Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4: Meet Mate

Aku mau kasih tambahan dikit kalo HypeMe ini semacam VoA (terlalu elit sih) dan ini siara multimedia jadi ada di tv maupun internet. Targetnya anak muda dan Asya kerja di bagian entertainment. Basically dia jurnalis, tapi berdasarkan pengalaman temen aku yang pernah magang, di penyiaran dan media kayak gitu satu orang bisa multitasking, which dia pernah yang jadi jurnalis (nyari dan nyusun berita), dia yang jadi reporter, dan dia juga yang megang kamera. Hectic, sure. Nggak semuanya begitu kok, tapi kurang lebih pengalaman temenku ini jadi sedikit bagian dari keseharian Asya (walaupun ada Jinan buat jadi camera-person). Semoga infonya sedikit menerangkan~

-

Hari pertamaku bekerja kemarin cukup gila.

Well, sangat amat gila sebenarnya. Tapi untungnya aku masih bisa bekerja. Pak Andra nggak memarahiku karena keteledoranku, dan Pak Samudra menyambut hangat hasil wawancaraku dengan Juna, bahkan sampai minta maaf karena aku ditinggal oleh Mbak Santi dan yang lain.

Tapi, itu nggak berakhir semulus yang aku bayangkan. Karena di saat aku pikir aku nggak akan berhubungan lagi sama Juna, Pak Samudra nampaknya nggak setuju dengan itu dan memintaku untuk menghubungi Juna kalau kita ada keperluan.

"Karena Juna teman kamu, bisa nggak liputan-liputan lain kamu coba contact dia untuk bantuin kita? Berita mereka termasuk salah satu yang bikin segmen entertainment kita rating-nya tinggi, pengunjungnya. Kalau kita bisa jadi yang paling update soal Beat Up, pasti bakal lebih naik lagi kita, Sya."

Tentu saja, aku nggak bisa menolak. Dan itu membuat taruhanku untuk nggak pernah menelepon Juna langsung hangus.

Saat mengantarku ke kosan kemarin, Juna meminta kami untuk bertukar nomor agar lebih gampang menghubungi. Juna bilang, "Lo bisa minta tolong ke gue kalau butuh sesuatu, dan gue bisa minta tolong hal yang sama barangkali nyokap gue—"

"Nah, lo bilang nyokap lo nggak akan ngapa-ngapain lagi?" aku menyalak.

"Buat jaga-jaga, Sya. Jangan kayak orang bego deh."

Yang bego di sini aku atau kamu, Jun?

"Nomor gue nggak usah disebar, ya." Juna mengingatkan.

"Dih, siapa yang mau nyebarin. Paling juga gue hapus," balasku cuek.

"Yakin nggak mau minta tolong?"

"Taruhan, nggak bakal." Aku menjawab yakin.

Waktu bilang itu, aku yakin banget Aku nggak mau membayangkan kegilaan-kegilaan yang mungkin terjadi kalau aku bertemu Juna lagi. Tapi kalau sudah begini, aku seperti menjilat sendiri.

Harusnya paling nggak aku minta tolong Juna untuk kasih kontaknya Taran aja kali, ya? Kan lebih enak kalau bisa dapat akses ngobrol sama Taran.

"Nih, lihat nih, baru hari kedua kerja udah segila ini lo sampai senyum-senyum sendiri ngelihatin hape?"

Terdengar suara dari belakangku, ternyata dari Bang Jinan. Cengiran jahilnya muncul selagi dia menarik kursi untuk duduk di samping meja kerjaku.

"Berisik, ah. Lo juga yang bikin hari pertama gue gila, Bang." Aku buang muka sambil meletakkan ponsel di meja, memilih untuk fokus mengetik naskah berita di komputer.

"Ya maaf sih, Sya. Lagian lo lama banget, diteleponin nggak bisa-bisa. Santi juga sakit perut, minta diantarin ke apotek buat beli obat."

Sekarang aku merasa Mbak Santi punya dendam kesumat padaku. Memangnya aku ada masalah apa sih sama Mbak?

Aku mau cerita ke Bang Jinan, but as far as I concern, dulu pas magang, menggosip dengan Bang Jinan itu sama kayak mau cebok pakai gayung retak. Bocor yang ada! Lagian apalah artinya junior yang bicara kejelekan senior? Malah dinasehatin nggak boleh suudzan adanya.

Suudzan padahal efeknya berasa sekali.

"Eh, iya, Sya," Bang Jinan kembali bersuara, "kata Pak Sam tadi member Beat Up ada yang teman SMA lo? Itu betulan?"

Agak kaget sih karena Bang Jinan sampai tahu, tapi aku cuman bisa mengangguk. Nggak mungkin bohong juga, apalagi kalau udah bawa-bawa namanya Pak Samudra.

Bang Jinan manggut-manggut sementara satu sudut bibirnya menunggu. "Oh, teman lama?"

"Lah, iya teman."

"Teman?" Penekanan kentara dalam kalimat Bang Jinan cukup mengusik, apalagi ditambah senyum jailnya itu. "Bukan teman yang...."

"Bang Jin, kalau nggak salah itu Bu Shinta lagi ke Mekkah, kan? Titip air zamzam coba, biar kepalanya lebih jernih, hidup bisa lebih baik," nyinyirku selagi berdiri.

Bang Jinan langsung memandangiku dengan mulut yang menganga. "Bisa banget nyindirnya, ukhti. Masyaallah sekali sarannya air zamzam."

Mataku merotasi malam, sementara Bang Jinan hanya tersenyum. Susah memang menyindir orang yang mukanya tebal banget lebih-lebih dari karet ban mobil.

Beranjak dari kursi, Bang Jinan menepuk pundakku. "Ya udah deh, semangat nyelesaiin beritanya. Jangan lupa habis makan siang nanti lo bareng gue mau wawancara di premiere film-nya Mas Ganesh di XXI Ciwalk."

Oh, iya. Aku ada wawancara lagi. Baru ingat. Dan di hari kedua ini aku sudah terlibat dengan orang yang cukup besar. Memang begini ya rasanya kalau bekerja di media yang besar? Kerjaannya sama orang yang wow semua. This potato girl can't relate.

"Berangkat jam berapa kita, Bang?"

"Sekitar jam dua deh, pokoknya jam tiga udah harus ditempat. Kan lumayan kita dapat tiket nonton juga."

Aku beruntung, yah. Tapi berdasarkan pengalaman, terlalu bahagia juga nggak baik. Intinya semua keberuntungan ini harus aku sertai dengan antisipasi. Siapa tahu Bang Jinan mau ikut ngerjain aku. Bukan suudzan tapi, yah, who knows?

Aku pun mengangguk. "Oke deh, Bang."

"Nanti gue ke sini lagi deh buat samperin—eh, itu hape lo kenapa?"

Karena Bang Jinan, aku menoleh ke arah ponselku. Layarnya menyala dengan satu nama yang muncul di layar. Ada telepon yang masuk.

"Aduh, duh. Junot siapa tuh?" goda Bang Jinan.

Demi keamanan diri, aku pun beranjak, mendesis pada Bang Jinan selagi berjalan menjauh untuk mengangkat telepon.

Ini Juna juga ngapain nelepon? Jangan bilang kalau hari ini ada hal aneh lainnya. Please, no. Aku capek untuk jadi orang cengo lagi karena semua tindakan Juna.

Sekadar menerka jelas tidak membantu, jadi aku mengangkat telepon, sengaja mengecilkan volume suaranya.

"Halo, Jun—"

"Asya, lunch bareng, yuk? Lagi jam makan siang, kan? Gue ada di depan redaksi lo nih."

Aku mau protes karena dia memotong sapaanku begitu saja, tapi ada hal lain dalam kalimatnya yang membuatku kontan berdiri, berjalan cepat ke arah jendela besar kantorku untuk melihat area depan redaksi, mendapati Land Rover hitam yang sama seperti yang mengantarku pulang tadi malam.

Dan butuh beberapa detik bagiku untuk sadar, kalau Juna betul-betul serius dengan kalimatnya.

"HAH? SEJAK KAPAN LO DI LUAR?"

*

Yang aku tahu, seorang public figure—artis apalagi—akan ekstra hati-hati dalam memilih tempat berpergian. Tak jarang mereka membawa orang lain, manajer, bodyguard, atau semacamnya, untuk mengunjungi tempat yang ramai. Apalagi kalau artis yang fansnya kebanyakan cewek. Banyak yang brutal. Aku sering lihat artis-artis Korea yang sampai sebegitu dilindungi karena fansnya pada brutal, ke mana-mana pakai masker, pokoknya menutup diri supaya bisa menikmati privasi.

Tapi di sini Juna melakukan persis seperti kebalikannya.

Tidak ada jaket tebal, masker, atau semacamnya. Juna hanya mengetakan kaus putih yang ukurannya satu tingkat di atas ukuran aslinya, celana jins hitam ditambah topi yang menutup kepala, Juna melenggang masuk begitu saja ke dalam restoran cepat saji yang tak jauh dari kantorku dan memilih meja yang ada di lantai atas.

"Mau ngerokok, Jun?" tanyaku begitu Juna memilih meja di area balkon, tepat di paling pojok.

Juna menggeleng santai, menyandarkan punggung pada tralis yang membatasi pinggiran balkon. "Nggak, cuman lebih suka di luar aja. Lebih ada angin."

Aku cuman bisa mengangguk, meletakkan tas untuk mengambil dompet. "Gue yang pesan deh. Lo mau a—"

"Lo aja yang tunggu di sini, biar gue yang pesan," potong Juna, membuatku mengerjap heran.

"Lo nggak ada niat nutupin diri gitu? Udah di sini rame banget gini," aku memandanginya curiga. "Atau lo malah mau ngegodain kasirnya?"

Juna terkekeh, senyum asimetris terbentuk di wajahnya. "Good idea, Sya. Mungkin nanti kita bisa dapat diskon."

"Juna, ih! Ngaco!"

Dia malah cekikikan. "Gue juga bingung mau pesan apa, mau lihat menu sekalian. Ya kali gue godain kasirnya Cuma buat minta diskonan," katanya. "Lagian bukan restoran nenek moyang dia ini. Paling gue nggak dapat diskonan—"

"Nah, tuh tahu."

"—tapi dapat dia buat diajak main bentar di toilet."

Aku kontan terbelalak, sementara Juna justru kelihatan santai seakan nggak ada yang salah dari ucapannya itu. Gendheng!

"Udahlah, gue aja yang pesan," kata Juna, mukanya kelihatan tak acuh, "gue nggak merasa seterkenal itu sampai bakal dirusuhin."

Aku harus menanggapinya sebagai perilaku yang merakyat atau nggak peduli ya?

"Lo mau pesan apa?" Juna berdiri sambil meninggalkan ponsel di meja.

"Yang biasa aja deh, ayam sama nasi."

"Cola?"

"Mango float."

Juna hanya mengangguk singkat, tanpa mengatakan apa-apa langsung ngacir ke tangga dan turun. Mengherankan sih, tapi karena bercandaan nggak lucunya itu aku jadi membayangkan kalau Juna betulan bakal dapat diskon, dan aku harap dia nggak betulan mau "noilet" sih.

Candaannya Juna emang nggak banget.

Selang beberapa menit Juna sudah kembali dengan satu nampan penuh di tangannya. Ada dua potong ayam, satu cola, satu mango float, dan tiga french fries large. Aku sampai dibuat kaget karena penuhnya nampan yang dia bawa. Nampaknya, bukan hanya aku yang berpikir begitu, karena beberapa orang yang ada di area balkon ikut memperhatikan selagi Juna berjalan ke meja. Tapi lagi-lagi, Juna terlihat sama sekali nggak peduli.

"Jun, ngapain kentang sebanyak ini?" tanyaku.

"Ya buat dimakan, masa buat dipelototin?" Juna justru balik bertanya, dengan cuek mulai memindahkan pesanan dari nampan, sementara french fries-nya dideretkan di tengah meja.

Ini anak maniak kentang apa gimana?

Juna mulai menyuap kentang ke dalam mulut, sebelah tangannya menjadi penyangga dagu. Reaksiku sepertinya tidak akan berpengaruh apa-apa. Ya nggak mungkin juga sih minta refund dan balikin french fries ini.

"Ini lo ngajak ketemuan untuk apa?" tanyaku, berusaha untuk mengabaikan semua kentang yang ada di meja.

"Ya nggak papa, ngajak lunch aja. Mumpung tadi gue lewat di depan HypeMe," Juna menjawab cuek. "Jadi gimana kerjaan kemarin?"

Dia mencoba mengalihkan topik atau gimana deh?

"Untungnya Pak Samudra nggak protes, Mas Andra juga minta hasil wawancara lo masuk ke berita buat besok. Beritanya lagi gue kerjain," aku mengikuti. Ya sudahlah, protes juga hanya bikin buang-buang tenaga.

Juna manggut-manggut, masih dengan santai memakan kentang gorengnya itu. "Jadi hari ini lo cuman di kantor aja?"

Aku tersenyum, sengaja membiarkan bibirku miring. "Jam dua gue mau ke Cihampelas buat wawancara. Kurang jauh ini ngajaknya sampai Jalan Merdeka, Jun."

Sekilas, Tamansari memang nggak jauh banget dari Merdeka, tapi siang begini jalanan sering memberi kejutan dengan kemacetan. Aku juga baru tahu kalau Juna membawaku ke sini karena dia hanya bilang "mau makan" tanpa bilang makan di mana.

"Gue antarin balik sih, santai. Nggak usah pakai nyindir gitu."

Hidup kamu itu terlalu santai, Jun. Aku mana bisa sesantai ini. Apa jadi artis memang bisa sesantai ini karena semuanya serba disiapin orang lain? Well, a life I totally can't relate.

"Mau ngeliput apa di Cihampelas?" Juna kembali mengajukan pertanyaan baru, sindiranku sebelumnya seakan tidak lebih dari angin lalu.

"Film baru Mas Ganesh premiere di Ciwalk, jadi kita ngehubungin buat wawancara, dan Mas Ganesh-nya bisa. Mumpung lagi dekat jadi dikejar."

"Oh, Mas Ganesh premiere di sini?" Juna seperti bergumam ketimbang bicara padaku. Kembali dia gigit kentang gorengnya sebelum meluruskan punggung. "Pantas aja ya si Taran izin dulu. Ternyata Taran mau—"

"Ngobrolin gue nih lo sama pacar lo, Jun?"

Kepalaku menoleh, dan spontan saja aku berdiri begitu melihat cowok dengan kemeja biru bergaris merah yang mendekat ke meja, menurunkan sedikit maskernya. Butuh beberapa detik bagiku untuk mengenali wajahnya.

Dia cowok yang buat aku naksir sama Beat Up.

Dia yang suara seraknya kedengaran enak banget di telingaku. Kalau dia ini lagu Awkarin, dia ini yang bakal jadi "Candu".

Mendadak aku menganga dan mematung.

Oh my God! Cowok ini betulan... Taran? []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro