Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22: Peek-a-Boo

-8

Bab ini disponsori oleh sakit kepala, indomie goreng aceh, dan kebucinan akibat Juki di Dynamite bikin aku ngehaluin Juna.

-

"Gue naik kereta dari tadi pagi, baru banget nyampai stasiun 15 menit yang lalu. Ke sini naik taksi. Pengin balik duluan soalnya yang lain baru balik besok. Kelamaan."

Aku masih nggak paham bagaimana bisa dia mengatakan itu dengan gaya santainya seolah-olah dia hanya orang biasa, punya waktu luang banyak, dan bisa ke mana saja kapan pun dia mau.

"Lo minta izin, kan?" tanyaku.

"Udah bilang ke Pak Suma." Juna membalas tanpa mengalihkan perhatian dari televisi, sibuk menyantap Pop Mie. "Tenang aja. Gue ketemu lo bilang-bilang kok, nggak main kabur. Nanti lo cerewet."

Nggak heran kalau Juna kabur, tapi tentu saja aku nggak mau terlibat di dalamnya. Meski berlebihan kalau aku bilang mau menjaga nama baik, aku juga bukannya mau dianggap saja karyawan problematik. Membayangkan agensi Juna ribut dan menyeret-nyeret HypeMe membuatku bergidik.

"Bagus deh kalau gitu," komentarku lega. Kembali kusantap mi dari cup milikku.

"Gue ke sini bukan buat nagih omelan."

"Nggak ada yang nyuruh lo ke sini, for your information."

Juna menoleh sesaat, entah apa maksud tatapannya itu. "Makasih deh kalau gitu udah bukain pintu."

Aku nggak tahu apa persisnya yang kami lakukan. Suram banget rasanya kalau ulang tahun dirayakan hanya berdua, sudah begitu makanannya mi instan lagi. Namun Juna nggak protes, dan aku pun merasa begini saja sudah cukup. Toh bukannya aku mau buat pesta dan mengundang dia ke sini. Aku nggak minta dia muncul, tiba-tiba memelukku sambil bilang dia merindukanku.

Melihat santainya Juna di sampingku sekarang sesekali membuatku ragu. Bisa jadi malam ini otakku yang nggak beres, hanya berhalusinasi tentang kedatangannya, pelukannya, dan semua hal yang membuatku berdebar.

Tapi kalau halusinasi punya pemicu, lantas apa yang membuatku membayangkannya? Aku kan sama sekali nggak kangen. Sebal sih iya.

"Hari ini lo ngapain aja, Sya?"

"Hah? Maksudnya?"

Juna meletakkan cup kosong ke meja, menyandarkan punggung di sofa dengan tubuhnya dimiringkan ke arahku. "Hari ini kan lo ulang tahun. Nggak ada ngapain gitu? Jalan? Ditraktir teman? Atau diselamatin siapa gitu?"

"Dari dulu kan gue nggak pernah ngerayain ulang tahun," aku membalas sambil menghabiskan mi dan berdiri. Butuh air minum. "Lo mau minum juga nggak? Ada Coca Cola sih di kulkas."

Begitu Juna mengangguk, aku beranjak ke dapur, mengambil botol besar soda dan dua gelas plastik kecil dan kembali ke ruang tengah. Kuisi kedua gelas itu dan memberikan salah satunya pada Juna.

"Thanks," katanya. Diteguknya gelas itu sampai habis dan kembali diletakkan di meja. Dia unta apa gimana deh? "Ada yang ngasih kado?"

"Kata Ayah sama Ibu doa lebih baik." Aku meringis kecil, tapi kalau dipikir-pikir orangtuaku memang benar.

"Gue yang pertama kalau gitu, ya?"

Aku mengangkat alis, heran juga berniat menggoda sebenarnya. "Emang lo ngasih hadiah apaan? Bikin kaget karena muncul depan pintu orang malam-malam?"

Telunjuknya justru mengarah pada dirinya sendiri. "Hadiahnya gue."

Butuh beberapa detik hingga aku bisa bereaksi. Pasalnya, Juna mengatakan semua itu begitu santai seakan dia hanya menunjuk arah jalan. Kalau begini sih otakku bisa-bisa nyasar. Dia ini apa-apaan coba?

"Lucu banget, Jun. Wah," balasku sarkastik, memutar bola mata malas. Aku nggak seharusnya menanggapi ini terlalu serius. "Hadiahnya mantap banget."

Namun usahaku sama sekali nggak mempan. Nyatanya Juna justru kelihatan serius, bergeser mendekat sampai-sampai aku refleks mundur hingga punggungku dihentikan lengan kursi. Dengan posisi begini, Juna jadi ada di hadapanku, tubuhnya condong ke depan.

"Gue serius."

"Se-serius apa sih, Jun?" Aku mencoba mendorong Juna, sayangnya tubuhnya sekarang seperti berubah jadi kuda. Tenagaku nggak cukup untuk menjauhkan cowok satu ini.

"Pacaran yuk, Sya."

"APA?"

Persetan kalau teriakanku kedengaran sampai keluar. Ini betul-betul sudah di luar nalarku. Kalau Juna berniat buat aku sakit jantung, kuharap sebaiknya dia mengurungkan niat. Aku baru saja 23 tahun, dan nggak berniat berhenti di sini. Ini sama sekali nggak lucu.

"Ini apa lagi? Nyokap lo?" Aku mendengus. Nggak, nggak. Harus berpikir jernih, Sya. Random-nya Juna ini harusnya nggak mengagetkan lagi buatku.

"Udahan pura-puranya. Nggak asik," kata Juna, dia semakin mendekat.

"Juna, mundur ah! Jangan kayak orang susah, sofanya masih lebar!" teriakku gemas. Namun cowok ini tampaknya tuli—entah sengaja atau memang kehilangan fungsi telinganya—dan justru semakin mengikis jarak di antara kami alih-alih menurutiku.

"Gue serius," dia kembali mengulangi kalimat sebelumnya. "Berhenti pura-pura pacaran, Sya. Gue mau jadi pacar lo. Kali ini betulan."

Sepertinya telingaku yang kehilangan fungsinya sekarang. Karena tidak ada lagi nada santai dan cuek yang kudengar. Kata demi kata yang Juna ucapkan seakan penuh penekanan.

"Juna ...."

"Tolong jangan bilang lo butuh waktu lagi, Sya," Juna menyela. "You know exactly what I'm feeling right now."

Aku ingin menggeleng. Sungguh, aku nggak tahu. Memangnya dia bilang apa? Aku ingin protes, mengomel, melakukan sesuatu untuk menghilangkan kegilaan ini. Kendati begitu, mulutku membeku. Nggak ada sepatah kata pun yang bisa kuberikan sebagai balasan.

"Gue ke sini sebenarnya untuk bilang itu," kata Juna lagi. "Gue sayang sama lo, Sya. Bohong kalau gue bilang nggak cemburu tiap kali Taran bareng lo, ngelihat kalian ketawa bareng. Lo nggak pernah begitu waktu sama gue.

"Sadar sama hal itu bikin gue marah ke diri sendiri, and eventually ended up marah sama lo juga. Tapi sebelum gue pergi tur konser, lo bilang hubungan lo dan Taran nggak begitu, gue merasa punya harapan. Dan gue nggak mau menyia-nyiakan kesempatan itu."

Kini satu tangannya menyentuh pipiku, membuatku menelan ludah. Aku grogi, berdebar, takut. Namun di saat yang sama aku menanti apa lagi yang akan keluar dari bibir cowok di hadapanku ini.

"Let's date, Asya. Kali ini dengan cara yang lebih proper."

Ini terlalu dadakan. Rasanya seperti memegang lima balon yang rupa-rupa warnanya, tapi kali yang meletus bukan balon hijau. Semuanya meletus. Aku sama sekali nggak menduga kalau kami akan berada di situasi seperti ini. Aku memang bertanya-tanya apa yang ada di pikiran Juna, apa dia memikirkanku juga pasca ciuman tiba-tiba itu. Hanya saja mendengarnya mengucapkan semua ini ....

It's really out of my mind. Dia bahkan mengaku cemburu. God help, cemburu! Dia bilang cemburu!

"Is there any chance that you love me back, Sya?" tanyanya lagi.

Sebenarnya, aku nggak tahu. Mengagumi dan menyukai seseorang punya konteks yang berbeda, kan? Sekalipun aku punya daftar panjang soal orang-orang yang kukagumi, aku sama sekali nggak punya pengalaman soal menyukai seseorang. Aku bukan orang yang bakal berteriak keras-keras dan pingsan kalau Juna manggung, bukan orang yang nggak bakal absen sama jadwal-jadwal Beat Up. Aku nggak tahu banyak soal karir Juna sejak dia jadi drummer.

Tapi semua yang Juna lakukan membuatku merasakan banyak hal: marah, jengkel, terhibur, bahkan berdebar. Dan tanpa kuduga, aku nyaman dengan semua itu.

"Gue nggak tahu banyak soal lo, Jun," kuberanikan diri untuk bicara meski sesuatu dalam tubuhku seperti sibuk jungkir balik. "Tapi gue nyaman. Sekalipun lo nyebelin, jauh dari lo sekarang malah aneh rasanya."

"Jadi?" Dia mengangat alis, matanya terbuka lebih lebar.

Kurapatkan bibirku kuat-kuat, menatap Juna tepat di matanya sebelum melingkarkan lengan di lehernya. "Ini dihitung jawaban bisa, kan?"

Aku benar-benar malu, sungguh. Namun tanpa kuduga, Juna tertawa, dia mundur sedikit sebelum menarik tubuhku dan balik memelukku.

"Padahal tinggal bilang lo suka sama gue." Nada bicaranya terdengar jenaka. "So, jadi pacar gue ya, Sya?"

Aku bersandar di bahunya. "Gue belum siap digebukin fans lo."

"Mereka fans doang. Lo pacar gue. Levelnya beda."

Aku mendengus, yang justru dia balas dengan tawa. "Lo juga hidup karena mereka, Jun."

"Tapi gue sayangnya sama lo," balasnya lagi. Pelukan merenggang, dan aku harus mendongak sedikit untuk bisa menatapnya. Senyum manis terukir di wajahnya. "Gue juga pacaran bukan buat dipamerin. Seenggaknya, kali ini gue tahu perasaan gue berbalas, dan status kita lebih jelas."

Entah siapa yang memulai duluan, tapi di detik berikutnya jarak di antara kami sudah lenyap. Bibirnya bertemu bibirku, menciumku lembut, dan kali ini aku membalasnya. Untuk pertama kalinya ciuman ini bukan hanya sekadar bibir yang menempel atau sebuah kejutan tak terduga, melainkan cara lain untuk mengomunikasikan perasaan.

Kalau bisa, aku ingin menikmati momen ini selama mungkin.

This is definetely the best birthday present I've got this year.

*

Karena terlalu malam untuk pulang, Juna menginap di apartemen semalam. Berhubung kamar hanya satu, sudah pasti hanya satu hal yang perlu dilakukan: dia tidur di sofa.

Sebelumnya dia sempat bercanda untuk berbagi kasur saja karena dari semua barang-barangku, satu-satunya hal paling cocok untuk apartemen ini adalah tempat tidurku yang lumayan besar. Tentu saja aku menolak. Aku sama sekali nggak berniat membiarkan ular tidur bersamaku. Memberikan ruang untuk Juna sama seperti menyalakan bom di gua gelap. Akibatnya sudah jelas.

"Tidur di sofa atau tidur di luar. Pilih," putusku cepat.

"Pacar orang galak amat." Juna protes, tapi akhirnya memilih sofa dan meminjam selimut kecilku. Aku memang punya beberapa selimut, hanya saja kali ini aku sengaja memberikan selimut bergambar Minnie Mouse. Nggak apa-apa sih, biar lucu aja. Jarang-jarang kan bisa liat cowok galak pas tidur pakai barang cute begitu?

Hari ini aku libur, dan Juna... yah, agak sulit untuk tahu dia ini punya pekerjaan atau pengangguran karena sikap santainya. Untungnya kemarin aku baru mengisi kulkas dengan sayuran dan beberapa potong fillet ayam, jadi pagi ini nggak perlu pusing sarapan atau memberikan Juna mi instan lagi.

Begitu aku keluar kamar, ternyata Juna sudah bangun, sibuk membuka koper dan mengeluarkan bajunya. Menemukan obyek ganjil yang seharusnya nggak perlu kulihat, buru-buru aku berbalik.

"Pagi, Sya," sapa Juna. Aku yang semula mengalihkan perhatian kembali memandanginya, menghindar untuk menatap celana pendek yang tersampir di lengan sofa.

"Pagi," balasku. "Lo ngapain itu?"

"Pengin mandi. Pinjam kamar mandi, ya."

"Pakai aja. Gue mandinya nanti kok."

Aku baru saja mau melanjutkan langkah ke dapur, tapi terhenti begitu Juna bilang, "Oh? Kirain bisa bareng."

Tolong ingatkan aku kalau kami baru pacaran kemarin. Pacaran, bukan jadi pasutri.

Kutatap Juna galak, sementara dia hanya tertawa jahil, mengangkat tangan sebelum pamit pergi ke toilet dengan pakaian yang dia keluarkan sebelumnya. Candaannya itu nggak banget, jujur, hanya saja melihatnya tertawa pagi begini punya efek tersendiri untukku. Seenggaknya bisa lihat cowok ganteng sebelum bangun—

Astaga! Ini bukan hal yang harus jadi rutinitasku. Kok kesannya malah otakku yang nggak beres?

Menggeleng kuat, aku fokus untuk memasak. Masakanku mungkin nggak enak-enak banget sih mengingat kejadian bubur buat Juna waktu itu, jadi kali ini aku mencoba menonton tutorial memasak. Gampang sih, tapi aku cukup tahu semuanya pasti mudah kalau dilakukan orang yang bisa.

Durasi videonya kurang dari 10 menit, tapi nyatanya 10 menit itu aku baru selesai mencuci sayur dan memotong bawang. Begitu berlanjut ke step berikutnya, aku baru sadar tidak puya merica, dan bumbu penyedap—lebih elit lah ya sebutannya dibanding bilang micin, tutorial di videonya saja bilang begitu.

Aku kembali ke kamar, mengambil jaket dan dompet untuk keluar dan berteriak, "Juna, gue mau ke minimarket di bawah dulu!"

"Bentar!"

"Udah, gue sendiri aja! Tunggu di sini aja!"

Karena Juna nggak membalas lagi, aku langsung berjalan ke pintu, membukanya. Hanya saja di saat yang sama bel interkom berbunyi. Aku menganga begitu melihat Ayah, Ibu, dan Hassan sudah berdiri di pintu, plastik besar ada di tangan Ayah.

"Anak Ayah kaget nggak?" Ayah menyengir. "Kemarin nggak bisa datang. Jadi hari ini aja nggak apa-apa, ya? Nih, Ayah beli ayam. Ayo kita makan—"

"Sya, bentar! Gue pakai baju dulu. Mau ke bawah juga gue!"

Buru-buru aku menoleh, mendapati Juna sudah keluar dari kamar mandi, tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk sementara dadanya sama sekali nggak ditutupi apa pun.

Ini bukan keadaan yang kuharapkan. Sumpah, ini buruk. Sangat buruk.

Dan bisa jadi ....

"Asya," Ayah melotot, suaranya pun berubah. "Kenapa ada laki-laki telanjang di apartemen kamu?" []

Area area bab puluhan ini emang bikin kepala aku nggak waras 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro