Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21: Song of The Sun

-9.

Hawa hawa bentar lagi ngampus, jadi dikejar dulu aja. Aku senang kelen rusuh 🌚

-

"Bisa nggak sih gue minta cuti terus ikut konsernya Beat Up aja? Youtube ini membunuhku!" Maya mendorong kursinya ke kubikelku, menunjukkan ponselnya padaku.

"Lo malah streaming. Kerjaan lo udah kelar emangnya?"

Maya nyengir. "Bentar lagi. Kepancing nih ada yang lewat di rekomendasi timeline gue. Ya Gusti, gue betulan pengin nonton langsung."

Aku cuma geleng-geleng. Sekarang belum jam istirahat, tapi kesibukan kami hari ini hanya menulis artikel dari liputan kemarin. Berbeda dengan Maya yang dapat rekomendasi, lebih dari belakangan ini aku dikasih update-an langsung oleh Juna soal konser mereka. Dalam waktu sesingkat itu, mereka sudah mengunjungi tiga kota: Manado, Medan, dan sekarang di Samarinda.

Tadi malam juga Juna mengabari soal konser mereka, sampai katanya dia dapat lemparan bra yang entah punya siapa, tapi harus tetap fokus pada drum ketimbang meneriakki fans. Memang punya penggemar tuh nggak gampang sih, yang otaknya miring pasti ada aja.

Harus kuakui, dari video amatir yang tersebar di social media, Juna memang lumayan. Atau, parah. Ganteng parah. Aku masih nggak paham kenapa berkeringat saat memukul drum justru kelihatan keren bukan main? Berkali-kali lipat dibanding waktu Juna keringatan setelah membantuku pindahan.

Selama chatting, Juna hanya mengirim foto lokasi konser, backstage, dan tempat-tempat yang menurutnya keren dan harus dipamerkan padaku.Tapi nggak ada satu pun fotonya. Semuanya kulihat dari media.

Mau minta juga, yah, untuk apa? Bisa-bisa aku dikira apaan kali.

"Asya."

Maya langsung meletakkan ponsel ke meja dengan posisi terbalik, pandangan kami sama-sama tertuju ke arah pintu. Mas Andra masuk, tersenyum kecil karena jelas-jelas sadar kelakuan Maya, tapi nggak menegur. Dia menghampiri kubikelku sambil meletakkan beberapa lembar kertas, salah satunya berisi nomor telepon.

"Sori nih, Sya, waktu makan siang kamu saya korup dulu 10 menitan boleh nggak?"

Mau potong waktu saja pakai minta izin begini. sungguh cowok idaman sekali mas-mas satu ini.

Aku mengangguk, nggak enak juga menolak. "Kenapa, Mas? Ada kerjaan?"

"Pak Suma berhasil kasih kita waktu buat wawancara sama anak Beat Up. Ada yang bisa dihubungin sekarang. Singkat aja, buat flash news. Nanti habis makan siang kamu langsung tulis artikelnya. Bisa?"

Aku mengerjap sejenak. Kalau hanya artikel pendek bisa-bisa saja kurasa. Kerjaan juga nggak banyak hari ini. "Wawancara gimana, Mas? Via chat?"

"Telepon aja, pakai punya kantor." Mas Andra memberi isyarat. "Kata Pak Suma anak Beat Up mintanya kalau bisa kamu yang wawancara."

"Aku wawancara mereka berempat?" tanyaku lagi.

"Gitarisnya, Sya. Ini nomor teleponnya," balas Mas Andra sambil menunjuk nomor telepon yang tertulis di kertas. Kukira nomor siapa tadi. Tadinya aku pikir harus wawancara Juna.

Kenapa Juna lagi sih? Aduh!

"Oalah, Taran," Maya mengimbuhi sambil manggut-manggut jahil di tempat, senyumnya ganjil. "Kalau gitu gue pesan makanan deh. Mau nitip nggak, Sya?"

Mau mengumpat, tapi nggak mungkin kalau ada Mas Andra di sini. Harus jadi karyawan bermulut baik di depan atasan. Akhirnya aku hanya bisa bilang, "Kayak biasa, ya, May. Makasih."

Maya kemudian pamit, dan tak lama Mas Andra ikut keluar setelah minta maaf karena mengganggu waktu makan siangku. Setelah minum, menjernihkan suara sendiri—padahal nggak penting-penting banget—aku berjalan ke meja kosong tempat telepon kantor diletakkan, menarik kursi dari kubikel Maya untuk duduk ditemani pena dan kertas kosong. Beberapa detik setelah nada sambung berhenti, aku menyapa. "Selamat siang."

"Halo, halo. Ini Asya, kan?" Suara Taran terdengar di ujung sana. Lewat telepon saja aku bisa membayangkan dia tersenyum.

"Iya, Kak."

"Betulan kamu yang wawancara nih?" Taran tertawa. "Aku nggak nyangka Pak Suma betulan bilang maunya kamu."

"Memang Kak Taran minta begitu?"

"He-em. Pengin ngobrol lagi, mumpung ada kesempatan," katanya. "Jam segini lagi makan siang bukan?"

"Udah makan kok." Bohong banget. Tapi berhubung aku nggak terlalu lapar, biar deh. "Kak Taran nggak apa-apa diwawancara jam segini?"

"Santai aja. Hari ini kosong, besok pagi baru flight lanjut ke Surabaya."

"Jadwal travelling-nya padat banget," kelakarku.

"Anggap aja trial dulu ini jalan-jalannya, besok-besok naik pesawat suka-suka nggak usah mikirin kerjaan," katanya. "Anyway, Sya, kamu nonton konsernya nggak?"

"Lihat-lihat dari Youtube aja sih, Kak. Tunggu versi gratisan," balasku sambil cekikikan kecil. Gimana, ya, bukannya nggak mau support, hanya saja selain tiket, untuk bisa melihat para anggota band secara jelas merogoh koceknya nggak main-main. "By the way lagu solo-nya Kak Taran enak banget. Aku suka. Judulnya Kamu, kan?"

"Really? Syukur deh kalau kamu suka. Aku kira nggak cocok buat semua orang."

Yah, ketimbang liriknya yang manis soal cowok yang jatuh cinta sama teman lama, instrumennya lumayan berat dengan bass dan gitar eletrik. "Tapi catchy, Kak. Unik."

"Malah Juna yang solo-nya akustik gitu. Harusnya aku gitu juga kali, ya?"

Di konser kali ini, para anggota memang punya lagu masing-masing. Dari semuanya, lagu Juna yang paling mengejutkan. Ternyata saranku benar-benar diikuti. Dari dua aransemen yang Juna berikan padaku waktu di Timezone, dia pakai yang akustik.

"Lagu kalian sama-sama enak," kataku. "Malah kesannya kayak dibuat janjian gitu, kan? Kak Taran judulnya Kamu, lagunya Juna judulnya Her."

"Dulu judulnya bukan itu sih," kata Taran sambil tertawa. "Aku sempat dengar duluan, lagunya dibuat tahun lalu. Judulnya Matahari, liriknya juga agak-agak berubah."

Itu fakta baru. Kukira aku yang dengar duluan. Tapi nggak aneh sih. Masa iya Juna mendengarkannya lebih dulu ke aku yang buta musik?

"Kayak lagunya Agnez Mo gitu?" candaku, dan makin besarlah tawa cowok itu.

"Nyaris 10 lagu kali dia buat isinya soal matahari terus," Taran menambahkan. "Anak Beat Up yang lain juga ngeledekin, sampai akhirnya Juna bilang matahari itu ngingatin dia sama seseorang. Mungkin cewek yang dia taksir kali. Juna tuh tipikal bucin."

Aku tertawa. Siapa yang sangka menyukai seseorang justru membuat Juna produktif? Apa aku juga bakal dibuatkan ....

Nggak. Nggak. Nggak.

Buru-buru aku menggeleng, mengumpulkan kewarasan lagi sebelum berkata pada Taran, "Kita mulai wawancaranya sekarang boleh, Kak? Nanti keasikan ngobrol nih."

Untungnya Taran tertawa sebelum mempersilakan, membuatku fokus ke hal lain ketimbang cerita masa lalu Juna.

Harapanku itu menggelikan. Lagian aku siapanya Juna? Tapi aku jadi agak penasaran. Kira-kira cewek yang Juna taksir sampai dia pikirkan terus itu orang seperti apa, ya?

Nggak mungkin kayak aku kali, ya. Mana mungkin aku diasosiaksikan dengan matahari. Ketinggian!

*

Bagaimana cara tepat untuk merayakan ulang tahun?

Dari dulu, keluargaku nggak pernah merayakan ulang tahun besar-besaran. Seperti sudah tradisi dari keluarga Ayah dan Ibu. Semuanya dilakukan sederhana, cukup berdoa dan uang saku tambahan. Semakin tua, semuanya semakin sederhana dan sampai pada titik diucapin-doang-cukuplah.

Pagi-pagi sekali Ayah menelepon, dan sekeluarga mengucapkan selamat ulang tahun untukku, termasuk Hassan. Karena nggak bisa datang minggu ini, Ayah mengabari mungkin akan datang akhir bulan nanti. Di kantor juga Bang Jinan dan Maya memberi ucapan lebih dulu, kemudian nggak ada angin badai atau hujan, Bang Jinan menawarkan diri untuk membelikan ayam geprek, hitung-hitung hadiah katanya.

Harusnya hari ini menyenangkan, kan? Tapi kenyataannya aku masih kesal karena masalah yang Juna buat.

Aku benar-benar butuh panduan soal bagaimana kebiasaan orang-orang yang lagi pedekate pada umumnya. Serius deh, aku lama-lama ragu kalau aku dan Juna ada di tahap begitu.

Memangnya kapan dia bilang mau mendekati aku? Dan sekalipun aku bukan pakar cinta, rasanya aneh kalau berdebat termasuk cara menarik perhatian. Karena itu tepatnya yang dia lakukan belakangan ini.

Terakhir kali dia mengabariku hanya lewat telepon singkat dengan pertanyaan tanpa tedeng aling-aling, "Lo wawancara Taran, ya? Kok nggak ada cerita? Gue malah tahunya dari Pak Suma hari ini."

Aku baru mengiyakan dan berniat menjelaskan, tapi sambungan telepon diputus begitu saja. Gila! Padahal sebelumnya semuanya baik-baik saja.

Dia mau jadi satpam atau apa? Aku menghubungi Taran juga untuk pekerjaanku. Hanya karena dia mengatakan sesuatu padaku dan menciumku, bukan berarti dia bisa membatasi dengan siapa saja aku harus bergaul, kan?

Padahal harusnya hari ini aku senang-senang saja, tapi kenyataannya ingatan itu membuatku sebal sendiri. Dia bahkan nggak minta maaf atau menjelaskan apa pun sampai hari ini. Kuambil ponsel di meja, berniat mencari kegiatan untuk mengisi hari spesial yang biasa saja ini, hanya untuk menemukan notifikasi bertumpuk.

Junot Kalandra

New 49 Messages. 10 Missed Calls.

Juna pasti sudah gila. Padahal 5 menit sebelumnya ponselku bersih dari pesan baru, bahkan group chat pun kosong. Baru saja ditinggal sebentar ke toilet sudah begini? Memang cowok ini benar-benar nggak waras.

Jujur saja, aku masih sebal, tapi melihat layar ponsel berkali-kali membuatku penasaran juga. Untuk apa dia menghubungiku dan mengirim chat sebanyak ini? Kami tidak berkomunikasi sejak 2 atau 3 hari yang lalu, atau mungkin lebih. Entahlah. Aku tidak menghitung. Yang kuingat hanya bagaimana dia mematikan telepon begitu saja.

Yah, bukannya aku mau dihubungi sampai sebegininya sih. Kalau mengikuti jadwal Beat Up, kemungkinan besar dia masih di Surabaya. Mereka baru konser di sana kemarin. Dari wawancara dengan Taran, rombongan mereka baru pulang besok sebelum minggu depan final tour di Jakarta.

Menyerah dengan rasa penasaran, aku membuka ponselku. Mendadak aku ingin memaki diri sendiri. Yah, bodohnya aku karena berpikir Juna akan mengirim sesuatu yang penting, minta maaf, atau apalah. Nyatanya yang kuterima justru deretan 'P' super banyak dengan satu video terlampir di bagian atasnya. Tak lama, pesan baru masuk kembali dengan isi: Lihat videonya. Khusus buat lo. Gue repot buatnya.

Siapa juga yang minta dibuatkan video? Aku nggak butuh!

Rasanya aku ingin mematikan ponsel saja, menganggap nggak ada chat apa pun yang masuk, dan Juna sama sekali nggak merusuhiku. Tapi, sialnya, aku penasaran, terlebih tombol play menunjukkan Juna dengan jaket merah tebal dan muka songongnya seperti biasa.

Ini pertama kalinya dia mengirim sesuatu yang berisi dirinya sendiri. Aku mau melihatnya. Aku...

Nggak, nggak. Ini bukan kangen. Hanya penasaran.

This better be important, Arjuna Kalandra.

Meski masih keki, aku akhirnya membuka video itu sambil duduk di pinggir kasur. Ternyata durasi videonya hanya sebentar. Di detik pertama, wajahnya langsung terpampang, suaranya langsung terdengar selagi tangannya menyugar rambut, ekspresi datar menatapku—atau kamera, lebih tepatnya.

"Gue bingung mau ngomong apaan di video ini sih."

Really? Dari kalimatnya pertamanya saja begini? Apa lebih baik aku matikan saja, ya?

"Gue rekam ini sehari lebih cepat, dan berarti sehari sebelum lo terima video ini. Rasanya agak aneh aja ngucapin duluan padahal belum harinya. Tapi besok gue nggak akan bisa, jadi mending sekarang aja buat videonya."

What the hell, Jun? kamu ngomong apa sih? Nggak biasanya dia banyak bicara begini.

"Lagian nggak masalah juga, kan?" Senyumnya kini terlihat. "So, happy birthday, Arasya Hanandika. Selamat tambah tua. Semoga otak lo nggak makin karatan."

Mendadak wajahku menghangat. Aku nggak menyangka dia bakal ingat ulang tahunku, apalagi mengucapkan begini, mengingat terakhir kami berkomunikasi juga dia seperti marah lagi. Yang tahu ulang tahunku juga hanya beberapa anak kantor.

Tapi harus banget nih ucapan ulang tahunnya semenyebalkan ini? Ejekannya dihapus dong!

Di layar, Juna merapikan rambutnya lagi sebelum memakai beanie. Aku baru sadar penampilannya sekarang seperti mau pergi. "Udah deh, itu aja. Sisanya nanti biar gue omongin langsung kalau udah ketemu sama—"

Ting! Tong!

Bunyi bel sedikit mengejutkanku. Aku buru-buru keluar dari kamar. Sekarang sudah jam 7 lewa, nyaris jam 8 malah. Siapa yang datang? Kurir? Perasaan aku baru belanja online siang tadi di kantor. Masa kurirnya cepat banget? Aku nggak pakai ekspedisi roket.

Kusambar jaket yang tergantung di pintu, menaikkan hoodie untuk menyembunyikan penampilanku yang berantakan. "Tunggu sebentar."

Apa mungkin Maya, ya? Dia sempat bilang mau berkunjung, tapi dia nggak memberi kabar apa-apa. Atau mungkin bagian keamanan? Sekadar menebak sama sekali nggak memberi jawaban. Sayangnya pintu apartemen ini nggak dilengkapi peep hole.

Ternyata dugaanku salah semua. Yang muncul justru orang yang paling nggak kuduga. Begitu membuka pintu, Juna ada di depan dengan jaket jins, menarik beanie yang menutupi kepala dan menurunkan masker ke dagu. Ada koper besar di sampingnya.

Aku diam sesaat, mengerjap beberapa kali. Ini... betulan dia?

"Lho, Juna? Kok bisa—"

Tiba-tiba saja Juna menarikku sebelum aku selesai bicara. Tahu-tahu aku sudah berada dalam dekapannya. "Lo kayaknya marah, ya? Telepon kemarin tuh harus gue matiin karena lagi mau manggung."

Aku ingin bicara, membalas, protes, tapi satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah menelan ludah. Aku nggak mimpi, kan? Bagaimana bisa Juna ada di sini sementara mereka harusnya baru pulang besok? Ini sudah malam, dan aku nggak mau menakuti diri sendiri dengan kenyataan ada sesuatu mirip Juna yang datang ke pintu apartemenku dan membuatku berdebar begini. Nggak lucu banget lagi ulang tahun malah dibeginikan!

"Gue pengin minta maaf, tapi nanti ajalah," katanya sambil menenggelamkan kepala di ceruk leherku. Kurasakan napasnya menerpa kulitku. "Kangen, Sya. Biarin gue meluk lo dulu, ya? Anggap aja hadiah ulang tahun pertama."

Ini sih bukan hadiah ulang tahun, tapi cobaan untuk jantungku!

Hanya saja kendati marah, aku balik memeluknya, membiarkan kehangatan ini menyelimutiku dan berbisik, "Makasih, Juna." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro