minta foto kali ya."
Yang aku dengar sebagai balasan justru dengusan dari Juna. "Gue nggak tahu lo juga salah satu dari bucinnya Taran."
Ugh, kata "bucin" mungkin terlalu berlebihan. Tapi, yah, gimana? Memang Taran ganteng begitu.
"Heran gue banyak yang suka modelan kayak dia," ketus Juna.
Aku jadi heran sendiri. "Kenapa lo jadi sensi gitu deh?"
"Lo nggak lihat sendiri tadi?" Alis Juna terangkat selagi dia mulai membuka setengah pembungkus nasi. "Awalnya dia ngira lo pacar gue aja, dia masih senyum gitu. Pasti dia udah baca dari awal lo juga bucinnya dia. Pas gue bilang teman, modusnya lancar banget."
"Yang kayak gitu ramah kali, Jun," belaku. "Wajar kalau artis begitu."
Yang lebih aku pertanyakan justru kamu yang main cium orang tiba-tiba waktu ketemu! Bukannya yang lebih parah itu kamu malah, Arjuna? Tolong bercermin.
"His self-confidence is amazing," ujar Juna, matanya berotasi. Sarkastik sekali, saudara-saudara.
"Your hospitality is also amazing, Juna." Aku membalas sambil mengukir senyum tipis.
"Bucin banget ya lo sama Taran? Ck." Juna berdecak, memandangiku dengan sangat amat tidak ramah
Dan aku hanya bisa menurut. Lagian kenapa Juna seolah menjelma menjadi cewek yang baru mau datang bulan. Sensi banget!
*
Aku ingat di salah satu iklan Youtube yang sering muncul di akunku, Masterclass, Bob Woodward bilang, "Everyone is a journalist."
Itu betul sih. Karena tiap orang mengumpulkan informasi, mengajukan pertanyaan, kemudian menyebarkannya. Aku ingat dulu waktu kuliah kami suka bercandain ibu-ibu tukang gosip sebagai jurnalis kelas khusus, di mana informasi yang dikumpulkan tidak begitu akurat, sumbernya dipertanyakan, tapi cara menyebarkannya, beuh, jago banget.
Being a journalist is part of my childhood dream. Buat aku yang suka bertanya, pekerjaan ini terbilang cocok untukku, di hasil psikotes waktu itu pun jurnalis masuk jadi pilihan kedua tertinggi. Don't ask, I don't really want to talk about the first option. Bukan aku banget.
Aku pikir mengambil bidang jurnalistik sama dengan embracing my own talent. Sayangnya aku terlahir untuk banyak tanya, bukan untuk multitasking. Mengingat Mas Ganesh memang lagi hangat-hangatnya dibicarakan, banyak media yang datang, dan itu berarti aku harus rebutan.
Aku bukan hanya menyusun pertanyaan juga berita, atau sekadar mewawancarai, hari ini aku juga harus ganti-gantian jadi kameramen dengan satu anak magang yang ikut bareng aku dan Bang Jinan. Sumpah, badan aku pegal semua ini!
Berbeda denganku, Bang Jinan justru tertawa anteng. Dia bersandar di kursi sambil menenggak air minum dingin yang dibeli di bioskop. Ketimbang protes dengan acara lari-lari dan ngejar berita ini, Bang Jinan malah lebih berkomentar dengan harga air minum yang tiga kali lebih mahal ketimbang warung sebelah kosannya.
"Harus terbiasa, Sya, makin lama lo kerja, makin harus bisa multitasking," komentar Bang Jinan.
Aku mendengus di tengah napasku yang masih berantakan. "Untuk kita sempat wawancara sebelum premiere, Bang. Nggak kebayang deh kalau habis lari-lari gini harus wawancara lagi, tepar gue."
Bang Jinan justru mengangkat alis. "Ini masih Ganesh, lho. Kalau lo mainnya pejabat, bisa lebih mantap."
"Lo pernah emang?" tanyaku. Perasaan dari yang Pak Samudra bilang, Bang Jinan dari dulu magang sampai kerja sudah di HypeMe. Karyawan generasi pertama.
"Pacar gue kerjanya di stasiun televisi nasional."
Aku manggut-manggut dengan mulut yang terbuka. Oh, ternyata Bang Jinan sudah punya pacar. Kirain jomlo karena nggak ada yang tahan sama kelakuan dan bercandaan garingnya.
"By the way, tadi gue lihat Taran lho, Sya," kata Bang Jinan lagi.
Omong-omong soal Taran, aku memang melihatnya. Sayangnya kami hanya sekadar melempar senyum. Boro-boro ngarep ngobrol sama Taran, aku aja tepar begini karena kerjaan.
"Memang dia ikutan nonton ini," balasku.
"Oh, ikut toh. Pan—eh, kok tahu?"
Aku meluruskan punggung. "Ganesh sama Taran sepupuan."
"Wow, baru tahu." Bang Jinan mengangguk pelan. "Tapi kok lo tahu?"
Sengaja, aku membalas dengan cengiran jail. "Mantap, kan, jaringan sosial gue, Bang?"
"Halah, tahunya juga dari pacar lo, kan?"
"Pacar?" Keningku jadi mengerut.
"Itu yang drummer—"
"Itu teman SMA, anjir!"
Perasaan aku nggak ada bilang apa-apa soal Juna. Lagian kan yang tahu kamu pacaran—ugh, ralat, yang kami bohongin lebih tepatnya—hanya Tante Mira dan Kak Jeni.
Aku melotot ke arah Bang Jinan, tapi belum sempat protes lagi, ponselku bergetar. You know, it's quite important to not put your phone in silent mode. Bisa jadi ada telepon yang menawarkan uang dua milyar. Nggak gitu juga sih, tapi kalau di-silent aku bisa-bisa melewatkan notifikasi penting, kayak telepon dari kantor misalnya.
Kurogoh saku untuk mengeluarkan ponsel, mengira mendapat pesan dari kantor. Ternyata nggak. Yang muncul justru kontaknya Juna.
Dan, sumpah, deh, apa cuman aku yang nggak suka tiap menerima chat tuh hanya satu doang, dan isinya cuman manggil nama. Nggak tahu apa kepalaku jadi nggak tenang hanya karena pesan singkat begini?
Junot Kalandra
Asya
Hanandika Arasya
Apaan?
Tolong jangan bikin gue jantungan.
Lo nggak lagi di Ciwalk kan?
Junot Kalandra
Kagak lah
Ngapain???
Oh, atau ngarep dijemput gitu?
Hanandika Arasya
Siapa yang ngarep dih
Lagian lo ngechat tiba-tiba gitu
Junot Kalandra
Deg-degan ya?
Hanandika Arasya
Pengen nabok :)
Junot Kalandra
Sukanya main kasar, ya?
"Apatuh kasar-kasar?"
Aku spontan berdiri begitu menyadari Bang Jinan ternyata ikut membaca pesan di layar, senyum miringnya terbit dengan alis yang naik turun. "Ternyata yang butuh air zamzam tuh lo, ya, Sya? Mau patungan sama gue nggak buat beli bareng?"
"Apa sih, Bang Jinan! Nggak jelas!" aku menyalak, sementara Bang Jinan hanya terkekeh. Sengaja kuturunkan brightness layar ponsel supaya nggak diintip lagi, duduk di bangku paling ujung.
Hanandika Arasya
Gak usah aneh-aneh
Lo ngechat gue kenapa deh?
Junot Kalandra
Gpp.
Mau aja.
Kangen ceritanya
Masyaallah! Kenapa aku merinding disko begini baca chat Juna yang terakhir?
Hanandika Arasya
Betulan pengen nabok jun
Asli ini mah
Junot Kalandra
Jangan dong teteh
Nanti ganteng AA hilang :(
Ingin kuberkata kasar, sungguh!
Ini juna kenapa sih?
Hanandika Arasya
Sumpah juna geliiii
Gak jelas sih
Udah ah gue masih kerja ini
Junot Kalandra
Iya dah
Menghela napas, aku berniat untuk mematikan ponselku. Tapi ternyata pesan dari Juna belum berakhir. Masih ada chat lagi yang masuk.
Junot Kalandra
Minggu nanti lo libur ga?
Ke Gramed yuk, temenin gue cari komik
Sekalian mau cari alat gambar
Hanandika Arasya
Lah kan bisa sendiri?
Bisa pakai olshop juga
Gue ada link nih kalau mau
Junot Kalandra
Maunya cari langsung, biar bisa baca-baca juga.
Bisa ga?
Sebetulnya hari minggu aku dapat libur sih, karena untuk weekend ada orang lain yang bertugas, dan kebanyakan anak magang juga di situ. Masih ada tiga hari lagi sebelum hari minggu, dan kalau semua tugasku akan sebegini capeknya, aku memilih untuk rebahan saja di rumah.
Baru saja aku mau mengetik pertimbanganku, sudah ada chat lagi yang masuk.
Junot Kalandra
Kalau mau gue kasih album deh nanti
Plus tanda tangannya Taran yang lo bucinin itu :)
Aku disogok pakai Taran nih? Tanda tangan Taran?
Sesaat aku menimang-nimang. Tanda tangan Taran. Album gratis. I'm not into that kind of thing, actually. Aku juga sama sekali nggak punya Album Beat Up, paling hanya streaming lewat Spotify atau Youtube aja.
Tapi kalau ditawarin begini sih....
Hanandika Arasya
Oke.
Serius ya lo bawain gue ttd Taran.
Awas kalo ga!
Junot Kalandra
Iya elah.
Dasar bucin.
Bukan bucin. Tapi ya menolak sesuatu yang ganteng seperti Taran kan mubadzir. Aku baik, kan?
Tapi kalau dipikir-pikir, berarti aku bakal jalan sama Juna lagi dong? []
*
Catatan:
Jinan Agaswara itu siapa? Ini dia.
Anak broadcasting, ikut UKM fotografi dan suka mampir ke kampus buat liat-liat. Cita-cita pengen jadi fotografer majalah dewasa tapi masih sayang dan takut sama pacar. Akhirnya jadi reporter ngerangkap kameramen di HypeMe deh.🙈
In which you guys wonder, Asya nih tipikal cewek yang bukan fans garis keras tapi still fangirling juga kalo liat yang ganteng. Jadi itu kenapa Asya nggak tau-tau banget soal drummer band Beat Up itu temennya sendiri, karena she enjoyed the music first rather than the fanservice. Dan, lebih fokus ke Taran. We've been there rite? Suka satu grup karena awalnya naksir satu orang. Apakah ada #SepertiAsya? 😏
Dan, oh. Sini main ke sini, aku update daily (wong repub).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro