27: Dirty Little Secret
-3
Kalau udah ngikutin aku, mungkin hafal masa-masa aku ngetik lama di mana (belasan ke puluhan, dan bagian ending). Kenapa? Soalnya, yah... gitu. Berad. Selain ngurus hal receh, otak aku nggak kuad. Tapi sans, ini mungkin nyusul jadi orific kedua yang bisa kutamatin full di Wattpad. Tapi kalo tiba-tiba dihapus monmaap ya. Lagi nyari nyari rumah~
In the meantime, enjoy!
---
"Mau aku ambilin minum lagi, Sya?"
Aku menggeleng sementara Taran beranjak dari sampingku, sama sekali nggak mengambil jaket yang dia sampirkan untuk menutupi punggungku.
This night feels so weird.
Beberapa waktu lalu, aku menikmati debaran dalam dada selagi menyadari fakta kalau aku jatuh cinta. Malam ini tampaknya akan menjadi hal membahagiakan. Walaupun nggak bisa membuat lagu apalagi menyatakan perasaan dengan cara luar biasa, aku sudah merangkai ucapan terima kasih, dan mungkin sedikit hadiah kecil untuk Juna.
Namun jangankan hadiah, kebahagiaan itu saja sekarang entah ke mana. Semua yang terjadi sebelumnya seakan habis ditiup angin, hanya menyisakan sesak dan mata perih, membuatku sesenggukan di tempat.
Dan faktanya, aku melakukan ini di depan orang lain. Even worse, orang itu adalah Taran.
Aku nggak tahu apa hal ini harus disyukuri atau tidak. Aku bisa jadi orang gila kalau menangis sendirian, tapi menyadari fakta bahwa ada yang tahu betapa miserable-nya aku sekarang sama sekali nggak membuatku merasa lebih baik.
"Sya?"
"Ini belum habis," balasku pelan sambil mengangkat botol air mineral yang sebelumnya Taran berikan. Apa aku kelihatan dehidrasi sampai ditawarkan minum banyak? Satu-satunya yang basah cuma mataku sekarang.
"Kalau kurang bilang aja, ya," kata Taran. Aku hanya mengangguk dan dia pergi lagi, dan tak lama kembali lagi dan duduk di sampingku.
"Nggak wawancara, Kak?" tanyaku. Pertanyaan terpanjang yang bisa kuucapkan. Tiga kata saja seperti sudah menguras tenaga.
"Bentar lagi paling. Revan lagi ada urusan bentar," kata Taran. Selama beberapa saat kami hanya diam. Taran bersandar di sofa, tampaknya mencari-cari posisi nyaman dan membuat sofa sedikit menandak. "Tadi aku lihat Mentari."
Tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Taran hanya mengungkapkan sesuatu yang sudah kuketahui lebih dulu.
Bukan salahnya, aku tahu.
Sialnya, nama itu membuatku sakit hati.
Kurapatkan bibirku, menahan desakan untuk mempermalukan diri lebih dari ini. Aku seharusnya nggak di sini. Taran pun seharusnya nggak bersamaku sekarang. Kami sama-sama punya pekerjaan masing-masing—dia dengan wawancaranya, dan aku kembali ke tempat asalku.
Semuanya terasa salah sekarang.
"Aku boleh nanya nggak, Sya?"
Suara Taran kembali mengabukan keheningan canggung sebelumnya. Aku hanya menjawab dengan gerakan kepala kecil.
"Kamu sama Juna... pacaran" tanya Taran lagi, suaranya pelan dan menggantung, seakan menunjukkan keraguan. Sorot matanya sayu, membuatku sadar seberapa kasihannya keadaanku sekarang. Aku nggak langsung menjawab, dan dia langsung menggeleng sembari menggaruk tengkuk. "Kamu nggak perlu jawab kalau—"
"Nggak."
"Eh? Serius?" Taran mengerjap kaget. Ah, aneh. Memangnya aku dan Juna kelihatan punya hubungan khusus, ya?
"Aku sama Juna nggak pacaran," jawabku cepat, dalam hati menyampaikan hal yang sama, menempelkannya pada otakku.
Memang begini, kan? Mungkin hanya aku yang dari awal merasa spesial. Hanya aku yang merasa perlu mengakui hubungan ini. Jika Juna saja bilang kami hanya teman, aku akan melakukan hal yang sama. Adil, kan? Jadi sah-sah saja dia bertemu orang lain dan mengakui cinta lama terpendamnya.
Mungkin sejak awal aku yang salah.
"Jadi di depan Taran, kamu sama aku apa, Arasya?"
Jelas-jelas itu bukan suara Taran, karena asalnya dari arah pintu. Aku memelotot begitu melihat sosok di sana. Juna.
Orang yang kucari.
Orang yang seharusnya kutemui sejak tadi.
Orang yang ....
"Dia pacar gue," tukas Juna lagi. Dia buru-buru mendekat dan menarik tanganku, membuatku tersentak. "Lo ngapain sih, Tar?"
Taran kelihatan bingung. Hanya saja sebelum sempat ada percakapan lain di antara mereka berdua, aku langsung melepaskan diri.
"Kamu yang apa-apaan!"
Aku nggak seharusnya berteriak. Sayangnya, semua 'seharusnya' itu sudah nggak ada lagi sekarang.
Juna tampak terkejut, lipatan keningnya terlihat ketika dia memandangiku. "What's wrong, Sya? Kamu kenapa?"
Kamu.
Itu satu hal yang ingin kubiasakan di antara kami. But it won't do anything know, will it?
"Kenapa?" Aku mendengkus. Sekalipun dada sesak, dorongan untuk tertawa muncul. Ya, menertawai kemirisan diri sendiri. "Aku nyariin kamu, Jun. Kak Taran bawa aku ke sini daripada aku kelihatan kayak orang gila di luar."
"Kamu bisa langsung masuk aja. Dan nggak perlu bareng-bareng sama dia sampai harus nutupin hubungan kita—"
"Harusnya kamu bareng aku di sini, bukannya ketemu gelap-gelapan sama cewek lain dan ngakuin perasaan kamu ke dia!"
Bukan intensiku untuk meninggikan suara. Namun itu persisnya yang terjadi sekarang. Juna terbelalak kaget tanpa mengatakan apa-apa. berarti aku benar, kan?
"Kamu nggak pernah cerita apa pun soal Mentari ke aku," lanjutku lagi dengan suara bergetar.
Tak peduli sekera apa pun usahaku untuk nggak kelihatan pathetic, kenyataannya tetap tidak berubah. Aku seperti berada di ujung tebing dan sebentar lagi akan jatuh ke dalam jurang.
Kali ini Juna mendekat, menggamit kedua tanganku. Dia menatapku lekat-lekat dengan sorot penuh penyesalan. Aku nggak suka itu. Aku nggak tahu apa yang kuinginkan darinya. Permintaan maaf nggak akan bisa memutar waktu dan merekonstruksi hati yang hancur.
"Aku... aku nggak tahu dia bakal datang, Sya. Sumpah!" Juna menggeleng cepat. Genggaman tangannya mengeras. "Dia ngehubungin aku dan bilang nggak akan pulang sebelum bisa bicara sama aku. Aku nggak mau bikin ribut setelah konser kayak gini."
"Kalaupun kamu tahu, memangnya kamu bakal cerita ke aku? Nggak kan?"
Juna lagi-lagi diam. Anggap saja aku bodoh, tapi aku berharap dia bisa menjelaskan padaku. Sesuatu yang bisa membuatku lebih memaklumi, atau mungkin melupakan apa yang sudah kulihat dan kudengar langsung maupun cerita-cerita dari orang lain tentang Mentari.
Aku ingin berhenti memikirkan kemungkinan kalau aku hanya batu pijakan bagi Juna yang patah hati karena cewek yang dia sayang terjerat skandal dengan orang lain. Dan nggak ada jaminan jika aku berusaha, Juna akan memilihku ketimbang Mentari.
"Kamu bilang kamu sayang sama dia."
"Sya, nggak gitu. Aku hanya—"
"Apa karena itu kamu bilang ke orang lain kalau aku hanya teman kamu?"
"Hah? Kapan aku bilang begitu?" Juna terlihat nggak terima sementara suaranya meninggi. "Aku nggak pernah bohong ke orang lain soal kita, Sya!"
Really? Dia bermaksud mau menutupi fakta dan bertindak seakan aku yang salah di sini?
"But you did, Juna! You did!" teriakku. "Waktu aku sakit, kamu teleponan dan bilang ...."
Aku nggak bisa melanjutkan lagi. Nggak bisa dengan bersikap baik-baik saja dan tetap berdiri tegak. Kutarik tanganku dari genggamannya, mundur untuk memberi jarak di antara kami.
ternyata begini ya maksud sesuatu yang dekat bisa terasa begitu jauh? Tak peduli sejauh apa tanganku mencoba meraihnya, kenyataannya Juna memang out of reach. Aku yang terlambat menyadarinya karena sibuk berkhayal dengan hati sendiri.
"Kamu sendiri yang bilang love isn't supposed to be hurt, kan?" tanyaku lirih. "Terus... ini apa? Kamu nyembunyiin apa lagi?"
"Sya, please. Maksudku bukan kayak gitu." Juna melangkah mendekat, tapi aku menggeleng cepat, di saat yang sama mengambil langkah menjauh.
"Kamu nggak seharusnya bilang cinta sama aku kalau hati kamu aja di orang lain."
Berhenti. Berhenti. Berhenti.
Aku harus berhenti.
Inginnya berhenti.
Kenapa semua jadi sesulit ini?
Aku harus mengendalikan emosiku. Sekalipun marah, di sini bukan tempatnya. Tidak di hadapan Juna dan kemungkinan akan ada orang lain yang masuk dengan pintu terbuka lebar begitu.
Kuangkat kepalaku untuk menatap Juna. "Do you really love me, Arjuna Kalandra? What am I to you?"
Semuanya kembali hening. Aku sadar Taran sedari tadi melihat betapa berantakannya hubungan kami. Dia tetap diam, dan sesaat kusadari tatapannya mengarah padaku. Aku dan Juna belum pernah ribut sebelumnya, setidaknya setelah pacaran. Namun sekarang, keributan kami benar-benar parah.
Aku nggak heran jika setelah ini Taran ikut menjauh dariku karena keanehanku sekarang. Dia mungkin memilih temannya daripada aku yang hanya orang luar. Aku hanya mempermalukan diriku sendiri di sini.
"Sorry," jawab Juna akhirnya. Anehnya dia justru berbalik, buang muka dariku. "Aku terlalu berharap sama kamu. My bad."
Taran melangkah mendekainya. "Jun, nggak gitu caranya buat—"
"Bukan urusan lo, Tar," potong Juna cepat. "Mending lo juga keluar. Kita masih mau wawancara. Tempat lo bukan di sini."
Tanpa menoleh dan mengatakan apa-apa lagi padaku, Juna langsung keluar dari ruangan. Dia sama sekali nggak berbalik. Dia sama sekali nggak melihatku.
Dia sama sekali nggak peduli. Dan nggak ada yang bisa menghentikan. Aku tidak yakin itu hal yang tepat untuk dilakukan sekarang.
Kukepalkan tangan kuat-kuat sementara sesuatu di dalam dadaku terasa beriak-riak. Ternyata begini rasanya patah hati, ya? Tak peduli ketika sebelumnya hatiku siap melayang kapan saja.
"Sya," panggil Taran. Dia berbalik dan melangkah mendekat, dan aku yakin dia akan mengatakan sesuatu. Entah untuk menghibur, menenangkanku, atau menjelaskan sesuatu. Apa pun itu, Taran nggak perlu melakukannya. Sungguh.
Aku menggeleng, berusaha tersenyum, meski rasanya mukaku sendiri sudah nggak berbentuk. "Kak Taran pergi aja, mau wawancara, kan?" kataku. "Aku juga mau pulang."
"Aku bisa panggilin Juna kalau kamu ...."
"Gakpapa, Kak," ujarku meyakinkan. Sambil beranjak, kutanggalkan jaketku dan mengembalikannya. "Maaf ngerepotin."
Lagi pula, tempatku bukan di sini.
*
Nyatanya, menjadi profesional itu susahnya bukan main.
Dalam setiap profesi, hal itu sudah pasti menjadi tuntutan wajib. Begitu juga dengan pekerjaanku. Sayangnya, sejak dulu teori lebih mudah ketimbang praktik.
Nggak perlu diberitahu pun, aku sadar semua yang terjadi di antara aku dan Juna sama sekali bukan alasan untuk tidak kooperatif dalam bekerja. Namun pura-pura nggak tahu juga bukan opsi tepat.
Satu minggu telah berlalu sejak tur Beat Up di Jakarta, dan hari ini mereka kembali datang untuk recording episode terakhir dari Days With Beat Up. Sejauh ini, akulah yang berada di balik kamera sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Hanya saja kali ini tugas itu dipindahkan ke Mbak Santi, berhubung dia juga yang mewawancarai mereka, sementara aku sibuk dengan tim kreatif untuk menyelesaikan beberapa episode yang belum tayang dan masih perlu diperbaiki.
Aku tentu nggak akan protes. Begini memang lebih baik. Situasinya cukup ideal untuk tetap menjaga profesionalitas, ya? Faktanya, yah, nggak juga. Berada di gedung berarti masih punya kemungkinan kami bertemu, setidaknya berpapasan.
Dan itulah hal yang membuatku meragukan diri sendiri. Dengan bersembunyi di kantor, sama saja seperti aku yang menghindar, kan? Seharusnya aku nggak perlu melakukan itu.
Bisa saja aku beralasan semua ini untuk melindungi hati, tapi itu juga jadi bumerang karena aku bawa-bawa urusan hati ke lingkungan pekerjaan.
Mau cari di Google pun, hal seperti ini nggak ada jawabannya.
"Lemas amat, Bu. Kayak orang lagi—"
"Berisik, Bang."
Maya sudah lebih dulu menepuk punggung Bang Jinan. Aku menoleh dan memutar kursiku. "Apa?"
"Biarin aja Bang Jinan, Sya," kata Maya, lantas mendorong Bang Jinan menjauh. "Lo fokus aja itu sama kerjaan."
Aku tersenyum dan menggumamkan terima kasih sebelum memosisikan diri untuk kembali pada pekerjaan. Maya sudah pasti sengaja menjauhkan Bang Jinan dengan kebiasannya menggangguku. Sewaktu pulang dari konser, aku sama sekali nggak bisa menyembunyikan penampilan kacauku. Untungnya hanya Maya yang duduk di belakang, dan tanpa bertanya apa-apa, dia hanya memelukku dan mengelus punggungku. Gestur menenangkan yang membuatku berhasil sesenggukan.
Sampai hari ini, Maya sama sekali nggak bertanya. Dan melihat kelakuan Bang Jinan, aku rasa kejadian minggu lalu di dalam OB Van hanya dia simpan sendiri.
"Kalian berdua lagi pada dapt barengan, ya?" tuduh Bang Jinan. Meski begitu dia nggak lagi merusuh, menarik kursi kosong di samping kubikelku dan menempatkannya di antara aku dan Maya. "Bentar lagi kita sama Beat Up udahan."
"Ini cuman reality show doang. Bukan sinetron tukang bubur," komentar Maya tak acuh.
"Kan, galak bener lho jadi betina." Bang Jinan mendengkus. "Gue cuma bilang aja."
"Kita juga udah tahu, Bang," kataku, sengaja merespons lebih luwes. "Hari ini episode terakhir, kan?"
Bang Jinan mengangguk. "Lo nggak sedih gitu, Sya?"
"Ngapain?"
"Yah, kan, kalau udahan berarti—"
"Lo jangan sampai gue geplak deh, Bang." Maya lagi-lagi memotong, memutar kursi dan memandangi Bang Jinan tajam.
Kelakuannya yang begini malah membuatku tertawa. Somehow, aku merasa miris banget karena orang lain sampai sebegininya. But it just Maya being Maya. Dan aku menyukuri itu. Tak tahan, aku tersenyum geli, sehingga keduanya melempar pandangan ke arahku.
"Kan, yang satu sensi, yang satu sedeng." Bang Jinan geleng-geleng. "Kalian kenapa sih?"
Aku mengedikkan bahu. "Gue keluar dulu deh. Pengin kopi."
"Mau juga dong."
"Ambil sendiri napa," dengusku. "Lo mau juga, May?"
"Biar gue ambil sendiri deh, Sya. Lo diam di sini aja," tolak Maya. Begitu dia terlihat mau berdiri, buru-buru aku menggeleng dan menahan pundaknya.
"Pengap ah di dalam kantor terus. Gue keluar bentar doang ngambil di lantai satu." Lagi pula kalau melihat jam, mungkin sekarang mereka masih rekaman. Sekarang juga masih belum jam makan siang.
Buru-buru aku keluar dari ruangan, melangkah ke pojok koridor. Karena mesin kopi di kantor rusak dari tiga hari lalu, sekarang asupan kopi hanya bisa didapat dari mesin kopi di dekat tangga. Namun belum juga aku sampai, langkahku terhenti begitu melihat ada yang turun dari tangga.
Juna.
Begitu turun dari tangga, dia berhenti, dan sesaat sekitar kami seakan berhenti dan hening.
Selama satu minggu ini, aku sama sekali nggak berkomunikasi dengannya dalam bentuk apa pun. tidak ada chat maupun telepon. Tidak ada lagi orang yang berkunjung ke apartemenku apalagi ajakan kencan.
Hanya dengan absennya satu orang, rutinitasku direnggut setengahnya.
Belum sempat mengatakan apa-apa—dan sebenarnya aku juga nggak tahu harus bilang apa—Juna sudah berbalik dan meneruskan langkahnya keluar dari redaksi. Aku ikut berbalik dan berjalan ke mesin kopi.
"Asya."
Konyolnya, aku berharap Juna yang memanggil, padahal jelas sekali dia sudah pergi. Begitu berbalik, yang kutemukan justru Taran. Seulas senyum tersungging sementara dia berjalan mendekat.
"Hai, Kak," sapaku balik.
"Ngopi?"
"Iya. Mau juga, Kak?"
"Nanti deh, di atas juga tadi dikasih kopi."
Aku hanya manggut-manggut, mulai mengambil gelas dan mengisinya dengan gula. Taran masih di dekatku. Kukira hanya mau sekadar menyapa.
"Anyway, Sya," panggil Taran lagi, mengambil langkah untuk lebih dekat. Aku sedikit mendongak. "Siang ini sibuk nggak? Pengin ngobrol."
"Eh, ngobrol?"
"Sebenarnya bukan aku sih," jelas Taran, lantas menunjukkan ponselnya padaku, memampangnya nama Mentari di layar ponselnya dengan sambungan telepon yang masih terhubung. "Ada yang mau ngobrol sama kamu."
Maksudnya yang mau ngobrol sama aku ini... Mentari?
Tadinya aku ingin menolak. Kepalaku seketika memikirkan alasan untuk menyatakan kalau aku keberatan. Nggak ada kewajiban untuk bicara, kan? Aku ingin menjaga diri sendiri dan nggak mau mengulangi masa-masa miserable seperti waktu itu.
Namun, dari ponsel Taran kemudian terdengar suara dan menyebut namaku. "Asya, boleh nggak minta waktunya sebentar? Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan bareng-bareng. Kalau kamu nggak keberatan, saya ada di kafe tempat kita ketemu dulu." []
---
Sedikit lagi sampe di penghujung. Tida kusangka Juna sampe di sini. Wwalnya aku plotting cuman mau di bab 20-25 an aja sih, tapi akhirnya kubongkar pasang lagi, jadi jan heran yaw kalau beberapa adegan yang dulu jadi teaser malah nggak ada. Masih banyak juga yang perlu dibetulin sih ini, tapi itu nanti aja (selama bulan ini kelas jujur aku agak pusing karena nyadar struktur ceritaku nggak semulus ngelesnya Bang Jinan).
Masih ada Rico di sebelah sih, jadi ini aku cuman mau pamer doang, soalnya covernya unyu seqali (udah sempet share di snapgram sih, mungkin udah pada tau juga)
Cerita yang lain bakal soal apa coba? 🌚
P.s: Dari semua, aku lebih suka pas plotting Fake Up sih, karena (apayakhehe)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro